ERUDIUS : The Hypocrisy

ERUDIUS : THE HYPOCRISY
Please Subscribe to read the full chapter

Aku mengedipkan mataku berulang kali, lalu ku tutup sejenak dengan wajah menghadap ke langit. Berharap, hamparan luas di atas ku ini berubah menjadi lebih cerah dari biasanya. Rasanya kurang menyenangkan melihat warna langit yang hampir serupa setiap hari ; abu-abu, abu cerah, abu kemerahan, abu kebiruan, jingga, atau sama sekali gelap pada malam hari. Oh, tidak. Bukan gelap sama sekali. Kami masih bisa melihat bintang yang sangat indah semenjak hari mulai senja. Kadang aku sangat iri dengan Bumi yang pernah ku kunjungi. Manusia di sana bisa menikmati langit biru cerah indah, dengan matahari yang hangat. Tapi aku tak bisa menikmati hal itu di sini, planet kami bisa dibilang terlalu kelabu, dan jauh dari matahari. Ah.. mungkin terlalu kelabu bagiku, bukan bagi kakakku yang sekarang sedang menikmati hari tercerah yang menurutku berlangit kelam ini. Mungkin bintang terdekat dari Erudius ini bisa disebut matahari? Tapi rasanya aku lebih suka cahaya matahari di Bumi..

“Apa yang kau pikirkan?” ujar kakakku yang sedang berbaring di atas kursi santai, matanya melirikku dari balik kacamata hitam besar yang ia kenakan.

“Oh, aku hanya rindu cuaca di Bumi,” ku tarik nafasku sejenak, “rasanya aku ingin pergi ke sana lagi sesekali,”

“Kalau begitu pergilah, Kris berencana pergi ke sana bulan depan,”

“Aku tahu, tapi tidak bisa. Aku harus menyelesaikan program pendekku”

“Ah..” jawabnya acuh tak acuh sambil kembali menikmati waktu bersantainya.

Ya, program pendek yang kujalani sekarang rasanya membuat otakku mulai membesar. Bagaimana tidak, hampir setiap hari aku harus berlatih menghitung angka-angka yang berderet sangat banyak, dalam waktu cepat. Lalu mempelajari berbagai ilmu elektro, mesin, dan lain-lain. Ok, baiklah.. Memang sebenarnya aku tidak boleh mengeluh karena program pendek ini adalah pilihanku sendiri, karena aku sangat ingin menjadi peneliti hebat seperti ayahku yang berhasil membuat berbagai peralatan canggih seperti pesawat luar angkasa model terbaru dengan kecepatan super, atau mungkin bahkan suatu saat ayahku bisa membuat mesin waktu? Ah tidak, pengendalian waktu hanya bisa dilakukan oleh mereka. Mereka, manusia dengan kemampuan pengendalian waktu yang jumlahnya sangat minoritas. Mungkin hanya mencapai 2 sampai 5% penduduk Erudius? Mungkin ya..

“Sebaiknya kau juga bekerja, Oppa. Lakukan sesuatu,” Ujarku seraya bangkit dari posisi duduk. “Atau pergi melakukan penelitian mengenai Bumi dengan Kris Oppa”

“Itu membosankan, hidupku masih panjang dan aku ingin menikmatinya dengan baik” ujarnya, tanpa menoleh sedikitpun padaku.

“Hei.. kau selalu bermalas-malasan semenjak lulus sekolah. Bahkan aku mengambil program panjang dan pendek selepas kelulusan, lalu apa yang kau lakukan sekarang?!” protesku. Ah.. kakakku ini bernar-benar..

“Cukup adik kecil, pergilah, selesaikan program pendekmu. Langit cerah ini masih menahanku untuk lebih lama bersamanya..”

“Chanyeol Oppa kau benar-benar..” aku membulatkan mataku, lalu tanpa memindahkan langkah kaki, tanganku bergerak mengumpulkan panas hingga terbentuk percikan api. Sedetik kemudian api itu berubah menjadi lebih besar dan ku lemparkan ke arah kakakku.

Seketika kursi beserta tubuh tinggi kurus kakakku itu terlempar.

“Kau gila!!!!!! Aya!!!!” teriaknya dengan mata bulat yang sangat mengintimidasi. Aku hanya tersenyum mengejek, lalu berlari meninggalkannya.

***

Jika ingin mendapatkan penjelasan mengenai tempat tinggalku secara rinci, mungkin akan lebih baik jika kalian membaca sebuah buku legendaris setebal 20 cm berjudul ‘Erudius’ yang ditulis 500 tahun lalu oleh seseorang bernama Vrederik. Atau.. tidak usah, aku akan menceritakannya secara garis besar.

Aku tinggal di sebuah planet yang terletak di luar tata surya, sangat jauh dari planet Bumi. Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa aku sangat sering menyebutkan nama Bumi? Ya, karena aku sangat menyukai Bumi. Mungkin inilah yang disebut penduduk Bumi sebagai planet Alien. Tapi ada beberapa hal yang perlu mereka tahu mengenai ‘Alien’ yang tinggal di planet ini : Kulit kami bukan abu-abu, bukan kuning atau hijau, bahkan merah. Tidak pula dipenuhi keriput atau lendir, mata kami tidak bulat hitam besar dan kepala kami tidak lebih besar dari pada tubuh kami. Seperti halnya manusia Bumi, fisik kami juga serupa mereka. Kami juga kadang kala pergi mempercantik diri seperti apa yang mereka lakukan. Ah.. aku benci jika harus berbicara mengenai hal ini..

Oh, namun  diantara banyak hal yang didak masuk akal di planet kami, beberapa hal ini pastinya tidak akan bisa diterima akal sehat manusia Bumi. Masing-masing dari kami terlahir dengan sebuah kemampuan khusus. Kemampuan kami digolongkan menjadi 5 dasar kelompok, api, air, udara, tanah, dan golongan khusus. 5 golongan kemampuan ini memiliki cabang kekuatan tersendiri. Api : api, cahaya; Air : air, es; Angin : angin, suara; tanah : tanah, petir; serta golongan kemampuan khusus yang lebih banyak memanfaatkan kemampuan pikiran mereka, yaitu : penyembuhan, telekinesis, teleportasi dan pengendalian waktu. Misalnya aku, aku terlahir dengan kemampuan pengendalian api. Diantara kelima golongan itu,  manusia dengan kemampuan pengendalian waktu, seperti yang telah ku katakan tadi, jumlahnya sangat sedikit.

Kami hidup berdampingan, saling membutuhkan dan bergantung satu sama lain. Apalagi, bisa dibilang Erudius merupakan planet yang agresif, hampir setiap hari bisa terjadi gempa besar dan badai petir. Lalu manusia dengan golongan kemampuan pengendalian tanah lah yang bisa mengontrolnya.

Walaupun begitu, ada beberapa batasan dan norma di sini. Mungkin sebuah hukum alam juga. Kami tidak bisa menikah dengan pasangan yang memiliki kemampuan berbeda. Bukan hanya melanggar norma, namun bisa mempengaruhi kualitas daya tahan tubuh diri sendiri. Sehingga ketika sepasang lelaki dan wanita dengan kemampuan berbeda saling mencintai, lalu salah satu hormon mereka akan naik secara alamiah. Tubuh mereka bisa mengerti, kontak fisik-nonfisik mana yang dikehendaki. Jika tubuh menolak, masing-masing dari pasangan akan kehilangan kemampuan khususnya secara perlahan dan bertahap. Bahkan karena daya tahan tubuh yang memburuk, resiko kematian bisa datang kapan saja. Sebuah hal yang sulit dan sangat kompleks ketika manusia Erudius saling jatuh cinta dengan golongan kemampuan yang berbeda. Beberapa dari kami bertahan dengan kehidupan percintaan mereka yang seperti itu. Meskipun mereka ternyata masih bisa hidup dengan baik tanpa kemampuan, atau lebih lemah dari sebelumnya, namun hal ini tetap tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang sehingga mereka seringkali akan dikucilkan. Beberapa dari mereka juga ada yang akhirnya bisa menghasilkan keturunan. Namun anak dari pernikahan campuran memiliki nasib yang tidak baik, resiko kematian tinggi, hidup tanpa kemampuan khusus, dan pasti akan dikucilkan.

Lalu hal ini akan semakin sulit ketika kau sendiri yang mengalaminya. Seperti saudara sepupuku, Ran yang sekarang sedang ‘menikmati’ hubungan lintas kemampuannya, hingga berbagai kekacauan terjadi. Atau seperti aku, yang saat ini sedang menatap lekat laki-laki itu dengan perasaan campur aduk.

Mungkin nasibku akan sama menyedihkannya seperti Ran, yang rela melepaskan kemampuan pengendalian api nya agar bisa bersama dengan orang yang ia cintai. Aku tahu, dan aku tidak peduli jika hal itu juga terjadi padaku. Ah.. bukan.. sebenarnya aku sangat ingin bersikap seperti apa yang aku katakan dalam kalimat sebelumnya, tapi aku terlalu takut bahkan ketika hanya membayangkannya. Melihat Ran dalam kondisi seperti saat ini saja sudah membuat hatiku sakit dan sangat khawatir.

Kadang kakakku, Chanyeol itu dengan ringan akan berkata, “Kenapa kalian tidak bisa jatuh cinta dengan manusia sesama pengendali api? Baekhyun salah satu pria yang tidak akan membuatmu kehilangan kemampuan khususmu. Lalu kenapa kalian tidak jatuh cinta pada Baekhyun hingga hal-hal seperti ini tentu tidak akan terjadi?”

Benar, Baekhyun. Kenapa bukan dia? Padahal kami hidup berdampingan semenjak lahir. Baekhyun-Ran-Aku. Lalu kenapa bukan Baekhyun? Kenapa harus Luhan dan Xiumin? Hingga membuat Ran sama sekali tidak bisa berbicara saat ini, menjadi bisu. Atau seperti aku yang harus memendam perasaanku pada Luhan, demi mempertahankan kemampuanku. Demi menggapai cita-cita ku untuk menjadi peneliti hebat seperti Ayah. Lalu aku akan membuat pesawat yang lebih canggih dari yang ia buat, dengan ilmu yang kuraih dari program pendek ini.

Dan yang terpenting.. aku ingin membuat serum khusus untuk menyeimbangkan hormon yang meningkat itu dan menghindari penurunan kualitas imun tubuh orang-orang yang terjebak dalam hubungan kompleks percintaan antar golongan kemampuan. Sesuai dengan fokus bidang studi yang ku pelajari pada program panjang lalu.

Aku berusaha mengendalikan pikiranku sendiri, memandangi pria ber-aura pangeran yang  berdiri dengan buku terbuka di tangannya. Aura wajahnya yang sangat lembut membuat setiap wanita akan terhipnotis. Tentu, seperti aku.

Sepertinya ia menyadari keberadaanku, aku lupa jika kemampuan telekinesis nya bisa membaca keadaan sekitar dalam sekejap. Ia menutup bukunya dan melihat ke arahku, “Aya!” panggilnya dengan bibir tersenyum, membuat jantungku semakin berdetak kencang karenanya.

“Luhan Oppa!” balasku sambil melambaikan tangan, lalu menghampirinya.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini? Jam pelajaran sudah lama selesai, kan?”

“Kenapa kau bertanya? Kau bisa mengetahuinya begitu bertemu denganku, kan?” aku menaikkan sebelah alis mataku, menatapnya dengan tatapan yang tak lagi begitu dalam seperti sebelumnya.

“Kau pikir aku bisa membaca pikiran orang lain?” jawab Luhan seraya tertawa kecil.

“Kau bisa mempelajarinya dengan cepat,”

“Itu melanggar hukum dan norma, kami tidak boleh mempelajari hal itu seenaknya,”

“ah.. benar, itu akan melanggar privasi orang lain, hahahaha”

Luhan kembali tersenyum, sorot matanya.. Semakin ku lihat, semakin membuatku menyukainya. Jika ia benar bisa membaca pikiranku, mungkin aku akan sangat malu sekarang. Karena dalam pikiranku ada banyak sekali potret wajahnya, ekspresinya yang selalu terlihat tenang dan lembut. Karakter kuat seorang pangeran berkuda putih dalam dongeng ciptaan manusia Bumi. Segalanya terekam jelas dalam otakku.

“Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?” tanya Luhan.

“Aku? Aku hanya akan kembali ke pusat penelitian pengobatan,”

“Ku pikir kau memilih program pendek dengan fokus teknologi penerbangan?” Mata Luhan kini bertemu dengan mataku, sorot matanya terasa sedikit menelisik. Seperti benar-benar ingin mengetahui sesuatu, atau mungkin hanya perasaanku saja? Tidak, aku tidak boleh bertemu pandang dalam waktu lama dengannya, jika tidak ingin ia menebak isi kepalaku. Begitulah, walaupun kemungkinan tebakannya tepat hanya 70%.

“Oh.. aku hanya tidak mau melupakan fokus program panjangku. Hanya.. berlatih,” jawabku seadanya. Memang benar. Walaupun saat ini aku ingin menguasai ilmu teknologi penerbangan antariksa agar aku bisa membuat pesawat galaksi dengan kecepatan tinggi hingga terasa seperti melakukan teleportasi, tapi ada sesuatu yang lebih aku inginkan dari itu. Serum. Dan selama ini Luhan tidak tahu-menahu dengan penelitian yang kulakukan.

“Kau hebat sekali, tak heran jika universitas memberikan penghargaan siswa terbaik tahun lalu. Kau memang jenius seperti ayahmu,”

Aku hanya tersenyum simpul mendengar pujian Luhan.

Bukan. Bukan jenius. 5 tahun aku menghabiskan waktu untuk menemukan formula yang tepat untuk sebuah serum pencegah penurunan kualitas tubuh karena hubungan kompleks percintaan lintas kemampuan itu. 5 tahun untuk sebuah penelitian memang masih sebentar. Tapi aku sangat tidak sabar untuk merasakan keberhasilanku. Aku.. hanya tidak mau menahan perasaan suka ku pada Luhan lebih lama. Aku selalu takut dengan perasaanku sendiri, semenjak aku pertama kali bertemu dengannya saat usia ku 6 tahun. Takut dengan bayangan kesakitan orang-orang yang mengalami kisah percintaan tabu itu. Bayangan akan kakak cantik yang selalu merawatku hingga usiaku 7 tahun, yang meninggal tepat di depan mataku dengan wajah dan kulit badan membiru hanya karena ia memperjuangkan cintanya bersama pria dari golongan angin. Dengan mata yang menatapku kosong-berair mata, Kakak cantik, Kyora. Yang sudah ku anggap sebagai ibuku sendiri, kaku di hadapanku. Kyora, ibu yang bukan ibuku, pengganti sosok ibu kandungku yang meninggal begitu ia melahirkanku.

Dan kondisi Ran yang semakin memburuk saat ini membuatku sangat depresi ketika lagi-lagi gagal dalam membuat serum ‘dewa’ tersebut.

“Aku harus segera pulang sekarang.. Aya! Semangat!” ujar Luhan kemudian setelah melirik jam tangannya. Aku mengangguk, “Un, Oppa! Sampai bertemu lagi!”

Luhan berlalu setelah melambai padaku. Aku juga terus melambaikan tangan padanya hingga aku tak bisa melihat lagi punggungnya. Lalu tiba-tiba ekspresi ku berubah, bibirku menekuk. Kakiku melangkah menuju pusat penelitian dengan langkah lemas.

***

Teman sekaligus mentorku ini terus mengawasi gerakku semenjak tadi. Pria dari golongan kemampuan penyembuh itu tak berkata sedikitpun semenjak aku mulai memainkan botol-botol kaca ini.

“Tak adakah yang ingin kau katakan?” tanyaku dengan mata masih terfokus pada selembar kertas bertuliskan rumus-rumus yang terlihat seperti coretan siswa TK.

“Tidak..” Jawabnya dengan ekspresi wajah yang begitu datar, namun tetap mengawasiku.

“Baiklah aku akan bicara. Kau tahu kan, golongan kami sekalipun tidak pernah bisa menemukan formula yang tepat untuk serum ini, sekalipun bakat alamiah kami menyembuhkan orang yang sakit baik dengan bantuan obat-obatan, serum, alat kesehatan, atau hanya dengan kekuatan kami. Sesekali seseorang dari kami akan penasaran dan meneliti hal yang yang sangat ditentang penguasa Erudius ini, namun hasilnya nol. Kau yakin hal ini bisa berhasil?” tanya Lay panjang lebar.

Aku menatapnya kesal, “Aku akan mencobanya hingga aku mati, walaupun penelitian seperti ini ditentang penguasa Erudius sekalipun karena melanggar aturan. Dan hal ini akan berjalan baik jika kau tidak memberitahukan apa yang sedang aku lakukan ini pada siapapun, Oppa. Lagipula... hei.. kau mentorku! Seorang mentor seharusnya menyemangati, bukan menjatuhkan semangat seperti ini,”

“Aku tahu, baiklah terserah..” jawabnya, kali ini seraya menaikkan kedua tangannya ke atas meja di depanku. Menjatuhkan dagunya di telapak tangan yang ia bentuk sebagai topangan.

Lay salah satu manusia Erudius dari golongan penyembuh. Dengan bakat alamiahnya, ia bisa mengetahui apakah serum yang kubuat sudah sesuai atau belum, hanya dengan menyentuhkan ujung jarinya pada cairan yang ku buat. Orang-orang seperti Lay sangat ahli dalam membuat obat, kecuali serum ini. Selain melanggar aturan, memang tak ada seorangpun bahkan dari golongan penyembuh yang bisa–sekalipun memiliki manfaat hanya sedikitpun–menciptakan serum dewa ini.

“Para Elit Erudius semakin membuat para pasangan lintas golongan terpuruk saja,” komentar Lay dengan mata malasnya.

“Hmm..” jawabku tanpa memandangnya, masih sibuk menghitung formula.

“Pasangan sesama golongan diperlakukan seperti emas, bahkan anak mereka diperlakukan seperti berlian,” lanjut Lay, masih dengan mata malas dan dagu yang ditopang. “Lalu pasangan lintas golongan, walaupun mereka kesakitan sekalipun, mereka tak peduli. Dengan alasan, ‘Mereka melanggar norma’.”

“Hmmm..” responku lagi.

“kau masih tidak akan menyerah? Lalu memilih pria dari golongan api dari pada telekinesis,”

Kali ini aku mengangkat wajahku, “Hei, Lay Oppa! Kenapa kau berkata seperti itu? Kau benar-benar..”

“Aku hanya memberikan sedikit nasihat,” Lay mengangkat kedua bahunya.

“Sayangnya nasihatmu tidak membuatku bisa mengalihkan pandangan dari pria golongan telekinesis,” jawabku seraya mengambil beberapa tabung kecil berisi cairan kimia. Aku hendak meneteskan salah satu cairan itu pada sebuah tabung reaksi.

“Ah! Jangan gunakan cairan itu lebih dari setetes jika kau tak ingin tenggorokanmu terbakar,” ucap Lay mengingatkan, kali ini dengan membulatkan matanya.

“Aku tahu.. aku tahu.. aku hanya menggunakan kurang dari setetes,” bela ku seraya meneteskan cairan berwarna violet itu pada tabung reaksi yang terletak di atas timbangan kecil.

“Jangan lupa panaskan itu terlebih dahulu,” titah Lay.

“Uhm,” Jawabku seraya membuat api kecil.

“Api mu masih terlalu besar,”

Aku mengarahkan telunjukku pada api, lalu menariknya perlahan, “Sebesar ini?” tanyaku ketika api di depanku ini lebih kecil dari sebelumnya.

“Ya, itu cukup,” angguk Lay selanjutnya.

Setelah beberapa jam mencampur adukkan cairan dengan proses panjang, akhirnya sebuah cairan baru berwarna hijau kekuningan ini selesai ku buat.

Lay menyelupkan ujung jari manisnya pada cairan itu. Alisnya berkerut.

“Bagaimana?” tanyaku penuh harap.

“Ini lebih buruk dari sebelumnya,” jawab Lay.

Aku mengempaskan tubuhku di kursi. Serum ini benar-benar membuatku emosi. Entah telah berapa juta kali aku menghitung rumus, berapa ratus kali aku mencoba membuat serum ini, tapi sejauh ini sama sekali belum menandakan peningkatan, bahkan hanya nol koma sekian persen pun. Tak ada.

“Apa yang kulakukan selama ini sebenarnya..” keluhku.

Lay mengusap rambutku dengan keras, “Sebaiknya kita makan malam dulu, adik mentor,” ajak Lay seraya membereskan meja. Aku masih duduk dengan badanku yang lemas, tak menjawabnya.

“Hey, kau dengar?” tanya Lay sekali lagi.

“Aku dengar..” jawabku malas. Lay masih terus sibuk merapikan meja. Sedangkan aku sama sekali tak bangkit dari kursi.

***

Malam hari di Erudius berarti rumah bagi para pengendali air. Suhu planet akan menurun drastis hingga -90°C. Karena itulah manusia Bumi tidak bisa tinggal di sini, kondisi kehidupan kami terlalu berbeda dengan mereka.

Langit malam ini sangat cerah, hingga hamparan bintang itu terlihat semakin indah. Aku berdiri mematung sambil terus membuka mulutku, membuat udara dari dalam tubuhku ini membentuk uap. Sejujurnya aku lebih menyukai malam hari dari pada siang hari. Di siang hari, yang kulihat hanya suasana kelabu di langit. Sedangkan pada malam hari, aku seperti berada di sebuah museum dengan dekorasi langit-langit yang canggih dan indah. Walaupun udara pada pagi dan siang hari sangat sejuk, sedangkan pada malam hari seperti berada dalam freezer raksasa, suasana malam tetap tidak terkalahkan bagiku.

“Ayo pergi,” ajak Lay sambil menepuk pundakku. “Aku sudah sangat lapar sekarang,” lanjutnya.

Aku yang juga merasakan hal sama dengannya, mengangguk cepat menyetujui ajakannya. Aku mengikuti langkah Lay menuju tempat dimana mobilnya berada.

“Kau mau makan apa?” tanya Lay begitu kami berada di mobil.

“Sup panas,” jawabku singkat.

“Sup? Apa otakmu tak punya referensi makanan lain?” ujar Lay tanpa menoleh sedikitpun padaku.

“Tidak. Aku hanya ingin sup panas,” jawabku malas. Moodku masih terlalu rendah sekarang, namun pemandangan malam bisa sedikit menghibur hatiku.

“Baiklah.”

Lay terus menyalakan mesin mobilnya hingga cahaya biru menyala dari bagian bawah mesin mobil. Sedetik kemudian badan mobil mengapung setinggi 50 cm dari tanah dan Lay melajukan mobilnya menyusuri jalanan lengang.

Pikiranku kosong, rasanya kantuk mulai menyerangku. Berkali-kali aku menguap lebar. Lay sama sekali tak mencairkan suasana, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Tidak heran jika rasa kantuk lebih dominan mempengaruhiku saat ini.

“Sampai kapan kau akan melamun? Kita sudah sampai,” ujar Lay seraya hendak keluar dari dalam mobil. Aku mengedipkan mataku, kenapa cepat sekali.. aku bermimpi atau apa?

“Hey, kau mau makan atau tidak?” kali ini lelaki tinggi itu telah berdiri di luar mobil, lalu tangannya menutup pintu mobil. Tak lama kemudian aku pun menuruti langkahnya, keluar dan menuju pintu masuk restoran tak jauh dari posisi kami sekarang.

Ketika badanku memasuki ruangan, udara dingin di luar sama sekali tak membuat pipiku memerah lagi. Udara di dalam begitu hangat. Suara sendok-garpu dan piring yang beradu begitu akrab di telingaku. Seseorang berpakaian sangat rapi menuntun kami menuju tempat di mana kami akan menikmati hidangan nantinya, lalu menyalakan sebuah hologram di atas meja. Lay yang duduk di seberangku terlihat samar-samar karena tertutup bayangan hologram.

Jemariku sibuk memilih menu yang terpapar di hologram. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku ingin makan sup panas.

Selesai memesan, aku melihat ekspresi wajah Lay dengan mata malasnya yang mendominasi. Aku tertawa kecil, “Oppa, sebegitu tidak senangnya kah kau berada denganku? Bahkan setelah hampir 12 tahun kita saling mengenal?”

“Kau jangan mengejekku. Kau tahu persis bagaimana ekspresi wajahku ketika sedang lapar yang memang seperti ini,” balas Lay. Aku hanya tertawa, kakak kelasku ini memang benar-benar lucu.

Sedetik kemudian tawaku terhenti, “Oh..”

Lay mengikuti arah tajam mataku, kepalanya menoleh 90 derajat.

“Kenapa kita tidak makan bersamanya saja?” ujarku pada Lay. Lay mengangguk menyetujui perkataanku. Ketika aku akan mengangkat tangan hendak memanggilnya, segera kuurungkan niatku. Beberapa orang berpakaian begitu formal mengikuti langkahnya, juga seorang wanita cantik.. serta wajah yang sangat familiar lainnya, ayah dan ibu Luhan.

Mataku terus mengikuti kemana rombongan itu pergi, hingga pandanganku tak lagi menangkap mereka. Mereka memasuki sebuah ruangan khusus VIP. Aku yakin pasti mereka melakukan pertemuan formal lagi, semacam pertemuan antar pejabat penting yang selalu Luhan ceritakan padaku.

“Pertemuan kenegaraan?” ujar Lay acuh tak acuh.

Aku mengangkat kedua pundakku. Lalu kembali menatap sejenak pintu ruangan VIP yang mereka masuki.

***

“Aya!!” Teriak seseorang dari ujung lorong di belakang. Membuat langkahku terhenti, ku balikkan tubuhku menghadap arah berlawanan dari sebelumnya. Seseorang dengan rambut kecoklatan khas golongan api berlari begitu cepat, lalu begitu ia hampir mencapai posisiku, tangan kirinya menyergap pundakku, membuatku sedikit tersedak dengan ludahku sendiri.

“Apa yang kau lakukan?! Ya ampun..” ujarku dengan mata membulat.

“Hehe.. aku hanya merindukan adik kecilkuuu,” ujarnya manja, matanya semakin sipit karena tertarik otot-otot wajahnya yang sedang membuat sebuah senyuman.

“Baekhyun tanganmu berat.. dan usia kita hanya terpaut satu tahun, lalu aku juga bukan adik kecilmu!”

“Aigoo.. adikku Aya.. kau sedang datang bulan? Kita tidak bertemu satu hari dan sikapmu berubah begitu dingin seperti saat periode pms-mu, hahahahaha” tawa Baekhyun sambil terus merangkul pundakku.

Aku melirik tajam padany

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Tikakyu #1
Chapter 1: Ah benar, bagaimana dengan baekhyun? Dia juga menyukai Aya kan?
Tikakyu #2
Chapter 1: Menakutkan jika apa yang terjadi pada Aya dan Luhan terjadi dikehidupan nyata, terutama terjadi pada diriku sendiri... Ahh authornim cerita yang sangat menakjubkan.

Tapi pas diakhir aku gak ngerti, yang menyekap Aya itu siapa. Tapi aku pikir itu Luhan....