Lee HK

FTISLAND Horror Collection

[Air Terjun Hantu]

Lee Hongki yang baru saja keluar dan menutup pintu kamarnya terheran-heran ketika tiga orang berpakaian biru malam dengan topi di kepala masing-masing memasuki pintu rumahnya. Orang-orang itu tampak menggotong sesuatu berbentuk persegi empat pipih. Lebih mirip paketan. Mereka melewatinya dan pemuda itu menghampiri sang ibu yang menerima ketiga orang tadi di ruang tamu.

“Ada apa dengan para kurir itu, Bu? Apa yang mereka bawa sore-sore begini?”

Ibu menghela napas, “Ayahmu lagi-lagi membeli sesuatu dari toko barang antik langganannya. Katanya sebuah lukisan kuno. Aah, hobi gilanya itu semakin menjadi-jadi saja.”

Hongki tak tertarik pada keluhan ibunya, yang ia tak habis pikir adalah seberapa bagusnya sih barang pembelian sang ayah tersebut hingga pria paruh baya itu rela menyisihkan uangnya hanya demi sesuatu yang Hongki sendiri tidak mengerti di mana letak keindahannya. Oke, Hongki memang bukan penggemar seni—kecuali musik dan seni suara tentunya—jadi ia tidak akan pernah memahami selera ayahnya tentang barang-barang antik dan kuno.

“Biarkan sajalah, Bu. Toh Ayah tak pernah tidak memberi uang ke ibu hanya karena ia membeli barang-barang semacam ini, bukan?” Hongki bergurau sambil merangkul pundak ibunya sejenak sebelum memasang sneakers-nya, bersiap untuk berangkat bekerja. “Bu, aku pergi dulu ya!”

Ibu tidak sempat lagi meneriaki anak sulungnya itu karena dengan gesit Hongki melompat dari pintu setelah sebelumnya meninggalkan kecupan sayang di pipi kanan sang bunda. Itu adalah salah satu cara agar Ibu tak jadi menceramahinya karena sebuah side-job yang Hongki jalani sekarang.

Ia masih tercatat sebagai salah satu mahasiswa sebuah universitas di Seoul, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi Lee Hongki untuk menyalurkan hobi mengoceh dan mendengarkan musiknya di sebuah stasiun radio swasta. Pemuda itu mengambil kerja part-time di sana pada sore hari apabila tak ada jadwal perkuliahan. Lumayan untuk mengisi waktu luang, pikirnya.

Annyeong hasseyo..!” Hongki memasuki ruang on-air dan menyapa dua orang penyiar yang baru saja menyelesaikan siaran mereka. Mina dan Jaehyun membalas salam darinya kemudian mempersilakan pemuda itu untuk bertukar posisi.

“Lagi-lagi kau terpaksa siaran sendiri sore ini, Hongki-Ssi. Sudah dua pekan rekanmu itu tidak ada kabar. Kurasa ia mulai kewalahan dengan sekolahnya.” Mina menjelaskan kondisi di radio. Hongki mengangguk paham dan membuka pintu ruang siaran, segera bersiap-siap di kursi sambil memasang headphone. Sambil mengecek komputer juga pengatur suara di dalam sana, Hongki menggerutui anak SMA yang menjadi rekan siarannya tiap senin malam itu. Entah apa sebabnya hingga menghilang tanpa alasan dan tak kembali lagi ke mari.

“Dasar Minhwan itu! Jika memang tidak sanggup ya tidak usah sok mengambil part-time, huh!”

Setelah semua persiapan beres, Hongki mengetes apakah suaranya sudah bisa didengar oleh para pendengar setia di luar sana. Ia menghitung mundur dalam hati hingga tiba saatnya melisan. “Selamat sore menjelang malam, kembali lagi pada saluran kesayangan kalian, FT Radio 77,5 FM. Free Talk Radio... Kali ini Hongstar yang akan menemani kalian, yow!”

---

Sudah dua minggu lukisan yang dibeli Ayah tersebut menghiasi ruang keluarga rumah Lee Hongki. Berbeda dengan sang ayah yang amat mengagumi lukisan bergambar air terjun itu, Hongki merasakan sebaliknya. Ia tak tahu mengapa, setiap kali menatap lukisan atau hanya sekedar melewatinya Hongki merasa seperti sedang diperhatikan oleh seseorang. Hongki juga merasakan hawa yang berbeda menyebar dari lukisan tersebut.

“Tidakkah kalian ingin pergi ke tempat di mana air terjun dalam lukisan itu berada? Lihatlah, betapa natural pemandangannya. Bebatuan, hutan di sekitarnya, bahkan aku seakan bisa menghirup aroma air terjun yang jatuh!” Ayah menatap lekat-lekat pada lukisan pembeliannya, mengabaikan acara tivi yang Hongki dan ibunya tonton saat ini. Sepertinya ia benar-benar terhipnotis oleh lukisan berfigura kayu jati tersebut.

Hongki menggeleng sambil memainkan remote televisi di tangannya. “Apa bagusnya, Yah? Warna air terjunnya saja hitam begitu, kurasa pelukisnya kehabisan cat warna ketika membuatnya.”

“Justru di situlah letak keistimewaannya. Air terjun dari sudut pandang yang berbeda, eksotis, bukan?”

Hongki enggan menanggapinya lebih lanjut. Diladeni pun ia pasti kalah. Sang ibu hanya menepuk-nepuk pundak Hongki agar anak tertuanya ini tak terpancing untuk terus mendebat ayahnya. Ia sendiri tak setuju pada sikap suaminya ini, namun ia tahu bahwa hobi sang suami sulit sekali untuk ditentang.

Hongki beranjak karena teringat akan pesan dari Jaehyun tadi siang. Ia meminta Hongki untuk menemaninya siaran malam ini sebab Mina—rekan siarannya—sedang ada urusan mendesak dan tidak bisa datang. Pemuda itu menyanggupinya, lagipula ia bosan mendengar puji-pujian sang ayah tentang lukisan aneh tersebut.

“Bawalah kunci rumah, Hongki-ya. Jadi jika kau pulang agak larut, tidak perlu membangunkan seisi rumah.” Saran ibunya. Hongki mengangguk seraya menerima anak kunci dari tangan ibunya, kemudian beralih melihat sang ayah yang kini tengah mengusap pinggiran lukisan dengan kain kering. Sebelum kepergiannya, ia meninggalkan sebuah tatapan benci pada lukisan kesayangan ayahnya.

Hongki menyelesaikan siaran malamnya bersama Jaehyun di atas pukul sepuluh malam. Ia pulang mengendarai motor sport sendirian dan begitu tiba di depan rumah, mesin motor itu ia matikan, hanya mendorongnya agar masuk ke garasi.

Dengan mudah Hongki menerobos masuk ke rumah, saat itu lampu di ruang keluarga telah dimatikan. Hanya ruang tamu yang lampunya dibiarkan menyala. Begitu melintasi ruang keluarga, Hongki bersiul-siul kecil namun secara tiba-tiba langkahnya terhenti. Barusan telinganya menangkap suara tidak biasa. Setelah menekan sakelar lampu, diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru ruangan, tetapi tidak ditemukan sesuatu yang aneh.

Hongki hendak memadamkan kembali lampu ketika suara tak biasa tadi semakin jelas terdengar. Ia menarik mundur jarinya dari tombol yang ada di tembok, lalu menoleh ke sebelah kiri tepat di mana lukisan air terjun aneh milik ayahnya tergantung. Pemuda itu berusaha menajamkan pendengarannya, memastikan dari mana suara tadi berasal.

Selangkah demi selangkah kakinya mendekati lukisan dan betapa terperanjatnya ia ketika menyadari suara tersebut datangnya dari lukisan ini. Suaranya persis seperti kucuran air, lebih deras dan nyaris menyamai suara jatuhnya air terjun. Sepasang mata Hongki membelalak tak percaya, lukisan itu seolah hidup. Airnya bergerak dan.. mengeluarkan suara!

Ia mundur selangkah menjauhinya, namun rasa penasaran itu mengalahkan rasa takut dalam benaknya. Hongki terdorong untuk melihatnya sekali lagi, kali ini dengan lebih seksama. Ia mendekatkan wajah hingga hanya tersisa beberapa senti saja antara lukisan dan ujung hidungnya. Suara gemercik air masih ada, sementara pergerakan air terjun hitam dalam lukisan semakin kentara.

“Mungkin kah aku terlalu kelelahan hingga membayangkan hal-hal tidak masuk akal seperti ini?” Tangan Hongki bergerak mengucek kedua matanya bergantian. Memastikan tidak ada yang salah dengan alat inderanya tersebut. Namun yang terjadi berikutnya adalah jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya. Di tengah-tengah air terjun perlahan muncul sepasang mata, berkedip ulang membalas tatapan Hongki.

“Uh-oh!” Hongki menjerit tertahan, terkejut melihatnya. Semakin lama ‘mata’ itu kian jelas penampakannya dan berkilat-kilat memandanginya seolah hendak menjerat Hongki ke dalam lukisan.

Alas sneakers-nya mendadak menempel kuat di lantai, bagai diberi lem super hingga Hongki tidak mampu berpindah dari pijakannya. Ia ingin berlari sejauh mungkin, menghindar dan bersembunyi dari ‘mata’ di air terjun hitam tersebut, namun harapannya tak pernah terkabul. Di saat itu pula Hongki sadar bahwa air terjun hitam dalam lukisan bukanlah air terjun sesungguhnya, melainkan perwujudan dari sebuah rambut hantu yang panjang terurai dengan sepasang mata di tengah-tengahnya.

Badan Hongki kian menggigil tatkala rambut panjang itu beriap-riap, menjulur keluar dari dalam lukisan dan mulai membelit di sekitar leher. Tidak sampai di situ, rambut-rambut tersebut semakin gencar menyerangnya, membungkus kepalanya hingga Hongki kesulitan mengumpulkan oksigen untuk bernafas.

Hal terakhir yang sempat terlintas di pikirannya sebelum penglihatan bertambah gelap karena terhalang rambut sang hantu, adalah betapa menyesalnya Hongki tidak melarang sang ayah lebih keras saat membeli lukisan terkutuk ini!

KKRRRTT

Belitan itu semakin kencang hingga rasanya biji mata Hongki lebih baik keluar saja dari tempatnya ketimbang harus tersiksa begini.

Sedetik..

Dua detik..

Tiga detik..

Dan...

KLIK!

“Hongki-ya? Apa kau sudah pulang?” Ibu menekan sakelar lampu dan bertanya karena beberapa saat yang lalu ia terbangun dan sempat mendengar suara gemerisik dari arah ruang tamu. Namun saat ia ke sana keadaan masih gelap gulita. Tidak ada siapa pun. Hening pula.

“Aku salah dengar barangkali.” Ibu mematikan lampu dan kembali ke kamarnya tanpa mengindahkan bayangan sebuah wajah penuh ketakutan terpantul di dalam lukisan air terjun hitam. Menangis dalam bisu memohon pertolongan.
 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
byunleeteuk #1
Chapter 5: gak nyangka kuchisake onna-san (?) bakal muncul di horror series ini. aku jadi mikir suara si kuchisake onna ini kayak gimana ya kalo ngomong, apa kayak suzanna (?). suka bangettt dengan konsep saling keterkaitan antar ceritanya, kapan-kapan bikin lagi yang kayak gini saeng hehe. tapi tiap cerita selalu berakhir tragis, aku gak tega ㅠㅠ_ㅠㅠ
byunleeteuk #2
Chapter 1: saengi-yaaaa mian aku menghilang cukup lama hehehe.
cerita yang ini termasuk salah satu yang paling serem dan gak ketebak. aku gak nyangka hantunya bakal ngomong gitu di ending hahaha gila serem amat kalo ngalamin sendiri ya hiiiih. aku malah sempet mikir bis nya bis hantu kkkkk. aku suka penggambaran lokasi di halte yang ada light-box nya, berasa banget kayak di k-drama kkkkkk
byunleeteuk #3
Chapter 2: Saeng, setelah dikasih tau kalo hongki itu kakaknya jaejin, aku langsung baca lagi ff jaejin bagian awal yg tentang kakaknya. Sedih juga ya dikira kabur dari rumah padahal......... Aku paling suka part rambut si hantu mulai keluar dari lukisan dan ngebelit hongki, kebayang banget visualisasinya. Terus serem banget part "muncul sepasang mata, berkedip ulang membalas tatapan Hongki" dan "air terjun hitam dalam lukisan bukanlah air terjun sesungguhnya, melainkan perwujudan dari sebuah rambut hantu yang panjang terurai dengan sepasang mata di tengah-tengahnya" ngeri gilaaaa haha.
Oiya saeng di paragraf 13 di kalimat "Ayah menatap lekat-lekat pada lukisan pembeliannya" menurut aku lebih enak jadi "lukisan yang dibelinya" dan yg " perwujudan dari sebuah rambut hantu" menurut aku enaknya dihilangkan aja "sebuah"nya.
byunleeteuk #4
Chapter 3: Ini yg kedua aku baca dari seri ini karena judulnya bikin penasaran, dari judulnya gak ketebak horornya bakal kayak gimana. Ternyata serem dan sadis juga ya.......si jonghyun mending idup aja deh daripada mati, lebih nyeremin haha. Kasian wonbinnya saeng, jadi kebawa-bawa mati huhuhu. Oiya saeng yg ngintip di balik pintu rooftop setelah jonghyun pergi dari hadapan sunyeo dan jaejin, itu masih jonghyun kan?
byunleeteuk #5
Chapter 4: 안녕~~~ seperti biasa pasti ff main bias yg pertama dibaca hehe. Btw udah 2 ff jonghun endingnya tragis saeng huhuhu (yg jonghunnya waktu itu jd guru les gitar dan bunuh muridnya). Bagus saeng ff nya ada pesan moralnya "gak boleh melawan orangtua, nanti kualat" haha. Bagus jg penggambaran hantunya dab pergerakannya jelas saeng, jd aku bisa bayangin gimana visualisasinya. Tapi jadi kepo, si hantu ini dulu matinya gimana sampe jadi hantu penunggu gitu? Apa jonghun bisa jadi hantu penunggu juga terus temenan sama hantu yg ngebunuh dia? (Ga penting banget keponya hahaha)