Pieces of Past

The Nerd Xi Luhan

16th Chapter

Pieces of Past 


Ia merasa detik-detik selanjutnya dalam hidupnya akan lebih berarti jika ia menghabiskannya dengan Jihye. Nafasnya, langkahnya, senyumnya, sedihnya, ia ingin menghabiskannya bersama seseorang yang ia tidak tahu akan membuatnya jatuh hati seperti ini.


*disarankan membacanya ketika malam hari. Apalagi bagi yang berpuasa. Makanya Author apdetnya juga malam hari. #IYKWIM


            Tangan mereka masih terkunci. Sama seperti menit-menit sebelumnya.

            Tak ada kata yang mereka ucapkan. Hanya saling menatap satu sama lain, bertukar senyum lalu memandangi langit disertai awan yang menggantung indah di atasnya.

            Meski mereka saling diam, keheningan itu sangat syahdu.

            Jihye masih menelusuri jejas kisah yang telah ia lalui bersama Luhan di dalam kepalanya. Tak pernah ia kira dan duga, ia bisa seberani itu demi mengetahui kepingan kehidupan Luhan sekaligus rahasia yang telah ia pendam lama. Sangat lama.

            Sama seperti Jihye, Luhan juga masih mengingat-ingat semua perjalanan yang telah ia lalui dengan Jihye. Jihye yang mengerahkan segala upayanya untuk mendekatinya—demi sebuah taruhan. Jihye yang melakukan berbagai upaya agar Luhan menjadi miliknya—meski hanya sebuah taruhan. Hingga pikiran tentang ternyata Jihye seberani itu—merisikokan hidupnya—demi mengetahui rahasia terbesar dalam hidupnya.

           

            “Pin apartemenmu begitu mudah ditebak.” ucap Jihye pada akhirnya—karena ia berpikir mereka tak bisa selamanya diam. Ia ingin memanfaatkan kesempatan berdua dengan Luhan sebaik mungkin.

“Oh, well. Kau telah menyadarinya.”

            Luhan tampak memalingkan wajahnya.

Jihye terkekeh.

Tentu saja Luhan tampak begitu malu. Meski tidak sejak pertama kali mereka bertemu, beberapa hari yang lalu ia telah mengganti pin apartemennya menjadi kombinasi angka yang bersejarah bagi Jihye serta Luhan—tanggal pertama kali mereka bertemu.

Luhan awalnya tak sadar mengapa ia melakukannya. Hingga pada akhirnya ia mengakui bahwa ia menyukai Jihye. Menggemari setiap senyum yang terutas di wajahnya. Bukan karena paras Jihye memang sudah begitu cantik dari sananya namun karena seseorang yang tersenyum itu adalah Jihye. Itu karena seseorang yang telah mengambil hatinya adalah Jihye.

Luhan menyadari—meski ia agak terlambat menyadarinya, hidupnya menjadi lebih bermakna setelah kehadiran Jihye. Ia merasa detik-detik selanjutnya dalam hidupnya akan lebih berarti jika ia menghabiskannya dengan Jihye. Nafasnya, langkahnya, senyumnya, sedihnya, ia ingin menghabiskannya bersama seseorang yang ia tidak tahu akan membuatnya jatuh hati seperti ini.

“Mungkin kau harus mengganti pin apartemenmu kali ini.” ujar Jihye, sebelum kilat senyum ia berikan pada sosok Luhan yang masih berada di sampingnya. Terduduk dan menampakkan wajah yang Jihye belum pernah lihat sebelumnya.

“Wae?” tanya Luhan. Setahu dia Jihye menyukai nomor pin yang merupakan kombinasi dari tanggal pertama kali mereka bertemu. Tapi ini mengapa Jihye malah ingin ia untuk menggantinya.

Anehnya lagi, Jihye juga masih mengingatnya, tanggal pertama kali mereka bertemu...

Wae?” Jihye mengulangi pertanyaan Luhan.  “Tentu saja kau harus menggantinya menjadi kombinasi tanggal hari ini.”

            Sederetan gigi putih rapi milik Jihye tampak di mata Luhan. Luhan akhirnya mengerti maksud Jihye.

Mereka berdua tertawa bersama.

“Ngomong-ngomong, aku ingin melihatnya lagi. Kekuatanmu itu.” ujar Jihye, meminta.

“Maksudmu?”

“Tunjukkan di hadapanku.”

Luhan tampak mengernyit. Ia lalu melihat ke sekeliling.

“Tak ada siapapun di sini” Jihye berkata, seakan mengerti arti dari gerak-gerik Luhan. “Aku hanya ingin kau tidak ragu-ragu lagi menunjukkannya padaku—semua rahasiamu.” Jihye terlihat menerawang jauh, diselipi senyuman. “Aku ingin sepenuhnya memahamimu. Tidak seperti kisah-kisah laluku dimana aku sama sekali tidak penasaran akan orang yang kusukai, saat ini aku benar-benar ingin mengetahui dirimu seutuhnya—kelebihan dan kekuranganmu.”

Luhan menatap wajah Jihye dalam--selanjutnya tersenyum. “Kekuatanku itu sebuah kelemahan bukan suatu kelebihan.”

Jihye mengerti apa yang Luhan maksud. Kehilangan keluarga. Ayah yang dikabarkan meninggal, ibu dan adik yang dikabarkan menghilang. Diburon oleh Saturnus. Tidak bisa berteman dengan siapa saja. Ia menatap Luhan iba.

“Baiklah, aku akan melakukannya. Sekarang aku tidak ragu lagi untuk memperlihatkannya padamu.” Setelah sekali lagi mengecek sekeliling dan mematikan cctv sejenak, Luhan menatap Jihye tajam.

Dengan sedikit tersenyum, Luhan mengendalikan Jihye. Seraya melepas kacamatanya. Membuat Jihye yang duduk di sampingnya untuk lebih bergeser mendekat ke arahnya, menangkup wajahnya dan

Kisseu.

Luhan bukanlah seorang byuntae, jadi ciuman statis selama beberapa detik saja sudah cukup baginya. Dua kali. Ia telah merasakannya dua kali. Namun sekarang ini berbeda—sesuatu yang disertai rasa cinta memang berbeda.

Jihye lalu mengedip-edipkan matanya tatkala ia menyadari bahwa wajahnya hanya beberapa milimeter saja dari wajah Luhan—setelah Luhan mematikan kekuatan controllingnya pada Jihye karena ia takut ia akan berbuat lebih jauh lagi.

Bukannya mengamuk ataupun menendang Luhan,Jihye menjauh dengan wajah tersipu. Oh sungguh! Seorang Jihye bisa tersipu malu di depan seorang namja biasa seperti Luhan. Yah meskipun bagi Jihye Luhan memang sedikit lebih tampan dari namja biasanya..Ia mengakuinya, namun jika ia bukanlah seorang Jihye, ia juga tidak akan jatuh cinta kepada seorang kutu buku yang menyebalkan seperti Luhan.

Byu-byuntae!” keluh Jihye pura-pura kesal sambil mengalihkan wajahnya, menyembunyikan semburat malunya.

Luhan hanya bisa terkikik.

Mereka tetap seperti itu selama beberapa menit--Jihye mengendalikan rasa malunya sementara Luhan terkikik pelan sambil tetap menggda Jihye. “Oh, ayolah Yoo Jihye. Kau yang memintanya sendiri padaku.”

Pada akhirnya Luhan mengacak-acak rambut milik Jihye dan berdiri, tangannya menuju ke tangan milik Jihye.

“Kajja. Tidakkah kau butuh makan? Bel masuk akan berbunyi 20 menit lagi.”

            “Dengan tangan seperti ini?” Jihye menaikkan salah satu alisnya.

Luhan mengangkat bahunya lalu menurunkannya lagi. “Wae? Memangnya harus bagaimana? Lagipula orang-orang masih menganggap kita sepasang kekasih.”

“Baiklah aku mengerti. Tetapi mungkin kau harus menggunakan kembali sepasang kacamatamu?” jawab Jihye seraya melirik ke arah saku seragam Luhan.

Mereka lalu tertawa.

---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------

 

“Apakah masih ada yang kau sembunyikan?” bisik Jihye halus, mendekatkan kepalanya ke arah Luhan yang sedang melahap makanannya.

Luhan mendongak sejenak, mengangkat salah satu sudut bibirnya lalu mengangguk.

            “Malhaebwa~” ucap Jihye manja. Jihye sudah tidak canggung lagi bersikap manja di depan Luhan, mengingat mereka telah resmi beberapa menit yang lalu. 6 menit 20 detik mereka telah resmi selama itu.

“Andwae. Ini sangat memalukan.” jawab Luhan, berusaha menggoda Jihye yang sedang sangat penasaran. Suatu hiburan bagi Luhan untuk melihat wajah Jihye merajuk seperti itu. “Ya malhaebwa, Luhan-a~”

Kali ini, Jihye tak hanya merayu Luhan untuk memberitahunya lewat verbal saja namun juga dengan cara menarik-narik lengan baju miliknya, mengundang berbagai padangan iri para namja. Iri pada Luhan tentu saja.

            Luhan terkekeh kecil. “Bwoya.. Rasa penasaranmu begitu tinggi, eoh.” Luhan lalu meninggalkan aktivitas makannya sejenak dan fokus memandang Jihye. “Baiklah aku akan memberitahumu..”

Wajah Jihye berubah menjadi sangat cerah. Ia bahkan tak sengaja membuka mulutnya saking antusiasnya.

“..tapi kau harus memberitahuku rahasiamu juga.” lanjut Luhan—membuat Jihye menghela nafasnya. “Aku juga butuh rahasiamu, Tuan Putri.”

“Tuan Putri?”

“Ah, sepertinya aku terbawa oleh Taehyung, menyebutmu Tuan Putri.” Luhan menggosok lehernya. “Jadi?” lanjutnya kembali ke topik.

Jihye tampak memasang wajah berpikir—lalu kembali dengan wajah penuh determinasi. “okay, call! Baiklah segera beritahu rahasiamu, Luhan-a”

Luhan kemudian membersihkan kerongkongannya.

“Aku..” Tentu saja Luhan berusaha memperlama kalimatnya, memancing wajah penasaran Jihye menjadi lebih dalam. Dahi berkerut, wajah ingin tahu.

 

“Aku membenci bawang.”

Sudah. Titik. Luhan kembali melanjutkan aktivitas makannya.

 

Jihye tidak puas. Ia menggelengkan kepalanya. “Yaa. Apakah itu bahkan sebuah rahasia? aish..”

Kebahagiaan Luhan menjadi berkali lipat ketika melihat wajah Jihye sebal. Begitu lucu hingga ingin rasanya ia mencubit kedua belah pipi milik Jihye.

“Sekarang giliranmu.” respon Luhan—tidak ingin merugi.

“Bwo? Kau bahkan tak mengutarakan rahasiamu..”

“Kau telah berjanji, Yoo Jihye.” balas Luhan mendekatkan wajahnya ke arah Jihye. Jihye menyerah—tentu saja karena ia telah berjanji untuk memberitahu Luhan rahasianya juga jika Luhan memberitahu padanya sebuah rahasia yang ia miliki.

Luhan kali ini bergeming, menatap Jihye, menunggu setiap suara yang keluar dari mulutnya. Tak adil rasanya bukan jika hanya Jihye yang tahu akan rahasia Luhan, Luhan juga ingin tahu tentang rahasianya. Oh, sepertinya sejak kemarin malam topik ‘rahasia’ telah menjadi hot topic mereka berdua. Salah satu hal yang mendekatkan insan manusia adalah rahasia, bukan? Rahasia membuat seseorang yang diberitahu rahasia merasa mereka cukup dekat bagi orang tsb.

“Salah satu rahasiaku adalah...” Jihye berusaha memasang wajah malu. Ia melihat ke arah lain lalu melihat lurus ke arah Luhan. “Sebenarnya aku juga...”

Luhan memiringkan wajahnya, ingin Jihye untuk meneruskan kalimatnya. “...membenci bawang.”

Membuahkan sebuah protes dari mulut Luhan, dilanjutkan aksi Luhan yang mengacak-acak rambut cokelat gelap milik Jihye.  “Wae? aku berkata jujur...” protes Jihye.

---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------

Jonghyun melesat pergi setelah ia melihat Jihye dan Luhan bermesraan di kantin. Helaan nafas dapat terdengar dari mulutnya. Di sela perjalanannya, ia melirik ke arah tahi lalat yang telah susah payah ia buat sejak pertama kali ia bertemu dengan Jihye. Dimana usahanya itu sia-sia—hanya berbuah sebuah hubungan yang berlangsung sangat cepat. Kini ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Misinya telah gagal. Misi dimana ia harus dapat menjadi pengalih Jihye dari Luhan.

Sesampainya di kamar mandi, ia memencet sebuah tombol pada gadget yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebuah tulisan ‘terminate mission’ tampak dan iya kemudian menekan tombol ‘yes’.

Tak perlu menunggu lama, sebuah panggilan masuk ke gadget tersebut. Ia lalu menggeser tombol hijau.

“Maaf Sir. Misi telah gagal. Saya siap menerima segala hukuman.” suara Jonghyun terdengar lemah. Ia tidak ingin menyerah begitu saja sebenarnya namun mau dikata apa lagi, usahanya selama berbulan-bulan telah gagal.

Awalnya, ia sengaja membuat tanda tahi lalat itu agar Jihye berpikir bahwa ia lah namja yang ia ingat sebagai cinta pertamanya. Namun tetap saja, pada akhirnya, Jihye berakhir pada Luhan.

Tak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara barang-barang yang berjatuhan. Bahkan Jonghyun sempat mendengar suara vas yang terjatuh begitu nyaring. Ia sadar, atasannya naik pitam dan itu bukanlah hal yang bagus.

Masih diam. Kini, tak lama, terdengar suara engahan dari seberang.

“Jonghyun-a..Kau tahu bukan apa tujuan dari misimu ini? Aku telah mengandalkanmu lalu mengapaa??!!”

“Maafkan saya, Sir. Pertemuan mereka tidak bisa dihindarkan lagi. Sepertinya saya datang terlalu terlambat setelah di hari Jihye memutuskan saya... Bahkan tahi lalat buatan ini pun tak akan ada gunanya, Sir..Ada suatu hal yang tidak bisa kita, manusia biasa, ubah, Sir..”

“Kau berusaha menceramahiku, eoh?”

Jonghyun terdiam. Ia wajar saja jika atasannya itu marah. Sangat wajar.. Bagi atasannya, pertemuan antara Jihye dan Luhan adalah sebuah musibah. Sebuah malapetaka.

Lama—cukup lama keheningan terbentuk.

Sampai pada akhirnya panggilan terputus. Jonghyun menghela nafasnya. Jujur saja, baginya ini adalah misi terberat yang pernah ia lakukan.

Ia juga tidak tahu mengapa ia bisa selemah ini, semudah ini menyerah. Saat itu juga wajah Yura terbayang di kepalanya. Apa mungkin karena dirinya?batinnya lirih untuk dirinya sendiri.

Jonghyun membasuh wajahnya menggunakan air yang mengalir pada wastafel sebelum gadget di lingkaran tangannya itu berbunyi. Jonghyun menekan tombol dan tampaklah sebuah tulisan pada layar kecil. “New Mission. Pisahkan Mereka dengan Berbagai Cara.”

---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------

“Tuan Putri, aku membawakanmu sebuah berita bagus.” Taehyung kini telah berada di dekat bangku Jihye--seraya mengembangkan senyum lebar, memberi ekspresi yang susah ditebak. Sejak awal Jihye memang tak pernah bisa menebak Taehyung. Ia merasa namja ini penuh misteri.

“Salah satu penggemarku memberiku ini ketika aku sedang berada di kantin. Dia mengajakku ke sana kemudian aku teringat akan seseorang yang berjanji untuk mentraktirku semangkuk sup daging..”

“Penggemarmu?” tanya Jihye—memiringkan wajahnya.

“Ndae. Kau tahu sendiri kan aku sangat populer..” Taehyung membanggakan diri.

Jihye tampak berdiri—menghadap Taehyung lalu mengangkat tangannya. Dalam hitungan detik, Taehyung merasakan sebuah punggung tangan menempel pada dahinya.

            “Kau sedang tidak demam, kan? Mengapa kau hobi sekali untuk meracau? aish..”

            Hanya beberapa detik—namun Taehyung menjadi diam. Tak berkutik. Bahkan kalimat yang akan Taehyung ucapkan menjadi terhenti.

            “Baiklah. Aku akan mentraktirmu.” Jihye kemudian merebut pamflet yang Taehyung pegang dan menemukan bahwa Restoran dalam pamflet tsb sedang memberikan diskon besar-besaran—membuat mulut Jihye menganga lebar. Kebetulan lagi diskon itu diberikan khusus untuk pelajar dan Jihye tidak ingin membuang kesempatan dimana diskon itu hanya berlangsung satu hari.

Taehyung yang mematung kini mulai kembali ke kesadarannya. Ia tak ingin tampak bodoh di depan Jihye.

“Omo~ Tuan putri yang tahu berterimakasih~  Gomapta.”

“Beruntunglah. Moodku sedang bagus.” balas Jihye singkat lalu duduk kembali ke bangkunya—kembali membuka chatnya dengan Luhan dan mengetikkan sesuatu.

Restoran China, Distrik Gangnam nomor xxx sepertinya akan menjadi makan sore yang mengasikkan daripada terus berada di perpustakaan?

---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------

“YA Mengapa ada bocah berkekuatan aneh itu  jinjjha” kesal Taehyung menunjuk ke arah Luhan. Luhan kemudian menatap ke Taehyung beberapa detik lalu menghela nafasnya.

            “Wae?”

Taehyung mundur beberapa langkah. “YAA jangan menatapku seperti itu. Aku takut kau akan mengendalikanku dengan tatapan matamu untuk pulang..”

Taehyung terus saja ribut. Setahunya, hanya ada dirinya dan juga Jihye. Ia ingin mengatakan sesuatu, menanyakan sesuatu yang hanya ingin didengar oleh Jihye saja.

Tak lama, Taehyung membuang napasnya. “Jihye telah berjanji untuk mentraktirku jadi jangan gunakan matamu itu untuk membuatku pulang, arra?”

Jihye lalu mendekat ke arah Taehyung dan menepuk bahunya. “Taehyung-a.. Luhan tak sekejam itu. Aku telah memberitahunya.”

Seperti itu terus menerus. Dunia Jihye tidak akan pernah tenang jika ada Taehyung di sampingnya. Selalu saja ada hal yang dikeluhkan. Bahkan ia berulang kali menyebutkan bahwa Luhan dan Jihye bisa selamat karena dirinya. Ah, untuk Jonghyun sendiri ia izin untuk tidak ikut dalam acara makan sore mereka. Ia menyebutkan bahwa dirinya butuh istirahat karena sedang tidak enak badan.

            Bus yang mereka naiki akhirnya berhenti di lokasi yang mereka tuju. Perlahan, mereka menuruni bus dan berjalan ke arah Restoran China yang cukup besar namun sederhana. Hanya bertuliskan “Chinese Cuisine” di platnya. Taehyung berjalan di depan, ia tampak begitu bersemangat. Masih teringat benar bahwa Restoran yang berada di hadapannya itu adalah Restoran yang menjadi favorit seseorang yang berharga baginya di masa lalu.

Mereka memasuki bangunan itu dan memilih sebuah tempat duduk.

“aku suka tempat duduk dekat dapur, dekat counternya.” terang Jihye ketika mereka bertiga sedang memilih tempat duduk.

“Wae? “ tanya Taehyung

“Wae? Bisakah kau tebak mengapa?” Jihye malah memberinya sebuah teka-teki.

Setelah menarik kursi di dekat dapur, Taehyung memasang wajah berpikirnya. Ia tampak begitu serius memikirkan jawabannya. “Ya Luhan-a. Apakah kau tahu jawabannya?”

 

Luhan diam. Ia tampak menunduk ke bawah—matanya terlihat begitu merah ketika ia mendongak melihat ke arah Taehyung. “N-ndae?”

“YAA! Gwaenchana??” Jihye yang melihatnya jelas saja panik dan mendekat ke arah Luhan.

“Luhan-a. Kau tak perlu memikirkannya sungguh-sungguh. Hingga matamu tampak begitu merah..YAA wajahmu juga pucat sekali. Ada apa Luhan-a?” Taehyung ikut panik dan mengikuti Jihye, mendekat ke kursi Luhan.

Namun Luhan sepertinya bergeming, seraya menjawab. “Gwaenchana” ringan. Meski wajahnya kembali tertunduk ke bawah.

“Jeongmal gwaenchana” lanjutnya.

Kini, ia akhirnya mendongak dan melihat ke arah Jihye. “K-karena de-dengan du--duk di dekat ---dapur kk-kiita dapat mencium aroma masakannya.” Luhan menjawab pertanyaan Jihye dan memang benar itu jawabannya.

Tapi bukan itu yang Jihye pikirkan sekarang. Yang ia pikirkan sekarang adalah keadaan Luhan. Walaupun Luhan sendiri tampaknya sudah mulai membaik. Ia berdiri dari kursinya.

“Aku akan ke kamar kecil sebentar.”

Jihye hanya bisa mengangguk pelan. Tak lama, seorang pelayan pun datang. Membawa buku menu di tangannya dan juga sebuah nota serta pena di tangan satunya.

Ia mendekat ke arah Jihye, menunjukkan wajahnya.

 

Jihye awalnya baik-baik saja saat pelayan itu mengucapkan salam dan basa-basi lainnya, menanyakan apa yang akan dipesan. Tapi tak lama, kepalanya kembali serasa diguncang, ditusuk-tusuk. Suara itu, wajah itu dan gambaran tempat yang berada di ingatannya kemarin malam di apartemen Luhan kembali mengisi kepalanya.

Kepalanya terasa berat. Suara teriakan, tangisan dan tembakan terputar di kepalanya. Semakin mengeras suara itu terdengar di kepalanya, semakin Jihye merasakan sakit.

“Tempat itu..Tempat yang sama..” Jihye bergumam pada dirinya sendiri—sementara Taehyung sedang kebingungan akan apa yang telah terjadi pada Jihye

Jihye terus menunduk ke arah tanah—tak ingin Taehyung melihat keadaannya. Kepalanya terasa semakin berat dan seperti itu selama beberapa menit kemudian.

Sang pelayan pun ikut panik—atau mungkin berpura-pura panik. Tampak sekali dari pandangan matanya, kejadian itu lah yang ia harapkan. Dengan membawa secangkir air putih, pelayan itu menanyakan keadaan Jihye.

“Apakah Anda baik-baik saja?” tanyanya.

Taehyung masih terus panik, ia memegang bahu Jihye. “Jihye-aa gwaenchana? Aish jinjjha. Ada apa dengan kalian hari ini?! Apa kalian sedang mengerjaiku?”

Hingga tujuh menit lamanya Jihye tetap seperti itu namun kemudian ia mendongak dan menenangkan Taehyung “Gwaenchanayo..Aku hanya sedikit pusing saja.”

“Sedikit pusing?YA! Kau lebih dari sekedar pusing Jihye-a. Kajja kita akan ke klinik dokter terdekat untuk memeriksakanmu.”

Taehyung menyambar pergelangan tangan Jihye.

Jihye menolaknya. “Gwaenchanayo.. Tak bisakah kau percaya padaku?” Jihye bersikeras.

Setelah melihat raut wajah Jihye dan kekeraskepalaannya itu, Taehyung urung untuk melakukannya. Ia kembali duduk.

Chow Mein” pesan Jihye dengan tenang—tanpa melihat ke arah sang pelayan.

Taehyung tampak diam. Namun tak lama, ia merasa ia tidak bisa diam saja.

Ia tampak berdiri lalu membungkuk ke arah sang pelayan. “Maafkan kami. Kami tidak jadi makan di sini.”

Selanjutnya, ia menyambar tangan Jihye dan menyeretnya keluar.

Jihye kali ini tak kuat untuk memberontak. Ia masih dalam keadaan yang kurang bagus—bayang-bayang itu terus berkeliaran di kepalanya.

“K-karena de-dengan du--duk di dekat ---dapur kk-kiita dapat mencium aroma masakannya.”

Jihye mengingat ucapan Luhan dan kepalanya terasa semakin berat.

Pandangan matanya mulai kabur namun ia masih tetap sadar dan menyadari bahwa kini ia sedang berada di dalam taxi. Ia juga sadar bahwa seseorang di sampingnya sedang mengatakan sesuatu ke sopir taxi yang mereka naiki. “Ahjussi. Bisakah kau bawa kami ke klinik terdekat?”

Namun satu yang ia tidak sadar, ia menggumamkan sesuatu yang membuat dahi Taehyung mengerut. “Kenapa kau selalu hadir dalam kepalaku bocah kecil..Aku bahkan tidak mengetahui namamu..”

---------------------------------------------- T N X L ----------------------------------------------

“GEUMANHAEE!!” Teriak Luhan keras-keras lalu meninju kaca yang berada di depan wastafel dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya ia gunakan untuk memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Tampak di kepalanya bayangan ayahnya sedang membawa koper dan bertemu dengan seseorang di seberangnya. Dalam sebuah restoran—yang Luhan menyadarinya bahwa Restoran di dalam kepalanya adalah restoran yang sama dengan restoran dimana ia sekarang berada.

Detik berikutnya, ia dapat merasakan kepalanya seakan diremas, ditusuk, dipukul-pukul hingga ia hampir merasa kakinya tak dapat menyangga tubuhnya lagi. Apalagi saat ia dapat melihat bayangan ayahnya menangis seraya memanggil namanya. “Luhan-a! Xi Luhan! Lepaskan anakku!”

“GEUMANHAERAA!!!” Kini tinjuannya tidak sampai ke kaca di depan wastafel itu, malah ia sekarang benar-benar merasa lemas hingga untuk berdiri pun ia harus menyangganya menggunakan kedua tangannya ke wastafel.

“Kubilang, geumanhaee.” Kali ini, tetesan air mata keluar dari matanya secara tak sadar. Rasa sakit itu, Luhan merasa sangat sakit.

Hal itu berlangsung selama lebih dari sepuluh menit lamanya..Meski semakin lama, laju napasnya mulai menurun. Tidak seintens sebelumnya.

Luhan begitu tak berdaya hingga ia tak sadar bahwa seseorang dengan baju pelayan sedang mengamatinya dari celah pintu kamar kecil.

Namja berpakaian pelayan itu menarik salah satu sudut bibirnya—disertai gerakan tangannya mengambil ponsel di sakunya. “Plan A berhasil.” ujarnya. “Luhan  terkulai lemah. Kita bisa segera menangkap tikus yang lari dari kandangnya.”

 

Panggilan pun terputus. Namja itu tampak begitu puas. Ia lalu membalikkan badan dan menunggu pasukan yang ia panggil untuk datang.

“Sebentar lagi, kau akan kembali, Luhan-a.” gumamnya seraya memasukkan ponsel ke dalam saku apronnya.

Tangannya menggenggam begitu kuat ketika ia teringat akan kawannya yang terluka di markas.

Namun bibirnya tersenyum  tatkala ia mengingat sebentar lagi masalah ini akan segera selesai.

 

“Kembali? Kau pasti sedang bermimpi.”

 

Namja itu menengokkan lehernya-- memastikan bahwa itu benar-benar suara dari Luhan yang saat ini sedang mendekat ke arahnya.

Ia tahu betul apa yang harus segera ia lakukan—menutup matanya.

Namun terlambat. Karena Luhan sudah bisa membaca gerakan selanjutnya dari namja itu.

Luhan segera mengunci tangan lawannya dan membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arahnya. Semuanya terasa begitu cepat hingga namja itu bahkan tak sempat menutup matanya saking kagetnya.

Meski tenaga Luhan saat ini benar-benar menipis bahkan ia tidak berdiri sempurna saat ini, ia berusaha dengan sisa tenaganya untuk membalikkan badan Namja berapron itu dan menggunakan kemampuannya.

“Berikan kunci mobilmu padaku-- dan beritahu mereka bahwa a-aku telah terjatuh pingsan.”

Di sela nafasnya yang terengah-engah, Luhan menggunakan seluruh kekuatannya itu. Karena itulah kunci agar ia bisa keluar selamat dari restoran ini. Setelah tatapan mata namja itu berubah, Luhan terjatuh, ditopangnya tubuhnya menggunakan satu kaki. Namun ia masih sadar meski napasnya semakin memberat.

Di saat ia mendongak, tampak namja itu menyerahkan kunci mobilnya dan Luhan tak perlu menunggu lama, menggunakan tangan kirinya untuk berdiri lagi.

Setelah mengambilnya dan memastikan bahwa namja itu menelpon kawan-kawannya seperti yang telah ia instruksikan, Luhan segera bergegas menuju ke depan restoran secepat yang ia bisa. Meski beberapa pengunjung tampak memperhatikan keadaannya yang tampak begitu kacau, Luhan terus berjalan hingga ia akhirnya menekan tombol pada remote mobil dan menemukan mobil mana yang harus ia kendarai.

Kemana Jihye dan Taehyung? batinnya di sela tangannya sibuk memutar kunci mobil dan mengendalikan mesin mobil.


FEEDBACK JUSEYO~ ;)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Deapertiwi #1
Chapter 17: apa yo jaehyuk ayahnya jihye? dan aku kasian sama yura kenapa jonghyun gak pacari aja yura buat yura mengerti keadaan jonghyun.
sulistiana29 #2
Chapter 17: Entah kenapa baca nama 'Yoo Jaehyuk' jadi inget belalang Yoo. Apalah-_-
euungg...mereka megalami kebangkitan? Dan Yoo Jaehyuk itu ayahnya Jihye ya?
Ahh aku tunggu updatenya ya :-D
sulistiana29 #3
Chapter 16: Antara panik dann entahah...
Kenapa LuJi/kedengaran aneh mungkin/ harus di pisahin coba!
sulistiana29 #4
Chapter 15: Semuanya ammbigu...AAAAAAA
sulistiana29 #5
Chapter 14: Seperti ada ingatan yang kembali? Heol, ambigu banget! Kek Jihye pernah kecelakaan ajaa.
Tpi benarkah cinta pertamanya itu Luhan? Oke seru
sulistiana29 #6
Chapter 13: Han? Hello, Han? Can you hear me? Please aku takut Luhan kenapa-napa. Luhan kenapa? Eommaaa....
sulistiana29 #7
Chapter 12: Kan sudah kduga kalo Taehyun mata-mata. Hahaha -_-
Btw, entah kenapa aku ga panik lagi kalo liat kenyataan Jihye ga pinsan beneran *plakk ya itung-itung memperlihatkan kalo Jihye bukan manusia lemah ye kan? Eh Yura kemana aja? kok ga muncul? kemaren fokusnya ke Jonghyun dan Yura. Lahhh sekarang Jonghyun cuma muncul 1 kali dan Yura ga sama sekali? Ahh entahlah, itu kan hak Author *plakk /jahat nih reader/
sulistiana29 #8
Chapter 11: Jihye diculik eoh? apa cuma akal-akalan 'mereka' saja?
sulistiana29 #9
Chapter 10: namja mata-mata itu...jrengg jrenngg
Taehyung...yey...mungkin haha *gaje
sulistiana29 #10
Chapter 9: Well, 'mereka' yang di maksud kek mengacam hidup Luhan bgt yaa