Chapter 3 - The Guy

Dear Diary

Bunyi tuts computer yang ditekan jemariku saling beradu di dalam ruangan yang cukup sempit ini. Pegawai-pegawai kantor berlalu-lalang melewatiku bahkan sesekali ada yang menyenggol ujung mejaku karena keterbatasan luas ruangan. Hal itu menyebabkan layar komputerku bergetar hebat dan mungkin saja akan jatuh jika aku tidak menghentikan aktivitas mengetikku dan menahannya layarnya. Aku mendongkol kesal. Semua ini membuatku risih. Pastinya setiap manusia normal di dunia ini menginginkan bekerja di kantor elit, luas, bersih dan tentunya memiliki pendingin udara di setiap ruangannya. Namun apalah dayaku yang hanya bisa memaksakan diri bekerja di tempat seperti ini. Ruangan yang sempit, kertas-kertas berantakan dimana-mana, serta udara sekitar yang begitu pengap tiap hari kurasakan. Ku hela nafas. Seharusnya aku masih bisa bersyukur, setidaknya aku memiliki penghasilan yang dapat menopang hidupku. Aku juga dapat membiayai segala keperluanku, walaupun dengan uang yang serba pas-pas-an.

“Hwang Sonna…”
Aku tersentak dan kembali pada kenyataan saat indra pendengarku menangkap suara seseorang yang memanggilku dengan lembut.

“Mengapa kau memegang layar komputer seperti itu? Tanganku kosong lho, bukankah lebih menyenangkan memegang tanganku?”

Aku mendongakkan kepala dan saat itu juga aku menyadari bahwa tanganku masih memegangi layar komputer yang sempat bergetar tersebut. Seseorang itu terkekeh pelan melihatku seperti itu.

“Ada apa mencariku?” Tanyaku singkat, yang sebenarnya tanpa kusadari terkesan cukup dingin juga.

Senyuman pemuda itu perlahan memudar.

“Kau belum makan siang bukan? Aku hanya ingin mengajakmu makan bersama…” Raut kekhawatiran kini dapat terlihat jelas dari wajahnya.

“Aku tidak lapar, terlebih lagi, aku sibuk.”

“Hei kau, nona keras kepala. Cobalah menurut pada kata-kataku.”

Aku menghela nafas. Bukannya tidak ingin menerima ajakannya. Tetapi mau bagaimana lagi. Isi dompetku sudah semakin tipis, belum lagi ini masih pertengahan bulan. Bagaimana mungkin aku bisa menghambur-hamburkan uang untuk sekedar makan siang. Apalagi biasanya Luhan, sahabatku yang satu ini minta ditraktir saat makan diluar. Jelas saja jika kalimat penolakan terucap dengan lancar dari mulutku. Aku bahkan sudah berencana untuk hanya memasak sebungkus ramen instan. Ya, hal itu sangat menghemat pengeluaranku, walaupun aku tahu itu bukanlah hal yang menyehatkan.

Aku hanya menggelengkan kepala. Berharap ia menghentikan omelannya yang sudah persis ibu-ibu itu. Sayang sekali, seharusnya aku tidak melakukan hal tersebut. Nampaknya kesabaran Luhan menghadapiku habis sudah.

“Yak, Hwang Sonna! Kau tidak boleh egois! Kau tidak bisa bekerja mati-matian dan tidak makan seperti ini, sekarang kau tidak sendirian. Kau tidak hanya memerlukan nutrisi untuk dirimu sendiri. Apa kau tidak ingat pada bayimu? Anak yang kau kandung?!”

Crap. Tamatlah riwayatku.

Beberapa teman sekantorku menatap kearah kami dengan sangat terkejut.

“Sonna sedang hamil? Wah, selamat ya! Aku bahkan tidak tahu kau sudah menikah.”

“Jadi kau ini suaminya Sonna? Tampan sekali!”

“Aku bisa mengusulkan pada Bos agar kau tidak dibebani terlalu banyak pekerjaan seperti ini. Ah, Sonna-ya, mengapa kau tidak pernah mengatakan hal ini pada kami?”

Aku hanya membalas semua ucapan selamat dan kepedulian mereka itu dengan senyum singkat. Ada yang harus kubereskan dulu sekarang ini, dan tatapan tajamku kearah Luhan sudah pasti menjelaskan semuanya.

“Bagus sekali Xi Luhan. Biarkan saja semuanya mengetahui aibku!” Semburku saat kami sudah berada diluar kantor.

“Yak! Mengapa kau marah-marah seperti ini? Lagipula apanya yang aib? Semua orang juga sudah mengira kita sepasang suami-istri, siapa yang tahu jika kau hamil diluar...”

“Ssstt!” Aku membungkam mulutnya. Ia sudah terlalu banyak bicara saat ini.

“Aku benci padamu! Kau bukan sahabatku lagi!”

“Kau benar, aku memang bukan sahabatmu lagi. Karena sekarang aku calon suami-mu!”

Pernyataannya membuatku tersentak. Bodoh, bisa-bisanya aku melupakan hal itu. Dia calon suamiku, pria yang akan kunikahi minggu depan. Dia pria yang akan bertanggung jawab padaku, atas bayi ini.

Ugh! Aku bahkan tidak bisa membayangkan diriku menikah dengan Luhan. Teman masa kecil yang sudah kuanggap saudara sendiri!

“Yak, sudahlah Sonna. Kau jangan seperti ini, kasihan bayi kita.”

Kepalaku berpendar sejenak. Apa yang ia bilang? “Bayi kita?!”

Luhan mengangguk.

“Iya, bayi kita. Dia juga anakku, kan?”

Aku hanya bisa terdiam. Bayi kita… Ia menyebutnya ‘bayi kita’. Tidak hanya ‘bayi mu’ seperti yang biasa dikatakan kebanyakan orang padaku.

Tiba-tiba saja semua memori akan kejadian-kejadian pahit itu berputar-putar di dalam kepalaku.

“Bagaimana hal ini bisa terjadi, nak?”

“Ya Tuhan, anakku… Demi apa, Ya Tuhan…”

“Ambil itu. Habiskan semuanya. Singkirkan apa yang tengah kau kandung. Kau telah mempermalukan keluarga ini. Gugurkan kandunganmu atau aku tidak ingin melihatmu lagi.”

“Maaf Sonna. Aku tidak bisa melakukannya untukmu. Aku sendiri sudah memiliki keluarga. Ini memang kesalahan kita berdua. Baiklah, aku akan membantumu. Jika kau memang ingin mempertahankan anak itu, aku akan membiayai kalian. Tetapi jika kau tidak ingin, gugurkan saja bayimu. Akan ku transfer uangnya sekarang juga.”

“Anak kurang ajar! Berani-beraninya kau berbuat seperti ini! Dasar tidak tahu malu! Lihat apa yang sudah kau lakukan!”

“Hei, ayo makan siang. Kau pasti sudah lapar.” Ajak Luhan sembari menggait tanganku.

“Aku akan makan. Tapi tidak denganmu.” Itulah kata-kata terakhirku pada Luhan sebelum aku menyentakkan tanganku agar terlepas dari genggamannya dan membalikan badan. Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk pergi makan siang, kenyataannya aku malah berbelok menuju parkiran, mengurung diri didalam mobil untuk menyembunyikan air mataku. Kehamilan memang membuatku menjadi lebih sensitif, tetapi aku tidak pernah menyangka bahwa kesedihanku akan sesakit ini, begitu menyesakkan dada.

Dan dalam kesakitan itulah bibirku dengan lirih melafalkan sebuah doa.

“Oh, Tuhan, tolong hentikan semua ini… Tolong hentikan sebelum aku menyesali keputusanku untuk mempertahankan anak ini. Semuanya sudah cukup berat. Jangan buat aku melakukannya… Tolong lindungi aku agar aku tidak kembali berfikir untuk mengugurkannya…”

Berulang kali aku mengucapkan permohonanku, seakan melantunkannya. Semakin aku mendekatkan diri pada Tuhan, semakin cepat pula rasanya aku dapat pulih dan menyembuhkan luka hatiku saat semua kenangan itu memenuhi kepalaku. Bagai sebuah film pendek yang kutonton setiap hari. Aku sudah hafal setiap kejadian pahit dalam hidupku semenjak kehadiran anak ini. Sebenarnya aku sangat menyayanginya, aku mencintai bayi dalam kandunganku, anakku sendiri. Namun tekanan dari orang-orang terdekatku membuatku sempat ragu untuk mempertahankannya. Bahkan sempat berfikir untuk membunuhnya. Oh, aku baru menyadari betapa kejamnya diriku. Aku jahat sekali karena pernah berniat untuk mengenyahkan anak ku sendiri. Ia bahkan tidak bersalah, sama sekali tidak memiliki dosa, bagaikan kertas putih yang tidak ternoda sedikit pun. Ia suci. Setan apa yang merasuki ku sehingga aku bisa menjadi sejahat itu? Bagaimana mungkin aku bisa membunuhnya? Aku ibunya sendiri!

Tanpa sadar tanganku mulai bergerak mengelus-elus perutku sendiri.

“Maafkan eomma ya, malaikatku… jangan marah pada eomma karena pernah tidak menginginkan kehadiranmu… Mulai saat ini, eomma berjanji akan selalu menyayangimu, melindungimu, dan mencintaimu. Eomma tidak akan membiarkan apapun menyakitimu, sayang.”

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku menyimpan susu khusus ibu hamil di dalam mobil. Segera aku mengambil satu kotak dan meminumnya.

Eomma berjanji mulai saat ini untuk selalu memenuhi segala kebutuhan gizimu. Jadi tetaplah disini bersama eomma, tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat. Eomma yakin kau anak yang kuat, sayang. Akan eomma tunggu kehadiranmu di dunia ini.”

Akhirnya aku menenggak dua kotak susu cair tersebut. Aku bahkan hampir menghabiskan kotak ketiga jika aku tidak menahan diri. Suatu hal yang berlebihan juga tidak baik, bukankah begitu? Sebelum membuka pintu mobil, aku menyeka sisa-sisa air mataku dan menatap wajahku di cermin. Mataku sembab dan kesedihan masih jelas terlihat disana. Aku mencoba untuk tersenyum. Terus bersedih bukanlah hal yang baik untuk kandunganku. Walaupun hatiku masih tersayat namun akan kucoba untuk melalui semua ini dengan senyuman yang menghiasi wajahku. Akhirnya kubuka pintu mobil, udara segar memasuki rongga paru-paru ku. Ingat, aku harus tersenyum.

“Hei… kau…” Aku tersentak saat mendapati Luhan tengah menungguku di luar mobil. Oh, ia pasti melihat semua hal yang aku lakukan di dalam mobil tadi. Ia pasti tahu bahwa aku tidak pergi makan siang, melainkan menangis habis-habisan.

“Luhan… aku…”

“Sudahlah, sepertinya aku mengerti semuanya. Ini salahku bukan? Aku minta maaf. Tak seharusnya aku berkata seperti itu padamu. Mungkin dulu kita juga sering bertengkar seperti ini, tetapi sekarang kita berdua sudah dewasa. Maaf jika mungkin aku menyinggung perasaanmu…”

“Tidak apa-apa Lu…” Aku memotong ucapannya. “Ini bukan salahmu, aku memang cengeng sedari dulu kok. Terlebih lagi, kehamilan ini membuatku menjadi lebih sensitif.”

Luhan mengangguk pelan.

“Oh ya, aku membawakanmu makan siang.” Luhan memberikan bungkusan yang ternyata berisi makanan tersebut. Yah, sebenarnya aku agak merasa lapar sekarang. Ternyata Luhan perhatian sekali.

“Makanlah dulu. Aku akan pulang sekarang. Kau harus kembali bekerja bukan? Maafkan aku Sonna, aku tidak akan menganggu mu seperti itu lagi.” Ia berpamitan padaku, lalu membalikkan badan, berjalan meninggalkanku.

“Luhan-ah!”

Ia tampak terkejut dengan perbuatanku. Aku sendiri juga sebenarnya. Tangannya kini ditahan milikku. Entah mengapa aku tidak ingin ia meninggalkanku sekarang.

“Kau mau menemaniku meminta izin kerja hari ini?”

“Hah? Kenapa? Apa kau sakit? Kau tidak boleh sakit!” Tangannya bergerak menyentuh keningku.

“Bukan Han… aku tidak sakit kok.”

“Lalu?”

“Bukankah hari ini kita akan fitting baju pengantin?” Aku agak kecewa karena ia melupakan hal tersebut.

“Sungguhkah? Kau mengingatnya? Oh maaf, tapi aku kira kau terlalu sibuk sehingga tidak bisa datang hari ini.”

“Yak! Mengapa aku tidak bisa datang? Ini kan untuk pernikahanku sendiri?”

Luhan menangguk, aku bisa melihat ia menahan senyum.

“Baiklah, ayo.” Kami kembali memasuki kantor dan ternyata berita bahwa aku tengah hamil sudah tersebar luas.

“Selamat ya, Sonna-ya!”

“Wah, semoga lahirannya lancar.”

“Sonna-ya, suamimu tampan sekali! Kalian tampak serasi.”

Aku tersenyum geli karena mereka tidak tahu bahwa aku dan Luhan sebenarnya belum menikah, malah kami baru mau fitting baju setelah ini. Kami juga terpaksa sedikit ber-akting mesra di hadapan mereka. Luhan melingkarkan lengannya pada bahuku, dan aku sendiri sempat menyandarkan kepala pada dada bidangnya itu di beberapa kesempatan.

Kini kami sudah siap untuk berangkat setelah mendapatkan izin kerja. Luhan membukakan pintu untukku dan membantu aku memasuki mobil. Tangannya masih menggenggam tananku. Aku merasa hatiku diselimuti kehangatan karena tidak pernah di perlakukan seperti ini selama 5 bulan kehamilan ku. Ini adalah yang pertama kalinya diriku merasakan betapa perhatiannya seorang lelaki. Mantan kekasihku bahkan tidak pernah memperlakukanku seperti ini, yang ia inginkan hanyalah tubuh wanita dan kini aku sangat menyesali hal tersebut. Ah, lupakanlah. Sebaiknya kutepis pikiran itu dengan segera, hal itu membuat hatiku kembali terluka. Aku masih ingin mempertahankan senyuman yang terukir di bibir ini.

***

Shinna-eonni sudah sampai terlebih dahulu di butik. Ia juga telah memilihkanku beberapa helai gaun pengantin yang dirasanya cocok untuk kugunakan.

“Menurutku semuanya bagus Nana, aku jadi bingung.” Ia mengurut keningnya.

Aku menatap gaun-gaun yang sudah ia pilihkan untukku. Jujur saja, melihat gaun sebanyak itu, kepalaku jadi pusing juga tidak tahu harus memilih yang mana.

“Gaun pilihan-eonni sudah cukup bagus kok.” Ujarku menenangkannya. Aku memerhatikan helaian gaun-gaun itu masing-masing lalu mengambil satu yang menurutku paling bagus.

“Bagaimana dengan ini?” Kutunjukkan gaun itu padanya.

“Ya, gaun itu juga bagus. Coba kau pakai dulu, kita harus mencari sesuatu yang cocok dengan bentuk tubuhmu dan tentunya tidak menekan area ini.” Ia mengelus perutku. “Kita tidak ingin menyakiti baby kecil mu bukan?”

Seorang pegawai butik menuntunku dan Shinna-eonni menuju kamar ganti. Aku memasuki salah satu bilik dan segera melepaskan pakaian yang melekat di tubuhku. Sudah tidak sabar rasanya untuk menyematkan gaun indah itu pada tubuhku. Eonni membantuku menaikkan restleting yang ternyata cukup ketat di punggungku. Entahlah, ini memang terasa agak sesak. Tetapi gaun ini indah sekali, mungkin jika aku memaksakan diri, aku bisa memakainya seharian saat resepsi pernikahanku nanti.

“Hmmm… sayang sekali Nana, sepertinya ini bukan ide yang bagus. Kau juga terlihat kurang nyaman dengan menggunakan gaun ini bukan?”

Dengan sangat terpaksa aku akui bahwa hal itu benar. Yah, sayang sekali memang. Gaun itu akhirnya terlepas dari tubuhku dan kami kembali berkutat mencari gaun yang lebih cocok.

“Coba gunakan yang ini.”

“Bagaimana dengan yang ini?”

“Ah, yang ini pasti cocok denganmu.”

“Engg, tapi yang ini lebih cantik.”

Melelahkan. Kata itulah yang akan kugunakan untuk melukiskan keadaan saat ini. 5 kali sudah kami harus memasang dan melepaskan gaun sebelum akhirnya menemukan yang terbaik dan tentunya cocok untukku.

“Wah, Nana-ya… ini indah sekali. Aku baru tahu kalau kau ternyata cantik, adikku.”

“Yak! Jadi selama ini kau menganggapku jelek begitu?” Aku mendelik kesal pada Shinna.

“Hehe, aku hanya bercanda kok.” Shinna tertawa renyah dan aku pun tersenyum melihatnya. Sudah lama aku tidak bercanda dengannya seperti ini sejak kepindahannya ke Amerika. Aku merindukan Shinna-eonni ku yang baik hati.

“Hei, kau ini malah melamun.” Ia mencubit hidungku pelan. “Mari kita turun kebawah. Luhan pasti terpesona melihatmu seperti ini.”

Luhan? Oh iya, Luhan! Entah mengapa jantungku tiba-tiba berdebar lebih kencang mendengar nama tersebut. Aku akan menemui calon suamiku dalam balutan gaun pengantin ini!

Shinna-eonni menuntunku lembut menuruni tangga. Aku tidak menggunakan high heels karena tidak berani mengambil resiko jika aku terjatuh dan membahayakan malaikat kecilku, padahal benda itu akan membuatku terlihat lebih anggun saat menggunakan gaun ini.

Omona! Putriku, kau cantik sekali!”

Aku tersentak ketika melihat ayah, ibu dan In Sung-oppa yang juga sudah berada disana. Mereka semua tersenyum padaku, membuatku begitu terharu. Dan saat itulah aku tidak memerhatikan langkah kakiku. Tepat di dua anak tangga terakhir, aku menginjak ujung gaunku. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Aku tersandung dan terjatuh, pegangan tanganku pada Shinna terlepas begitu saja. Tubuhku sudah siap menghantam lantai jika saja dua tangan kekar tidak menahan ku. Aku sudah aman didalam rangkulan kedua lengan calon suamiku.

“Sonna kau baik-baik saja bukan?”

Eomma tampak sangat khawatir namun Shinna dengan cepat berjalan kearahnya dan menarik-narik lengannya untuk mengikutinya. Aku dapat mendengar bisikannya.

“Sebaiknya kita jangan menganggu kemesraan pasangan ini.”

Dalam hitungan detik, tinggal kami berdua yang tersisa disini.

Jantungku masih berdebar kencang. Aku memang sudah berdebar-debar sedari tadi, sebelum menuruni tangga. Ditambah lagi insiden dan posisi kami yang sekarang err… berpelukan seperti ini.

“Tampaknya ini tidak seperti bagaimana yang kau harapkan bukan?” Ujar Luhan, seperti berniat menggodaku. Aku sendiri agak heran mengapa ia tidak kunjung melepaskan lingkaran kedua tangannya di tubuhku, namun aku juga seakan tidak berdaya untuk memintanya melepau. Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku merasa nyaman seperti ini. Rasanya aku tidak perlu berpijak pada kakiku, karena Luhan sanggup menahan seluruh berat tubuhku. Ini bukan pelukan seperti yang pernah kurasakan dengan kekasihku yang biasanya akan berakhir di ranjang. Pelukan ini membuat hatiku terasa begitu hangat, debaran jantungku berangsur-angsur normal kembali. Ini adalah pelukan atas dasar kasih sayang, bukan nafsu. Luhan membuatku percaya bahwa tidak semua lelaki di dunia ini hanya menginginkan keindahan tubuh seorang wanita.

“Kau cantik sekali, istriku.” Ujar Luhan lembut yang membuatku tersipu malu. Aku baru sadar bahwa sedari tadi ia memperhatikan wajahku dari cermin besar yang terdapat di samping kami. Setelah mengetahui hal tersebut, aku segera menenggelamkan wajahku di dadanya, ia tidak perlu melihat wajahku yang merona akibat kata-katanya. Hatiku menjadi sakit kembali saat mengingat bahwa kekasihku tidak pernah mengatakan aku cantik, ia selalu berkata bahwa aku y dan menggoda. Aku sungguh membenci kata-kata rayuan itu sekarang.

“Yak! Kau ini malah tidur. Apakah kau tidak berniat memujiku juga? Katakan bahwa aku tampan atau apalah?” Seru Luhan.

“Oh iya ya.” Aku mengangkat wajahku. “Tapi kau tampak biasa-biasa saja Lu.” Ujarku polos.

“Yak! Kau tidak pernah merasa digelitik ya?”

Aniya! Hentikan!” Tiba-tiba saja Luhan mulai menyerangku.

“Akui dulu jika aku tampan.” Ujarnya tanpa dosa.

“Tidak mau! Kau tidak bisa memaksaku!”

“Oh, kalau begitu bersiaplah untuk ku gelitik lagi!”

“Tidak, tidak! Ampun! Iya deh, kau tampan, nah puaskan?”

“Kok kesannya terpaksa gitu?”

“Kau ini cerewet sekali. Aku juga bisa lho balas menggelitikmu!” Ancamku.

“Eh jangan… hahaha!” Gelak tawanya memenuhi ruangan disusul tawaku, namun ternyata aku tidak bisa tertawa berlebihan. Hal itu agak menekan bagian perut bawah sehingga refleks aku mengarahkan tanganku untuk menyentuhnya.

“Oh, iya sayang… eomma harus berhati-hati…” Ujarku sambil mengelus-elus perutku.

“Hah? Kau kenapa? Perutmu sakit? Anak kita baik-baik saja bukan?”

Aku menangguk.

“Iya, aku baik-baik saja kok. Anakku engg… anak kita juga tidak apa-apa.”

Luhan tersenyum.

“Mungkin sudah waktunya kita ganti baju dan pulang.”

“Baiklah.” Aku menyetujui.

***

Di dalam mobil, aku menatap foto-foto ku dalam balutan gaun pengantin, aku membuka salah satu akun media sosialku untuk meng-upload foto-foto tersebut. Tidak berapa lama beberapa orang mulai mengomentari foto tersebut.“Wah, cantik sekali.” “Selamat ya.” Dan sebagainya. Aku tersenyum bahagia, akan kuingat hari ini sebagai salah satu hari terbaik dalam hidupku. Untuk beberapa saat aku hanya membuka postingan-postingan dan status beberapa temanku yang lain. Tiba-tiba kurasakan hp-ku kembali berbunyi, menandakan komentar selanjutnya sudah masuk atas foto yang ku-unggah.

“Aku harap kau bahagia.”

Aku membaca isi pesan itu berkali-kali, mencoba meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah baca, dan saat aku memperbesar foto profil orang tersebutlah dengan segera aku tersadar bahwa aku harus mengetikkan sebuah balasan untuknya.

“Bisakah kita bertemu?”

Dengan gelisah aku menunggu balasan. Aku menggigit-gigit bibirku, meremas tanganku sendiri, hingga akhirnya hp-ku sebuah notifikasi kembali terlihat.

“Boleh juga, ditempat biasa?”

Aku menghela nafas dalam.

“Luhan, bisa kah kau turunkan aku di jalan choemdangdong. Aku ada urusan…”

***

Aku memasuki pub tersebut, menerobos keramaian dan hingar bingar musik disko yang disetel dengan volume maksimal. Tanganku bergerak menuju perut bagian bawahku, berusaha menangkupnya, seakan hal itu dapat melindungi bayiku. Entah mengapa aku merasa sangat tidak aman sekarang. Fitting baju pengantin tadi itu memakan waktu yang cukup lama dan sekarang hari sudah berganti malam, hal itu menjadi pertanda bahwa kegiatan di club malam ini siap dimulai. Orang-orang mulai berdansa dan bahkan bergoyang secara sangat erotis dibawah lampu disko. Aku tidak bisa membayangkan diriku yang pernah melakukan hal-hal seperti itu juga. Kekhawatiran merayapi hatiku saat aku berjalan melewati mereka. Kebanyakan orang disini sedang dalam keadaan mabuk berat, oleh karena itu hal-hal buruk bisa saja terjadi padaku saat ini, yang menjadi kekhawatiranku terbesar ku adalah jika mereka menyelakakan janinku, secara sengaja ataupun tidak. Aku merasa agak kesal juga karena seseorang yang ingin kutemui itu memilih tempat duduk yang paling jauh dibelakang, sehingga aku harus berjalan jauh pula.

“Hey, Sonnie.”

Aku menoleh dan mendapati orang itu sudah berada di depanku. Kulambaikan tangan lalu duduk disebelahnya. Sofa ditempat ini sengaja didesain dengan dan hanya terdapat satu di setiap bilik yang tertutup. Kau tahulah untuk apa mereka melakukannya. Seorang bartender sudah siap untuk mencatat pesanan kami.

“Kau ingin apa, sayang?” Tanya Sungmin padaku. “Champagne, Beer atau Vodka? Kita harus merayakan sesuatu bukan. Aku atau begini saja, aku pesan Whiskey, dua.”

“Eh, t… tunggu…” Aku menahan pelayan itu. “1 gelas saja, aku tidak akan minum malam ini.” Pandanganku pun beralih pada Sungmin sembari menatapnya tajam.

“Kenapa? Bukankah kita perlu merayakan pernikahanmu? Dulu kita selalu menenggak wine hingga 2 botol bersama.”

“Aku hamil, oppa…”

Mata Sungmin membulat total.

“Woahh! Jadi kalian sudah mencicipi ‘malam pertama’ kalian sebelum menikah? Aku tidak menyangka tunanganmu mampu melakukannya. Wajahnya di foto yang kau unggah itu terlihat begitu kekanakan, sangat polos. Tetapi ternyata dia mampu menghamili mu. Selamat kalau begitu Sonnie-ya, aku harap gaun pengantinmu masih muat saat kalian menikah nanti.” Gelak tawanya memenuhi ruangan. Bartender yang tadi melayani kami kini sudah kembali dan mengantarkan pesanan lelaki itu. Ia segera mengambil gelasnya dan menenggak isinya. Aku menatap wajahnya yang tampak sangat menikmati minuman api neraka tersebut. Tanpa sadar aku mulai menggigit-gigit kecil bibirku. Haruskah aku melakukannya? Atau lebih baik seperti ini saja?

Op… oppa…

“Hmmm?” Ia menoleh padaku. “Kenapa? Kau mau?” Ia menyodorkan gelasnya.

Aku segera menggeleng dengan mantap.

“Lalu ada apa?”

Ku hela nafas dalam-dalam, sekaligus aku kembali menimang-nimang keputus final ku.

Baiklah, aku akan mengatakannya. Sekarang atau tidak selamanya.

Oppa, kumohon dengarkanlah baik-baik. Aku hanya akan mengucapkan ini sekali karena aku tidak tahu apakah aku sanggup mengucapkannya lagi atau tidak.”

“Anak didalam kandunganku ini…”

 

“Adalah anakmu…”

 

“BRAK!”

Suara pecahan gelas menggema didalam bilik ini. Mata Sungmin melotot dan tubuhnya mengejang seketika.

“B…b… bagaimana mungkin…” Tanyanya seakan sudah melupakan segalanya.

“Kau tidak ingat kita sudah melakukannya berkali-kali?!”

“Tapi… tapi aku… aku selalu memakai kondom!”

“Memangnya kau bisa menjamin jika benda laknat itu tidak bocor dan masih bisa meloloskan sel-sel sperma sialanmu itu?!”

Sungmin memijat pelipisnya.

“Bukankah kau juga mengonsumsi morning after pil? Bagaimana mungkin kau bisa hamil?”

“Sialan! Kau kira obat itu harganya murah hah?!” Teriakanku menggema di seluruh ruangan bilik. Aku tidak perduli apakah ada orang yang mendengarku. Toh, semua orang disini rata-rata sedang mabuk berat.

“Lalu apa yang kau inginkan dariku, Hwang Sonna. Bukankah kau akan menikahi pria baik-baik?”

“Walau bagaimanapun, kau adalah ayah dari anak yang ku kandung dan anakku berhak mengetahui siapa ayah biologisnya!”

“Tetapi aku sudah memiliki istri, terlebih lagi kita melakukannya saat sedang mabuk berat.”

“Lalu kau ingin berkelit dari tanggung jawabmu? Begitu hah?!” Suaraku semakin melengking tinggi, sedangkan Sungmin hanya bisa tenggelam dalam dekapan tangannya yang menutupi seluruh wajahnya itu. Untuk beberapa saat kami saling terdiam. Aku sibuk mengontrol nafasku yang memburu, sekaligus mencoba meredam amarahku. Semua ini sangat tidak baik untuk bayi di dalam kandunganku. Sungmin sendiri masih terdiam, aku tidak tahu apa yang ia lakukan. Mungkin menyesali semua perbuatannya, mencari jalan keluar atau hanya menangis.

Namun kata-kata yang selanjutnya terucap dari bibirnya sungguh meremukkan hatiku.

“Begini saja. Aku akan mentransfer uangnya ke rekeningmu. Mungkin kita masih bisa menggugurkan anak itu dan…”

“PLAK!”

“Bajingan!” Seruku dengan air mata yang berderai. Apakah ia tidak punya hati? Apakah ia manusia? Bagaimana mungkin ia bisa menyuruhku melakukan hal itu?

“Kau! Jika kau berani menyentuh anak ini, jika kau berani mengambil hak hidupnya dan jika kau masih berani menyuruhku membunuhnya… akan kupastikan kau mati ditanganku!”

“BRAK!” Aku membanting pintu dari bilik pub yang kami tempati lalu berlari keluar tempat terkutuk itu. Aku segera melambaikan tangan mencari taksi lalu meringuk di kursi belakang. Sekali lagi, menangis habis-habisan didalam mobil.

***

Aku membuka pintu rumah dan langsung berlari menuju kamarku. Air mataku masih berjatuhan menuruni pipiku. Aku tidak tahu sebanyak apa aku sudah menangis akhir-akhir ini, seperti anak kecil saja. Andai setiap tetes air mata yang kukeluarkan ini bisa menghasilkan uang, aku pasti sudah menjadi orang terkaya di muka bumi ini. Kutupi wajahku dengan bantal untuk meredam suara isakan tangisku. Dengan begini aku bisa puas berteriak ataupun meraung mengeluarkan segala kesakitan di hatiku. Biarlah untuk hari ini, aku mengizinkan air mata ini membasahi pipiku sekali lagi. Namun besok dan seterusnya, aku harus tegar. Aku harus kembali menjalani semuanya dengan senyuman. Aku tidak bisa seperti ini terus menerus. Hati malaikat kecilku juga pasti akan terluka saat merasakan ibunya bersedih seperti ini.

Maafkan eomma, sayang… hanya untuk hari ini… eomma berjanji…”

Tiba-tiba seseorang menyentuh telapak tanganku dan membawaku masuk kedalam pelukannya. Aku mengenal perasaan hangat ini.

“Luhan…” Bisikku.

“Hmmm… ada apa istriku? Mengapa kau menangis?”

“M… mengapa kau ada disini?”

Eommo-nim mengundangku untuk makan malam bersama keluargamu. Aku senang karena bisa melihatmu lagi malam ini, tetapi aku tidak menyangka akan bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini.” Luhan menjelaskan.

Wajah calon suamiku itu masuk kedalam indra penglihatanku. Apakah pandanganku mulai terganggu karena terlalu banyak menangis ataukah dia memang sangat tampan? Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya lalu menghapus air mataku dengan ibu jarinya.

“Jangan menangis, nanti kecantikanmu luntur.” Candanya, kata-kata manis itu berhasil mengembangkan senyum di bibirku, walaupun tipis.

“Bagaimana mungkin bisa luntur? Kecantikanku abadi…” Balasku lemah, sambil melirik wajahnya yang sejajar dengan ku. Ia menyeringai.

“Senang bisa melihatmu tersenyum lagi.” Ujarnya tulus, namun kemudian tangannya mulai jahil lagi dengan mencubit pipiku. “Dasar cengeng!” Tambahnya sebelum berlari keluar kamarku.

“Yak! Awas kau Xi Luhan!”

Dan aku pun berakhir dengan berlari mengejarnya hingga ke ruang keluarga.

***

“Sudah tidak terasa ya, kalian akan menikah 3 hari lagi.” Ujar Shinna-eonni membuka percakapan.

“Hmm, ya. Waktu terasa cepat sekali berlalu.” Eomma menambahkan.

Aku tersenyum. Betul kata mereka, aku bahkan tidak menyadari bahwa hari pernikahan ku sudah begitu dekat. Ini adalah salah satu hari penting dalam hidupku, dan memang sebaiknya aku berhenti menangis. Aku tidak ingin mataku bengkak saat menyalami tamu undangan.

“Nana-ya, besok ikut eonni ya, kita akan melakukan perawatan tubuh. Kau harus terlihat memesona di hari spesialmu.” Ajak Shinna eonni yang membuatku meringis. Oh ayolah, aku paling tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Aku lebih suka kecantikan yang alami, bukan karena pengaruh bahan-bahan kosmetik seperti itu.

Disebelahku Luhan menyenggol lenganku pelan, lalu tersenyum jahil dengan mulut penuh makanan. Aku menatapnya malas lalu dengan tanpa dosa menginjak kakinya, mungkin agak terlalu keras karena kulihat ia berusaha menahan teriakannya.

“Impas.” Pikirku.

“Oh iya, kau juga Luhan. Disana juga ada spa khusus pria, kau juga harus terlihat segar di hari pernikahan kalian.” Tambah Shinna. Luhan juga tampak kaget mendengarnya. Aku menahan senyum geli saat melihat wajahnya. Benar-benar impas!

“Ah, atau begini saja. Kita ambil paket body treatment untuk pasangan saja!” Usulnya kemudian dengan cengiran di bibirnya. In Sung-oppa mendelik kearah Shinna. Oh oh… sepertinya ada maksud tersembunyi dibalik senyuman Shinna-eonni itu.

***

Firasatku memang benar. Keesokan harinya, aku dan Luhan mendapatkan perawatan tubuh bersama-sama. Pertama-tama, tubuh kami di lumuri minyak zaitun dan dipijat yang membuat kulitku menjadi sangat lembut. Tahap kedua adalah scrubbing atau pengangkatan sel kulit mati, hal ini sekaligus juga berguna untuk mencerahkan kulit. Aku sungguh akan tampak bersinar saat menikah nanti. Nah, sampai tahap ini, semuanya berjalan dengan lancar namun tahap terakhirlah yang membuatku sempat berpikir dua kali. Berendam di dalam bak air hangat. Biasanya aku sangat menikmati hal ini, masalahnya adalah, akan ada dua orang didalam Jacuzzi tersebut. Aku dan tentu saja, Luhan.

Lelaki itu bersandar dengan mata terpejam di ujung bath tub, ia tampak sangat menikmati segala service yang diberikan padanya hari ini. Ia diperlakukan seperti ‘raja sehari’ di tempat ini. Berbeda denganku. Aku merasa sangat tidak nyaman. Berada bersebelahan dengannya seperti ini, kulit kami beberapa kali bersentuhan di dalam air. Hal itu membuatku bergidik seperti orang kedinginan padahal suhu didalam ini sangat hangat. Aku menenggelamkan lagi tubuhku didalam air sehingga hanya wajahku yang timbul di permukaan. Tanganku masih berusaha mencengkram kuat kain tipis yang menutupi tubuh polos ku. Uh, Shinna-eonni pasti sengaja merencanakan hal ini. Sungguh menyebalkan.

Tetapi di lain pihak, bayiku pasti akan merasa nyaman jika aku juga merasa nyaman. Terlebih lagi, kondisi di tempat ini sangatlah baik baginya, air yang hangat dapat menstimulasi kecerdasan otaknya, dan wangi-wangian aromatherapy yang sedari tadi aku hirup juga sangat menenangkan. Mungkin aku harus berusaha untuk tidak terlalu tegang. Masa bodohlah pada Luhan, toh dia akan menjadi suami ku esok.

Akhirnya aku meluruskan punggungku dan mencoba menikmati suasana tempat ini. Perlahan kupejamkan mata hingga hanya gemericik air yang terdengar. Ini memang menyenangkan.

“Yak! Hwang Sonna, kau ingin menggoda ku ya?! Kau tidak berniat menambah satu anak lagi bukan?!” Tiba-tiba lelaki itu berteriak sembari menutup wajahnya dengan tangan.

Baiklah, sepertinya lebih baik kita akhiri sampai disini saja.

***

Saturday, April 4th 2015

Dear Diary

Besok, aku akan menikah. Seseorang akan bertanggung jawab atas diriku dan anak yang kukandung. Bayi kecilku akan segera memiliki seorang ayah. Aku sendiri tidak pernah tahu bahwa aku akan menikah secepat ini, bahkan aku tidak bisa memilih calon suamiku sendiri dan memperkenalkannya pada appa dan eomma sebagai seorang kekasih yang sangat kucintai. Dari dulu aku hanya bisa membayangkan jika Sungmin-oppa lah yang akan berjalan denganku di altar. Namun kenyataan berbicara lain, fakta bahwa ia sudah menikah seakan memupuskan harapanku. Di lain pihak, Luhan sudah menjadi teman bermainku sedari kecil. Kami pulang sekolah bersama, menghabiskan makan siang bersama lalu bermain sampai sore. Bahkan tak jarang ia menghabiskan malam denganku. Pernah suatu hari, disaat aku sedang demam, ia tidak mau pulang ke rumah. Akhirnya eomma harus mencarikannya sebuah kasur kecil dan baring berdampingan denganku. Lucu sekali saat mengingat hal-hal konyol seperti itu. Namun sekarang, aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan berjodoh dengannya. Aku harap aku akan bermimpi dengan indah malam ini untuk menyambut esok pagi, hari pernikahanku dengannya.

 

Hwang Xi Sonna

-To Be Continued-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
CardGames #1
Chapter 5: I can't wait for the update.