The Day After

The Nerd Xi Luhan

 

 

The Day After


Apakah mungkin ia sudah mulai menerimaku? Apakah mungkin Luhan memiliki perasaan yang sama denganku?


Ketegangan sempat mengisi ruangan itu selama beberapa menit. Tak sedikitpun mereka dapat melepaskan perhatian mereka pada berbagai macam layar monitor yang tertanam pada dinding dari berbagai sisi. Setelah memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja, helaan nafas terdengar.

Kelima namja itu lalu bertepuk tangan. Raut sumringah terpancar dari wajah mereka.

Salah satu namja yang terlihat paling muda memancing ponsel dari sakunya “Sepertinya semuanya akan baik-baik saja—sesuai dugaanku.” Ia tampak kembali memainkan permainannya yang sempat tertunda dengan senyum lebar terpasang di wajahnya. “Kita tak perlu mengeksekusi plan B.”

Seseorang yang tampak lebih tua darinya menyambar ponselnya tsb—menghasilkan protes dari namja pertama. “Belum, sebelum kita melihat mereka sampai ke rumah mereka dengan aman.”

“Aish. Ya! Ada kedua namja kuat di sana. Sudahlah. Mereka pasti sudah aman.”

Meski aksi protes namja pertama terus saja diluncurkan, namun namja kedua itu tetap saja menyita ponselnya.

Malah kini ia memasukkan ponsel itu ke dalam saku celananya.

Setelah mengurus namja pertama itu, ia kini menuju ke tengah-tengah ruangan sambil menepukkan tangannya sekali—mencoba mencari perhatian dari keempat namja yang berada di sekelilingnya sedang bersibaku dengan layar monitor mereka.

“Baiklah sekarang kita akan menyusup ke berbagai cctv. RapMon—kau akan menyusup ke cctv sepanjang jalan kepulangan mereka.”

Ia lalu mengalihkan padangannya ke arah temannya yang lain “Sedangkan kau Jin—kau akan menyusup ke cctv apartemen milik Luhan,Jonghyun dan Flat milik Taehyung.”  

---------------------------

 

            Luhan melenguh pelan seraya menyipitkan matanya tatkala silau cahaya matahari pagi menerpa wajahnya. Ia terbangun, melepaskan tubuhnya dari bed. Ketika ia terduduk, sebuah note terjatuh dari jidatnya. Luhan memungutnya dan mendapati sebuah tulisan yang rapi tertulis di atasnya.

 

Aku telah membuatkan sarapan untukmu, Taehyung dan juga Jonghyun.

Nikmati! –YJ

 

Sebelum benar-benar bangkit dari bed, Luhan menorehkan sebuah senyum. Selain karena hangatnya cahaya matahari pagi yang menerpanya, ia juga merasakan kehangatan di hatinya.

Mengingat Jihye, mengingat mimpi semalam, mengingat seseorang yang sepertinya ia telah yakin memang ia cintai.

 

---------------

 

           

Jihye memandang ke arah luar jendela. Bel masuk sekolah masih lama dan kini ia berada sendirian di dalam kelasnya. Pandangannya menerawang jauh—dan tetap seperti itu selama hampir setengah jam ke depan.

Yura mulai kemarin Senin harus mengurus sarapan keluarganya karena eommanya yang bekerja lebih awal dari biasanya sehingga mau tak mau, Jihye kembali berangkat sendirian dan menunggu Yura yang sepertinya masih lama akan berangkat ke sekolah.

Masih teringat betul kejadian kemarin di kepala Jihye. Betapa ia akhirnya mengetahui lebih dalam tentang Luhan. Rasa ingin tahu yang muncul karena rasa cintanya pada Luhan terbayar, membuatnya mengetahui lebih detail bagaimana sosok Luhan yang selama ini ia kenal seseorang yang culun, pendiam, menyebalkan namun juga lihai—lihai mencuri hati Jihye tanpa Jihye sendiri sadari. Apalagi ketika ia tahu bahwa Luhan menjauhinya bukan karena Luhan membencinya—namun karena Luhan takut dirinya akan membawa hidup Jihye ke dalam bahaya.Hal itu lantas sedikit memberikan harapan pada Jihye.

Namun kini masalah penculikan telah usai—setidaknya untuk saat ini. Ada satu masalah lagi yang menghadangnya. Tentang kepingan masa lalunya yang tiba-tiba berdatangan kemarin malam. Seperti sebuah bagian puzzle—semuanya begitu terpecah. Meski kepingan tersebut memang bagian dari masa lalunya, ia tidak bisa mengaitkan semuanya.

Ia memejamkan matanya lagi, berusaha mengingat lebih dalam tentang semua itu. Namun yang ia ingat lagi-lagi sebuah ingatan yang datang padanya kemarin malam. Masih sama.

Suara tembakan. Tangisan anak kecil. Jeritan wanita. Keributan. Sebuah tangan yang melingkar di lehernya dan sebuah pistol di samping kepalanya. Sebuah tato berbentuk planet. Sebuah tangan kecil dengan tahi lalat di tangan kanannya yang mengulurkan tangannya untuknya. Tangan milik namja yang menjadi cinta pertamanya yang bahkan ia tak ingat akan namanya. Serta, percakapan intens yang terjadi antara namja berpakaian serba hitam dengan lelaki berusia 30 tahunan.

 

Betapapun Jihye ingin mengingat-ingat semua ingatan masa lalunya itu, ia tak bisa. Untuk saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah menyimpannya sementara waktu dan menunggu ingatan lain untuk muncul. Ingatan yang lebih utuh. 

Di samping semua itu, Jihye ingat betul akan kejadian tadi malam—ketika ia dapat melihat tahi lalat di tangan kanan Luhan. Ia bertanya-tanya, mengapa kepingan masa lalunya mendadak muncul ketika ia melihat tahi lalat di tangan Luhan itu?

Mengapa organisasi yang bersangkutan dengan Luhan memiliki lambang tatto yang sama dengan lambang tatto yang ia lihat 9 tahun yang lalu?

Apakah mungkin Luhan adalah namja masa lalunya?

Helaan nafas terdengar dari mulutnya. Semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa ia tidak akan mendapatkan jawaban.

Ah tak mungkin bukan. Itu terlalu kebetulan. Sepertinya, imajinasiku terlalu berlebihan.

Dengan pemikiran itu, ia pun memutuskan untuk berusaha menghibur diri menggunakan gadgetnya.

Diambilnya tas sampingnya itu yang berada di bangku sebelahnya. Terkejut. Itulah apa yang ia rasakan ketika tahu tasnya ternyata berpindah ke meja dan ada seseorang yang menempati bangku sampingnya.

Kamjagiya!” teriaknya spontan—tatkala ia melihat seseorang sedang memandangnya seraya memasang sebuah senyum.

Jihye sempat marah, mengumpat pada sosok di sebelahnya itu. Tapi tak berlangsung lama—karena seseorang itu adalah orang yang sedang memenuhi hatinya saat ini.

“Selamat pagi.” sapa namja itu—masih memasang senyum.

Tentu saja, Jihye membalas senyum namja itu dengan sebuah senyum pula. Mereka saling bertukar senyum.

Tak lama, Jihye dapat merasakan namja itu memegang tangannya dan membawanya ke suatu tempat.

Jihye dapat merasakan darahnya berdesir mengingat sesuatu yang Jihye rasakan sekarang adalah skinship pertama yang dimulai dari namja itu. Meski skinship pertama mereka jelas-jelas ketika namja itu menciumnya di kantin—berusaha mengikuti permainan konyol yang Jihye buat, Jihye merasa ini adalah skinship pertama dimana ia dapat merasakan ketulusan dari Luhan.

--------------------

Terduduk di bangku taman sekolah, mereka berdua masih saja bergeming.

“Kemarin—“

“Kamu—“

Ketika mereka akhirnya mencoba untuk berbicara, keduanya mengucapkannya secara bersamaan.

Tawa ringan lolos dari bibir mereka.

“Kamu du—“

“Kamu dul—“

Lagi. Seperti sebelumnya, tawa lagi-lagi lolos dari bibir mereka.

Kali ini, Jihye lah yang pertama kali berhenti tertawa. “Baiklah. Jangan gunakan alasan ladies first, aku ingin kau yang mengucapkannya duluan.” Jihye tampak menyilangkan tangannya. Luhan mengangguk mengerti “Baiklah.”

Luhan tampak mengambil nafasnya dalam-dalam lalu menengokkan kepalanya ke samping—ke arah yeoja yang kini sedang menunggu kalimat datang dari mulutnya dengan wajah penuh antusias. Diawali sebuah senyum, Luhan akhirnya berucap. Meskipun pada akhirnya adalah kalimat lain dari yang sesungguhnya Luhan akan ucapkan.

“Kamu..tampak cantik hari ini. Rambutmu yang dikuncir kuda—sangat cocok denganmu.”

Satu kalimat.

Yang Jihye sama sekali tak duga akan keluar dari bibir seorang namja seperti Luhan. Maksudku, Luhan yang tampak pendiam, selalu berkomunikasi dengan buku dan selalu menjawab dengan ‘nae’ tak peduli apa pertanyaan yang ditanyakan.

Satu kalimat.

Yang berhasil dengan sangat sukses membuat wajah Jihye memerah—seperti lampu lalu lintas yang otomatis berwarna merah.

Lantas Jihye memalingkan wajahnya, terlalu malu jika Luhan melihat ke arah wajahnya yang menurutnya konyol. Tersenyum begitu senang dengan wajah berwarna semerah tomat.

Setelah mengendalikan diri, Jihye berusaha menemukan balasan untuk pujian tsb.

“Apa kau baru saja membaca buku ‘Bagaimana cara merayu seorang yeoja’, Xi Luhan?”

Kekehan lolos dari mulut Luhan sebelum ia membalas kalimat Jihye.

Ani.” Ia memandang dalam ke mata Jihye—menelusuri iris hitam miliknya. “Aku baru saja membaca buku ‘Berlatih berkata jujur.’”

Kali ini, kekehan lolos dari mulut Jihye.

Ia tampak menggerak-gerakkan kakinya dari tadi—merasa malu sekaligus senang, sekaligus gugup...semuanya menjadi satu. Suatu kondisi dimana Jihye tak dapat mengendalikan degup jantungnya yang berdetak sebanding lurus dengan waktu yang ia lalui bersama Luhan. Semakin bertambah waktu, semakin meningkat.

“Dan aku begitu beruntung karena kau menerapkan apa yang kau baca padaku.”

Kembali, mereka bertukar senyum.

Sebelum pada akhirnya Luhan mengucapkan sesuatu yang mengundang tinjuan ringan dari Jihye ke lengannya. “Bagaimana dengan menerapkan isi dari novel yang kau baca waktu itu?”

“YAA!”

--------------

 

 

Mereka tertawa. Mereka tersenyum. Mereka saling memandang. Mereka menghabiskan waktu mereka bersama. Tak peduli sekolah mulai terisi dengan para murid yang siap untuk menerima ilmu, mereka masih di sana—menghabiskan waktu bersama dengan senyum yang senantiasa merekah di bibir mereka.

“Aku tak percaya kita bisa seperti ini setelah kejadian kemarin malam..”ujar Jihye, setelah berhenti dari tawanya “Seakan, tak ada sesuatu yang telah terjadi.”

Jihye sama sekali tak tahu jika kalimatnya itu berdampak pada berubahnya raut wajah Luhan. Jika saja ia tahu wajah Luhan akan menjadi serius  setelah ia mengucapkannya, mungkin ia tak akan mengucapkannya saat ini.

“Aah aku tahu kau tak ingin membahasnya sekarang...”

“aku tahu kau telah mengetahui segalanya..” balas Luhan—kembali mengembangkan sebuah senyum. Meski kali ini tampak begitu tipis. “Alasan mengapa aku ingin kau menjauhiku..”

Bel masuk lalu berbunyi—membuat ucapan Luhan terpotong. Ia berdiri, beranjak dari bangku taman sekolah dan merogoh sesuatu dari jas seragamnya.

“Kali ini benar-benar dariku.” ucapnya setelah menjulurkan tangannya ke arah Jihye untuk memberikan secarik kertas.

Sebelum Luhan benar-benar pergi meninggalkan Jihye, ia menyempatkan diri untuk berbalik dan mengucapkan sesuatu yang lagi-lagi membuat wajah Jihye memerah. “Gomawo atas sarapannya. Aku sangat menikmatinya.”

----------------

 

 

Jihye terus melihat ke arah kertas di tangannya itu. Kembali membacanya dan me-recall kejadian kemarin sore yang tak elak membuatnya tertawa ringan. Ia juga baru saja menyadarinya mengapa ia bisa seberani itu. Menawarkan diri untuk menjadi sandera dan menyaksikan sebuah dunia yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Jihye sendiri juga tidak tahu mengapa, ia merasa ia sedikit menikmati sebuah pengalaman itu. Suatu pengalaman yang seharusnya ditakuti oleh yeoja seusianya, ia menikmatinya.

Raut wajah Jihye berubah ketika ia kembali mengingat pecahan puzzle dari ingatan masa lalunya itu.

Oh, demi Tuhan. Jihye ingin sekali tahu kelanjutan dari masa lalunya 9 tahun itu. usia ketika ia bertemu dengan namja yang belum dapat terlupakan dari benaknya meskipun ia telah menginjak usia 17 tahun. Her first love.

 

Mengapa kepingan masa lalunya mendadak muncul ketika ia melihat tahi lalat di tangan Luhan itu?

Mengapa organisasi yang bersangkutan dengan Luhan memiliki lambang tatto yang sama dengan lambang tatto yang ia lihat 9 tahun yang lalu?

Apakah mungkin Luhan adalah namja masa lalunya?

Pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul. Kembali, ia tak dapat menemukan jawabannya.

Aish. Mengapa aku harus memikirkannya ketika akhirnya aku telah menemukan cintaku yang sekarang?

Apalagi ketika Jihye mengetahui alasan mengapa Luhan ingin dirinya jauh darinya adalah karena ia tidak ingin Jihye berada dalam bahaya.

 

“Yoo Jihye!! YA. Kemana saja kau kemarin malam? Eomma mu mencarimu!”

Dengan segera, Jihye memasukkan kertas itu ke dalam saku jas seragamnya sebelum ia menengok dan mendapati Yura duduk ke bangkunya.

“Aaah. Gomawo Yura-a, telah membuatkan alasan untukku.”

“Yeah, untung eommamu percaya bahwa kau sedang berlajar kelompok kemarin malam.”

Terdengar tawa getir dari mulut Jihye. “Iya untung saja beliau percaya..”

 

“Memang darimana saja kau kemarin?” tanya Yura pada akhirnya.

Jihye tampak sedang memasang wajah berpikir. “Umm..Karaoke..Kau tahu, sepertinya aku menemukan target baru di sana.” Ia tertawa getir lagi—tak bisa berkata jujur pada sahabatnya. Lebih tepatnya, belum bisa.

“Aigoo...YA! Memang kau pulang jam berapa? Apa kau tahu tak seharusnya yeoja sepertimu pulang larut seperti itu...Aish.”

Jihye tersenyum ke arah Yura—melayangkan sebuah senyum “Gwaenchanaa. Aku bersama dengan temanku lainnya yang juga seorang yeoja dan kami tak melakukan apa-apa.”

“Syukurlah. Aku akan ke kantin sebentar membeli roti. Kau mau ikut?”

Jihye menggeleng dan Yura pergi dari sana setelah mengucapkan kata “Baiklah.”

 

Setelah Yura pergi, Jihye lantas tersenyum geli ketika ia memikirkan bahwa apa yang telah ia ucapkan adalah kebalikan dari apa yang telah terjadi. Kenyataannya, kemarin malam ia pergi bersama tiga namja dan ia adalah satu-satunya yeoja di antara mereka.

 

“Sepertinya..ada yang merasa sangat bahagia hari ini.”

Jihye mengenali suara itu—suara bass yang sangat dalam.

Ia menengokkan kepalanya ke belakang dan melihat Taehyung sedang memamerkan giginya. “Hai, putri yang diselamatkan oleh tiga pangeran.”

Jihye memutar badannya dan menghadap ke arah Taehyung. “Pangeran? Tch.”

Wae?? Berterimakasihlah aku telah mempersiapkan semuanya sehingga kau bisa selamat.” cibir Taehyung. Dilanjutkan oleh cibirannya yang lain “Kau tak tahu kan bahwa aku lah yang telah rela mengkhianati bossku sendiri demimu.”

Jihye terkikih. “Arra arra.” Senyum kemudian terbentuk di bibirnya. “Gomawo Kim Taehyung.”

“Permintaan terimakasih diterima jika diberikan bersama semangkuk sup daging.” Senyum lebar terkembang di wajah Taehyung--dibalas oleh Jihye yang memutar bola matanya.

Arrasso. Sepulang sekolah.” balas Jihye yang tentu saja tidak mengambil waktu ketika istirahat—waktu dimana ia akan bertemu dengan Luhan.  Setelah mendengar lampu hijau dari Jihye, senyum Taehyung melebar—bahkan lebih lebar dari sebelumnya dan kemudian ia mengacak-acak rambut Jihye “Aaah benar-benar putri yang tahu berterimakasih.”

“YAA!”

Kali ini Jihye berdiri, akan menyerang Taehyung, balas mengacak-acak rambutnya. Namun Taehyung bukannya meminta maaf malah memamerkan lidahnya “mehrong!”

-----------------

Mereka berdua terengah-engah, berlari menyusuri lorong. Setelah keduanya merasa lelah—yang sebenarnya Jihye lah yang merasa lelah dan Taehyung tidak tega melihat Jihye kelelahan sehingga ia memutuskan untuk memperlambat larinya—Taehyung akhirnya tertangkap oleh Jihye. Diacak-acaknya rambut Taehyung hingga menjadi seperti rambut Einstein.

Mengambil ponsel dari dalam sakunya, lagi-lagi Taehyung menggunakannya sebagai cermin dan mendesah ketika melihat rambutnya yang sudah ia sisir rapi dan bahkan diberi gel kini menjadi tidak keruan.

“Baiklah. Kau sudah membalasku.” Taehyung memasang wajah kesalnya dan melangkah pergi.

“Yaa wajah apa itu. Kau namja, Taehyung-ah . Tak pantas untuk memasang wajah seperti itu!” Jihye awalnya berdiam diri namun kini ia menyusul langkah Taehyung—diiringi oleh kekehannya ketika melihat wajah sebal milik Taehyung. “Ya namja pesolek!”

Ia sendiri juga tidak tahu mengapa. Padahal mereka berdua awalnya berselisih namun kemudian menjadi seorang kawan seperti ini. Perasaan yang sama ketika ia bersama Yura.

Mereka lalu berjalan beriringan. Jihye tak henti-hentinya tertawa ketika melihat Taehyung menata rambutnya seraya mematut bayanganya melalui ponselnya—kali ini Taehyung menggunakan front cameranya agar bayangannya tampak lebih terlihat.

“Tch. Benar-benar namja pesolek.”

“Pssss.”

Jihye terkekeh lagi—apalagi ketika melihat Taehyung memanyunkan bibirnya dan menatapnya sebal.

 

Setelah berhenti tertawa, Jihye pun diam sejenak. Sedari kemarin malam, ia memikirkan sesuatu yang aneh.

Dan ia berniat menanyakannya sekarang.

“Kim Taehyung.. Apa sebenarnya motifmu? Mengapa kau mengkhianati kelompokmu sendiri?”

Taehyung tampak diam. Melanjutkan aktivitasnya dan tak mengindahkan pertanyaan yang Jihye luncurkan.

Meski begitu, Jihye tetap menunggu.

Setelah selesai membenarkan rambutnya, Taehyung memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya dan tampak menerawang ke depan.

“Karena..aku tidak menyukai mereka. Aku bosan bergabung dengan mereka. ..” Masih bersambung. Taehyung tampak menghela nafasnya sepersekian detik lalu melanjutkan kalimatnya kembali seraya mengambil sebuah botol air mineral di depannya dan membuangnya ke tempat sampah yang terletak 5 meter di depannya.

“Karena aku ingin keluar dari organisasi itu.” lanjutnya. Tepat setelah ia berhasil memasukkan botol air mineral itu hanya dengan cara melemparnya.

Jihye memandang ke arah Taehyung—ia dapat melihat ketulusan dari ucapan Taehyung. Ia terus membiarkan Taehyung mengoceh dan mendengarkannya. Jihye merasa iba namun ia terus membiarkan Taehyung mengeluarkan unek-uneknya.

“Ketika mereka menyebutkan betapa hebatnya Luhan, aku tertarik. Aku merasa, mungkin aku bisa menjadi temannya sehingga aku terbebas dari mereka.”

Taehyung mengakhirinya dengan sebuah senyum—memandang ke arah Jihye. Aura melankolis mendadak luntur, tergantikan oleh wajahnya yang ceria—yang Jihye artikan sebagai wajah berusaha untuk tegar. ”Apakah sudah cukup jelas, tuan putri?”

Tanpa menunggu respon dari Jihye, Taehyung kembali berjalan, menghadap ke depan.

Jihye menyusulnya. Ia mengerti apa maksud dari semua yang Taehyung ceritakan. Tak pernah ia sangka Taehyung yang tampak selalu menghadapi hidup dengan santai itu ternyata memiliki sebuah masalah yang membayanginya. Terpaksa harus bergabung dengan organisasi yang tidak ingin ia ikuti.

 

“Bagaimana jika mereka mencarimu sama seperti saat mereka mencari Luhan?” tanya Jihye tiba-tiba.

Taehyung tampak mengerem langkahnya dan memandang ke arah Jihye sebelum menjawab pertanyaannya.

“Sepertinya mereka tak akan bisa. Karena ada Luhan, Jonghyun dan mungkin juga ....Jihye?”

Mencapai mulut pintu kelas 2-D, Taehyung melangkah menuju ke bangkunya. Begitu juga dengan Jihye. Namun lagi-lagi Jihye menggeram ketika rambutnya kembali diacak-acak oleh Taehyung yang ternyata belum puas untuk membuat Jihye sebal.

---------------------

 

Ketika istirahat bisakah kita bertemu di belakang sekolah?

-          XL (kali ini benar-benar Xi Luhan)

 

Mau berapa kalipun Jihye melihatnya, ia tak akan pernah bisa tidak tersenyum ketika membaca tulisan di secarik kertas itu.

Kepalanya dipenuhi oleh sosok Luhan yang sebelum bel masuk telah membuatnya tertawa—sebuah sosok Luhan yang lain di mata Jihye.

Apakah mungkin ia sudah mulai menerimaku? Apakah mungkin Luhan memiliki perasaan yang sama denganku?

Terus saja Jihye tersenyum sendiri ketika mengingatnya. Tidak salah bukan jika ia mengharap sesuatu yang baik akan terjadi padanya.

Apalagi setelah mengetahui bahwa Luhan ternyata menjauhinya karena tidak ingin Jihye berada dalam bahaya.

Saking ia terlalu bahagia mengingatnya—semua waktu yang ia lalui dengan Luhan mulai dari awal—tak terasa bel istirahat berbunyi.

Tanpa menunggu waktu lagi, Jihye beranjak dari kursinya, berpamitan dengan Yura akan pergi ke suatu tempat lalu melesat menuju tempat dimana dirinya dan Luhan akan bertemu.

Berbagai kemungkinan akan hal yang mereka bahas terlintas di kepala Jihye hingga akhirnya Jihye ingat satu pertanyaan yang akan ia tanyakan pada Luhan kemarin sore.

 

-----------------------------

Semuanya terjadi mirip seperti kemarin sore. Dimulai dengan Jihye yang menunggu Luhan di gerbang belakang sembari menata rambutnya melalui layar ponselnya. Kali ini, ia bahkan membongkar kuncir rambutnya dan mengikatnya lagi. Setelah Luhan memuji rambutnya yang dikuncir, ia berulang kali membongkarnya hari ini ketika pelajaran yang menuai rasa penasaran Yura—dan tentu saja Jihye tak mau mengemukakan alasannya. Ia masih terlalu malu untuk mengatakan bahwa ia belum bisa melupakan Luhan dan kembali dekat dengannya.

 

“Menunggu lama?” suara yang menyapa telinga Jihye itu kemudian membuat Jihye segera memasukkan ponselnya ke dalam saku jas lalu berbalik ke sumber suara.

“Aah aa-ani. Aku juga baru saja datang.”

Luhan lalu terduduk di pinggir bangunan dan meluruskan kakinya. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya.

 

Mereka saling diam—meski banyak sekali hal yang ingin mereka ungkapkan, namun tak satupun yang keluar dari mulut mereka.

Tersangkut di tenggorokan mereka dan mereka tidak tahu bagaimana untuk mengucapkannya.

Hingga akhirnya Jihye memulai semuanya. “S-sebenarnya..a-aku ing---ngin bertanya sesua--tu pa-padamu.” ujar Jihye pada akhirnya—meski terbata-bata.

Ia takut jika ia kehilangan momen baginya untuk mengucapkannya. Karena ia takut kehilangan momen seperti saat kemarin sore. Ia merasa, pertanyaan itu harus segera ditanyakan. Pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

“Hmm?” Luhan menengok ke arah Jihye yang terduduk di sebelahnya.

“A-aku ing—in bertanya se-sesuatu padamu, Luhan-a.”

 

Jihye mengutuk Luhan—mengapa ia harus memberinya sebuah senyum ketika ia akhirnya berani untuk segera menanyakannya. Membuat rasa gugupnya menjadi serasa berlipat menjadi beratus kali.

 

Ndae. Tanya saja.” balas Luhan—masih memandang ke arah Jihye.

 

Jihye mengambil nafasnya panjang. Baru kali ini ia segugup ini. Bahkan ia sampai meremas ujung roknya dan tak berani menatap ke arah Luhan.

Setelah menghitung dalam hati, Jihye akhirnya memberanikan diri menghadap ke arah Luhan.

 

Sebuah pertanyaan akhirnya terluncur dari mulutnya.

“A-apakah k-kau t-tak ke—ber—atan jii—jikaa aku...” Jihye terhenti. Ia sempat ragu. Membuatnya kembali memandang ke arah lain.

Namun Jihye tidak ingin kalimat itu berakhir begitu saja. Ia benar-benar ingin segera mengatakannya.

 

Mata Luhan melebar ketika pada akhirnya Jihye mengatakannya dan dapat terdengar hembusan nafas dari Jihye ketika Jihye mengucapkannya. “menyukaimu?”

 

----------------------------

 

Selama ini, mimpi buruk selalu menjadi bunga dalam tidurnya. Tentang masa lalunya, tentang keluarganya yang sudah lama terpisah karena organisasi itu dan tentang kehidupannya yang begitu menyedihkan—selalu sendirian dan mencoba untuk sendirian.

Meski begitu, ia sempat mengimpikan sesuatu. Di balik semua mimpi buruknya, ia memimpikan tiga yeoja yang selalu ia rindukan. Eommanya, kekasihnya yang telah tiada dan seorang yeoja kecil di masa kecilnya.

Saat ini, bisa dikatakan perasaan itu kembali datang. Perasan bahagia, damai, tenang....

Ia juga tidak tahu mengapa ia bisa begitu senang atas pertanyaan yang Jihye tanyakan.

Setahunya, ia sekarang berada di sini untuk satu hal.

 

Berusaha melindungi Jihye.

 

Ia hanya tidak bisa membiarkan orang lain terluka karenanya  dan itu secara tak sengaja membuatnya merasakan perasaan lain—meskipun awalnya Luhan belum sepenuhnya menyadarinya.

 

Awalnya ia berpikir jika ia menjauhi Jihye maka semuanya akan menjadi baik-baik saja—mereka tak akan mengincar untuk menyandera Jihye namun kini ia sadar.

Pikirannya itu salah.

Ia mulai menyadari bahwa satu-satunya cara untuk melindungi Jihye adalah dengan menjadi seseorang yang selalu di sampingnya dan melindunginya.

Dan Luhan tidak tahu mengapa ia begitu bersemangat akan pemikiran itu.

 

Sepertinya, ia mulai sadar bahwa sepertinya ia menaruh rasa pada Jihye. Setelah sekian lama ia menipu dirinya sendiri dan berusaha membuat Jihye menjauh darinya.

 

Seorang Xi Luhan, akhirnya mengakui bahwa dirinya juga menyukai Yoo Jihye.

 

Seperti pepatah sekali mendayung, dua pulai terlampaui, Luhan akhirnya memutuskan untuk selalu bersama Jihye.

 

“Tentu saja aku tidak keberatan.” jawab Luhan setelah sebuah kekehan ringan. “Malah aku menyukainya.”

 

Jihye masih tak bisa berkata apa-apa—membuat menit selanjutnya hanya diliputi kesunyian karena tak ada satu pun yang berkata di antara mereka.

 

Jihye terlalu shock—atau surprised. Ia tak menyangka Luhan akan begitu welcome dengannya. Luhan yang awalnya ingin ia menjauh darinya.

 

Masih belum puas mengejutkan Jihye dengan kalimat sebelumnya, Luhan melanjutkan lagi kalimatnya yang ternyata terputus.

 

“Tempat ini pasti adalah tempat yang bersejarah bagi kita.” ujarnya. Jihye masih diam dan membiarkan suara Luhan merasuki indra pendengarannya.

 

“Tempat ini telah menjadi tempat dimana hubungan pura-pura kita berakhir dan tempat dimana..”

 

Luhan lalu memegang tangan kanan Jihye menggunakan tangan kirinya—membuat Jihye menengok dan melihat ke tangan mereka yang sekarang telah bertaut.

 

 

“...hubungan tidak pura-pura kita dimulai.”

 

 

Mata Jihye melebar—setelah akhirnya ia melihat Luhan yang awalnya memandang lurus ke depan kini memandangnya.

 

Tak pernah dalam hidup Jihye ia membayangkan bahwa ia akan menyukai seorang kutu buku dengan mata empat. Selain itu, Jihye juga tak pernah mengimpikan bahwa ternyata namja itu membalas perasaannya.

 

-----------------------

Woohooo~ Author kembali~ Kali ini 3643 words karena sepertinya author telah membuat readers menunggu lama. >< Maaf yaak dikarenakan studi author dan beberapa urusan organisasi ini ff sempet terjeda sekian lama hikse kaga niat kok niatnya juga apdet tiap hari..kalo sehari ada 48 jam ><

MAAF T^T

So... really guys. Perjalanan masih panjang menuju end. Serius.

Mereka-yang-digaris-miring tentu tak akan berhenti menginginkan makhluk langka yang ganteng a.k.a Luhannie ini.

Bakal ada yang namanya jatuh bangun.

Taehyung juga nggak cuma figuran lho guys. Tau kan apa artinya second lead syndrome? Waspada aja kalo suatu saat Taehyung mengambil peran dalam kisah cinta Jihye...

Pasti banyak yang menanyakan misteri Jonghyun yak? hihi

 

Apa ada yang penasaran kenapa aku nggak pernah nyebut appa nya Jihye? : D

 

Yaudin deh daripada kasih clue terus mending readers lanjut baca aja yaa *tapi nanti kalo chapter selanjutnya udah diapdet

Dan pastinya author bakal apdet ketika banyak respon. : )

Ppyong~

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Deapertiwi #1
Chapter 17: apa yo jaehyuk ayahnya jihye? dan aku kasian sama yura kenapa jonghyun gak pacari aja yura buat yura mengerti keadaan jonghyun.
sulistiana29 #2
Chapter 17: Entah kenapa baca nama 'Yoo Jaehyuk' jadi inget belalang Yoo. Apalah-_-
euungg...mereka megalami kebangkitan? Dan Yoo Jaehyuk itu ayahnya Jihye ya?
Ahh aku tunggu updatenya ya :-D
sulistiana29 #3
Chapter 16: Antara panik dann entahah...
Kenapa LuJi/kedengaran aneh mungkin/ harus di pisahin coba!
sulistiana29 #4
Chapter 15: Semuanya ammbigu...AAAAAAA
sulistiana29 #5
Chapter 14: Seperti ada ingatan yang kembali? Heol, ambigu banget! Kek Jihye pernah kecelakaan ajaa.
Tpi benarkah cinta pertamanya itu Luhan? Oke seru
sulistiana29 #6
Chapter 13: Han? Hello, Han? Can you hear me? Please aku takut Luhan kenapa-napa. Luhan kenapa? Eommaaa....
sulistiana29 #7
Chapter 12: Kan sudah kduga kalo Taehyun mata-mata. Hahaha -_-
Btw, entah kenapa aku ga panik lagi kalo liat kenyataan Jihye ga pinsan beneran *plakk ya itung-itung memperlihatkan kalo Jihye bukan manusia lemah ye kan? Eh Yura kemana aja? kok ga muncul? kemaren fokusnya ke Jonghyun dan Yura. Lahhh sekarang Jonghyun cuma muncul 1 kali dan Yura ga sama sekali? Ahh entahlah, itu kan hak Author *plakk /jahat nih reader/
sulistiana29 #8
Chapter 11: Jihye diculik eoh? apa cuma akal-akalan 'mereka' saja?
sulistiana29 #9
Chapter 10: namja mata-mata itu...jrengg jrenngg
Taehyung...yey...mungkin haha *gaje
sulistiana29 #10
Chapter 9: Well, 'mereka' yang di maksud kek mengacam hidup Luhan bgt yaa