Chapter 4

Innocent Bride
Please log in to read the full chapter

Dua pemuda itu masih setia duduk di halte meski waktu semakin larut. Mereka seperti enggan pergi ke mana-mana. Ditambah hujan yang sejak tadi sore tak kunjung reda, meski ini bukan musim penghujan.

"Ini sudah larut. Kau tidak mau pulang, hm?" tanya seorang pemuda yang sejak tadi berceloteh. Pemuda yang satunya hanya diam sambil menggeleng. "Kalau begitu, bagaimana dengan menginap di apartemenku?" tawar pemuda tadi itu lagi. Seketika sebuah jitakan mendarat di kepala pemuda yang bertanya itu. Ia mengaduh sambil mengusap kepalanya sebentar.

"Shireo! Kau pasti akan melakukan sesuatu jika aku menginap! Kau tidak tahu seberapa murkanya Eomma saat melihat bekas itu seminggu yang lalu, kan?" jawab pemuda yang kedua itu. Tangannya kembali bersedekap di depan dada. Memandang sebal pada pemuda di sampingnya yang hanya tersenyum lebar mendengar jawabannya barusan.

"Ehehe… Mian, Baekkie. Aku tidak sengaja menggigitmu terlalu keras," bela sang penanya. Baekhyun—Baekkie—hanya mendengus mendengarnya. Dirutuki dalam hati pemuda di sampingnya itu. Meski begitu, ia tidak marah. Ia tidak akan bisa marah meski pemuda yang resmi menjadi kekasihnya sejak beberapa bulan lalu itu melakukan hal-hal aneh atau konyol padanya—kecuali untuk urusan selingkuh.

"Yeol, apa kita akan seperti ini terus?" tanya Baekhyun setelah mereka hanya diam beberapa saat. Chanyeol memiringkan kepalanya, membuat wajah bingung yang imut di mata Baekhyun yang kini memandanganya serius. 'Aish! Kenapa dia imut sekali, Ya Tuhan?! Mana ada seme yang bisa seimut itu?' batin Baekhyun.

"Maksudmu?" tanya kekasihnya itu, pemuda yang tadi bertanya dan mendapat jitakan dari Baekhyun, pemuda yang pertama, Park Chanyeol.

"Ehm.. maksudku, apa kita hanya akan diam seperti ini? Tidakkah kau merasa bersalah membohongi mereka?" tanya Baekhyun. Dieratkan jaket yang menempel pada tubuhnya.

Ia seharusnya sudah pulang sedari tadi. Sudah berada dalam kamarnya, dalam kehangatan selimutnya yang terbuat dari bulu domba berkualitas tinggi itu. Bukan malah berada di halte seperti ini dengan namjachingunya dan hanya menggunakan sebuah jaket tipis pada tubuhnya. Salahkan saja pemuda berambut ikal di sampingnya itu yang tiba-tiba menculiknya saat ia tengah berjalan pulang dari sebuah toko buku. Sedangkan Chanyeol sendiri serasa tak merasakan dinginnya angin yang menembus kaos panjangnya itu.

"Oh… aku sih terserah kau saja, Baekkie. Kau mau bagaimana, hum?" Chanyeol mendekat ke arah Baekhyun. Merapatkan tubuhnya, berusaha agar pemuda mungil itu sedikit mendapatkan kehangatan walau sedikit. Meskipun sebenarnya itu sama sekali tak berhasil. Tapi toh keduanya saling menyamankan diri. Di waktu yang telah larut ini, apalagi ditambah gerimis kecil, tak banyak orang berlalu lalang sehingga mereka sedikit bebas untuk mendekatkan diri.

"Aku tidak tahu makanya aku bertanya meminta pendapatmu, babo!" jawab Baekhyun sambil meninju lengan Chanyeol. Gemas rasanya memiliki namjachingu yang berbuat semaunya dan selalu tak berpikir panjang. Meski begitu, Baekhyun tahu bahwa Chanyeol adalah orang yang baik, ramah, dan penuh kasih sayang.

Pernah suatu ketika saat mereka berdua tengah berjalan pulang sehabis berjalan-jalan, Chanyeol tiba-tiba pergi begitu saja. Awalnya Baekhyun akan memarahinya karena hari itu sudah larut dan ia hanya ingin segera sampai rumahnya ketika tiba-tiba Chanyeol menghentikan motornya dan berlari meninggalkan dirinya hingga beberapa menit di jalanan yang cukup sepi itu. Baekhyun sudah akan menangis jika saja Chanyeol tidak datang kemudian dengan sebuah kardus di tangannya. Membuat dirinya melupakan ketakutannya dan penasaran dengan kardus yang dibawa kekasihnya itu, yang ternyata berisi anak kucing. 'Maafkan aku, bukan maksudku meninggalkanmu tiba-tiba. Sungguh. Aku hanya tak bisa berpikir lagi setelah melihatnya,' katanya terengah-engah waktu itu. Dan setelah itu Baekhyun langsung memeluk namja tinggi tersebut dengan sebelumnya menjitak kepalanya terlebih dahulu.

Chanyeol memalingkan wajahnya pada Baekhyun lalu menunjukkan cengiran lebarnya yang khas itu. "Kalau begitu ayo kita katakan semuanya pada mereka!" katanya semangat yang kemudian mendapat deathglare manis dari pemuda yang kini ada di pelukannya.

"Kau gila!" seru Baekhyun. Chanyeol mengerutkan dahinya. "Bukankah kau tadi yang mengusulkan pertama kali, Baekkie?" Baekhyun memutar bola matanya malas. Memang sih tadi dia yang menyinggung hal ini terlebih dahulu. "Ya, sudahlah. Jangan bahas ini lagi," katanya sambil mendengus kalah.

Chanyeol yang menatapnya hanya mengangguk-angguk dengan senyum tipis menghias wajahnya. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Baekhyun. Biarkan saja dinginnya angin malam dan hawa basah dari gerimis menyapa kulitnya yang hanya terbalut kaos lengan panjang dan jeans itu, selama Baekhyun dalam dekapannya tak terasa kedinginan—meskipun ia tahu bahwa hal itu tak mungkin—ia akan rela-rela saja menahan semuanya. Biarlah untuk sekali ini saja ia ingin egois. Ia hanya ingin seperti ini. Memeluk kekasihnya tanpa ragu, tanpa rasa takut, tanpa seluruh beban pikiran dalam otaknya.

Luhan membuka mata perlahan mengumpulkan kesadarannya. Tidurnya terusik sebab sesuatu yang berada di samping kirinya itu terus bergerak-gerak gelisah. Manik matanya langsung menangkap sosok Sehun di sana yang tengah menyerukkan wajahnya ke lengan Luhan sambil bergumam sesuatu saat Luhan membuka kelopak matanya.

"Sehunna…" panggilnya pada Sehun lirih. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Ini masih tengah malam, pikirnya. Ia kembali memalingkan wajahnya pada sang suami ketika pemuda itu meringkukkan badan mendekat kepadanya.

"Sehunna, ireona… Wae irae? Sehunna…" lirih Luhan. Diamatinya pemuda itu. Merasa bahwa Sehun tidak dalam keadaan baik-baik saja, Luhan sedikit mengangkat tubuhnya dan langsung memegang dahi pemuda itu. Matanya seketika melebar.

Buru-buru didudukkan tubuhnya dan kembali mencoba membangunkan Sehun. Pemuda itu hanya bergumam entah apa yang tidak bisa ditangkap jelas oleh Luhan. Dirasanya bahwa Sehun benar-benar tidak akan menanggapinya—sebab suhu tubuh pemuda itu benar-benar tinggi, Luhan mengerti jika Sehun sedang dalam keadaan tidak sadar—dengan sigap Luhan membuka selimutnya lalu keluar kamar setelah sebelumnya membenarkan posisi Sehun.

Ia berlari menuju dapur di lantai satu dan kembali ke kamar dengan handuk kecil dan air es dalam baskom di tangannya. Kembali di dekati pemuda itu. Membangunkan Sehun untuk minum obat pun pasti akan percuma karena pemuda itu tidak sadarkan diri, jadi yang ia bisa lakukan hanya mengompres saja. Setelah selesai meletakkan kain yang telah dibasahi dengan air es dalam baskom tadi itu pada dahi Sehun, ia mendudukkan tubuhnya di bagian kasur yang kosong. Memandang iba pada pemuda itu, diusapnya peluh yang mengalir di pelipis Sehun.

"Aku tahu akan seperti ini…" lirihnya. Luhan membaringkan tubuhnya di samping pemuda itu. Memiringkan badannya ke kiri supaya dapat mengamati sang suami yang masih bergumam tak jelas. "Mianhae," bisiknya. Digenggam tangan Sehun itu. Sedikit merasa bergetar di dadanya saat menyentuh pemuda tersebut.

.

Luhan terbangun kembali ketika sebuah lengan menyeret tubuhnya mendekat. Meski kesadarannya belum sepenuhnya pulih dalam beberapa detik itu, tapi ia tidak salah dengar bahwa Sehun mengigaukan namanya. Sangat lirih dan terkesan lemah. Dengan sigap ia menggeser posisinya untuk lebih dekat memeluk pemuda itu. Menyalurkan suhu tubuhnya secara langsung dari kulitnya ke namja itu, berharap dengan seperti itu sang pemuda akan segera kembali dalam suhu tubuh normalnya. Hanya itu yang ia tahu untuk menyembuhkan demam secara cepat.

Sehun kembali bergumam lirih menyebut nama Luhan. Salah satu tangannya yang berada di pinggang ramping pemuda itu bergerak pelan. Luhan mengerti dan ia kini menggerakkan tangannya melingkari pinggang Sehun. Mencari posisi yang nyaman untuknya dengan tak lupa sesekali memandang Sehun apakah posisinya juga nyaman untuk pemuda berkulit pucat tersebut, Luhan melesakkan kepalanya ke bahu namja itu. Ia dapat mencium bau khas tubuh Sehun. Bau kayu mahoni yang basah dicampur vanila, wangi, meski pemuda itu berkeringat. Untuk beberapa menit ia merasa nyaman hingga kemudian terlelap.

=== S Y E ===

"Apa Eomma bisa kemari?"

"…"

"Aku sudah memberinya obat dan suhu tubuhnya sudah mendekati normal."

"…"

"Baiklah."

Luhan menghela napas setelah mematikan sambungan teleponnya. Matanya mengelilingi kamar mereka dan kemudian pandangannya tertuju pada Sehun yang berbaring di sana dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada, mengekspos kulit putih mulus bahu pemuda itu. Sebenarnya, Luhan berpikir, ini adalah kali pertama ia tidur sedekat itu dengan pemuda tersebut. Ini juga kali pertamanya tidur dengan mendekap sang pemuda.

Rona samar tercipta kala Luhan mengingat bagaimana tadi malam rasanya ia nyaman sekali memeluk pemuda itu tanpa baju menghalangi keduanya. Membuatnya dapat merasakan kehalusan kulit sang suami pada kulitnya saat ia bergerak dan secara alami kulit dadanya menggesek kulit lengan pemuda itu. Meski itu dilakukan karena tak ada cara lain yang ia tahu untuk menurunkan demam dengan segera. Dan meski ia dapat merasakan lembab karena keringat Sehun serta panasnya suhu tubuh pemuda itu.

Luhan menggelengkan kepalanya, tak mau membayangkan lagi kejadian semalam atau ia akan merasa pipinya akan semakin memanas. Ia kemudian berdiri. Mengambil baju tidurnya yang diletakkan begitu saja kemudian melenggang pergi ke kamar mandi dengan sebelumnya mengenakan baju tidur Sehun pada pemiliknya. Sedikit kesusahan saat memakaikannya baju karena bobot Sehun memang lebih berat dari dirinya walaupun tubuh pemuda itu terlihat kurus.

Tak butuh waktu lama untuknya mandi dan bersiap diri kemudian pergi ke dapur. Memikirkan apa yang seharusnya dimasak, ia diam sejenak di sana. Luhan belum pernah mengatasi orang sakit sebelumnya, di awal telah dijelaskan, bukan? Maka dari itu, ia kembali ke atas—ke kamarnya—untuk mengecek Sehun dan kemudian keluar rumah dengan sedikit tergesa. Ini masih terlalu pagi, bahkan koran pagi pun belum diantarkan. Ia melangkahkan kakinya selebar sebisanya agar segera sampai di rumah Tao, satu-satunya harapan yang ia punya.

Tangannya membuka pagar sebatas pinggang rumah itu dan niatnya agak sedikit goyah ketika ia melihat lampu depan rumah itu belum dimatikan. Itu artinya sang pemilik rumah masih berada dalam kasur empuknya. Untuk beberapa saat, Luhan berpikir sebaiknya menunggu agak siang, namun saat pikirnya kembali melayang pada sosok Sehun, ia menghela napas. "Tao, maafkan aku," bisiknya sebelum memencet bel rumah tersebut.

=== S Y E ===

Pemuda itu mengenakan dasinya. Ini sudah cukup terang untuknya berangkat kerja. Sebenarnya, kalau bukan karena meeting bersama klien pentingnya, hari ini ia memilih untuk masuk kerja agak siangan sebab neneknya sedang sakit.

"Halmoni, aku janji akan pulang secepatnya," katanya pada seorang tua yang tengah berbaring di ranjang mewahnya setelah ia selesai bersiap-siap. Neneknya memandangi satu-satunya keluarga dan cucu pemudanya itu yang kini duduk di sampingnya. Beliau mengelus tangan cucunya sambil tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Chen. Kau selesaikanlah masalahmu dengan baik," lirihnya.

Chen tersenyum mendengarnya. "Aku berangkat," katanya kemudian melenggang keluar.

Di depan rumah, ia tak sengaja melihat tetangga barunya. Yah, meskipun ia sudah tidak bisa dikatakan tetangga baru lagi mengingat pemuda dan suaminya itu telah tinggal selama—eh? Sudah berapa lama mereka di sini? Ah, bahkan ia tak tahu mereka sudah bertetangga berapa lama saking sibuknya ia. Yah, Chen memang tidak terlalu mempedulikan sekitarnya akhir-akhir ini sebab kesibukan bisnisnya.

Chen melihat pemuda itu berjalan agak tergesa dengan langkah yang lebar-lebar manuju rumah Tao. Sesaat berhenti di ambang pagar sambil memelankan jalannya, namun kemudian melangkah lagi dengan mantap dan memencet bel rumah milik keluarga Wu itu. Chen masih berdiri di sana, di samping mobilnya yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi-pagi buta sekali. Diperhatikan pemud

Please log in to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
shii_xun
i'm still continuing this fic, dont worry, i ll keep my promises *smacked* anyway, thanks for ur support all these times and please wait a bit more, im so sowwy

Comments

You must be logged in to comment
Exoxosts #1
huaaa aku masih menanti ff ini banget kaak??
OliviaPopeye #2
Chapter 9: Ini akun lama yg passwordnya diingat shii sepanjanghidup nya kah?? ?
femroxanne #3
Chapter 8: Kok gak dilanjut kak, jangan bosen bikin ff dong ayo lanjutin lagi. Ditungguin yw
kaihunhandyo #4
Chapter 8: Waaaaaaa akhirnya di update juga *sujud syukur*
Sumpah ini aku sampe baca ulang dari chapter satu, kangeeen banget sm hunhan {} apalagi di ff ini mereka so sweet bngeet
Exoxosts #5
Chapter 8: Woaaaaaaa ayo dilanjut lagi author! Tapi jangan konflik ya hunhannya, kasiaaan:( aku mau hunhan terus bersatu thor! Jauhkan donghaee huweeee
KikiPurnamaSari #6
Chapter 1: next chapnya kapan jih thor... jngan lama" ya nanti aku lumutan lagi hehehe...
luhan dah mulai suka thu ma sehun... gimna sehunnya ya... kyanya sehun juga dah suka ma luhan
Elfriyoung #7
Chapter 7: Aaah ga apdet apdet yaaa penasaran banget udahan ini :( dari berbulan bulan yg lalu duh :(
kaihunhandyo #8
author nim... aku nunggu update an mu nihhhh :(
kyuminfinite #9
Chapter 7: authorrr~ aku nungguin ff ini update sampe jamuran nih -,- fast update dongggg
xohunkaiywra
#10
kapan up lagi wehhh lama nunggu masaa-,-"
gua missing hunhan angst moment/?
cepet update pls:(
asapa yo