03 Our Meeting

Arranged Life
Please Subscribe to read the full chapter

Hari sudah semakin sore ketika Yoon Ae memasuki Paviliun Gyonghoeru. Paviliun itu kosong. Yoon Ae yakin artefak-artefak di paviliun ini masih sama seperti dulu. Sebagai harta nasional, paviliun ini tidak boleh dimasuki sembarang orang. Pengunjung yang mau kesini harus mendapat izin terlebih dahulu dari KTO itupun tak boleh sampai memasuki ruangan di dalamnya.

“Tempat ini bagus untuk persembunyian.” Gumam Yoon Ae.

Yoon Ae memandang ke kolam bunga teratai dari atas. Dia sudah sering melihat banyak teratai di kolam-kolam kerajaan, namun kali ini ia merasa sedih melihat bunga-bunga mekar itu. Ia teringat nasehat dari ibunya.

“Yoon Ae, apa kau tahu filosofi dari bunga teratai? Mereka hidup di air yang tenang dan berlumpur dimana banyak serangga dan sumber penyakit. Bahkan daun mereka biasanya menjadi loncatan katak. Orang akan berfikir teratai sebagi bunga yang kotor. Akan tetapi, mereka tetap mekar dengan menawan dan bertahan hidup. Mereka hidup penuh keindahan dan kebersihan tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya yang kotor. Betapapun kotornya tempat dia hidup, tapi keindahannya tetap terjaga dengan baik bahkan menambah keindahan pula bagi lingkungan di sekitarnya. Begitu juga denganmu, kau memiliki hasrat dan keinginan untuk mencapai tujuan lain, dan kau hidup di lingkungan yang keras dan kadang penuh cara kotor. Tetapi, pahamilah Yoon Ae. Hasrat dan keinginanmu harus  kau jalani dengan kebaikan, sehingga pada akhirnya akan memberikan suatu keindahan bagi semuanya.”

Yoon Ae paham, apapun keinginannya untuk kebebasan dirinya sendiri tidak akan pernah tercapai. Tidak akan pernah. Kebaikan yang ibunya jelaskan dalam nasehat itu adalah untuk “patuh dan mengutamakan kerajaan” dalam semua hal. Namun ia berharap, bahwa suatu saat nanti ia akan benar-benar datang masanya dia akan bahagia karena ia melakukan ini semua dengan tulus.

Tunggu dulu. Tulus? Ia tak yakin. Ia tak berani menentang percakapan ayahnya tadi pagi bukan karena ia mau melakukan keputusan presiden. Tetapi, karena ia tak mau melihat ayahnya lebih sedih lagi. Lantas sekarang bagaimana? Yoon Ae berbalik dan menuju sudut paviliun. Ditenggelamkan kepalanya sendiri diantara kedua lututnya. Ia menangis lagi. Yoon Ae menuruti semua perintah dari dulu sambil berharap setidaknya mereka tak mengatur perasaannya kelak. Tapi, ia salah. Ia bahkan tak menyangka akan secepat ini. Ia terisak dibalik bayang-bayang pilar.

“Harta Nasional nomor 224. Bertiangkan 48 tonggak granit.”

Yoon Ae mendongak saat mendengar gumaman seorang namja dari luar paviliun. Ia menajamkan telinganya untuk meyakinkan bahwa yang ia tidak salah dengar bahwa ada seseorang mendekati paviliun terlarang bagi umum ini. Yoon Ae mengintip dari balik lemari dimana ia berjongkok dan tercekat. Yoon Ae menutup mulutnya dengan kedua tangan menahan pekikannya keluar ketika namja itu sudah ada di dalam paviliun. Yoon Ae berdiri, berusaha untuk tak jatuh karena kakinya bergetar hebat. Yoon Ae tak pernah hanya berduaan dengan orang asing sepanjang hidupnya, meskipun namja itu belum atau tidak tahu jika ada nyawa lain di belakangnya.

Dari penilaian Yoon Ae yang tertutup bayangan pilar, namja itu perawakannya tidak terlalu tinggi, mengenakan kaus warna biru tua dan celana jeans. Jaket merah ia lingkarkan di pinggangnya plus memakai sneaker merah. Ia mengetukkan jarinya dan berulangkali bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mau apa dia? Apa dia sedang memutuskan untuk mencuri atau tidak? atau apa? Kenapa dia bisa masuk sembarangan kesini?, pikir Yoon Ae dengan posisi yang siaga. Yang jelas ia bukan orang baik, pasti! Yoon Ae berkesimpulan. Dikumpulkan keberaniannya dan mengendap-endap bersembunyi dalam bayangan kemudian melemparkan sepatu sebelah kanannya tepat ketika namja itu berteriak bersamaan dengan dirinya.

“ANDWAE!!!"

Sepatu itu tepat mengenai tengkuk si namja yang langsung berbalik badan dan menyapukan pandangannya ke segala arah. Yoon Ae masih tak bisa melihat wajah namja itu dengan jelas karena sosok itu membelakangi caaya matahari.

“Kau siapa?!” teriak Yoon Ae saat namja itu memungut sepatunya. Ia lupa dengan bahasa formal yang seharusnya ia gunakan saat bertemu orang asing. Tapi, Yoon Ae kan tidak pernah bertemu orang asing. Hidupnya ia habiskan dengan orang-orang yang itu-itu saja.

“Tolong jawab aku? Siapa kau?!” Yoon Ae kembali bertanya ketika namja itu tak menjawab. Tangannya mengepal, bersiap apabila namja itu tiba-tiba menerjangnya. Yoon Ae mundur selangkah ketika namja itu berdiri dan berteriak padanya.

“Kau sendiri siapa? Kenapa kau sembarangan masuk kesini?! Ini bukan tempat umum!”

Yoon Ae membeku.

***

Daejojeon – Kediaman Putri Mahkota.

Dayang Choi sedang membantu Yoon Ae mengobati lecet di telapak kakinya. Yoon Ae meringis menahan sakit setiap kali Dayang Choi mengoleskan salep ke luka-luka di telapak kakinya yang berdarah. Dia berbohong pada Dayang Choi dengan apa yang ia alami hari ini. Yoon Ae tak mau Dayang Choi melaporkan hal itu pada kedua orang tuanya. Bisa-bisa ia tak akan pernah mendapatkan hadiah “bebas sehari” lagi.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Yang Mulia?” Dayang Choi masih saja menuntut jawaban dari Yoon Ae.

“Seperti yang tadi ku bilang. Aku terpeleset ke kolam teratai Huwon…” Yoon Ae berbohong. “Sepatuku tercebur ke dalam kolam, jadilah aku berjalan tanpa alas kaki ke Daejojeon.” Yoon Ae mengamati mimik wajah Dayang Choi yang masih berjongkok di depannya. Apakah dayangnya percaya?

“Kalau hanya jalan kaki tak mungkin sampai terluka seperti ini, Yang Mulia.” Dayang Choi menatap Yoon Ae intens dan Yoon Ae hanya menganggukkan kepalanya.

“Lain kali aku akan berhati-hati, Choi-nim. Aku janji.” Yoon Ae mengangkat tangan kanannya, bersumpah. Dayang Choi menyerah untuk bertanya lebih lanjut. Ia berdiri setelah membereskan peralatan P3K.

“Apa yang ingin Anda makan untuk makan malam, Yang Mulia?” tanyanya.                        

“Hem. Aku lelah sekali hari ini. Aku ingin beristirahat saja dan…” Yoon Ae mencari kata-kata yang tepat. “…aku akan sangat berterima kasih kalau ini – menunjuk luka di kakinya – hanya antara kita berdua saja. Aku mohon…”

Dayang Choi menggelengkan kepalanya, namun ia tak menolak permintaan Yoon Ae. Ia tahu, mungkin ini bisa menjadi sedikit penghiburan untuk Yoon Ae.

“Baik, Yang Mulia. Beristirahatlah…” Dayang Choi membungkuk dan meninggalkan Yoon Ae.

Setelah kepergian Dayang Choi, Yoon Ae menghela napas lega. Ia mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi dan melihat luka-luka di telapak kaki kanannya yang masih terasa sakit.

“Kau sungguh bodoh, Yoon Ae. Kenapa kau yang harus lari?”

Yoon Ae beranjak menuju kamar mandi. Dilihatnya bak mandinya sudah terisi air hangat dan sabun. Dia melepas pakaiannya dan mulai berendam, kaki kanannya tak ia masukkan ke bak, masih perih. Ia menatap kakinya sambil bergumam.

“Siapa namja itu, ya? Aish… memalukan.” Yoon Ae menenggelamkan kepalanya ke dalam bak mandi.

Yoon Ae mengingat kembali kejadian tadi sore ketika ia bertemu namja asing itu. Dirinya ketakutan setelah namja itu berteriak padanya. Karena tak tahu harus melakukan apalagi, Yoon Ae berbalik dan berlari sekuat tenaganya. Ia terus berlari tanpa melihat ke belakang sampai ia keluar dari Istana Gyeongbok. Disitulah ia baru sadar kalau sepatu sebelah kanannya masih di tangan namja asing tadi. Ketika melewati trotoar menuju Istana Changdeok, ia terpincang-pincang dan memutuskan untuk naik Taxi daripada ketahuan oleh seseorang yang mengenali wajahnya. Putri mahkota memang jarang tampil di Televisi maupun surat kabar, tapi tetap saja pasti ada satu-dua orang yang mengenali wajahnya. Jadi ketika ajhussi sopir Taxi bertanya kemana ia akan pergi, Yoon Ae berbohong. Dia turun sekitar 50 meter jauhnya dari Istana Changdeok. Ia tak mau ajhussi sopir Taxi melihatnya masuk ke Istana Changdeok, padahal istana itu terlarang untuk umum.

“Jeongmal… sepertinya aku Cinderella abad 21…” gumam Yoon Ae saat kepalanya menyembul dari bathtub. “Lagi pula siapa namja tadi? Kenapa malah aku yang dianggap orang sembarangan? Aku masuk dengan plakat istana…” ia menggerutu sambil memainkan busa-busa sabunnya. Sedetik kemudian Yoon Ae membelalakkan matanya.

“Omo~ Apakah dia…”

***

Do Kyungsoo sedang dalam perjalanan pulang dengan ibunya. Ia duduk di kursi belakang sambil browsing menggunakan Ipad miliknya.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
thekthohun
#1
Chapter 3: Kereeeeennnn

semangat lanjutinnya author
CindyPark #2
Chapter 1: Cerita yang keren:)
Ditunggu kelanjutannya..