Chapter 4 - Our Wedding

Dear Diary

***

Our Wedding,

On Sunday, May 10th 2015

At Hotel Grand Ambassador Ballroom Hall

Groom : Xi Luhan

Bride : Hwang Sonna

***

“I will love you till death do us apart.”

Xi Luhan & Xi Sonna

***

-Sonna’s POV-

Debaran jantung ini semakin menggebu seiring berlalunya waktu. Setiap detik yang kulewati, semakin membawaku mendekat pada saat yang ditunggu semua orang, yaitu ketika diriku berjalan di altar dan mengucapkan janji suci pernikahan. Uh, tetapi aku gugup sekali! Bagaimana mungkin aku bisa melangkah dengan baik di altar jika lututku bergemetar seperti ini? Bagaimana jika aku tersandung gaun pengantinku lagi dan terjatuh? Bagaimana jika aku tidak bisa mengucapkan janji suci pernikahan dengan lancar? Atau… bagaimana jika Luhan akhirnya memutuskan bahwa ia tidak ingin menikahiku? Bagaimana jika ia menjawab “Tidak, aku tidak bersedia” saat ditanya oleh pendeta? Oh tidak. Aku mulai membayangkan hal yang aneh-aneh saja! Tidak mungkin hal seperti itu terjadi, bukan? Huh, tenanglah Hwang Sonna, tarik nafas, dan hembuskan…

Entah sudah keberapa kalinya aku berjalan mondar-mandir didalam ruang ganti pengantin ini. Aku tidak mau mengambil resiko jika aku duduk dan membuat kain gaun ini berkerut, atau bagaimana jika aku mengotorinya secara tidak sengaja? Aku kembali mematut diriku di cermin besar yang terdapat dalam ruangan itu. Oh, semuanya sempurna, terkecuali buliran keringat dingin yang mulai membasahi keningku. Segera kusambar tisu dan mulai mengeringkan wajah dengan gerakan yang sangat pelan dan hati-hati, aku tidak ingin menghancurkan segala tatanan rambut dan riasan wajah yang tengah kugunakan. Oh ya Tuhan, bagaimana ini? Mengapa rasa gugupku tidak berkurang sama sekali? Kuremas tanganku satu sama lain, dingin, itulah suhu tubuhku saat ini. Samar-samar telingaku mendengar alunan march pernikahan dan dentingan piano. Apakah sudah saatnya? Ya Tuhan, aku rasa aku akan pingsan sebentar lagi.

***

-Auhtor’s POV-

Sementara itu, dilain tempat. Luhan dengan setelan jas tuxedo-nya yang rapi sibuk menyalami ratusan tamu undangan yang hampir semuanya merupakan kolega bisnis keluarganya dan keluarga Sonna. Walaupun ia terlihat lebih santai dan senyuman setia menghiasi wajah tampannya, tetapi didalam hatinya, perasaannya juga sangat kacau. Ia juga merasakan kegelisahan yang sama atau malah lebih parah daripada Sonna, calon istrinya itu. Tangannya memang dibalut sarung tangan putih, namun ia tetap merasakan jari-jarinya membeku, entah karena dinginnya cuaca atau hal itu adalah pengaruh rasa gugupnya. Calon ibu mertuanya tak henti-henti mengulurkan tisu pada pemuda itu karena keringat dingin terus mengalir menuruni pelipisnya.

“Oh, nak Luhan. Kau baik-baik saja? Tidak sedang sakit bukan?” Tanya wanita paruh baya itu khawatir.

“Aku tidak apa-apa, eommo-nim.” Jawab Luhan dengan senyuman yang sangat dipaksakan. Ia berbohong, karena sebenarnya ia merasa bisa pingsan kapan saja.

***

-Sonna’s POV-

Ayah menggenggam tanganku dengan sangat erat, seakan tidak rela melepaskan diriku. Langkah kaki kami berdua terhenti tepat didepan sebuah pintu besar. Aku dapat mendengar betapa meriahnya pesta yang akan berlangsung di dalam sana dari hingar-bingar para tamu undangan. Namun segala keributan itu perlahan memudar saat sebuah simfoni lembut dan menggetarkan jiwa mulai menggema memenuhi ruangan. Pintu besar yang berada di hadapan kami pun bergeser, menampakkan celah yang semakin lama semakin lebar hingga mampu memperlihatkan seluruh isi ballroom tersebut. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba mendapatkan oksigen sebanyak-banyaknya. Ini sudah saatnya. Sudah tiba waktunya bagi kakiku untuk melangkah, menemui masa depanku. Genggaman tangan ini mulai ditarik dengan lembut, beserta senyum tulus seorang ayah yang akhirnya membimbingku untuk berjalan mendekat, menyapa tahap baru dalam hidupku, sebagai seorang istri.

Untuk beberapa saat, aku tidak mampu mengangkat kepalaku. Aku hanya bisa terpana melihat ratusan tamu yang saling berdiri dan memandangiku dengan kagum. Kutelan ludahku dengan paksa saat telingaku menangkap suara bisikan rendah ayah yang menenangkan.

“Nana sayang, putri appa. Maafkan appa jika selama ini tidak bisa menjadi ayah yang baik bagimu. Mungkin selama ini appa terlalu sibuk mengurus bisnis appa sehingga tidak bisa memberimu perhatian seperti anak-anak lainnya.” Ayah menghela nafasnya yang terdengar berat. “Dan sebentar lagi akan ada pria lain yang bertanggung jawab atas dirimu, sekarang gugur sudah kewajiban appa atasmu, sayang. Kau sudah menjadi milik suamimu.”

Aku mendongakkan kepala, menatap wajah appa yang sudah mulai berkeriput. Membuatku menyadari betapa besar jasa lelaki ini untuk membesarkanku hingga mengahantarkan diriku menuju pelaminan, menyerahkan tanggung jawabnya pada seorang lelaki, calon suamiku. Xi Luhan.

“Sonna-ya, appa minta maaf karena mengatakan hal itu sekarang dalam keterbatasan waktu seperti ini.” Ia memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. “Appa hanya ingin kau tahu bahwa appa sangat menyayangimu, melebihi apa pun.”

Aku hanya bisa menangguk mengerti dengan pandangan yang mulai mengabur terhalang air mata.

“Baiklah nak, temuilah masa depanmu disana.” Ayah mengarahkan tanganku kedalam genggaman lelaki lain, masa depanku.

Saat itulah air mataku menetes. Menangkap bayangan dirinya berhadapan denganku, menggenggam tanganku. Disambut oleh senyuman tulus kedua sudut bibirnya. Ya Tuhan, pernikahan ini memang tidak pernah bisa kuduga, tidak pernah kurencanakan, namun semuanya indah dan berjalan dengan bukan sekedar lancar, tetapi sempurna.

“Berjanjilah untuk menjaga dan menyayangi putriku, nak Luhan.” Ayah menepuk bahu pemuda itu.

“Pasti abbeo-nim. Aku berjanji.”

Appa mengangguk lalu bergerak untuk mengecup keningku, yang mungkin akan menjadi kecupan kasih sayang terakhir darinya.

“Berbahagialah sayang.”

Jemari-jemari lain mulai menangkup wajahku dan menghapus jejak air mataku.

“Kau masih ingat apa yang kukatakan tentang menangis?” Bisik Luhan di telingaku.

Aku tersenyum.

“Hal itu akan mengurangi kecantikanku?” Balasku juga berbisik.

“Bagus, kau mengingatnya.”

“Tetapi aku tidak sedang bersedih Lu… aku bahagia, ini adalah air mata kebahagiaan.”

Matanya bergerak menatapku dengan sangat dalam dan intens.

“Hadirin semuanya, pada hari yang bahagia ini kita semua berkumpul untuk menyaksikan penyatuan dua jiwa yang berbeda atas dasar cinta.” Sang pendeta menatap kami berdua. “Saudara Xi Luhan, perhatikan dan ikuti ucapan saya.”

“Saya Xi Luhan.”

“Saya Xi Luhan.” Ulangnya.

“Bersedia dengan sepenuh hati, menerima wanita ini, Hwang Sonna sebagai seorang istri.”

“Bersedia dengan sepenuh hati, menerima wanita ini, Hwang Sonna sebagai seorang istri.” Luhan mengikuti kalimat demi kalimat yang diucapkan sang pendeta dengan suara khas lelakinya yang rendah namun terdengar gemetar, ia gugup. Aku menyadari hal itu.

Rangakaian kata-kata selanjutnya pun terucap dengan lancar bagai di alunkan dalam sebuah lagu.

“Saya berjanji untuk tetap saling mengasihi dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, kelimpahan maupun kekurangan. Berjanji untuk tetap menjadi penolong setia, tunduk, menghargai, dan mengasihi dia seperti Kristus mengasihi jemaatNya hingga maut memisahkan.”

Tibalah giliranku.

“Saya Hwang Sonna, bersedia dengan sepenuh hati, menerima pria ini, Xi Luhan sebagai seorang suami.” Suaraku nyaris tak terdengar, sesekali isak tangis terdengar menggema di ruangan luas ini.

“Saya berjanji untuk tetap saling mengasihi dalam suka dan duka, sehat maupun sakit, kelimpahan maupun kekurangan. Berjanji untuk tetap menjadi penolong setia, tunduk, menghargai, dan mengasihi dia seperti Kristus mengasihi jemaatNya hingga maut memisahkan.”

Bersamaan dengan berakhirnya janji suci yang ku ucapkan, In Sung mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya dan menyerahkannya pada Luhan.

“Cincin ini perlambang jalinan kasih yang tiada putus, membawa harapan kepada dua insan manusia untuk selalu hidup dalam limpahan kasih sayang.” Ujar pendeta tersebut.

Disematkannya cincin itu pada jari manisku, membuatnya melingkar dengan sempurna. Perlakuan yang sama pun terjadi pada dirinya. Aku meraih tangan Luhan dan menyematkan cincin penyatuan kami di jarinya. Pas. Semuanya sempurna.

“Dengan ini, saya resmikan Saudara Xi Luhan dan Saudari Hwang Sonna sebagai pasangan suami istri yang sah.”

Dengan cincin yang telah tersemat di jemari masing-masing, serta tangan yang saling menggengam, saling menguatkan, Luhan mendekatkan wajahnya padaku. Ia menunduk sedikit untuk menyetarakan tinggi badan kami. Tetapi, tiba-tiba ia menghentikan pergerakannya sesaat, lalu membisikan sesuatu.

“Terimakasih sudah memilihku sebagai pasangan hidupmu, Nana…”

Aku membuka mata, terkesiap atas ucapannya barusan namun saat itu juga aku bungkam, tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Bibirnya telah bertemu dengan milikku. Hanya sebuah ciuman biasa, tanpa lumatan atau sebagainya. Hanya saling ‘menempel’ satu sama lain. Aku memang pernah merasakan hal yang lebih intim daripada ini, namun entah mengapa, kelembutan Luhan membuatku seakan melambung tinggi. Aku tidak memiliki kaki lagi, aku melayang.

Tepuk tangan meriah dari para undangan kemudian terdengar di segala penjuru ruangan.

“Bapa di Surga, terimakasih karena Engkau telah menempatkan mereka sebagai penolong di sisi satu sama lain hingga nanti. Terimakasih karena Kau memuaskan hati mereka dengan cintaMu, melalui cinta keduanya.“ Sang pendeta yang telah menyatukan kami berdua itu melanjutkan khotbah nya.

Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh lagi diceraikan manusia. (Matius 19:6)

***

-Auhtor’s POV-

Tepuk tangan meriah kembali memenuhi ballroom saat kedua mempelai berjalan memasukinya. Musik jazz yang lembut pun mengalun mengiringinya. Sonna telah mengganti gaun pengantinnya dengan sehelai cocktail dress berwarna cream yang lembut. Semenentara sebuah jas berwarna hitam tersampir pada pundak Luhan melengkapi kemeja warna putih dan celana senada yang tengah ia gunakan. Upacara pemberkatan sudah usai berganti dengan meriahnya pesta resepsi pernikahan mereka. Dua orang MC menyelingi acara tersebut dengan candaan dan obrolan ringan.

“Ya, dan sekarang kita memasuki sesi pemotongan kue. Hehe, terasa seperti acara ulang tahun ya, Kyu?” Ujar Baekhyun, MC pada hari itu sekaligus sahabat Luhan.

“Hah, kau saja yang tidak becus membawakan acara pernikahan ini.” Balas Kyuhyun yang terasa bagai hujaman pisau bagi Baekhyun. Ia selalu kalah telak jika sudah berdebat dengan lidah tajam si evil maknae itu.

Luhan menggamit tangan Sonna yang tengah memegang pisau berhiaskan pita berwarna pink.

“Hati-hati.” Bisik lelaki itu pada istrinya. Mereka lalu dengan gerakan perlahan memotong kue itu menjadi dua bagian. Tepuk tangan kembali terdengar serempak dari para tamu.

“Wah, mereka mesra sekali ya. Aku jadi ingin menikah juga.” Kyuhyun berkomentar.

“Memangnya hyung sudah punya calon?” Balas Baekhyun.

“Tidak ada sih.”

“Dasar jomblo!” Seru Baekhyun, senang karena bisa membalas kata-kata Kyuhyun.

“Mending aku lah, jomblo, daripada kamu. Pacaran tapi tidak dapat restu.” Todong lelaki bermulut tajam itu kemudian.

“Eh, eh! Kalian jangan berkelahi di pernikahan kami, dong.” Pinta Luhan pada dua sahabatnya yang asyik berdebat sendiri itu.

“Hehe, iya maaf…” Baekhyun membungkukan badannya.

“Baiklah, sampai dimana tadi? Pemotongan kue?” Tanya Kyuhyun.

“Sudah lewat kali, kemana saja kau?” Balas Baekhyun.

Para tamu undangan itu pun mulai bangkit dari tempat duduknya masing-masing dan memberi ucapan selamat kepada kedua mempelai tersebut.

“Selamat ya, Luhan, Sonna. Aku senang sekali melihat kalian berdua.” Ujar Yixing, rekan kerja Luhan.

“Terimakasih.” Jawab mereka berdua dengan senyuman yang mengembang. Selanjutnya pun ucapan dan doa terus mengalir dari mulut masing-masing orang yang hadir pada hari itu. Ada Suho yang mendoakan kelancaran kelahiran anak mereka. Onew yang berharap agar mereka selalu mencintai dan menyangi hingga tua. Beberapa sahabat Sonna yaitu Luna, Hyoyeon dan Seulgi juga mendoakan hal serupa.

Acara tidak hanya berakhir sampai disana, karena Luhan tiba-tiba memberikan sebuket bunga edelweis, sang bunga abadi perlambang cinta dan ketulusan itu kepada istrinya sembari mengecup keningnya mesra. Wajah Sonna merona karena perlakuan mesra suaminya tersebut. Tak lama kemudian, beberapa gadis yang hadir pada acara itu pun berkumul dibelakang tubuh sang pengantin wanita. Ia bersiap melemparkan buket tersebut. Luhan menonton hal itu dari bawah panggung bersama beberapa teman-temannya. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan untuk meredam tawa karena yakin kejadian itu pasti akan berakhir lucu.

“Bisa ikut aku sebentar.” Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Luhan menoleh dan tersenyum lebar saat mengenali orang tersebut.

“Sehun-ah! Yak, aku baru melihatmu sekarang, darimana saja kau?”

Lelaki yang ternyata dipanggil Sehun itu menyesap isi gelas champaign di tangannya dengan gerakan anggun.

“Hyung… aku ingin berbicara serius denganmu.”

Luhan mengernyitkan keningnya.

“Ada apa, Hun-ah?” Tanyanya namun tetap mengikuti langkah Sehun yang berjalan menjauh dari ball room.

“Kau yakin pada keputusanmu untuk menikahi wanita itu?” Sambar Sehun langsung pada inti.

“Hah? Tentu saja. Mengapa kau menanyakan hal seperti itu?”

“Keputusanmu salah, Hyung. Kau tidak akan dapat mempertahankan pernikahan ini, dan berakhir meninggalkannya dalam kesedihan.”

“Apa-apaan ini, Hun? Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Batalkan pernikahan kalian jika kau tidak ingin menyakiti wanita itu!”

“Sehun-ah, apa yang sebenarnya kau inginkan? Berbicaralah dengan jelas. Jangan seperti ini!”

“Hyung… akui saja. Kau tidak mencintai wanita itu. Kau masih mencintai Yejin, dan kau akan meninggalkan wanita itu jika bertemu kembali dengannya!”

“Yak! Oh Sehun! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu! Aku bahkan tidak mengenal seseorang benama Yejin!”

Bersama seruannya itu pula lah mala petaka menghampiri. Saat Sonna melemparkan bunga itu kearah wanita-wanita yang berkumpul dibelakangnya. Tepat sekali, seorang wanita muda berpakaian minim memasuki ruangan dengan sebuket bunga yang mendarat di tangannya.

“Wah, sepertinya aku akan menikah sebentar lagi.” Ujar wanita tersebut dengan sebuah senyuman manis namun matanya menatap tajam kearah Luhan.

“Sialan…” Pemuda itu mengumpat.

“Song Yejin…. Badai apa yang membawamu kemari?!”

“Aku sudah memperingatkanmu.” Todong Sehun dingin.

Luhan hanya bisa menatap lelaki yang jauh lebih muda darinya itu dengan putus asa.

“Kau harus memilih salah satu diantara mereka, Hyung. Tidak mungkin kau menyakiti keduanya seperti ini.”

“Aku sudah melakukannya, Hun. Aku bahkan sudah menikahinya!”

Sehun berdecak meremehkan.

“Kau pikir aku percaya akan hal itu? Ikuti saja kata hatimu, Hyung!” Ia terdiam sejenak, memperhatikan perubahan raut wajah Luhan. “Kau masih belum bisa melupakan Yejin.”

Luhan mengalihkan pandangannya dari wajah Sehun, menghindari tatapan tajam lelaki itu padanya.

“Oh, sudah kuduga kau belum bisa melupakannya. Bukan hanya itu, kau tidak akan pernah bisa menepis gadis itu dari hatimu. Aku benar bukan?!” Sehun mengembalikkan pertanyaan tersebut pada Luhan yang tetap tidak bergeming.

“Yah, walau bagaimana pun seharusnya dia yang akan menjadi istrimu pada hari ini. Ah, sudahlah, itu masa lalu.” Ujarnya kemudian. “Well, kalau begitu selamat atas pernikahanmu Hyung, mari kita lihat seberapa lama kau bisa mempertahankannya sebelum berakhir di sidang perceraian.” Tambah pemuda itu sebelum akhirnya meninggalkan Luhan sendirian.

Lelaki yang baru saja menikah itu mencoba mengatur nafasnya. Sungguh ia ingin sekali menyemburkan semua kata makian yang pernah ia tahu untuk meluapkan kekesalannya. Namun ia harus menahan diri. Tidak, ia tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Lelaki itu tidak bisa percaya bahwa Sehun akan mengatakan untaian kalimat yang menyakitkan seperti itu. Ditambah lagi kehadiran Yejin yang semakin memperumit segalanya. Luhan memijit kepalanya yang terlalu banyak dipenuhi beban pikiran. Tiba-tiba sebuah nama terlintas dibenaknya membuat jantungnya berdebar lebih kencang.

Hwang Sonna.

Oh, ya Tuhan. Dimana gadis itu berada? Apakah ia baik-baik saja? Jangan-jangan ia sudah bertemu Yejin? Ah, jika hal itu terjadi maka pernikahan mereka yang bahkan belum berusia satu jam itu akan terancam hancur! Pemuda itu segera kembali berlari memasuki ballroom tersebut. Dilihatnya beberapa pasangan tengah berdansa mengikuti alunan musik ballad di tengah ruangan. Matanya menjelajah disekelilingnya hingga ia akhirnya menemukan seorang gadis yang tengah duduk mengadap lantai dansa. Tidak jauh beberapa meja dari gadis itu, Luhan menangkap sosok Yejin yang tengah menatap istrinya itu dengan tajam. Entah mengapa tatapan tajam tersebut membuat Luhan merinding. Tatapan itu seakan membawa hawa yang sangat negatif untuknya. Ia segera menepis pikiran itu, walau bagaimana pun Yejin adalah seseorang yang pernah ia kenal dengan sangat baik di masa lampau, tidak mungkin ia akan berbuat yang macam-macam terhadap dirinya maupun Sonna, khususnya terhadap pernikahan mereka. Mungkin, ia hanya datang untuk mengucapkan selamat? Yah… mungkin bukan?

“Kau melamun Lu?”

Luhan tersentak dan pandangannya pun jatuh pada sosok istrinya yang juga tengah menatap dirinya kini. Gadis itu menepuk kursi kosong disebelahnya, mengisyaratkan agar Luhan duduk disampingnya.

“Daripada kau berdiri di tengah ruangan seperti itu. Menghalangi pemandangan.” Cibirnya kemudian saat lelaki itu menghampirinya.

“Menghalangi pemandangan? Memangnya apa yang kau lihat? Apa kau sedang memperhatikan pemuda yang tengah berdansa itu?”

“Iya.”

Luhan mendongak malas pada Lee Taemin, pemuda tampan yang tengah berdansa lihai dengan pasangannya, Jung Soo Jung, atau biasa disapa Krystal. Gerakan mereka memang luar biasa, diiringi musik tango yang beralun lambat, mereka sungguh tampil layaknya penari professional. Tidak salah memang Shinna meminta mereka untuk mengisi acara prom dance ini. Tetapi entahlah, melihat bagaimana terpesonanya Sonna pada Taemin, Luhan sedikit menyesali kehadiran pria ber-image seksi tersebut.

“Kita baru saja menikah dan kau sudah ‘main mata’ dihadapanku.” Celetuknya kemudian.

Sonna memutar bola matanya.

“Oh ayolah, kau kekanakan sekali Tuan Xi. Aku hanya berniat menonton tariannya. Jangan salahkan aku jika ternyata penari prianya sangat memukau. Itu namanya keberuntungan.”

“Lalu sejak kapan Nyonya Xi suka menari?” Balas Luhan pada istrinya yang terlihat sedikit bergidik geli mendengar panggilan baru untuknya itu. Nyonya Xi Sonna, ah yang benar saja. Ia memang perlu cepat membiaskan diri dengan marga dan status barunya tersebut.

“Aku memang tidak suka menari, tetapi aku suka melihat orang lain melakukannya. Rasanya seperti aku sendiri yang bergerak mengikuti alunan musik di panggung. Itu aneh bukan, padahal aku tidak bisa menari.”

“Ya, kau memang aneh. Terimakasih sudah mengingatkanku.”

Sonna mendecak sebal.

“Yak! Orang yang kau bilang aneh ini adalah istri mu, Tuan.”

“Baiklah, kalau begitu aku berharap keanehanmu itu tidak menular. Ya, aku masih berniat hidup dengan normal dan bahagia.”

“Sialan kau!”

Luhan tertawa puas. Lelaki itu akhirnya bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan beberapa langkah meninggalkan Sonna, sebelum akhirnya ia berbalik sembari berkata.

“Kau tidak ingin berdansa denganku?”

“Hah?” Gadis itu meluruskan pandangannya menatap Luhan. “Lu, aku sudah mengatakan aku tidak bisa…”

“Kau tidak perlu khawatir, biarkan aku yang memimpin.” Lelaki itu memotong ucapan Sonna dan tanpa membuang waktu lagi, ia meraih tangan istrinya itu dan membawanya tepat ke tengah ballroom, tempat pesta resepsi pernikahan mereka diselenggarkan.

“Lu… jangan didepan orang banyak seperti ini.” Sonna mencicit panik.

“Tenang saja istriku.” Ia melingkarkan lengan Sonna disekitar lehernya, selanjutnya tangannya pun berpindah untuk melingkari pinggang ramping wanita yang baru saja ia nikahi itu.

“Kau pernah mendengar lagu Can I Have This Dance?”

Sonna hanya bisa menggeleng pelan. Matanya masih menjelajahi seluruh penjuru ruangan, tertangkap pula oleh pandangannya para tamu undangan yang menatap mereka berdua. Entah mengapa ia merasa agak malu, mungkin.

“Kau tahu, lagu itu menceritakan tentang seseorang yang ingin mengajak kekasihnya berdansa, tetapi orang itu tidak pandai menari. Kasusnya mirip denganmu.” Luhan menyentuh ujung hidung Sonna dengan lembut. Matannya mulai menelusuri setiap lekuk wajah istrinya itu yang kini hanya berjarak beberapa centi darinya. Perlahan namun pasti, ia mulai mengayungkan tubuh Sonna, membuatnya bergerak bersamanya, mengikuti alunan musik yang menenangkan.

Take my hand, take a breath

Pull me close and take one step

Keep your eyes locked on mine,

And let the music be your guide.

Now won't you promise me, that you’ll never forget

We will keep dancing wherever we go next

It's like catching lightning the chances of finding someone like you

It's one in a million, the chances of feeling the way we do

And with every step together, we just keep on getting better

So can I have this dance?

Can I have this dance?

 

“Jadi Nyonya Xi, Can I Have This Dance?”

Sonna menundukkan kepalanya karena tersipu malu. Ia akhirnya menjawab dengan sebuah senyuman yang merekah di bibirnya.

Yes…”

Genggam tanganku, tariklah nafas

Mendekatlah padaku dan setiap langkahmu

Akan aman bersamaku.

Janganlah kau takut, takut jika terjatuh

Kau tahu aku akan selalu ada untuk menangkapmu, dan melewati semuanya

Dan tiada yang bisa memisahkan kita, bahkan seratus ataupun seribu mil, takkan mampu melakukannya

Karena hatiku akan bersama mu dimana pun kau berada

Tiada gunung yang cukup tinggi atau samudera terlampau luas

Yang dapat memisahkan kita

Karena bersama atau tidak, dansa kita tidak akan terhenti

Biarkan badai menghadang

Karena apa yang kita miliki, patut diperjuangkan

Kau tahu aku percaya, bahwa takdirlah yang menyatukan kita

Jadi, bisakah kita berdansa?

 

Sekali lagi aksi kedua mempelai itu disambut dengan tepuk tangan meriah para hadirin. Sonna dan Luhan hanya bisa tersenyum canggung lalu sesekali membungkuk memberi hormat. Namun tiba-tiba saja segala kehebohan itu terhenti ketika sorakan seseorang terdengar.

“Ciuman! Ciuman!”

Sonna melotot sedangkan Luhan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya memaklumi ulah gila yang baru saja diperbuat Baekhyun. Sahabatnya itu memang agak diragukan kewarasannya. Tetapi entah mengapa kini semua tamu undangan pun mengikutinya dengan meneriakan kata ‘keramat’ tersebut. Seluruh gedung ballroom itu akhirnya dipenuhi dengan sorak-sorai kata : ciuman.

“Sepertinya kita harus menuruti kemauan mereka.” Ujar Luhan sembari menyenggol tubuh istrinya itu dengan jahil.

“Kau mencuri kesempatan ya?” Balas Sonna tajam.

“Tidak kok, aku hanya ingin mereka berhenti membuat keributan, dan bagaimana lagi kita bisa menghentikan mereka jika tidak seperti itu?”

“Oh, aku rasa aku bisa mati sekarang.” Desahnya.

“Kalau begitu beristirahatlah dengan tenang, tapi sebelumnya nikmati saja goodbye kiss dariku.” Ujar Luhan frontal sembari tersenyum jahil, dan ya, Sonna tidak dapat mengelak lagi saat lelaki itu menghapus jarak diantara mereka lalu membawanya melambung tinggi saat ia menyesap bibir gadis itu dengan lembut.

“Luhan… kau memabukkan…”

***

Jam sudah hampir menunjukkan pukul 10.00 malam. Ballroom megah yang tadinya begitu penuh dan ramai kini sudah mulai kosong. Tinggal beberapa orang tamu dan keluarga dari pihak kedua mempelai yang masih berbincang-bincang sembari menyesap sisa-sisa cairan champaigne di dalam gelasnya. Terlihat Sonna tengah duduk bersandar dengan manja pada eonni-nya, Shinna. Disebelahnya In Sung mengacak-acak gemas rambut adiknya itu hingga tatanan yang tadinya rapi kini tergerai di punggungnya.

Dari kejauhan Luhan tersenyum melihat keakraban ketiga saudara tersebut. Ia senang melihat ketiganya dapat saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain. Jiwa nya merasa sangat tentram melihat kasih yang terjalin diantara mereka. Andai saja ia dapat memperlakukan satu-satunya adik seperti itu juga. Ah, angannya telah melayang terlalu jauh. Ia tidak akan bisa mengembalikan hubungan harmonis dengan seseorang yang lebih muda darinya itu, dan semua kesenjangan hubungan mereka terjadi hanya karena seorang gadis. Ya, siapa lagi kalau bukan Song Yejin. Mungkin perkenalannya dengan gadis itu adalah kesalahan yang meninggalkan penyesalan terbesar dalam hidupnya. Ataukah ini semua terjadi karena tidak adanya istilah ‘saudara kandung’ diantara Luhan dan adiknya? Apakah karena ia hanya anak adopsi yang membuat mereka bisa dengan mudahnya bersikap dengan dingin dan membenci satu sama lain? Mungkinkah semua konflik ini terjadi karena hubungan mereka bukan atas dasar ikatan darah dan orangtua yang berbeda?

Luhan menolehkan kepalanya kearah pemuda yang sedari tadi hanya bisa menenggak minuman beralkohol itu sebanyak-banyaknya walaupun usia nya belum mencukupi. Luhan tahu jika ia seharusnya menegur adiknya itu, tapi apalah daya nya jika pemuda itu tidak pernah berniat untuk menuruti ucapan sang kakak.

Lelaki itu hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Kehidupan rumah tangganya belum dimulai, ia bahkan baru menikah beberapa jam yang lalu namun bertubi-tubi masalah sudah harus ia hadapi.

“Hei.” Kyuhyun, seorang sahabat Luhan yang juga menjadi pembawa acara pernikahannya ini duduk di hadapan lelaki tersebut.

Luhan menaikkan alisnya seraya menatap seseorang yang menjadi lawan bicaranya.

“Ada apa?”

“Justru aku yang ingin menanyakan hal itu padamu. Ada apa?”

“Maksudmu?”

“Ayolah Lu, jangan kau berpura-pura tidak tahu.”

Luhan mengerutkan keningnya, masih menatap pemuda tersebut.

“Ini tentang wanita itu… Yejin.”

“Bagus. Semua orang membicarakan dia hari ini.” Luhan berdecak kesal.

“Tentu saja Lu, karena ini menggemparkan. Kau tahu bukan bagaimana pernikahanmu akan terancam jika Sonna menyadari kau masih berhubungan dengan mantan kekasihmu. Terlebih lagi, bagaimana jika dia mengetahui alasan sebenarnya mengapa kau bersedia menikahinya!” Sembur Kyuhyun kelewat panik.

“Terimakasih sudah mendikte ku.” Pemuda itu berujar dengan malas. “Oh ya, dan satu lagi. Aku tidak berhubungan dengan wanita itu, mengakuinya sebagai seorang mantan saja aku tidak sudi.”

“Sungguhkah? Entah mengapa aku tidak bisa mempercayai hal itu. Kau tahu, dia menunggu mu sedari tadi. Di parkiran, tepat di depan mobilmu.”

“Siapa? Yejin? Kau bercanda!”

Kyuhyun menaikkan bahunya, berlagak tidak peduli.

“Terserah kau. Tapi saranku, kau menemuinya dan cepat selesaikan semua urusan kalian jika kau tidak mau mendengar orang-orang menggunjingkan singkatnya usia pernikahan kalian.”

Luhan mendengus kasar. Mengapa semua orang menyinggung mengenai usia pernikahan? Apakah mereka tidak percaya jika ia bisa menjaga istrinya dengan baik dan mempertahankan rumah tangga mereka?

Ia sempat menggebrak meja dengan kasar saat bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Kyuhyun begitu saja. Langkah panjangnya segera menghantarkan tubuh tersebut menuju lift. Ia menekan tombol ground floor tanpa ragu dan pada saat bersamaanlah lift tersebut mengurangi ketinggiannya. Luhan memijit pelipisnya dengan keras, tak peduli jika hal itu sebenarnya semakin menambah sakit di kepalanya. Tapi ia mengacuhkannya. Tanpa ia sadari, lift tersebut sudah berhenti melaju, pintu besinya pun bergerak membuka dan Luhan segera keluar dari bilik itu. Langkah kakinya cepat dan tegas, garis wajahnya terlihat sangat datar tetapi menyiratkan kekesalan yang mendalam. Ia masih berjalan memutari beberapa baris mobil hingga akhirnya tertangkap olehnya bayangan mobil sedan hitam dengan seorang gadis yang duduk diatas kap-nya.

“Oppa…”

Pemuda itu hanya bisa menatap gadis itu dengan tajam dan dalam. Diputuskannya untuk melirik keadaan sekitar sebelum bertindak lebih lanjut. Ia ingin memastikan di sekitarnya benar-benar kosong, tidak ada orang lain melihat hal ini dan menyebabkan berbagai gosip yang tidak masuk akal. Dengan kata lain, Luhan ingin mencegah pertemuannya dengan Yejin ini terdengar hingga ke telinga Sonna.

Setelah dirasa semuanya aman, ia membuka pintu mobil tersebut. Tentunya akan lebih aman jika pertemuan mereka berdua terhalang oleh gelapnya kaca mobil itu.

“Cepat masuk.” Ia berujar dengan singkat dan hal tersebut meninggalkan kesan dingin di telinga pendengarnya. Yejin tidak segera menuruti perintah Luhan. Ia menunggu pemuda itu masuk sepenuhnya, bagai tertelan kegelapan di dalam mobil. Tangannya bergerak ragu-ragu untuk membuka pintu disebelahnya. Perlahan pintu tersebut membuka dengan jarak yang kira-kira cukup untuk dirinya melewati celah itu. Sosok Luhan yang tak pernah melepaskan pandangan tajamnya menghujam gadis tersebut. Yejin tidak mengerti mengapa mendapat perlakuan seperti ini.

“Cepat masuk aku bilang.”

NNe…” Gadis itu akhirnya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Ia memasuki mobil tersebut dan duduk disamping Luhan dengan sangat canggung.

“Tutup pintunya.”

“B… Baik…” Suara gadis itu bergemetar. Entah mengapa ia menjadi sangat gugup dengan keadaan seperti ini, belum lagi sifat Luhan yang seakan bisa membunuhnya kapan saja.

“Cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan lalu keluar dari mobilku.” Sekali lagi perkataan dingin dan tanpa belas kasihan keluar dari mulut lelaki itu.

“Oppa… kau berubah…”

“Lalu? Apa pedulimu?!”

“Oppa, jangan seperti ini…”

“Aku menyuruhmu berbicara Song Yejin! Bukannya merengek seperti itu!”

Tampaknya kekesalan Luhan sudah sampai di ubun-ubun. Sungguh, selama hidupnya ia tidak pernah menyakiti seorang gadis, apalagi sampai membentaknya. Tetapi bagi Luhan, apa yang telah diperbuat Yejin padanya pantas diberi ganjaran seperti ini.

Sedangkan gadis itu hanya bisa mengepalkan tangannya yang bergemetar. Entah sejak kapan sudah air matanya mengalir dengan begitu lancar menuruni pipi putih mulusnya. Ia tidak bisa lagi mengenali pemuda yang dulu setia menggenggam tangannya. Ia tidak bisa lagi mengingat betapa hangatnya sifat Luhan padanya dulu. Semuanya sekarang telah tergantikan oleh sesosok ‘monster’ yang sangat kasar dan dingin. Kemana perginya Luhan yang dulu?

“Oppa…” Gadis itu mencoba sekali lagi. “Oppa, kau mabuk ya?”

“Keluar dari mobilku!” Bentak Luhan seraya menghentakan pintu mobil di sisi wanita tersebut. Celah lebar pun tercipta seketika seakan menariknya untuk keluar.

Namun tidak, gadis itu malah menarik lengan Luhan dan mendekapnya erat. Ia panik. Yejin tidak akan kuat jika ia harus kehilangan pria itu untuk yang kedua kalinya.

“Oppa… oppa… maafkan aku oppa… maafkan aku… tolong jangan pergi… dengarkan aku… sekali ini saja… oppa!”

"Lepaskan!” Luhan mencoba menyentakkan tangannya agar terlepas dari dekapan tubuh Yejin. Berkali-kali ia menarik dan menghentakkannya hingga tubuh gadis itu berguncang hebat dan mungkin saja hal itu sangat menyakitinya. Bayangkan bagaimana rasanya jika seseorang yang dulu pernah begitu mencintaimu, kini berlagak seakan kau hanyalah kotoran yang membuatnya sangat jijik. Hingga ia akan melakukan apapun agar terlepas darimu, bahkan menggunakan kekerasan.

“Oppaa! Aku minta maaf oppa! Tolong jangan seperti ini! Ini menyakitkan…”

Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki dan gema suara di sekitar tempat parkir mobil mereka. Luhan tersentak dan segera membungkam mulut Yejin yang masih mengeluarkan isakan histeris dengan tangannya yang kosong. Wanita itu nampak terkejut degan ulah Luhan, hal itu mengakibatkan lingkaran tangannya pada lengan lelaki tersebut sedikit mengedur. Pada saat bersamaan, Luhan membebaskan lengannya dan bergerak untuk menutup pintu sesegera mungkin sebelum orang-orang melihat mereka berdua. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya kearah Yejin, berusaha meraih pegangan pintu mobil. Yejin merasa jantungnya berdebar lebih kencang saat ia mendapati Luhan yang tengah menindih tubuhnya, walaupun lelaki itu hanya bermaksud untuk menutup pintu.

“BLAM!”

Pintu tertutup sempurna tepat sebelum orang-orang tersebut melintas didepan mobil mereka. Luhan mencoba mengontrol nafas serta detak jantungnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika mereka melihat dirinya dan Yejin dalam keadaan seperti ini. Tidak. Itu mengerikan.

Ia bangkit dari posisinya lalu kembali menduduki kursinya seperti semula.

“Aku beri kau satu kesempatan lagi untuk mengatakan segalanya. Tetapi setelah ini, aku minta kau untuk jangan pernah menemuiku lagi, ataupun menggangu kehidupan baruku. Apa kau tidak punya malu? Jika kau masih tahu diri, kau tidak akan memohon-mohon pada seseorang yang sudah menikah!”

Yejin menghela nafas sebelum akhirnya melontarkan segala isi hatinya.

“Asal kau tahu, wanita yang kau nikahi itu juga pernah melakukan hal serupa sepertiku. Sebelum memutuskan untuk menikahimu, ia pasti pernah memohon pada mantan kekasihnya untuk bertanggung jawab padanya. Ia pasti sudah mengulangi hal itu berkali-kali hingga ia tidak sanggup lagi, dan akhirnya memilihmu! Asal kau tahu Luhan, kau hanyalah pilihan terakhir baginya. Andai saja Sungmin bersedia menerimanya, kau tidak akan menjadi suaminya! Lalu mengapa kau memilihnya?! Mengapa kau meninggalkanku? Ia bahkan tidak menganggapmu apa-apa. Kau hanyalah orang yang ia gunakan untuk menutupi aib-nya. Lalu mengapa kau masih bertekuk lutut padanya?! Gadis itu… huh! Dia menjijikan. Ia bahkan sudah tidak perawan lagi. Bukan hanya itu, ia sedang hamil dan itu bukan bayimu. Dia hamil dengan pria lain! Lalu mengapa justru kau yang bertanggung jawab untuknya?!”

Nafasnya terengah-engah setelah mengutarakan untaian kalimat penuh amarah itu. Berkali-kali sudah Yejin menyapukan tangannya di sekitar pipinya untuk menghilangkan jejak air mata yang tidak henti-hentinya menyeruak keluar. Sakit. Hatinya terluka amat parah. Namun ia merasa cukup lega setelah berhasil meluapkan segala emosi di hatinya kepada seseorang yang ia cintai itu. Ia hanya berharap agar pikiran Luhan bisa sedikit lebih terbuka. Ia ingin lelaki itu menyadari bahwa keputusannya salah, bahwa jalan yang ia tempuh ini bukanlah yang terbaik.

Dan ia masih mengharapkan lelaki itu untuk kembali menjalani hari-hari bersamanya.

“Kau sudah selesai bicara?” Tanya Luhan setelah mendiamkan gadis itu sekian lama. Yejin menolehkan kepala untuk menatap sosok yang duduk di sebelahnya. Walaupun pergerakan tersebut membuat hatinya sangat sakit. Ia benci melihat seseorang yang menguasai hatinya itu telah menjadi milik wanita lain.

“Jika aku mengatakan iya, apakah kau akan mengusirku keluar dari mobilmu saat ini juga?” Gadis itu balas bertanya dengan sarkastis.

“Tidak.”

Yejin menatap lelaki itu bingung. Pandangan matanya pun dibalas oleh Luhan.

“Aku juga ingin mengatakan beberapa hal padamu.”

“Pertama, kau perlu menjaga mulutmu, nona. Karena seburuk-buruknya wanita yang aku nikahi, tapi kau adalah mimpi buruk setiap lelaki di muka bumi ini.” Luhan melanjutkan perkataannya.

“M… maksudmu?”

“Kau sebenarnya telah mengatai dirimu sendiri dengan segala luapan emosi mu pada istriku.”

“Apa? Aku tidak pernah melakukan hal itu! Aku tentu saja berbeda dengannya!”

“Apa yang bisa membedakanmu dengannya? Kau sama buruknya, bahkan lebih dari itu!”

Yejin menggigit bibirnya keras. Keterlaluan. Bagaimana mungkin Luhan menganggapnya seperti itu.

“Hmmm… ayo bicara Nona Song. Apa yang membedakanmu darinya? Ah, aku tahu. Kau tidak bisa menjawab bukan?”

“Aku mencintaimu Xi Luhan!” Wanita itu tidak kuat lagi menahan gejolak membara di hatinya. Luhan juga sebenarnya, cukup terperangah mendengar pengakuan itu. Namun dengan susah payah ia menjaga wajahnya agar tetap datar, seakan tidak tergugah sedikit pun.

“Aku mencintaimu… Aku telah memberikan hatiku padamu. Kau adalah satu-satunya lelaki yang kucintai dalam hidupku. Aku selalu menjadikanmu yang pertama. Aku selalu bersedia menikah denganmu, menyerahkan diriku sepenuhnya untukmu. Aku tidak pernah menjadikanmu yang terakhir, pilihan sisa, sebagaimana kau diperlakukan wanita itu. Tapi apa yang aku dapat? Kau malah dengan teganya meninggalkan aku dan memilih menikah dengan wanita yang tengah mengandung anak haram seperti itu?! Ada apa denganmu Luhan? Kau gila?!”

“Bohong…”

Yejin tersentak. Ya Tuhan, perkataan menyakitkan apa lagi yang akan dihujamkan lelaki itu padanya?

“Itu semua bohong Song Yejin. Kau tidak pernah mencintaiku. Karena jika begitu, kau tidak akan mengkhianatiku. Kau tidak akan menyerahkan dirimu begitu saja kepada lelaki lain. Jika kau memang mencintaiku, kau akan menjaga dirimu untukku hingga aku siap menikahimu. Asal kau tahu, selama ini, aku tidak pernah sedikit pun menyentuhmu, bukan karena aku tidak tertarik padamu. Tetapi aku ingin menjaga harta terbesarmu, kesucian. Tapi tampaknya segala pengorbananku tidak pernah berarti untukmu. Kau fikir itu tidak menyakitkan? Mengetahui kekasihku sendiri… tunanganku malah, ditiduri pria lain.” Luhan terdiam sejenak, berusaha mengontrol emosinya.

“Aku harap kau mengerti bagaimana perasaanku. Aku tidak pernah menyangka jika kita harus berpisah dengan cara seperti ini, tapi inilah yang dinamakan takdir.” Ia menghela nafas sekali lagi, dalam-dalam. “Urusan kita sudah selesai Song Yejin. Keluar dari mobilku.”

"Hiks… oppa… oppa kau salah mengerti… tolong dengarkan aku sekali lagi, hanya kali ini saja. Aku akan menjelaskan semuanya!” Wanita itu masih memohon sembari terisak dengan hati tersayat.

“Cukup!” Luhan membuka pintu mobil lalu keluar dari benda tersebut dan melingkarinya hingga sampai di sisi tempat Yejin berada. Ia membuka pintu tersebut, meraih lengan wanita itu dan menyetakkannya dengan kasar.

“Keluar sekarang dan jangan pernah menemuiku lagi!”

“Oppaa! Aku mohon oppa!” Yejin berlari mengejar Luhan namun sayang ia kalah cepat. Pemuda itu sudah memasuki lift dan benda itu melesat naik ke lantai teratas, meninggalkan semua kenangan pahit dibaliknya.

Dan saat itulah Yejin menyadari bahwa memperjuangkan cintanya itu tidaklah berguna lagi.

***

“Dimana Sonna?” Lelaki yang baru saja memasuki ballroom itu kebingungan saat mendapati bahwa ruangan tersebut telah kosong. Tinggal kedua orangtuanya dan keluarga Sonna yang masih membereskan beberapa hal disana.

“Ah, nak Luhan. Kau darimana saja?” Ibu Sonna menatap pemuda yang telah resmi menjadi menantunya itu.

“Oh… ehmm… aku… aku tadi…” Luhan menggigit kecil bibirnya sendiri, bingung harus menjawab apa. Jujur saja, ia tidak pandai berbohong dan jika ia mengatakan kebenarannya, itu sama saja dengan bunuh diri.

“Ah, sudahlah. Kau tampak sangat kelelahan. Sonna sudah tertidur di kamar ganti pengantin. Oh iya, bisakah kau membangunkan dia nanti? Para staff sudah menyiapkan kamar kalian.”

Luhan hanya bisa mengangguk kaku.

“Tentu… tentu saja, eommonim…”

“Baiklah, kalau begitu eomma duluan ya.” Wanita paruh baya itu berujar sembari menepuk pundak Luhan dengan lembut. Lelaki itu menghela nafas berat. Hal yang baru saja terjadi diantara dirinya dan sang mantan kekasih masih sangat mengusik pikirannya. Untuk beberapa saat, ia membiarkan langkahnya mengayun tanpa tujuan yang jelas hingga ia sampai didepan sebuah koridor. Didepannya kini terdapat sebuah pintu. Tulisan ‘Kamar Ganti’ terpampang dengan jelas disana.  Namun Luhan tidak melakukan pergerakan untuk membuka pintu tersebut. Tubuhnya justru merosot lemas seakan tak bertulang. Ia hanya bisa terduduk di lantai, membelakangi pintu. Beberapa kali ia menghentakkan kepalanya pada pintu yang terbuat dari besi tersebut, seakan hal itu bisa membuatnya melupakan segala memori pahit dalam hidupnya. Jika ia bisa, ia sungguh ingin menguras segala ingatannya akan wanita itu, Song Yejin agar ia tidak perlu lagi terjebak dalam sakitnya pengkhianatan cinta. Namun sayang, tak semudah itu melakukan hal tersebut dan… ah. Apa yang sedang ia pikirkan saat ini? Bodoh, bisa-bisanya hal seperti itu terlintas dalam otaknya. Tampaknya ia sudah melupakan bahwa ia baru saja melangsungkan pernikahan. Xi Luhan sudah menjadi suami resmi dari Hwang Sonna. Kini, ia harus bertanggung jawab pada seseorang di dalam hidupnya. Ada berbagai tugas berat yang harus siap ia emban sebagai seorang suami. Jadi, masih pantaskah ia berpikiran sempit seperti tadi? Apakah masih semestinya ia memikirkan seseorang yang bahkan tidak akan mampu ia gapai kembali? Tidak. Sudah seharusnya ia berfikiran lurus kedepan dan membangun masa depan yang baik bagi keluarga kecilnya kelak.

Ataukah… lelaki itu mulai menyesali segala keputusannya untuk menikahi Sonna?

To Be Continued

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
CardGames #1
Chapter 5: I can't wait for the update.