Chapter 1 - How It All Happened

Dear Diary

Namaku Hwang Sonna. Aku dilahirkan di sebuah keluarga terpandang. Ayahku adalah seorang pengusaha yang sukses. Ibuku berasal dari keluarga yang kaya raya, ialah yang memodali awal usaha ayahku hingga sukses seperti sekarang. Kakak lelaki ku, Hwang In Sung tengah melanjutkan studinya di bangku kuliah. Usianya baru 24, namun ia sudah memiliki gelar Dr. didepan namanya. Kakak kedua ku, Hwang Shinna sudah memiliki bisnis Wedding Organizer saat usia 22 tahun. Sekarang ia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di negeri Paman Sam. Intinya semua anggota keluargaku adalah orang hebat.

Terkecuali aku…

Aku adalah yang termuda dari mereka. Aku yang paling dimanjakan saat kecil dan dirikulah yang paling diharapkan kedua orangtuaku untuk mengimbangi kesuksesan mereka. Namun nyatanya aku tidak bisa menjadi seperti yang selalu diharapkan dalam doa mereka. Aku tidak memiliki otak jenius seperti In Sung-oppa, tidak pula kreatif dan cerdas layaknya Shinna-eonni. Aku hanyalah diriku. Hwang Sonna yang tidak pernah meraih juara semasa sekolah, hanya bekerja di kantor kecil, bahkan aku bukan pegawai tetap disana. Oh ya, seakan belum lengkap, aku adalah seorang penganut seks bebas dan sebagai hasilnya, kini aku tengah mengandung seseorang yang bahkan tak mengakui bahwa ini darah dagingnya.

Orangtua ku pasti tak akan sungkan untuk menghapus nama ku dari kartu keluarga.

Dan... inilah kisahku.

***

-Sonna's POV-

Sakit, kesedihan dan kehancuran, aku pernah merasakan semuanya. Namun kenyataan yang harus kuterima ini lebih dari semua itu dijadikan satu.

Hari ini, adalah hari terburuk dalam hidupku…

Aku hanyalah seorang gadis di awal usia 19-an. Oh ya, aku bahkan sudah bukan seorang ‘gadis’ lagi. Aku memang bodoh, menyerahkan keperawananku begitu saja pada seorang laki-laki yang bahkan tak pantas mendapatkannya. Kini aku hanya bisa membiarkan air mata itu mengalir membasahi pipiku, namun semuanya sudah terjadi. Sebanyak apapun aku menyesal, toh tidak ada gunanya. Di usiaku yang bahkan masih sangat belia ini, aku sudah mengandung dan usia kehamilanku ternyata sudah memasuki bulan ke- 5. Aku tidak tahu apa-apa pada saat itu, walaupun sudah 2 bulan berturut-turut darah menstruasiku tidak keluar, aku hanya mengira itu pengaruh stress karena pekerjaan yang menumpuk di kantor. Memasuki bulan ketiga, aku mulai merasakan mual dan hal itu semakin menjadi di mingu-minggu selanjutnya, tapi dengan bodohnya aku justru mengonsumsi obat-obatan karena ku pikir aku hanya sakit maag biasa. Sekarang aku berharap obat-obat itu tidak memberi pengaruh pada kandunganku. Semoga bayiku baik-baik saja. Saat bulan ke empat lah aku mulai curiga. Berat badanku terus melonjak naik, dan aku selalu merasa seperti ingin makan sesuatu. Keinginan itu sangat kuat. Baru sekarang aku mengetahui bahwa ternyata selama ini aku ngidam. Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk membeli test pack di apotik terdekat dan hal yang menjadi ketakutan terbesarku pun terjadi. Aku hamil…

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap, aku tidak bisa berfikir untuk beberapa saat. Mataku tidak bisa berhenti memandangi 2 garis merah di test pack tersebut. Aku hamil! Ada seseorang di dalam tubuhku, berkembang dan tumbuh bersamaku. Ia ada didalam diriku, menjadi satu denganku. Cairan bening mulai menggenangi mataku. Kesal, sedih, kebencian dan penyesalan, semuanya menjadi satu. Namun ada suatu perasaan yang membuncah di sudut hatiku.

Kebahagiaan.

Aku bahagia. Aku hamil. Aku akan memiliki anak, aku akan menjadi seorang ibu.

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk pergi ke dokter, memeriksa kandunganku dan betapa terkejutnya diriku ketika aku tahu bahwa janin ini sudah 5 bulan berada di dalam rahimku. Aku sudah bisa melihat bentuk tubuhnya dengan jelas dari layar USG. Betapa lega-nya perasaanku saat dokter mengatakan bahwa anakku dalam kondisi baik-baik saja, ia sehat dan aku tahu bahwa ia akan menjadi anak yang kuat. Terhitung mulai hari ini, 4 bulan lamanya aku  masih harus menunggu sebelum bisa melihat malaikat kecilku ini terlahir ke dunia dengan segala kesempurnaan. Aku ingin menimang tubuh mungilnya dan mengecup keningnya yang halus. Mataku berbinar-binar, rasa haru mengisi rongga dada ku. Aku akan menjadi seorang ibu…

Sesampaiku di rumah, dengan segera aku berlari menuju kamarku, menyembunyikan barang-barang yang sempat kubeli di perjalanan pulang dari dokter. Buku mengenai kehamilan dan susu khusus ibu hamil. Ini memang sudah sangat terlambat untuk mengonsumsinya tetapi setidaknya aku akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan nutrisi si kecil yang tengah kukandung ini. Namun sayang, kebahagiaan yang kurasakan lenyap begitu saja bagai dihantam ombak. Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku saat ku langkahkan kaki memasuki ruang keluarga.

“Anak kurang ajar! Berani-beraninya kau berbuat seperti ini! Dasar tidak tahu malu! Lihat apa yang sudah kau lakukan!”

Suara tangisan pilu terdengar di salah satu sudut ruangan, dan saat itulah aku menyadari semuanya. Aku mengerti apa yang tengah terjadi disini. Ibuku hanya bisa terduduk lemas dan menangis sejadi-jadinya. Di hadapannya tergeletaklah sebuah test pack dengan dua garis merah diatasnya.

Ternyata mereka sudah mengetahuinya. Ayah, ibu, dan kakak lelakiku. Mereka pasti sudah mengetahui bahwa aku hamil. Dan saat itulah mimpi burukku dimulai.

Aku bukan hanya sekedar hamil, aku hamil tanpa seorang suami. Tidak ada ikatan pernikahan diantara diriku dan seseorang yang menanamkan sperma-nya di rahimku. Aku hamil diluar nikah.

“Bagaimana hal ini bisa terjadi, nak?”

Kutatap wajah sendu ibuku. Ia tampak lelah dan kekecewaan tersurat dari setiap bagian tubuhnya. Raut wajahnya, matanya yang sembab dan tubuhnya yang mulai membungkuk. Ia tak henti-henti menatapku, senyum tulus masih terukir di wajahnya, seakan ia tidak jijik dengan seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang, seseorang yang telah berzina. Dan orang itu adalah putrinya sendiri. Aku tidak tahu bagaimana kecewanya ibuku, tidak bisa kubayangkan betapa hancurnya perasaannya. Namun bagaimana bisa senyuman tulus itu masih menyertai dirinya saat menghadapku. Apakah ia masih menyayangiku? Apakah ia telah memaafkan dosaku yang teramat besar ini?

“Nana, katakanlah pada eomma. Bagaimana ini bisa terjadi?”

Aku hanya bisa menahan isak tangis. Nana adalah panggilan kesayangannya untukku, dan ia masih menggunakannya hingga kini.

“Aku tidak tahu eomma. Maafkan aku…”

Ia menghela nafas.

“Tapi kau tahu siapa ayahnya?”

Melihat aku hanya bisa terdiam eomma lanjut bertanya.

“Apakah aku mengenalnya?”

Aku segera menggeleng.

“Lalu siapa yang melakukan ini padamu, nak?”

“Kek… kekasihku…”

“Kalau begitu nikahi dia, Nana. Kalian harus mempertanggung jawabkan perbuatan kalian. Suruh dia ke rumah besok, kenalkan pada eomma. Akan kutelpon Shinna untuk mengurus pernikahanmu.”

“T… tapi eomma, aku tidak bisa!”

“Hwang Sonna! Apa-apaan ini?!”

“Pria itu sudah menikah, ma!” Seruku dengan nada yang amat menyedihkan.

“Omo, omo kepalaku…” Eomma memijit pelipisnya. “Ya Tuhan, anakku… Demi apa, Ya Tuhan…”

Setelah itu, kami tidak mengatakkan apa-apa lagi. Tenggelam dalam uraian air mata masing-masing.

Aku akan di laknat Tuhan hari ini karena telah membuat orang yang melahirkanku menitikkan air mata.

***

Keesokan harinya, ayahku menerobos memasuki kamarku begitu saja. Dilemparkannya berbagai benda kearahku. Aku hanya bisa menunduk, mataku menangkap wujud benda-benda itu. Obat untuk menggugurkan kandungan.

“Ambil itu. Habiskan semuanya. Singkirkan apa yang tengah kau kandung. Kau telah mempermalukan keluarga ini. Gugurkan kandunganmu atau aku tidak ingin melihatmu lagi.”

“Blam!”

Suara pintu yang ditutup dengan kasar. Aku tidak dapat lagi menahan tangisku. Hari itu, kukeluarkan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya, meraung dan mengacak-acak isi kamarku. Rasanya untuk hidup dengan keadaan seperti ini terlalu berat. Kuraup semua obat-obatan tersebut. Aku tidak ingat apakah aku menenggaknya atau tidak, tetapi yang ku tahu adalah bahwa aku terbangun di ranjang rumah sakit keesokan paginya. Aku mengalami pendarahan hebat dan sepertinya, itulah pertanda bahwa keinginan ayahku terpenuhi. Bayiku… anakku… malaikat kecilku…

Ia sudah tiada.

***

-Author’s POV-

“Jika dia membuka mata nanti, jangan bebani dulu pikirannya. Kondisinya masih lemah dan ia memerlukan waktu untuk menenangkan diri.”

“Baiklah, terimakasih dok.” Hwang In Sung membungkukkan badannya pada dokter yang baru saja menyelamatkan hidup adiknya itu. Walaupun Sonna masih belum menyadarkan diri, namun ia sudah keluar dari masa kritisnya. Pemuda itu menatap tajam kearah kedua orang yang berada tak jauh darinya. Ibunya tengah menangis sembari menggenggam erat tangan Sonna, sedangkan ayahnya berada di ujung ruangan. Menerawang jauh keluar jendela rumah sakit. Ia pasti sangat menyesali perbuatannya yang bisa saja membuat putri bungsunya itu mengakhiri hidupnya. Sonna sudah membuka kemasan obat-obat itu, ia bahkan sudah menghabiskan setengahnya sebelum akhirnya kehilangan kesadaran. Beruntung sekali, ia masih sempat memuntahkannya sehingga pendarahan yang terjadi bukanlah pengaruh obat aborsi tersebut, itu karena Sonna merasa begitu tertekan. Para dokter bahkan bukan lagi menyebut adiknya itu mengalami stress, ia depresi. Mata In Sung menjelajah mengelilingi ruangan tersebut. Dilihatnya seorang perempuan tengah sibuk menelpon dan membahas sesuatu. Ah iya, bukan ‘sesuatu’. Perempuan itu adalah adiknya juga, Hwang Shinna. Ia baru saja tiba dari Amerika dan sekarang tengah mengurus pernikahan Sonna. Ia ingin saat Sonna membuka mata nanti, semuanya sudah selesai. Pernikahan akan dilaksanakan 7 hari dari sekarang. Minggu depan Hwang Sonna, adiknya yang paling muda itu akan mengucapkan janji suci di altar. Semuanya sudah diatur oleh Shinna. Wanita itu memang cepat sekali mengambil tindakan pada situasi seperti ini.

“Oke, gedung sudah di pesan. Beruntung sekali, biasanya gedung itu selalu penuh. Setelah ini, kita hanya perlu mencari baju pengantin. Sonna tidak perlu repot-repot lagi, semuanya sudah beres.”

In Sung hanya mengangguk menanggapi ucapan Shinna. Matanya juga menangkap sosok lain di ruangan ini, seorang lelaki. Ia menatapnya dari atas sampai bawah, seakan mencari cela darinya. In Sung memang tidak mengenal lelaki itu, namun Shinna mengatakan bahwa dia adalah sahabat Sonna sewaktu kecil.

Dan sahabat itulah yang akan menjadi calon suami adiknya yang tengah mengandung ini.

“Ya! Ya! Sonna mulai sadar.” Ibu berujar saat merasakan pergerakan di tubuh putrinya itu. In Sung dan Shinna segera mendekat. Mereka melihat mata Sonna yang perlahan membuka, menyesuaikan diri dengan cahaya terang di sekitar. Ayah Sonna, membalikkan tubuhnya, namun ia tidak sanggup untuk mendekat. Langkah kakinya seakan kaku.

“Nana-yah… kau baik-baik saja? Apakah kau merasa pusing?” Ibu bertanya dengan khawatir saat melihat putrinya itu hanya membuka mata namun tidak melakukan pergerakan lagi setelahnya. Pandangannya pun kosong.

“Yak! Cepat panggil dokter!” Suruh Shinna kepada In Sung yang hanya bisa diam mematung. Lelaki itu, segera beranjak dan menekan tombol untuk memanggil dokter berkali-kali secara tidak sabaran.

Tim medis segera berhambur memasuki ruangan dan memeriksa keadaan Sonna. Dikhawatirkan kondisinya drop lagi setelah sadar dan teringat pada semua hal yang telah ia lalui. Ketegangan di dalam ruangan itu semakin bertambah saat In Sung, Shinna, dan kedua orangtuanya diminta untuk menunggu diluar ruangan. Ketakutan mulai menyelimuti hati mereka jika membayangkan wajah Sonna sudah tertutup kain putih saat mereka kembali memasuki ruangan tersebut.

Menit demi menit yang menegangkan berlalu. Doa tak henti-hentinya terucap dari bibir keluarga itu, memohon keselamatan untuk putri dan adik mereka.

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sang dokter keluar dari ruangan tersebut.

“Keadaan pasien sudah stabil sekarang, tetapi ia masih harus menyesuaikan diri.”

Semua anggota keluarga pun menggangguk dan mengucapkan syukur pada Tuhan yang masih mengizinkan Sonna menghirup nafas di dunia ini.

“Baiklah, dok. Terimasih.”

Ibu mengusap air matanya dan segera memasuki ruangan itu kembali. Ia memeluk putrinya yang masih terbaring lemas tersebut.

Eommaeomma maafkan aku…” Gadis itu hanya bisa berbisik lemah.

“Tidak… tidak Nana-yah… kau tidak salah… kau tidak salah apa-apa…”

Sonna memandang wanita itu dengan tidak percaya.

“Tetapi ma, aku… aku sudah…”

“Ssstt…” Shinna meletakkan jari telunjuknya yang lentik di bibir adik bungsunya itu, membungkam mulut Sonna.

“Jangan bebani dirimu sekarang. Lebih baik kau istirahat dulu. Kita bicarakan semuanya besok, oke.” Tambah In Sung.

Sonna hanya bisa terdiam, matanya menatap sosok ayahnya dengan perasaan yang sangat bersalah. Air matanya pun kembali lolos membentuk sungai kecil di kedua pipinya.

“Lupakan semuanya sayang. Istirahatlah.” Ayah menggemgam tangan Sonna yang bebas dari tusukan jarum infus. “Kami sudah menyelesaikan semuanya untukmu.”

Sonna tersentak. Menyelesaikan semuanya? Apa yang sudah mereka selesaikan? Apakah ini menyangkut bayinya? Dimana malaikat kecilnya itu berada sekarang? Masihkah ia merasakan hangatnya rahim Sonna? Ataukah dia sudah diangkat ke surga, berada di pangkuan yang Maha Esa?

Beribu-ribu pertanyaan masih berputar di kepala Sonna namun ia tidak mampu menyuarakannya. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang, efek dari obat penenang yang sempat disuntikkan dokter tadi. Dan dari banyaknya obat-obatan dengan dosis tinggi yang diberikan dokter padanya, ia sudah bisa menyimpulkan suatu hal. Ibu hamil tidak mungkin diizinkan mengonsumsi obat sebanyak itu karena hal tersebut akan berpengaruh pada janin yang dikandungnya.

Tampaknya malaikat kecilnya itu memang sudah tidak bersamanya lagi.

-To Be Continued-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
CardGames #1
Chapter 5: I can't wait for the update.