Choi JH

FTISLAND Horror Collection

[Hantu Air]

Choi Jonghun melangkahkan kakinya memasuki gelanggang renang indoor yang berada di salah satu arena gymnasium kotanya kala itu. Meski ia tak selalu rutin berolahraga, namun renang adalah satu dari kegiatan yang paling diminati pemuda tampan itu. Tentu saja, bagi seorang atlet renang SMU yang pernah memenangkan beberapa kejuaraan renang nasional sepertinya, melatih keluwesan otot-ototnya selama di dalam air adalah suatu keharusan.

Jonghun membawa postman-bagnya memasuki toilet, melucuti seluruh pakaian dan menggantinya dengan celana renang. Tak lupa ia selalu membawa kacamata renang serta topi elatisnya. Begitu sudah berada di bibir kolam, Jonghun sempatkan melempar wink pada gerombolan gadis berbikini yang banyak melintas di sampingnya. Para gadis itu tersipu malu kemudian cepat-cepat berlalu. Ia hanya terkekeh bangga.

“Tak ada yang tidak bisa kau lakukan, Choi Jonghun.” Ujarnya pada diri sendiri. Setelah melakukan peregangan agar otot-ototnya tidak kram begitu bersentuhan dengan air, Jonghun segera menceburkan dirinya ke dalam kolam dan mulai melakukan latihannya. Ia berenang bolak-balik di jalurnya sendiri, hingga empat kali putaran. Dan ketika akan menyelam lagi, seorang gadis menangis di jalur sebelahnya. Memang tidak bersuara keras, namun Jonghun bisa tahu dari isakannya.

“Hey, kau kenapa? Kakimu kram?” Ia menegur gadis itu setelah melepas kacamata renangnya. Yang diajak bicara mengangkat wajahnya, kemudian menggeleng pelan. Ia berujar setelah mengusap wajahnya yang basah.

“Tempat ini mengingatkanku pada sahabat dan kekasihku... Kami sering pergi ke-gym bersama-sama.. Hiks..” Gadis itu tergugu sambil menyeka hidungnya yang memerah. Rupanya ia belum puas menangis.

“Kenapa kau malah tidak mengajak mereka sekarang?” Jonghun melipat kedua tangannya di bibir kolam, menopang tubuhnya. Gadis itu menggeleng lagi, “Mereka.. Mereka berdua sudah meninggal..”

Jonghun tercengang, kehabisan kata-kata untuk menghadapi seorang gadis yang ditinggal mati sahabat dan juga kekasihnya. Ia lalu meminta maaf karena tidak tahu kebenaran tersebut dan malah bertanya sesuatu yang membuat si gadis semakin merasa sedih.

“Ngg.. Mereka pasti sudah tenang di alam sana. Eh memangnya, kau ini mahasiswa atau orang umum?” tiba-tiba saja pertanyaan itu mencuat di kepalanya.

“Aku siswi kelas tiga Kyungsan High School. Kau sendiri?” Gadis itu berhenti menangis dan mulai merespon pertanyaan Jonghun secara wajar. Pemuda itu bernafas lega kemudian mengulurkan tangannya untuk dijabat.

“Aku Choi Jonghun, siswa SMU juga. Tapi aku kelas dua. Hey senang berkenalan denganmu...” Jonghun tampak menggantungkan kalimatnya, dan gadis itu paham. Ia segera menyebutkan namanya sehingga membuat Jonghun sumringah. Suasana menjadi jauh lebih baik.

Geureom, aku mau lanjut latihan lagi. Jangan sedih lama-lama, Sunyeo noona. Bye!” Jonghun berkata pada gadis tadi yang menyudahi acara berenangnya lebih cepat dari pemuda itu. Sunyeo menjauh dari tepi kolam sementara Jonghun kembali membelah air dengan kecipaknya.

Begitulah keseharian Jonghun yang selain menuntut ilmu di salah satu lembaga pendidikan menengah atas, juga terus menorehkan prestasi non-akademik. Kebanggaan itu pula yang membuatnya seakan tak peduli waktu. Jonghun akan berlatih di mana pun, dan kapan pun ia mau. Sehingga sering kali ibu atau ayahnya mengomel karena telah berulang kali pemuda itu mengendap-endap keluar pada malam hari hanya untuk menyempatkan diri berlatih renang.

Bagai tak mengindahkan, Jonghun masih saja memelihara kebiasaan tersebut. Ia tak menemukan—tak mau menemukan—alasan yang tepat mengapa kedua orangtuanya bersikeras melarang ketika ia ingin berlatih sesuka hati. Jonghun pikir ini demi kemajuan bakatnya.

Malam itu, kembali ia mangkir dan meninggalkan rumah menuju gelanggang renang langganannya yang mengizinkan dirinya keluar-masuk kapan saja—tak peduli malam atau siang—ke sana. Tentu saja Jonghun menjanjikan imbalan lebih untuk itu. Apapun, asalkan keinginannya terpenuhi.

Jonghun menatap permukaan kolam yang tenang dengan mata berbinar. Sudah tak sabar rasanya hendak melompat ke dalamnya. Terbayang di pelupuk matanya tropi serta medali yang bisa ia dapatkan pada kejuaraan renang mendatang. Ah, menyenangkan sekali.

“Brr.. sedikit dingin, tapi aku bisa meminjam selimut penghangat nanti pada Yonghwa hyeong.” Jonghun mencelupkan seujung kakinya ke air sembari memikirkan cara untuk membujuk si penjaga kolam agar mau meminjaminya selimut penghangat usai berlatih ini. Tanpa keraguan lagi, Jonghun menenggelamkan diri seutuhnya ke dalam liquid bersuhu dingin itu.

 Di dalam air, ia dengan leluasa membuka mata tanpa khawatir alat inderanya tersebut perih. Kacamata renang menghalangi air masuk. Jonghun bergerak maju, memperbesar gaya dorong atas tubuhnya menggunakan kaki dan tangan. Tidak seberapa jauh, gerakannya terhenti sebab ubun-ubunnya membentur sesuatu. Karena mengira itu dinding kolam, Jonghun cepat-cepat naik ke permukaan dan memeriksa sekitar. Namun kenyataannya ia masih di pertengahan, sementara bibir kolam masih jauh di depan sana. Lantas, yang tadi itu apa?

Jonghun tahu betul ia sedang sendirian berenang di sana, jadi mustahil bertubrukan dengan seseorang. Jonghun mengabaikannya lalu meneruskan latihannya sekali putaran lagi. Setengah jam kemudian, pemuda itu menyudahi aksinya dan naik ke atas. Untuk hari ini ia rasa sudah cukup. Setelah mengenakan kembali pakaiannya dan hendak mematikan lampu, jarinya batal menekan sakelar karena sekilas tadi ekor matanya melihat ada sesuatu mengapung di dalam kolam. Persis di ujung sebelah sana, berseberangan dengan posisinya sekarang.

“Rasanya tadi aku melihat sesuatu..” Jonghun kembali mendekati bibir kolam, hanya menengok dari tempatnya berdiri. Benda itu tak jelas bentuknya, terlalu besar juga tidak. Karena jauh Jonghun tidak bisa mengira-ngira ukuran pasti serta warnanya. Hanya diam dan...

Mendadak suhu terasa lebih dingin. Terutama bagian tengkuk Jonghun. Pemuda itu bergidik samar, menahan spekulasi tak wajar dalam kepalanya. Ia putuskan berhenti mengamati benda asing tersebut lalu bergegas memadamkan lampu dan pergi sebelum Yonghwa menguncinya di sana.

---

Dingin sekali. Dan kenapa tubuhku terasa berat? Aku tidak bisa berenang ke permukaan!

Jonghun memekik tanpa suara sebab mulutnya sudah menggembung, menahan oksigen yang tersisa dalam paru-parunya agar tak terlepas begitu saja. Namun usahanya sia-sia saja, sekeras apapun ia mengerahkan kemampuan berenangnya tetap saja tubuhnya tenggelam.

Jonghun mulai kesulitan bernafas. Gelembung-gelembung air semakin banyak bermunculan dari mulutnya, ia menggelepar meminta pertolongan akan tetapi suaranya tidak terdengar dan tak seorang pun sudi menariknya keluar dari dalam air yang dingin. Sampai kemudian, bayangan seseorang mendekat lalu meraih tangannya hingga tubuh Jonghun berhasil mengambang.

Ia masih panik meski sudah menemukan udara untuk bernafas. Tangannya terus bergerak di air—berusaha mengapungkan tubuhnya, tidak ingin kejadian tadi terulang kembali. Jonghun mengusap wajahnya yang basah kemudian mencari-cari seseorang yang telah menolongnya barusan. Namun tak menemukan siapa-siapa di sana. Ia berputar kemudian dikejutkan oleh sosok yang berendam sebatas hidung tepat di depan mukanya. Jonghun mundur tiba-tiba dan kembali kehilangan gaya apung atas tubuhnya.

Belum habis rasa kagetnya, sosok itu menenggelamkan diri lalu Jonghun merasa ada sesuatu yang menarik kakinya dari dalam air. Sentakan demi sentakan memaksa dirinya harus terbenam di air dingin untuk kesekian kalinya. Kedua tangan Jonghun menggapai ke atas, yang sayang tak membuahkan hasil apa-apa. Ia tetap tenggelam, membuat paru-parunya serasa mengerucut.

DEG.

Dengan nafas tersengal, Jonghun terbangun dari mimpi buruknya. Ia berkeringat dingin. Secepat kilat ia menghidupkan lampu kamar dan duduk di atas kasur. Di liriknya jam dinding, pukul satu dini hari. Itu artinya, sudah sekitar empat jam sejak kepulangannya dari gelanggang renang tadi. Mungkin ini pengaruh dari air dingin yang bersentuhan dengannya, atau juga ada gejala-gejala flu semisal demam hingga membuatnya tidak tidur dengan tenang malam ini.

Jonghun bangkit dari pembaringannya, keluar kamar mengambil air minum. Keringat masih bermunculan di pelipisnya. Ia tercenung memikirkan mimpi tadi, terasa begitu nyata dan mengerikan. Tak pernah terbayang olehnya mati tenggelam di kolam renang yang selama ini membesarkan namanya di kancah perlombaan.

“Sepertinya aku harus minum obat.” Ujarnya sambil melangkah gontai menuju kotak penyimpanan obat yang tak jauh dari kamar ayah dan ibunya. Setelah itu Jonghun kembali ke kamarnya dan meneruskan tidur. Berharap mimpi tadi tak singgah lagi.

Keesokan harinya, Jonghun kembali datang ke gelanggang yang dijaga oleh Yonghwa. Begitu tiba di sana, apa yang ia dapat mengecewakan. Tempat itu sedang penuh dan baru bisa disewa lagi sore hingga malam nanti. Jonghun lupa jikalau hari ini adalah libur akhir pekan, jadi tidak aneh bila kolam renang yang juga difasilitasi air hangat ini padat pengunjung. Suka tak suka ia harus menunggu.

Hingga tiba gilirannya, Yonghwa selalu dengan senang hati menyewakan gelanggang renangnya itu kepada Jonghun secara pribadi. Anggap saja mereka saling menguntungkan, Jonghun bisa dengan bebas berlatih sementara Yonghwa mendapat bayaran yang sesuai. Pokoknya Jonghun serasa pemilik tunggal kolam renang tersebut untuk beberapa jam.

Suhu air yang mendingin seiring menggelapnya suasana di luar tak menghentikan kegiatan Jonghun, ia terus mengayuh kaki dan tangannya seperti perenang andal. Pemuda itu mengambil jeda sejenak lalu duduk di bibir kolam. Tiba-tiba perhatiannya tersita pada sesuatu yang mengapung di tengah-tengah kolam. Jonghun yakin pernah melihatnya tempo hari, tetapi mengapa posisinya sekarang berbeda?

Pemuda itu menyipitkan matanya dan memastikan benda itu benar-benar ada di sana. Tentu saja, sesuatu berwarna hitam itu diam di atas permukaan air dalam jarak hanya beberapa meter dari tempat Jonghun kini berada. Ia mendengut ludah, tak berani turun ke air untuk menghampirinya. Perasaan takut yang aneh merayap bersamaan dengan hawa dingin yang mulai menguasainya. Nafas Jonghun tersengal, matanya masih terpaku pada sesuatu yang misterius di dalam kolam, dan...

TAP

Jonghun terkejut dan menoleh setelah merasakan sebuah tepukan mendarat di pundaknya. Ia kemudian bernafas lega karena ternyata Yonghwa pelakunya. Hey setidaknya kini ia tak perlu takut lagi sendirian.

“Kau ini hyeong. Mengagetkan saja.”

“Ada yang mencarimu, Jonghun.” Yonghwa menyingkir ke samping dan tampak di belakangnya sepasang suami istri menatap Jonghun dengan tatapan setengah kesal. Seketika senyum di paras tampan itu menyurut, berganti dengan ekspresi masam—kecewa.

---

Tiga hari setelah aksi pemulangan paksa, Jonghun tak diberikan izin untuk bepergian ke gelanggang renang selepas sekolahnya. Kedua orangtuanya sudah bosan memperingatinya dan Jonghun tak pernah mau menurut. Maka jalan satu-satunya adalah memingit pemuda itu.

Hari ini pun sama. Dengan gontai Jonghun berjalan pulang menuju halte bus sembari sesekali menendang kerikil kecil di trotoar. Pikirannya tidak di sana, melainkan mengawang jauh ke gelanggang renang. Seminggu lagi turnamen renang akan digelar, sedang dirinya yang sudah mendaftar sebagai peserta bahkan belum berlatih lagi. Ini semua karena larangan tak beralasan dari kedua orangtuanya. Menyusahkan sekali! Pikir Jonghun.

Begitu dirinya sudah duduk nyaman di bangku penumpang bus, sebuah telepon masuk menggetarkan ponselnya. Dengan malas Jonghun menjawabnya. “Ne, eomma. Ada apa?”

“......”

Kedua mata Jonghun melebar. Perempuan itu mengabarkan bahwa ia dan sang suami mendadak harus pergi ke Chuncheon dan bermalam di sana sebab salah satu saudara ayah Jonghun ada yang sakit keras. Pemuda itu awalnya menggerutu karena harus tinggal sendiri di rumah malam ini, namun kemudian terbersit sebuah pemikiran di kepalanya.

“Jika mereka tidak di rumah, artinya aku bisa pergi berenang malam ini dengan leluasa! Yuhuu!” Jonghun menjerit kesenangan sesaat setelah menutup teleponnya. Tanpa sadar ia menarik perhatian penumpang yang lain dan orang-orang menatapnya aneh. Jonghun lalu menyeringai malu sembari menundukkan kepala satu kali. Setelah itu ia kembali tersenyum girang.

Begitu tiba di rumah, sehabis melempar ranselnya ke kasur dan berganti pakaian, Jonghun melesat ke dapur untuk makan. Ia sudah tidak sabar lagi ingin segera pergi ke gelanggang renang. Hasratnya sudah amat menggebu-gebu. Namun pemuda itu harus bersabar sedikit lagi, ia baru ingat jika di sekolah tadi gurunya telah memberi beragam tugas yang harus selesai dalam satu hari dan dikumpulkan besok pagi. Terpaksa Jonghun merangkak kembali ke meja belajarnya agar tugas tersebut segera rampung.

Saat gelap turun, barulah Jonghun dapat membebaskan diri dan bersiap untuk berangkat ke gelanggang renang. Ia mengepak beberapa peralatan renang ke dalam postman-bagnya lalu menarik sepasang sneakers dari rak sepatu sebelum mengenakannya di pintu. Niat Jonghun akhirnya kesampaian hari ini.

Seperti biasanya, gelanggang renang yang dijaga oleh Yonghwa mulai menyepi ketika malam datang. Hanya Jonghun yang terlalu rajin mendatangi tempat itu selepas matahari terbenam.

“Kau tidak takut terkena penyakit tulang, berenang malam-malam?” Yonghwa mempertanyakan kehadiran pemuda itu yang selalu muncul ke sana di atas jam enam. Jonghun tersenyum sambil menjelaskan alasannya.

“Kupikir tidak akan melihatmu lagi di sini, Jonghun-ah.”

“Ini kesempatan emas, hyeong. Aku tak mau menyia-nyiakannya.” Imbuhnya sebelum memasang kacamata renang dan Yonghwa berlalu. Tanpa menunggu sosok itu menghilang, Jonghun sudah menceburkan diri ke dalam air dan memulai rutinitasnya. Ia bersemangat sekali.

Gelanggang benar-benar sepi sekarang. Hanya ada bunyi air yang tersibak karena gerakan Jonghun. Pemuda itu sesaat menepi dan naik ke bibir kolam hingga ia menyadari bahwa sendirian di sana membuat perasaannya berangsur tak enak. Apalagi tak ada suara kecuali percikan air. Ia mulai mengusap tengkuknya yang lagi-lagi mendingin dalam hitungan detik.

Jonghun menghampiri postman-bagnya dan mengambil sebotol air minum. Berharap dengan meneguk isinya dapat membuat perasaannya membaik. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, kemudian mengamati permukaan kolam yang masih menyisakan riak kecil. Entah kenapa air di sana belum mau tenang, terus bergelombang seolah ada sesuatu yang melaluinya.

Jonghun pelan-pelan berdiri, tangannya bergerak menutup botol air minum meski matanya tak beralih sedikit pun dari kolam. Jantungnya semakin berdegup kencang saat sepasang tangan pucat muncul dari dalam air dan mencengkeram bibir kolam. Tangan itu bergerak naik, membuat Jonghun tercekat.

“Kkhhh...Kkkhhh... Aa-...” Suara Jonghun mendadak tak mampu keluar. Tenggorokannya serak seiring sosok bertangan pucat itu semakin jelas wujudnya. Ia hanya mampu menggerakkan sepasang kakinya untuk mundur. Dengan gerakan patah-patah, makhluk berambut panjang itu merayap di lantai menuju tempat Jonghun berdiri. Gaun putihnya menyeret ubin hingga menyisakan jejak basah yang panjang.

Punggung Jonghun membentur tembok, ia tak bisa mundur lagi. Tubuhnya merosot jatuh, terduduk di lantai sementara makhluk mengerikan itu sudah tiba di depannya hanya dalam dua kali kedipan mata. Pemuda itu tersengal hebat saat air dari rambut panjang hantu perempuan tersebut menetes-netes di wajahnya. Benar, sekarang hantu itu berada di atasnya. Mengintimidasi Jonghun dengan tatapannya yang mengerikan.

Keadaan ini... Jonghun merasa pernah mengalaminya. Semakin ia menatap manik hitam makhluk itu, ia sadar bahwa hantu inilah yang dilihatnya dalam mimpi tempo hari. Juga benda aneh yang mengapung di permukaan air yang menakutinya waktu itu, tidak lain adalah rambut hantu yang sekarang berada dalam jarak tidak lebih dari sepuluh senti di depannya.

Jonghun meratap dalam hati. Andai saja ia patuh, dan tak nekat pergi ke gelanggang malam ini, pasti kejadian menakutkan ini tidak akan menimpa dirinya. Sekarang ia tahu bagaimana akibatnya jika membangkang perkataan orangtua.

Lampu tiba-tiba berkedip, menyala-padam selama beberapa kali. Hantu itu tak kunjung raib dari hadapannya, justru semakin menghipnotis Jonghun seakan ingin menghisap habis jiwa pemuda itu melalui sorot matanya yang sebagian terhalang oleh rambut.

Puncaknya, lampu ruangan itu benar-benar padam. Tak ada cahaya, maupun bunyi sesuatu. Tiga menit kemudian, keadaan kembali normal. Lampu telah menyala menerangi seluruh area gelanggang yang kosong melompong. Tidak ada seorang pun di sana, hanya tampak sisa gelembung-gelembung udara di permukaan kolam yang makin lama makin menghilang.

Di tempat lain, Yonghwa tercenung menekuri sebuah koran usang terbitan dua tahun lalu. Di sana terdapat ulasan yang membuatnya harus menutup sementara usahanya selama satu tahun. Matanya berair sewaktu membaca ulang judul salah satu berita di kolom pojok atas. Tulisan bercetak tebal itu berbunyi: Korban Tewas Tenggelam di Gelanggang Renang Kakaknya Sendiri.


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
byunleeteuk #1
Chapter 5: gak nyangka kuchisake onna-san (?) bakal muncul di horror series ini. aku jadi mikir suara si kuchisake onna ini kayak gimana ya kalo ngomong, apa kayak suzanna (?). suka bangettt dengan konsep saling keterkaitan antar ceritanya, kapan-kapan bikin lagi yang kayak gini saeng hehe. tapi tiap cerita selalu berakhir tragis, aku gak tega ㅠㅠ_ㅠㅠ
byunleeteuk #2
Chapter 1: saengi-yaaaa mian aku menghilang cukup lama hehehe.
cerita yang ini termasuk salah satu yang paling serem dan gak ketebak. aku gak nyangka hantunya bakal ngomong gitu di ending hahaha gila serem amat kalo ngalamin sendiri ya hiiiih. aku malah sempet mikir bis nya bis hantu kkkkk. aku suka penggambaran lokasi di halte yang ada light-box nya, berasa banget kayak di k-drama kkkkkk
byunleeteuk #3
Chapter 2: Saeng, setelah dikasih tau kalo hongki itu kakaknya jaejin, aku langsung baca lagi ff jaejin bagian awal yg tentang kakaknya. Sedih juga ya dikira kabur dari rumah padahal......... Aku paling suka part rambut si hantu mulai keluar dari lukisan dan ngebelit hongki, kebayang banget visualisasinya. Terus serem banget part "muncul sepasang mata, berkedip ulang membalas tatapan Hongki" dan "air terjun hitam dalam lukisan bukanlah air terjun sesungguhnya, melainkan perwujudan dari sebuah rambut hantu yang panjang terurai dengan sepasang mata di tengah-tengahnya" ngeri gilaaaa haha.
Oiya saeng di paragraf 13 di kalimat "Ayah menatap lekat-lekat pada lukisan pembeliannya" menurut aku lebih enak jadi "lukisan yang dibelinya" dan yg " perwujudan dari sebuah rambut hantu" menurut aku enaknya dihilangkan aja "sebuah"nya.
byunleeteuk #4
Chapter 3: Ini yg kedua aku baca dari seri ini karena judulnya bikin penasaran, dari judulnya gak ketebak horornya bakal kayak gimana. Ternyata serem dan sadis juga ya.......si jonghyun mending idup aja deh daripada mati, lebih nyeremin haha. Kasian wonbinnya saeng, jadi kebawa-bawa mati huhuhu. Oiya saeng yg ngintip di balik pintu rooftop setelah jonghyun pergi dari hadapan sunyeo dan jaejin, itu masih jonghyun kan?
byunleeteuk #5
Chapter 4: 안녕~~~ seperti biasa pasti ff main bias yg pertama dibaca hehe. Btw udah 2 ff jonghun endingnya tragis saeng huhuhu (yg jonghunnya waktu itu jd guru les gitar dan bunuh muridnya). Bagus saeng ff nya ada pesan moralnya "gak boleh melawan orangtua, nanti kualat" haha. Bagus jg penggambaran hantunya dab pergerakannya jelas saeng, jd aku bisa bayangin gimana visualisasinya. Tapi jadi kepo, si hantu ini dulu matinya gimana sampe jadi hantu penunggu gitu? Apa jonghun bisa jadi hantu penunggu juga terus temenan sama hantu yg ngebunuh dia? (Ga penting banget keponya hahaha)