Chapter 2 - I Can Go Through This

Dear Diary

Entah mengapa, In Sung tidak bisa melepas pandangannya dari Luhan. Lelaki itu tengah duduk di ruang keluarga, bersama ayah Sonna membicarakan berbagai hal. Bagi In Sung, calon suami adiknya itu tidaklah buruk, khususnya dari hal penampilan. Tubuhnya cukup tinggi walaupun tak setinggi dirinya, wajahnya juga terlihat ramah dan tentunya tampan. Ia harus mengakui hal itu. Namun entahlah, ia masih meragukan calon adik iparnya tersebut. Hal yang paling membebani pikirannya adalah alasan mengapa Luhan mau menikahi Sonna dan bertanggung jawab atas bayinya? Apakah ayah mereka dengan mati-matian memaksa pemuda itu untuk bertanggung jawab atas putrinya, ataukah Luhan memang tulus mencintai Sonna? In Sung hanya bisa menerka-nerka, ia hanya berharap bahwa Luhan tidak mempunyai niatan jahat atau hanya ingin mempermainkan adiknya itu.

Tatapan matanya itu masih setia memandangi objek tersebut hingga akhirnya sebuah suara memecahkan lamunannya.

“Nana-yah, sepertinya calon suamimu akan direbut In Sung, lihatlah betapa terpesonanya ia menatap Luhan.”

In Sung mendelik tajam pada Shinna.

“Kau kira aku ini gay apa?”

“Hehe…” Shinna terkekeh. “Habisnya kau serius sekali memerhatikan dia. Oh ya, Nana. Makan dulu, baru minum susunya lagi, kau juga harus makan lho untuk memenuhi kebutuhan nutrisi baby-mu.”Ia memberikan nampan berisi bubur pada adiknya itu. Nana meletakkan susu khusus ibu hamilnya di nakas lalu mengambil bubur tersebut dari tangan Shinna, ia mencoba makan sebanyak yang ia bisa walau tidak memiliki selera makan. Tubuhnya yang sempat terkulai lemas di ranjang rumah sakit itu belumlah sembuh sepenuhnya, namun fakta bahwa ia sedang hamil membuat ia harus berusaha untuk memulihkan kondisinya. Terlebih setelah melewati pengalaman pahit dimana ia nyaris kehilangan bayinya itu, Sonna merasa sangat bersalah dan menjadi lebih protektif terhadapnya, ia tidak mau lagi menyelakakan janinnya lagi. Apalagi tampaknya ayah dan ibunya mulai bisa menerima kehadiran calon buah hatinya itu. Ia baru saja menghabiskan separuh bagian dari buburnya itu saat ayah memasuki kamar tidurnya diikuti oleh Luhan. Ia melirik calon suaminya itu dengan ekor matanya, memerhatikan setiap lekukan wajahnya yang memang cukup tampan itu.

Appa ingin berbicara denganmu.” Ujar ayahnya.

“Baiklah.” Sonna mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.

“Ini tentang pernikahanmu, Nana-ya…”

Sonna menangguk. Ia sebenarnya sudah menduga jika hal ini akan terjadi, In Sung-oppa dan Shinna-eonni lah yang pertama kali memberitahukannya mengenai rencana perjodohan dirinya dengan seorang temannya saat masih kecil. Walau pun begitu, ia tidak menyangka bahwa Luhan yang akan membina rumah tangga bersamanya. Awalnya ia kira bahwa appa akan menjodohkannya dengan Kyungsoo, anak dari teman eomma yang juga sering menghabiskan waktu bersamanya dulu, ia sebenarnya lebih akrab dengan Kyungsoo daripada Luhan, hal itu disebabkan oleh kepindahan Luhan ke Cina saat kenaikan kelas 5 SD, ia tidak pernah lagi bertemu dengannya setelah itu. Jujur saja, berhadapan langsung dengan pemuda tersebut pada hari ini terasa cukup canggung. Terlebih lagi, ini bukan sekedar pertemuan. Appa sedang memperkenalkan Luhan padanya, sebagai seorang calon suami.

“Kau masih mengingatnya?” Appa menunjuk Luhan.

Gadis itu mengangguk. Perpisahan selama beberapa tahun itu tidaklah cukup untuk membasuh semua memori akan sahabatnya itu.

“Tentu saja, aku masih mengingatnya.”

“Dan sepertinya kau juga sudah tahu mengenai kedatangannya kemari.” Appa kembali bertanya.

“Iya.” Sonna berujar dengan pelan. “Jadi… kapan acaranya akan dilaksanakan.”

“Segera, nak. eonni-mu sudah mengurus segala persiapannya. Untuk sekarang, kau hanya perlu beristirahat dan memulihkan kondisimu.”

“Ne, appa…” Gadis itu hanya bisa menurut sekarang, walaupun sebenarnya perasaannya tengah campur aduk. Apa yang telah dilakukan oleh ayahnya itu sebenarnya adalah bentuk pemaksaan. Ia dijodohkan dengan sahabat masa kecilnya, diharuskan menikah dengannya, tanpa persetujuannya sendiri. Mungkin istilahnya adalah ‘kawin paksa’? Ini memang tidak adil. Ia tidak pernah bisa membayangkan hal itu akan terjadi padanya, tetapi pada akhirnya semua terjadi karena kesalahannya sendiri. Kedua orangtua Sonna pastinya tidak tega melihat anaknya menganggung malu karena hamil tanpa ikatan pernikahan. Beruntung sekali Shinna bertemu Luhan yang saat itu turun tangan langsung mengurus salah salah satu cabang perusahaan ayahnya di Amerika. Mereka akhirnya berbincang-bincang dan sampailah topik mengenai kehamilan Sonna di telinga Luhan. Pemuda itu pada awalnya juga sempat kaget dan prihatin dengan nasib sahabat kecilnya itu. Siapa pria jahat yang begitu tega meninggalkan Sonna saat ia tengah mengandung darah dagingnya. Luhan tak habis pikir bagaimana gadis kecil yang pernah ia kenal itu bisa melalui semua cobaan ini. Dalam fikiran Luhan sendiri, jika ia yang harus mengalami apa yang telah dihadapi Sonna maka ia mungkin tidak akan mampu menjalaninya. Ia harus mempertahankan bayi dalam kandungannya itu sendirian, menjaganya, membesarkannya, belum lagi tekanan karena malu jika perbuatan hinanya diketahui masyarakat luas, bagaimana ia akan dihujami berbagai cibiran ataupun gunjingan karena memiliki anak diluar nikah. Besar kemungkinan ia akan mengakhiri hidupnya dengan sebuah tali yang melingkar di lehernya. Luhan bergidik. Kasihan sekali Sonna, ia pasti menderita selama ini. Akhirnya Shinna mengungkit mengenai persoalan bahwa kedua orangtua Sonna akan menjodohkannya dengan seorang sahabat saat kecilnya dulu. Calon kuatnya adalah Kyungsoo, namun pertemuan Shinna dengan Luhan seakan mengubah takdir yang terukir di garis tangan Sonna dan dirinya. Oleh karena itulah keduanya dapat duduk berhadapan di ruangan yang sama pada hari ini, walaupun suasana canggung masih menyelimuti. Appa, Shinna dan In Sung telah meninggalkan ruangan tersebut beberapa saat yang lalu dengan alasan masing-masing. Tetapi Sonna tahu bahwa alasan-alasan tersebut hanyalah omong kosong, mereka pasti sengaja meninggalkannya berdua dengan Luhan seperti ini. Sebenarnya hal itu tidaklah apa-apa, bukan masalah besar, hanya saja kecanggungan ini membuatnya risih. Ia melirik Luhan, lelaki itu tengah memandang keluar dari jendela kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak berbeda jauh dengan Sonna sendiri yang hanya bisa menunduk, di tangannya masih terdapat semangkuk bubur yang tidak dapat ia habiskan. Ia sudah tidak berselera lagi untuk memakannya, kemudian tangannya pun bergerak untuk meletakkan bubur tersebut di atas nakas.

“Kau tidak menghabiskannya?”

Ia menoleh kepada pemuda tersebut yang juga tengah membalas tatapan mata Sonna dengan raut yang mencerminkan kekhawatiran.

“Apakah aku membuatku tidak nyaman?”

“Ah, tidak kok. Aku hanya tidak ada selera makan.” Sonna menyangkal ucapan Luhan dengan cepat walaupun sebenarnya lelaki itu tidak salah, ia memang merasa agak risih dengan keberadaan Luhan disini tetapi Sonna tahu bahwa hal itu hanyalah karena kecangunggan satu sama lain.

“Oh maaf, aku hanya khawatir… tapi Sonna-ssi, kau harus makan agar kesehatanmu cepat pulih.”

“Sonna-ssi?” Gadis itu mengulangi kata-kata Luhan yang sungguh terdengar formal itu.

“Ehm… iya, eh maaf… aku bingung harus memanggilmu apa…”

“Dulu kau selalu memangil dengan nama kecilku,’Nana’?”

Luhan mengangguk.

“Kau benar, aku ingat itu tetapi sekarang kita berdua sudah dewasa dan…. Ah! Aku terlalu canggung berhadapan denganmu. Aneh ya, padahal dulu kita selalu bermain bersama tanpa tahu malu.”

“Kau memang aneh Luhan-ah, eh salah… maksudku Lu, dulu aku terbiasa memanggilmu seperti itu bukan?”

“Tepat sekali dan sekarang aku rasa tidak ada lagi alasan bagi kita untuk saling merasa canggung seperti tadi bukan?”

“Ya, aku harap begitu.”

Lelaki itu mengambil mangkuk bubur dari nakas yang berada di sampingnya.

“Kalau begitu makanlah agar kau cepat sembuh. Memangnya kau betah berbaring seperti ini selama berhari-hari? Aku mengenalmu sebagai anak yang ‘hiperaktif’, kau tahu itu Nana…”

“Hiperaktif? Yak, kau kira aku menderita penyakit kelainan seperti itu?”

Luhan terkekeh.

“Oke oke, Nana-ku yang kalem… makan dulu ya. Buka mulutnya, aaaa~”

Sonna membulatkan matanya saat Luhan mendekatkan sendok yang penuh terisi dengan bubur ke mulutnya, berniat menyuapi gadis itu.

“Kau ini, memperlakukanku seperti anak kecil…” Gerutunya namun akhirnya ia membuka mulutnya sedikit, membiarkan bubur itu tertelan olehnya. Luhan tersenyum karena berhasil membuat sahabat kecilnya itu mengisi perutnya. Ia tahu Sonna memiliki penyakit pada dinding lambungnya yang membuat ia tidak boleh terlambat makan, dan walaupun sudah makan beberapa suap bubur, Luhan tahu bahwa itu tidaklah cukup untuk menahan gesekan antar otot lambungnya yang dapat membuat Sonna merasakan perih. Gadis itu harus berhati-hati sekarang, karena kehamilannya, ia tidak dapat lagi sembarang mengonsumsi obat pereda sakit lambung jika tidak mau hal itu berpengaruh negatif pada janinnya. Luhan tidak bisa membayangkan bagaimana bayi mungil yang tengah Sonna kandung itu berhasil bertahan walau ibunya pernah tidak menginginkan kehadirannya. Selama lima bulan di awal kehamilannya, gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa ia tengah mengandung dan setiap ia merasa mual, ia selalu mengonsumsi obat maag. Belum lagi ketika ia mendapat tekanan dari orang-orang terdekatnya yang memaksanya untuk menggugurkan kandungannya, ia sungguh-sungguh telah meminum cairan untuk mengaborsi janin itu. Jika saja tim dokter tidak segera bertindak, mungkin tidak hanya bayinya namun juga Sonna akan kehilangan nyawa. Luhan kembali bergidik saat membayangkan segala hal yang telah dilalui calon istrinya itu. Syukurlah ia dan bayinya selamat, serta keluarganya juga telah menerima anak hasil hubungan gelapnya dengan sang kekasih. Walau bagaimanapun, jauh di dalam lubuk hatinya, entah mengapa Luhan agak menyesali hal tersebut, bahwa gadis yang akan ia nikahi sudah diangkat kesuciannya. Namun tanpa semua itu, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan Sonna. Tanpa semua itu, Luhan tidak akan pernah tahu bahwa ia berjodoh dengan gadis tersebut.

Lagipula, hal serupa pun juga terjadi pada mantan kekasihnya. Namun berbeda dengan Sonna, gadis itu sengaja memanfaatkan perasaan Luhan dan mempermainkannya. Ah sudahlah, itu hanyalah masa lalu yang tidak perlu diungkit kembali. Terlebih jika kejadian tersebut tidak terjadi, maka Luhan tidak akan pernah pergi ke Amerika dan bertemu dengan Shinna yang memintanya untuk menikahi adiknya itu.

Mungkin inikah yang dinamakan takdir?

“Lu, kau melamun?” Sonna memecahkan keheningan yang kembali tercipta diantara mereka, sekaligus mengembalikan Luhan kepada alam sadarnya.

“Ehm, ya… aku sedang berpikir.” Lelaki itu menggantungkan ucapannya.

“Memikirkan apa?”

“Makanlah dulu.” Ia kembali mendekatkan sendok berisi bubur tersebut. Gadis itu menurut namun tidak melepas pandangan matanya dari wajah Luhan, memaksa pemuda itu untuk melanjutkan perkataannya.

“Aku pikir kau wanita yang hebat juga, sangat… tangguh… mungkin begitu istilahnya.”

Sonna menelan buburnya dengan susah payah agar dapat membalas ucapan Luhan.

“Mengapa kau berfikir demikian?”

Luhan menatap dalam gadis yang akan menjadi calon istrinya itu.

“Bagaiamana kau melakukannya? Bagaimana kau bisa tetap kuat melalui semua cobaan ini?”

“Aku tidak selalu ‘kuat’.” Sonna membenarkan. “Aku bahkan tidak pantas disebut hebat. Apanya yang hebat dari seorang ibu yang pernah berpikir untuk membunuh anaknya? Itu hal paling keji yang pernah dilakukan seorang manusia! Itu sangat keji dan kejam hingga aku merasa jika aku bahkan tak pantas disebut manusia… bahkan seekor binatang pun tak akan tega melakukan hal seperti itu terhadap keturunannya.”

“Tapi kau tidak sepenuhnya salah. Kau terlalu stress saat itu, kau harus menahan beban yang yang sangat berat. Terlebih lagi, ayahmu lah yang memaksamu untuk melakukannya. Aku yakin jika bukan karena kau merasa begitu bersalah pada keluargamu, pasti tidak akan pernah terlintas dalam pikiranmu untuk menggungurkan darah dagingmu sendiri.” Luhan memegang kedua bahu Sonna, memberinya kekuatan untuk tetap menahan air mata itu tidak jatuh menuruni pipinya.

“Menurutmu begitu? Ah, apa sih yang kau ketahui tentang diriku, Lu?”

“Tidak banyak. Tapi aku ingin mengetahuinya, karena kau adalah wanita yang ku nikahi.”

“Tapi Lu… kau sungguh tidak apa-apa jika menikah denganku? Maksudku, aku bukanlah seorang ‘gadis’ lagi. Aku sudah kotor, sering pergi ke club malam, mabuk-mabukkan dan tidur dengan pria yang sudah ber-istri. Aku juga sedang hamil, Lu… Kau sungguh bisa menerimaku maupun anak ini?”

“Sonna-yah, lupakanlah hal itu. Aku sudah bersedia menikahimu, bertanggung jawab atasmu dan anak ini. Aku bahkan sudah berjanji pada ayahmu dan aku tidak berniat untuk melanggarnya.”

“Tetapi bagaimana bisa, Lu? Kita menikah karena dijodohkan orangtua. Tidak akan ada cinta dalam rumah tangga yang kita bina. Kau yakin kau siap melakukan ini? Kau yakin kau tidak hanya kasihan padaku saat melihatku berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit?”

“Ssstt, Nana-yah. Dengarkan aku.” Ia membungkan mulut gadis itu dengan jari telunjuknya. “Mungkin untuk saat ini aku tidak mencintaimu, maksudku, belum mencintaimu. Tetapi cinta itu perkara mudah. Seiring waktu yang kita habiskan dan jalan yang kita lalui bersama, cinta itu akan hadir. Percayalah Nana. Aku akan bertanggung jawab untukmu dan selalu menjagamu, karena aku menyayangimu, seperti adikku sendiri.”

Sonna hanya bisa terdiam. Menatap mata indah Luhan yang kecoklatan, mencari cela kebohongan disana. Namun ia tidak melihat apa-apa. Kata-katanya tulus, ia mengatakan hal yang sejujurnya.

“Hwang Sonna, minggu depan aku akan mengucapkan janji suci dengan kau berdiri di sisiku. Kita akan menikah dan aku sangat serius mengenai hal ini. Tidak akan ada istilah ‘kawin kontrak’ dalam pernikahan kita. Aku akan menikahimu dengan sungguh-sungguh hingga yang Maha Esa memisahkan.”

Entah mengapa, tetapi Sonna merasa beban di pundaknya terangkat sempurna saat menatap mata Luhan dan pandangannya yang meneduhkan hati itu. Dan ia tidak yakin, mungkin saja ia tengah bermimpi sekarang namun Luhan mempersempit jarak diantara mereka. Mendekatkan tubuhnya pada tubuh Sonna, wajahnya berhadapan dengan miliknya hingga hembusan nafasnya dapat menyapu pipinya. Tubuh gadis itu meremang. Apa yang akan dilakukan lelaki itu padanya? Mereka memang akan menikah tetapi Luhan tidak akan melakukan hal yang bersifat ‘intim’ itu secepat ini kan?

“Ada bubur di tersisa di bibirmu.” Ujarnya pada akhirnya.

Crap. Jadi itu. Hanya bubur. Sialan, dikiranya Luhan hendak melakukan sesuatu yang lebih berarti…

“Halah, akui saja itu hanya alasanmu saja untuk menyentuh bibirku.” Cibir Sonna.

“Oh, jadi kau tidak percaya.” Luhan menunjukkan bekas bubur yang ia bersihkan saat jarinya menyapu bibir Sonna. Ternyata itu benar, ia hanya membersihkannya. Ukh! Apa sih yang dipirkan gadis itu?!

“Wah, mesra sekali calon pengantin kita ini.” Suara Shinna memenuhi ruangan itu. Ia datang bersama eomma yang membawa sebuah handuk.

“Nana-yah, mandi dulu ya. Biar eomma bantu.” Ujar wanita paruh baya itu sembari membantu tubuh putrinya yang masih lemah itu untuk berdiri. “Kau merasa pusing?”

“Sedikit, mungkin nanti akan terbiasa, aku hanya terlalu lama berbaring.” Sonna menjawab.

“Mungkin sebaiknya aku pamit dulu, eommo-nim.” Luhan meminta izin.

“Oh, nak Luhan. Kau tidak ingin ikut makan malam dengan kami?”

Luhan menggeleng.

“Maafkan saya eommo-nim, saya masih ada urusan. Mungkin lain kali.”

“Baiklah, kau benar. Kita masih akan bertemu dilain waktu bukan. Sekaligus ajak kedua orangtuamu. Nana pasti ingin bertemu calon mertuanya.” Ujar ibu Sonna. Shinna-eonni yang mendengar hal tersebut menyenggol pelan lengan Sonna, bermaksud menggodanya mengenai pertemuannya dengan sang ‘mertua’.

“Tentu, eommo-nim. Kalau begitu, aku permisi dulu.” Ujarnya sembari membungkukan badannya.

“Sini kuantarkan Mr. Groom menuju pintu depan.” Shinna menawarkan diri. Luhan berjalan melewatinya namun sebelum itu, ia masih sempat membisikan sesuatu di telinga calon istrinya.

“Sebenarnya yang tadi itu aku sengaja melakukannya.”

Sonna melotot dan segera mengadap kearah Luhan namun lelaki itu sudah terlanjur berjalan menjauhi dirinya. Ia masih menatap punggung calon suaminya yang mulai tersapu jarak.

Begitulah semuanya berawal, dimana Sonna dipertemukan dengan Luhan, sahabatnya saat kecil yang ternyata ditakdirkan untuk berjodoh dengannya.

-To Be Continued-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
CardGames #1
Chapter 5: I can't wait for the update.