Lee JJ

FTISLAND Horror Collection

[Milikku]

Seorang pemuda menyeret kopernya hingga pelataran sebuah asrama sekolah yang dikotori oleh daun-daun kekuningan. Tampaknya hari minggu membuat pengurus asrama kesiangan untuk menyapu semua sampah organik musim gugur ini. Ekspresi jijik mencemari wajah tampannya yang memang sudah dilanda stres. Dipanggil pulang bukannya mengistirahatkan diri, justru ia harus menghadapi masalah baru.

“Lee Jaejin!” Sebuah suara maskulin memanggil namanya dari arah belakang. Otomatis Jaejin menoleh dan menemukan sosok tegap dengan senyum sumringah tengah berlari-lari kecil menghampirinya.

Sunbae-nim, dari mana saja kau sepagi ini?” Herannya melihat senior berambut cokelat yang semestinya datang dari dalam asrama itu malah terengah-engah seperti habis berolahraga. Yang ditanyai masih betah tersenyum.

“Aku dari tempat latihan hockey yang biasa. Kau mau main tidak, besok? Kudengar ada potongan harga dari pihak rental.” Sejenak pemuda itu melirik koper di samping kaki Jaejin. Keduanya memang sudah sering bermain olahraga hockey bersama-sama di akhir pekan.

Jaejin mendengus, “Kenapa harus besok? Hari ini saja, sunbae-nim. Aku butuh pelemasan otot.”

“Kupikir kau kelelahan setelah datang dari Seoul. Eh, panggil aku hyeong saja lah. Wonbin hyeong, begitu.” Wonbin tak bosan mengingatkan Jaejin. Sudah cukup lama mereka berteman—baik di sekolah maupun asrama—tetapi pemuda itu masih saja memanggilnya dengan cukup formal dan Wonbin tidak suka. Jaejin terkekeh kemudian mengangguk. Ia lalu menceritakan kepada Wonbin tentang perjalanannya pulang ke Seoul beberapa hari yang lalu karena mendapat kabar dari ibunya bahwa sang kakak tak kunjung pulang ke rumah.

Hyeong itu keras kepala, mungkin ayah memarahinya karena mengambil kerja paruh waktu sebagai penyiar radio di samping kegiatan kuliahnya. Dan menurutku dia kabur dari rumah!” Dengus Jaejin sembari terus menarik kopernya di lorong asrama yang masih sepi. Para penghuninya sebagian mungkin berajojing di luar sana.

Wonbin manggut-manggut, berpikir tidak keliru jika orangtua Jaejin menginginkan anak sulungnya tidak berkeliaran sembarangan mengingat anak bungsu mereka tinggal cukup jauh, di asrama sekolah pula yang tidak bisa pulang-pergi seenaknya.

“Semoga kakakmu cepat kembali, ya.” Wonbin turut mendoakan dan langsung diamini oleh Jaejin. Keduanya melanjutkan obrolan hingga tiba di kamar asrama pemuda itu.

Suasana di lapangan hockey es cukup ramai ketika Jaejin dan Wonbin sampai di sana. Ada beberapa orang teman sekelas Jaejin juga yang memilih bergabung dengan keduanya dan merencanakan sebuah pertandingan kecil untuk pemanasan. Wonbin tampak menghampiri tempat mengasah pisau sepatu hockey, menyapa seorang gadis yang menjaga tempat itu. Sementara Jaejin dan kawan-kawan sudah memasang perlengkapan untuk bermain hockey.

Hyeong! Wonbin hyeong, kau main sekarang, tidak?” Seru Jaejin dari bawah. Wonbin dan gadis pengasah sepatu itu menoleh hingga kemudian Wonbin memisahkan diri dari sana. Ia mengacungi jempol pertanda setuju pada Jaejin dan bergegas turun.

Permainan telah berlangsung selama lima belas menit, namun kemalangan memang sudah mengintai Jaejin sedari awal. Ia terjatuh setelah tergelincir di atas es karena terlalu bersemangat merebut bola dari musuh. Akibatnya, siku kanan Jaejin ngilu terbentur lapangan. Yang lain menyuruhnya agar berhenti main dan beristirahat saja.

Jaejin menenteng sepatu hockey ke tempat gadis pengasah sepatu dan meminta izin agar diperbolehkan duduk di sana sambil menyaksikan teman-temannya bermain. Gadis itu mengangguk.

“Maaf, apa kau Lee Jaejin dari Kyungsan High School?”

Jaejin melirik si penanya kemudian mengiyakan. Ia kembali memperhatikan pertandingan di bawah sana yang menurutnya sayang sekali jika dilewatkan, tak peduli pada gadis di sampingnya yang berkali-kali menatap Jaejin dengan kagum.

“Triple Muskeeter. Kau salah satu dari julukan itu, kan?”

Kini Jaejin memutar tubuh sepenuhnya menghadap gadis manis bermata besar itu. Ia tak merasa mengenal gadis ini, tetapi kenapa dia bisa tahu nama Jaejin—bahkan embel-embel yang teman-teman di sekolahnya berikan sebab keunggulan prestasi di bidang akademiknya itu. Maka sebelum Jaejin membuka mulut untuk bertanya, gadis itu lebih dulu menyambung ucapannya.

“Aku juga siswi Kyungsan High School, teman sekelas Oh Wonbin.”

Tanpa sadar mulut Jaejin membulat dengan sendirinya. Kekhawatirannya tentang sasaeng atau penguntit hilang begitu saja. Pantas tadi Wonbin sempat ke mari, rupanya hyeong mengenal gadis ini, Jaejin membatin. Dan mengenai Triple Muskeeter, bisa jadi Wonbin pula yang membocorkannya pada gadis ini.

“Ah, kalau begitu salam kenal, sunbae-nim.” Jaejin berdiri lalu membungkukkan badannya. Ia tersenyum ramah sesudah itu. Si senior memerah wajahnya saat melihat senyum Jaejin tetapi kemudian berusaha menyembunyikan kesalahtingkahannya.

“Namaku Sunyeo. Han Sunyeo.”

---

Sejak pertemuan di lapangan hockey hari itu, Jaejin menjadi salah satu orang yang akrab dengan Han Sunyeo, setelah Wonbin. Ketiganya kadang ke lapangan hockey bersama dan main ski secara diam-diam. Bila bertemu di kantin, Jaejin tidak sungkan-sungkan lagi bergabung dengan keduanya. Kadang kala mereka pergi bersama-sama ke bioskop pada akhir pekan, Jaejin-Sunyeo-Wonbin bagai tak terpisahkan satu sama lain.

Hingga suatu hari...

Ye??”

Jaejin menurunkan buku yang sedang dibacanya hingga Sunyeo dapat melihat dengan jelas wajah pemuda di depannya itu. Sesaat kemudian Jaejin menyadari belasan pasang mata telah terhunus dengan sinis padanya, sebal karena berisik di perpustakaan.

“Jaejin-ah, aku mohon kau harus membantuku, eoh?” Pinta Sunyeo yang membuat Jaejin merasa serba salah. Maka, sebelum penjaga perpustakaan mengusirnya keluar, pemuda itu berinisiatif mengajak Sunyeo bicara di tempat lain. Mereka berhenti di lorong dan membuka percakapan lagi.

“Kau minta aku untuk apa, Noona?” Jaejin menyangsikan pendengarannya tadi.

Sunyeo tampak menghela nafas, “Berpura-puralah menjadi kekasihku di depan Lee Jonghyun. Aku yakin dia akan menyerah jika bertemu denganmu.”

Jaejin mengeluh pelipisnya berdenyut. Sunyeo sudah pernah mengatakan ada seorang pria dari kelas lain yang selalu menaruh surat cinta di lokernya, sejak awal Sunyeo tak mau menanggapinya namun rupanya Lee Jonghyun yang terkenal sebagai pembuat onar itu pantang menyerah. Sehingga dua hari yang lalu Jonghyun meminta Sunyeo agar bertemu dengannya sepulang sekolah. Namun gadis itu berusaha mengulur-ulur dan tenggat waktunya berakhir hari ini. Jadi ia ingin Jaejin bersandiwara untuk menolongnya dari kejaran Jonghyun.

“Kenapa bukan Wonbin hyeong saja? Aku tidak—”

Kalimat Jaejin segera dipotong Sunyeo, “Jonghyun mengenal Wonbin, dan dia tak akan percaya jika kukatakan kami ada hubungan seperti itu. Hanya kau harapanku satu-satunya, Jaejin.”

Melihat Sunyeo memasang wajah murung, Jaejin jadi tidak tega untuk menolak. Tak ada pilihan lain baginya, meski Jaejin paling sulit disuruh berbohong—apalagi berakting. Semoga saja nanti terlihat meyakinkan.

Arraseo-yo.”

Senyum lega Sunyeo terkembang mendengar jawaban persetujuan dari Jaejin.

Seperti yang direncanakan, dua menit setelah bel pulang dibunyikan, Jaejin menghampiri Sunyeo di depan kelasnya. Mereka akan menemui Jonghyun yang sudah lebih dulu ke rooftop—tempat pertemuannya dengan Sunyeo. Jaejin berjalan di sisi Sunyeo yang tampak meremas tali tasnya berulang kali—khawatir semua tak berjalan lancar, namun pemuda itu segera menekan pundak kakak kelasnya tersebut dengan lembut. Meyakinkannya.

Begitu Jaejin membuka pintu rooftop, keduanya melihat sosok Jonghyun berdiri membelakangi mereka. Pria itu belum menyadari siapa yang telah datang. Begitu tinggal lima langkah lagi, Jonghyun berbalik karena menyangka Sunyeo tak berniat mengecewakannya kali ini. Namun apa yang sekarang tersaji di depan matanya sungguh melunturkan asa yang sudah ditumpuknya sedemikian tinggi. Apa-apaan ini?!

“Lee Jonghyun-Ssi, sebelumnya aku ingin meminta maaf karena harus membuatmu menunggu..”

“Siapa dia?” Tanpa menghiraukan kalimat Sunyeo sebelumnya, telunjuk Jonghyun sudah lebih dulu mengacung ke arah Jaejin yang membungkuk rendah sebagai salamnya. Sunyeo berdehem, entah kenapa kerongkongannya terasa kering. Lain lagi dengan Jaejin, ia benar-benar canggung berada di antara kisah cinta tak berbalas ini.

“Oh, geurae. Perkenalkan, dia Lee Jaejin dari kelas dua. Dia kekasihku..”

Tubuh Jonghyun mengeras seketika. Bukan ini yang mau ia dengarkan. Satu gerakan lagi dari Jaejin memicu rasa sakit itu menebar cepat ke seluruh hatinya. Bahkan dengan matanya sendiri, Jonghyun tak percaya junior itu merangkul bahu Sunyeo dan tersenyum sambil mengucapkan ‘halo, apa kabar sunbae-nim’ padanya.

Sunyeo cukup kaget saat lengan Jaejin sudah melingkar sempurna di bahunya. Pemuda itu mungkin tidak ingin terkesan mencurigakan, jadi ia memperagakan apa yang biasanya para lelaki lakukan terhadap kekasih mereka.

“Maaf, Jonghyun-Ssi. Inilah alasan mengapa selama ini aku tak bisa menerima surat dan pernyataanmu.”

Jonghyun terlihat begitu sulit menelan ludahnya. Ini adalah tamparan telak baginya, ditolak oleh seorang gadis bahkan di depan kekasih gadis itu sendiri. Betapa memalukannya! Maka, tanpa perlu bertanya hal lain lagi ia mundur teratur, memastikan dirinya tidak semakin sakit karena berada di sana terlalu lama. Meninggalkan Jaejin juga Sunyeo yang bertukar pandang satu sama lain.

“Semudah itu kah?” Jaejin menatap punggung Jonghyun yang menjauh, kemudian melihat Sunyeo yang mengangkat bahunya. Gadis itu juga heran karena reaksi si biang onar tersebut tak seperti perkiraannya. Namun di balik itu ia bersyukur masalah ini dapat cepat teratasi.

“Kenapa? Apa kau kecewa karena hanya sebentar berakting sebagai kekasihku?” Sunyeo mendekat pada Jaejin yang tadi langsung menjauh setelah Jonghyun berbalik meninggalkan mereka. Pemuda itu tertawa kecil sambil menggoyangkan tangannya.

Ani-yo. Hanya saja, rasanya seperti tidak habis melakukan apa-apa. Yang bicara sejak tadi itu kau, Noona. Aku hanya merangkulmu dan menyapanya, itu saj—”

“Kalau begitu, maukah kau melanjutkannya? Kali ini tanpa perlu berakting lagi..?”

Mata sipit Jaejin mengerjap tak percaya. Ia bahkan tak tahu bagaimana caranya kelima jemari Sunyeo telah menaut jari-jari tangannya. Semburat kemerahan tampak di pipi gadis itu, membuat Jaejin turut merasa kulit wajahnya memanas seketika. Seharusnya ia paham maksud tindakan Sunyeo.

Noona, kau serius?”

Secara malu-malu Sunyeo mengangguk. Saat itu juga Jaejin merasa jantungnya nyaris meledak, berdebar jauh lebih cepat dari kebiasaannya. Tanpa mereka ketahui, selepas kepergian Jonghyun tadi seseorang berwajah masam mengamati gerak-gerik keduanya dari balik pintu rooftop. Pemuda berambut cokelat itu menjauh dengan langkah gontai bersama ransel yang mengait tidak sempurna di punggungnya.

---

From: Wonbin Hyeong-nim

‘Datanglah ke lapangan hockey sekarang. Aku ingin bicara sesuatu padamu.’


 

Jaejin membaca sebuah pesan masuk dari Wonbin setelah membalas satu pesan kepada Sunyeo. Untuk apa bertemu di lapangan hockey malam-malam begini? Biasanya Wonbin akan langsung menggedor pintu kamar Jaejin jika ia terdesak ingin berbagi cerita. Lagipula, sekolah mereka masih dalam suasana berkabung karena salah seorang siswanya meninggal dunia.

“Ada-ada saja hyeong ini.” Jaejin mendesah sembari bangun dari kasurnya. Ia bangkit dan menyambar jaket yang tersampir di kursi belajarnya kemudian meninggalkan kamar. Dia memang tipikal orang yang susah untuk berkata tidak.

Setelah mengunci pintu kamar dari luar, Jaejin menyusuri koridor asrama yang sudah sepi. Entah karena ada salah seorang penghuni asrama ini yang meninggal beberapa hari lalu hingga tak ada yang berani berkeliaran waktu malam, atau memang bagi mereka ini sudah larut, yang pasti tak ada seorang pun berpapasan dengannya hingga pintu keluar.

Jaejin mengeratkan jaket sepanjang jalan, bibirnya sudah gemetar begitu tiba di lapangan hockey. Ia mengomel pendek sebelum memasuki lapangan favoritnya bersama anggota tim hockey tersebut. Keadaan lapangan terang benderang, namun Jaejin kesulitan mencari di mana keberadaan Wonbin yang sudah mengundangnya datang. Ternyata orang yang dicarinya melambai dari ruang tempat pengasah sepatu hockey.

Wonbin keluar dari sana dan kini keduanya berdiri berada di antara bangku penonton. “Hyeong, sebenarnya ada apa? Kau seharusnya menemuiku di kamar saja, udara di luar sangat dingin sekarang.” Itu terdengar seperti sebuah keluhan.

Bibir Wonbin menyunggingkan senyum tipis. Sembari berjalan lebih dekat ke arah Jaejin, pemuda itu bertanya. “Kudengar kau dan Sunyeo berkencan. Apa itu benar?”

Jaejin tak mengira Wonbin akan bertanya demikian. Ia menyesal tak menceritakan lebih cepat perihal hubungan barunya tersebut pada pemuda ini. Biar bagaimana pun, seseorang yang menyebabkannya dapat bertemu dan mengenal Sunyeo adalah Wonbin.

“Oh, itu.. Aku berniat mengatakannya padamu, hyeong. Tapi karena kupikir kau sibuk, jadi aku—”

“Apa kau sudah tak mengganggapku temanmu lagi, huh?” Mendadak saja nada bicara Wonbin berubah dingin. Tatapannya pun jauh lebih menakutkan dari yang Jaejin kenal. Tubuh itu perlahan bergerak maju, sementara Jaejin yang tadinya bergeming mulai menyeret kakinya untuk mundur. Aura Wonbin sungguh berbeda malam ini. Dan itu membuatnya gentar.

“Kau tahu bukan begitu maksudku, hyeong. Kami hanya ingin memberimu sedikit kejutan,” Jaejin memaksa dirinya tersenyum meski hatinya telah dijajah rasa takut yang entah dari mana datangnya. Sampai kemudian ia menyadari ada tetesan-tetesan darah dari balik punggung Wonbin, jatuh ke lantai stadion.

Hyeong! Ada apa denganmu? Kau berdarah!” Pekiknya memancing lengan kanan yang sedari tadi Wonbin sembunyikan di belakang tubuhnya kini tampak ke depan. Jaejin terperanjat menyaksikan sebuah benda tajam yang seyogyanya menjadi perangkat di bagian bawah sepatu hockey kini tergenggam di tangan Wonbin. Telapak tangan seniornya itu terluka akibat terlalu kencang memegang pisau.

Wonbin menyeringai jahat sebelum meraung, “Ini tak sesakit perasaanku. Penolakan Sunyeo lebih membuatku menderita!”

Hyeong, hentikan! Kau menyakiti dirimu sendiri! Maaf jika kau pikir aku merebut Sunyeo Noona darimu. Sungguh aku tak tahu kau juga menyukainya, hyeong!” Jaejin mengulurkan tangannya sebagai pertanda agar Wonbin mau menjatuhkan pisau itu dari tangannya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pria itu semakin bernafsu ingin menyabetkan benda tersebut ke arah Jaejin.

“Berhenti memanggilku hyeong! Aku bukan kakakmu! Aku benci padamu, juga orang ini! Oh Wonbin!” Raungan itu terdengar aneh bagi Jaejin. Kenapa Wonbin menbenci dirinya sendiri? Dan ketika Wonbin mulai menyayat pergelangan tangan kirinya berkali-kali, ketika itu pula Jaejin tahu bahwa sesuatu telah menguasai raga di depannya ini. Mata yang merah, nafas tak beraturan, serta gerakan yang tak terkendali, tidak salah lagi Wonbin kerasukan!

Entah setan mana yang berani mengambil alih tubuh Wonbin kini, Jaejin tidak peduli. Ia berusaha menyadarkan seniornya tersebut dengan cara merebut pisau yang masih dicengkeramnya. Aneh, pria itu justru tersenyum jahat seakan menanti waktu ini tiba. Begitu Jaejin sudah benar-benar dekat dengannya, Wonbin mengayunkan pisaunya ke wajah Jaejin. Beruntung pemuda bermata sipit itu sempat menahan gerakan tak terduga dari Wonbin dengan satu tangannya.

GREP.

Jaejin dibuat lebih kerepotan saat lengan Wonbin yang satu lagi mencekik lehernya. Kekuatan pria itu di luar batas kewajaran, semakin lama semakin kuat. Perlahan tangan Jaejin melemah, dengan sisa tenaganya ia memukul-mukul lengan itu agar membiarkannya bernafas lebih lancar. Kesempatan itu tak Wonbin sia-siakan, dalam sekali gerakan ujung pisau sepatu hockey menembus jaket Jaejin dan menggerus kulit perut bagian sampingnya. Pemuda itu mengerang laksana usus-usus dalam perutnya terburai keluar seiring melebarnya sayatan yang dilancarkan Wonbin.

“Aa-arggh.. Hy-hyeong.. He-henti..kan.. Aakkhh..”

“Kubilang jangan panggil aku hyeong!” Wonbin mencabut senjatanya, jauh lebih menyakitkan bagi Jaejin. Ia telah kehilangan banyak darah dan kini harus merasakan cekikan Wonbin lagi untuk kedua kalinya. Tubuh itu sudah terhuyung ketika punggungnya menabrak pinggiran pagar stadion karena didesak oleh Wonbin. Pria itu bagai tak puas menyiksanya.

“Ku- kumohon..” Jaejin mengiba, berharap setan atau iblis itu berhenti mengendalikan Wonbin. Sayang, harapan tinggal harapan. Setan jahat itu lebih keji dengan segala dendam dan amarah yang dipendamnya sehingga genangan air mata tak cukup mampu menggagalkan niat untuk menghabisi nyawa Jaejin. Detik berikutnya, tubuh Jaejin didorongnya melewati pagar hingga meluncur jatuh ke lantai es lapangan hockey teriring seringaian puas di wajah Wonbin. Ia tertawa menyaksikan Jaejin tergeletak di bawah sana.

Hyeong.. Won..bin hyeong.. Sa..sadarlah..” Hanya cicitan yang sanggup Jaejin lisankan. Kepala, punggung, serta perutnya teramat sakit. Ia yakin sekarang genangan darah telah menjadi permadani tempatnya berbaring menunggu maut. Sebelum penglihatannya bertambah gelap, tampak samar-samar Wonbin mengangkat pisaunya ke leher lalu mulai membentuk goresan panjang membujur. Air mata Jaejin tergenang kembali tatkala darah keluar dari luka besar di leher Wonbin.

“Aku bukan Oh Wonbin, aku Lee Jonghyun dan aku benci tubuh ini!” Usai berkata demikian, Wonbin melompat untuk menyusul seseorang di bawah sana. Ia jatuh dengan posisi telungkup dan wajah menghadap Jaejin. Barulah pemuda itu paham, siapa makhluk yang memegang kendali atas diri Wonbin sekarang. Lee Jonghyun, senior yang meninggal tertabrak truk selepas bertemu dengannya dan Sunyeo di rooftop tempo hari.


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
byunleeteuk #1
Chapter 5: gak nyangka kuchisake onna-san (?) bakal muncul di horror series ini. aku jadi mikir suara si kuchisake onna ini kayak gimana ya kalo ngomong, apa kayak suzanna (?). suka bangettt dengan konsep saling keterkaitan antar ceritanya, kapan-kapan bikin lagi yang kayak gini saeng hehe. tapi tiap cerita selalu berakhir tragis, aku gak tega ㅠㅠ_ㅠㅠ
byunleeteuk #2
Chapter 1: saengi-yaaaa mian aku menghilang cukup lama hehehe.
cerita yang ini termasuk salah satu yang paling serem dan gak ketebak. aku gak nyangka hantunya bakal ngomong gitu di ending hahaha gila serem amat kalo ngalamin sendiri ya hiiiih. aku malah sempet mikir bis nya bis hantu kkkkk. aku suka penggambaran lokasi di halte yang ada light-box nya, berasa banget kayak di k-drama kkkkkk
byunleeteuk #3
Chapter 2: Saeng, setelah dikasih tau kalo hongki itu kakaknya jaejin, aku langsung baca lagi ff jaejin bagian awal yg tentang kakaknya. Sedih juga ya dikira kabur dari rumah padahal......... Aku paling suka part rambut si hantu mulai keluar dari lukisan dan ngebelit hongki, kebayang banget visualisasinya. Terus serem banget part "muncul sepasang mata, berkedip ulang membalas tatapan Hongki" dan "air terjun hitam dalam lukisan bukanlah air terjun sesungguhnya, melainkan perwujudan dari sebuah rambut hantu yang panjang terurai dengan sepasang mata di tengah-tengahnya" ngeri gilaaaa haha.
Oiya saeng di paragraf 13 di kalimat "Ayah menatap lekat-lekat pada lukisan pembeliannya" menurut aku lebih enak jadi "lukisan yang dibelinya" dan yg " perwujudan dari sebuah rambut hantu" menurut aku enaknya dihilangkan aja "sebuah"nya.
byunleeteuk #4
Chapter 3: Ini yg kedua aku baca dari seri ini karena judulnya bikin penasaran, dari judulnya gak ketebak horornya bakal kayak gimana. Ternyata serem dan sadis juga ya.......si jonghyun mending idup aja deh daripada mati, lebih nyeremin haha. Kasian wonbinnya saeng, jadi kebawa-bawa mati huhuhu. Oiya saeng yg ngintip di balik pintu rooftop setelah jonghyun pergi dari hadapan sunyeo dan jaejin, itu masih jonghyun kan?
byunleeteuk #5
Chapter 4: 안녕~~~ seperti biasa pasti ff main bias yg pertama dibaca hehe. Btw udah 2 ff jonghun endingnya tragis saeng huhuhu (yg jonghunnya waktu itu jd guru les gitar dan bunuh muridnya). Bagus saeng ff nya ada pesan moralnya "gak boleh melawan orangtua, nanti kualat" haha. Bagus jg penggambaran hantunya dab pergerakannya jelas saeng, jd aku bisa bayangin gimana visualisasinya. Tapi jadi kepo, si hantu ini dulu matinya gimana sampe jadi hantu penunggu gitu? Apa jonghun bisa jadi hantu penunggu juga terus temenan sama hantu yg ngebunuh dia? (Ga penting banget keponya hahaha)