02 Can we break the rules?

Arranged Life
Please Subscribe to read the full chapter

PS : sebagian cerita ini terinspirasi dari novel “Windmills of The Gods – by Sidney Sheldon”

***

Selang beberapa jam setelah konferensi pers Presdien Do, di sebuah kasino di tengah kota Seoul, berkumpulah beberapa orang pejabat parlemen dan petinggi kerajaan tanpa diketahui baik raja maupun presiden yang baru. Mereka berkumpul untuk membahas keputusan raja dan presiden yang baru saja menjadi trending topic di seluruh Korea bahkan mungkin dunia. Kedatangan mereka ke kasino bergaya klasik itu sudah diatur oleh seseorang supaya tak terlalu mencolok dan menarik perhatian media dan masyarakat.

Pejabat parlemen dan petinggi kerajaan yang berkumpul itu sudah saling percaya satu sama lain. Pertemuan mereka sebelumnya sudah sering terjadi. Mereka menyewa ruangan tertutup yang paling besar di kasino itu dan duduk mengelilingi meja persegi yang besar.

“Ketua tak datang?” Tanya seseorang petinggi kerajaan yang duduk paling ujung.

“Tidak. Akan mencurigakan jika dia datang sekarang,” jawab pejabat parlemen di sebelahnya. “ia harus mengurus banyak hal.”

“Siapa setuju denganku kalau itu tadi adalah keputusan yang konyol. Menikahkan dua anak yang masih berusia belasan untuk menyelamatkan Negara. Yang benar saja… Hahahaa…” seorang anggota parlemen tertawa mengejek sambil menenggak sojunya.

”Itu keputusan sepihak. Kami tak pernah tahu. Kami tak diijinkan mendengar keputusan Presiden dan Raja saat di Balai Huijeong.” Tuan Park, petinggi kerajaan yang sepertinya paling sebal dengan keputusan tadi, angkat bicara.

”Tidakkah ada hal yang aneh? Terlalu sederhana jika alasannya hanya untuk ‘menyelamatkan sesuatu yang memberi nilai’. Aku curiga.” Pejabat parlemen yang sepertinya paling tua di situ mengerutkan keningnya. Pernyataannya membuat gumaman-gumaman kecil di seluruh ruangan.

“Kita harus menyusun rencana baru dan lekas bergerak. Dari awal aku sudah tidak setuju dengan presiden yang terlalu berjiwa sosial tinggi. Terlalu lembek!” Seorang pejabat parlemen dari Partai Oposisi tiba-tiba berdiri dan berseru pada yang lainnya.

“Tuan Hwang benar! Meskipun kita dari dua kubu berbeda, kita harus tetap tahu dimana kita berdiri. Ingat itu!” seorang Petinggi Kerajaan ikut berdiri. Dia menyodorkan gelas sojunya mengajak lainnya untuk bersulang. Yang lainnya mengangguk dan mengangkat gelas mereka.

“Untuk kita semua!!! Patriots of Freedom!”

***

Esok harinya.

Yoon Ae terbangun dari tidurnya. Wajahnya bengkak, matanya merah dan kantung matanya terlihat jelas. Ia belum beranjak dari ranjangnya. Di kedipkan berkali-kali matanya mencoba mengingat peristiwa apa yang terjadi semalam. Gambaran itu datang. Gambar saat presiden baru mengatakan bahwa raja dan dirinya membuat keputusan untuk menikahkan putra dan putri mereka.

Yoon Ae menutup matanya rapat-rapat dan menarik selimutnya menutupi wajah. Dia ketakutan jika harus mendengar keputusan itu lagi. Menikah di usia dini dengan namja yang belum pernah sama sekali ia lihat dan tentu saja tidak ia cintai sama sekali. Ia tahu suatu saat hal ini tetap akan terjadi pada dirinya. Ia tahu bahwa ia harus mengutamakan kepentingan orang banyak daripada perasaannya sendiri. Yang Yoon Ae tidak tahu kenapa harus sekarang dan kenapa bukan ayah dan ibunya yang terlebih dahulu memberitahunya? Jika semua ini Yoon Ae tahu akan terjadi, ia akan langsung berangkat ke Amerika hari itu juga saat ibunya menegaskan untuk yang terakhir kali. Yoon Ae menyesal berharap terlalu tinggi bahwa ia akan tetap di sini dengan keadaan yang baik-baik saja. Dia menyesal telah bangun dari tidurnya.

“Yang Mulia, Paduka Raja datang berkunjung…” Dayang Choi memberitahu Yoon Ae dari balik pintu kamarnya. Yoon Ae menyibak selimutnya dan terduduk.

“Ne…” jawabnya singkat kemudian berdiri dan hendak keluar kamar ketika Dayang Choi membuka pintu kamarnya. Yoon Ae terkejut saat ayahnya memasuki kamarnya.

“A-ayah… Saya kira kita akan bicara di luar.” Yoon Ae menunduk memberi hormat.

“Kita bicara di kamarmu saja. Ayah sudah lama tak masuk kesini.” Raja berbalik pada beberapa pengikutnya. “Kami akan bicara berdua. Tolong tinggalkan kami.”

Para dayang dan Tuan Jo menutup pintu kamar Yoon Ae. Suasana ayah dan anak itu menjadi kaku. Yoon Ae masih menunduk tak berani menatap ayahnya.

“Yoon Ae, Ayah -”

“Maafkan saya, Ayah. Saya belum membersihkan diri.” Kata Yoon Ae memotong pembicaraan ayahnya.

“Tidak apa-apa… Duduklah.” Raja berkata sambil tersenyum. Yoon Ae duduk di ranjangnya dan raja duduk di kursi berhadapan dengan putrinya.

“Kenapa kau terus menunduk? Ayah ingin melihat wajah putri appa yang cantik.” Raja mengangkat dagu Yoon Ae. Ia tertegun melihat wajah putrinya yang bengkak.

“Maafkan saya, saya seharusnya bangun lebih pagi. Jadi Yang Mulia tidak melihat saya seperti ini. Maafkan saya…” Yoon Ae berusaha menahan air matanya. Raja menghela napas berat dan memegang kedua bahu anak satu-satunya itu.

“Yoon Ae… Maafkan Ayah. Kelak kau akan tahu, bahwa semua ini untuk kepentingan banyak orang. Maafkan appa karena tidak memberitahumu lebih awal. Maafkan Ayah yang tidak bisa menemukan jalan keluar lain. Hanya itu yang bisa Ayah katakan padamu.” Kata Raja tulus membelai pelan rambut Yoon Ae. Yoon Ae terkejut. Hatinya sakit melihat ayahnya saat ini. Wajahnya diselimuti rasa bersalah yang mendalam. Yoon Ae belum pernah melihat wajah ayahnya sememohon ini. Ia harus bagaimana? Jika ia mengeluarkan semua keluhannya sekarang, ia takut Ayah menjadi semakin sedih.

“Ya, Ayah… Saya mengerti.” Yoon Ae menghela napas. “dan Ayah tak perlu meminta maaf. Karena ini semua juga demi Ayah. Karena aku menyayangi Ayah.” Yoon Ae menggenggam tangan ayahnya. Raja menahan air matanya menetes dan memeluk Yoon Ae.

“Ayah tahu… kau putri yang sangat bijaksana. Terima kasih, Nak. Terima kasih.”

Di luar kamar Yoon Ae, Ratu Jung yang mendengar pembicaraan itu menghela napas pelan. Ratu menyuruh Dayang Choi untuk tak memberitahukan kedatangannya. Ia menyadari ini juga salahnya, tapi ia tak sanggup meminta maaf pada Yoon Ae.

***

Presiden Do dan ibu Negara sedang menikmati sarapan di ruang makan keluarga sambil berbincang kapan mereka semua akan pindah ke Cheongwadae (Blue House – Gedung Biru). Mr. Do meletakkan garpunya dan bertanya pada seseorang pelayan di belakangnya.

“Apa Kyungsoo belum bangun? Ini sudah jam 8 lewat.”

“Maaf, Tuan. Saya sudah membangunkannya. Saya akan mencoba lagi.” Ketika pelayan itu berbalik ia nyaris menabrak Kyungsoo yang melewatinya menuju ruang makan.

“Maaf, aku terlambat.” Kyungsoo menarik kursi di sebelah ibunya dan duduk kasar. Mrs. Do menyikut lengannya dan memberi tatapan “kau tidak memberi hormat pada ayahmu?” Kyungsoo memberi anggukan pelan kepada ayahnya yang dari tadi menatap dirinya dan langsung mengoles selai kacang ke rotinya tanpa basa-basi lagi. Presiden Do memukul pelan meja makan membuat semua terkejut.

“Tolong tinggalkan kami bertiga.” Pintanya pada beberapa pelayan. Semua pelayan mengangguk patuh dan keluar dari ruang makan yang di dominasi warna putih dengan artefak-artefak perak itu.

Mrs. Do meletakkan garpunya dan menyilangkan kedua tangannya.

“Family meeting, please.” Katanya lembut membuat Kyungsoo meletakkan rotinya di piring.

“Kau punya sesuatu untuk disampaikan pada Ayah?” Tanya Presiden Do pada Kyungsoo.

“Tidak ada," jawab Kyungsoo singkat tanpa menatap ayahnya. Ibunya kembali menyikutnya pelan, tapi Kyungsoo tak peka atau lebih tepatnya acuh saja.

“Kau tahu ini jam berapa?” Tanya Ayah lagi.

“Delapan lewat dua puluh.” Lagi, Kyungsoo tak menatap ayahnya.

“Ayahtak akan bertanya kenapa kau bangun sesiang ini karena hari ini hari libur. Yang akan Ayah tanyakan adalah kenapa wajahmu seperti itu? Tak mau menatap Ayah.”

Kyungsoo hanya terdiam dan memutar-mutar pisau roti perak dengan tangan kanannya.

“Itu bukan sikap laki-laki dewasa. Katakan! Kenapa kau bersikap seperti ini?!” Presiden Do mulai meninggikan suaranya. “Ayah tak suka aksi diam seperti itu!”

Mrs. Do menepuk bahu Kyungsoo pelan.

“Jawablah, Kyungie. Kenapa, Nak?”

Kyungsoo menyeringai, membuat ayah dan ibunya saling pandang.

“Apa pendapatku masih dipertimbangkan? Kalau iya, aku akan menjawabnya.” Jawab Kyungsoo asal.

“Kyungsoo!” Presiden Do tak tahan lagi untuk tidak membentak putranya. Kyungsoo pun tak tahan lagi, ia menggenggam tangannya dan berdiri dari kursinya.

“Apa Ayah tak tahu kalau Ayah sudah gila? Ayah anggap apa sebuah pernikahan? Kenapa Ayah melakukan itu? Aku tidak mau!” untuk pertama kali dalam hidupnya Kyungsoo meninggikan suara di hadapan ayahnya. Mrs. Do menarik lengan Kyungsoo untuk duduk.

“Kyungie, tenang. Duduklah.”

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
thekthohun
#1
Chapter 3: Kereeeeennnn

semangat lanjutinnya author
CindyPark #2
Chapter 1: Cerita yang keren:)
Ditunggu kelanjutannya..