CHAPTER 2 – FIRST DATE

WHERE MY HEART BELONGS ?

Inoo’s POV

Aku memarkirkan mobilku tepat disebuah klinik yang menjadi tujuan Chinen. “Kei-kun, maaf sudah merepotkan.” Ujar Chinen sambil berlalu keluar mobil. Dia sedang mengalami diare sedari pagi sehingga membuat acara latihan kami terpaksa ditunda dan akulah yang ditunjuk mengantarkan Chinen ke klinik. Chinen memilih klinik ini karena katanya dia sudah mengenal pemiliknya. Dan juga atas rekomendasi Yuto yang ayahnya seorang ahli gizi. Lagipula Klinik ini terletak dipinggir kota sehingga suasananya yang sepi dan tentunya terhindar dari paparazzi.

Sejak dulu tubuh Chinen selalu lemah. Dialah yang paling sering sakit diantara kami bersepuluh. Pencernaannya sering kali terganggu, mulai dari maag hingga diare. Dan mungkin karena itulah tubuh Chinen tidak kunjung tumbuh alias selalu kecil seperti itu. Aku keluar dari mobil sepuluh menit kemudian setelah menerima pesan dari Chinen bahwa pengobatannya selesai. Kukunci pintu mobilku dan aku beranjak masuk kedalam klinik yang didominasi dengan cat warna biru.

Aku mendapati Chinen sedang berbicara dengan seorang dokter perempuan muda yang mengenakan kacamata tipis dengan rambut terurai. Aku melambaikan tanganku pada Chinen dan dia tersenyum membalas lambaianku. Lalu dokter itu mengibaskan rambutnya untuk melihatku. Langkahku berhenti. Itu dia. Gadis itu.

“Inoo-kun? Chinen-kun, kupikir datang dengan Yuto atau Yama-chan.” Ujar Nina, ya, dokter muda itu adalah Nina gadis yang kutemui tempo hari saat ibunya meninggal dunia, kerabat Yuto. Chinen tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gomen Nina-chan. Hanya Kei-kun yang tadi sedang tidak banyak kerjaan.” Aku menjitak kepala Chinen, “Bodoh! Memangnya aku itu kau yang kerjaannya hanya bermain.” Ujarku. Nina tertawa. Aku baru kali ini melihatnya tertawa semenyenangkan itu.

Sudah hampir satu bulan sejak terakhir kali aku berkenalan dan bertemu dengannya. Satu bulang yang lalu saat ibunya meninggal dan aku memberinya tempat untuk menangis, karena dia sama sekali tidak menangis hari itu. Yang kudengar dari Yuto, Nina memang tidak pernah menangis apapun alasannya. Entah aku beruntung atau apa tapi aku menjadi tempatnya untuk menangis.

“Jadi bagaimana diarenya, Nina? Ehh maksudku diarenya Chinen.” Ujarku. Nina yang sempat terdiam kini sudah kembali tertawa. “Kurasa Chinen-kun terlalu banyak makan pedas, jadi perutnya jadi sakit dan diare. Tapi bagusnlah, Chinen-kun tidak kehilangan banyak cairan. Aku sudah meberikan obat dan suntikan vitamin. Dan Chinen-kun, obat-obat ini harus segera ditebus dan diminum ya. Semoga lekas sembuh.”

“Wakatta! Aku mengerti Nina-chan. Gomen na. Arigatou na.” ujar Chinen. Aku ikut membungkukkan badanku bersama Chinen. “Baiklah, kami pergi dulu Nina-chan. Besok aku bantu disini kalau sudah sembuh.” Tambahnya. Nina mengangguk dan tersenyum, “Emm.. Baiklah aku akan menunggumu. Ajak sekalian Yama-chan dan Yuto ya. Salam juga untuk Dai-chan, Keito-chan juga Yuya-chan, Kou-chan dan Hika-chan.” Ujarnya. Aku terdiam, sepertinya dia mengenal hampir semua anggota JUMP.

“Yuk, Kei-chan.” Ajak Chinen. Aku mengangguk lalu beranjak pergi. Aku menghentikan langkahku begitu pintu klinik tertutup sempurna dibelakangku, “Chinen, apakah semua anggota JUMP mengenal Nina? Apakah mereka semua pernah kesini?” tanyaku. Chinen berhenti berjalan lalu membalik badannya dan menatapku. Raut wajahnya nampak berpikir sejenak, “Hmmm… aku pikir cuma Kei-kun dan Ryuu saja yang tidak pernah kemari. Dan ya, deshou, kami berdelapan mengenal Nina. Kan mereka berganti-gantian mengantarku kemari. Kecuali Kei-kun.” Jawabnya ringan lalu beranjak kearah mobilku. Aku berpikir cepat, apa yang harus kulakukan? Kalau tidak berbuat sekarang mungkin salah satu dari mereka berdelapan juga mengincarnya.

“Chinen, tunggu sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan pada Nina.” Ujarku sambil berlari masuk kedalam klinik. Tidak memperdulikan jawaban Chinen. “Nina-chan!” panggilku. Beberapa manula yang tengah duduk menunggu antrian dan beberapa suster yang lewat spontan berhenti beraktivitas dan menoleh padaku. Nina yang mengenakan jas putih lengkap dengan stetoskop menggantung dilehernya dengan map warna merah ditangannya menatapku bingung. “Ada apa Inoo-kun? Apa yang terjadi?” tanyanya.

Aku mengatur nafasku yang terengah-engah. Aku tidak berlari tapi kenapa rasanya aku seperti baru berlari berkilo-kilo meter. Lututku terasa lemas dan tanganku gemetar. Aku meremas coat dari kulit yang aku kenakan. Menarik nafasku, mengaturnya agar bisa masuk ke rongga paru-paruku dengan sempurna, agar aku tidak kolaps melihat wajahnya. “Enggg…. Maukah kau pergi denganku akhir pekan besok?” tanyaku cepat. Nina mengernyitkan dahinya, sepertinya dia mencerna apa yang aku katakan. Lalu sebuah senyum terulas dibibirnya.

“Emm… baiklah. Aku akan pergi denganmu. setelah jam kerja klinik, bolehkah?” tanyanya. Aku mengangguk sambil mengacungkan jempolku kearahnya. “Baiklah.” Lalu aku berbalik dan meninggalkan klinik itu. Chinen menatapku dengan senyum aneh dibibirnya. “Kau mengejutkan Kei-kun.” Ujarnya. Ah ya, tentu dia mendengar apa yang aku katakan tadi mengingat suaraku cukup keras. Aku menoleh kesekitar. Untunglah tidak satupun paparazzi yang lewat.

“Tolong jangan katakan pada siapapun Chinen.” Pintaku. Chinen terkekeh, “Tergantung upetinya Kei-kun.” Godanya. Aku hanya tertawa, “Baiklah. Aku mengerti.” Uajrku.

 

 

Seminggu cepat berlalu. Hari ini adalah akhir pekan yang aku janjikan dengan Nina. Dan selama sepekan ini aku merutuki kebodohanku yang selalu sukses membuat Chinen tertawa. Aku lupa menanyakan alamat email atau nomor ponselnya. Aku benar-benar bodoh. Aku merapihkan tasku dengan baju-baju kotor untuk latihan hari ini. Aku sudah mengenakan kemeja warna biru muda, warna favoritku dipadu dengan celana pendek warna putih dan topi fedora warna hitam serta sepatu boots hitam. Aku harap penampilanku tidak berlebihan atau menarik perhatian. Aku juga berjaga-jaga membawa beberapa buah masker dan kacamata hitam.

“Kau mau pergi?” tanya Yabu dari arah pintu. Delapan anggota JUMP masih menikmati mandi sore mereka dengan air hangat setelah sesi latihan yang panjang dan melelahkan. Konser kami akan diadakan dua bulan lagi. Dimana ini akan menjadi awal baru bagi JUMP, karena ini dalah konser kali pertama kami setelah kami kembali menjadi bersepuluh. Konser penerimaan kembali Ryutaro.

“Emm.. aku pergi dulu. Katakan pada yang lain malam ini aku tidak ikut makan.” Ujarku. Yabu hanya mengangguk dan menepuk pundakku, “Hati-hati Kei.” Aku tersenyum dan mengacungkan jempolku.

 

 

“Gomen na Inoo-kun. Bisa menunggu 30 menit lagi. Aku harus mengobati nenek Kimura terlebih dahulu. Beliau terkena diabetes sehingga perlu mendapat bantuan insulin. Gomen.” Ujar Nina sambil membungkukkan badannya didepanku, tandanya meminta maaf. Aku tersenyum, “Ah.. tidak apa-apa Nina. Tenanglah. Silahkan kau mengurus nenek Kimura lebih dulu. Ganbatte!” ujarku. Dia tersenyum lalu beranjak dibalik tirai biru tak jauh dariku berdiri. Aku melihat bayangannya kini mencapai tubuh seorang nenek yang sedang duduk di tempat tidur pasien.

Aku menunggunya dan mengamati bayangannya bekerja. Senyumku mengembang membayangkan dia yang akan merawatku nanti. Ah pikiran bodoh!

Tak sampai 20 menit Nina sudah berdiri didepanku. Kini dia sudah mengganti jas dokternya dengan pakaian kasual. Mengenakan celana pendek dan kaos bergambar Mickey Mouse berwarna merah. Rambutnya terikat ekor kuda dengan poni menyamping. Dia tidak mengenakan make up. Ah, aku tak pernah melihatnya menggunakan make up. “Inoo-kun?” panggilnya.

Wajahku memanas, kurasa warnanya merah, “Ah gomen. Aku tadi melamun. Biasanya kulihat kau berpakaian rapih selayaknya dokter. Gomen.” Ujarku. Dia tersenyum pipinya yang tembam terlihat manis saat tersenyum. “Ah, maaf. Aku biasanya berpakaian seperti ini. Aku kan baru 19 tahun. Ah, aku yang harus minta maaf. Sudah membuat Inoo-kun menunggu. Harusnya aku mengabarimu lebih dulu. Tapi, aku baru sadar tadi siang kalau aku tidak memiliki nomormu. Jadi kukirim email pada Yuto, tapi sepertinya Yuto belum membacanya.” Ujarnya.

Aku menggeleng, “Tidak tidak. Harusnya aku yang bertanya soal nomormu kemarin. Aku terlalu bodoh. Maaf. Mungkin karena ini kencan pertamaku.” Ujarku. Matanya membulat, “Hontou? Benarkah ini kencan pertamamu?” tanyanya. Aku mengangguk berbohong. Tentu saja aku pernah berkencan sebelumnya. Tapi aku ingin menarik perhatiannya, hanya untukku. Dia tersenyum, “Ini juga kencan pertamaku. Yoroshikuu Onegaishimasu.” Ujarnya. Aku hanya tersenyum kemudian meraih tangannya, menarik keluar klinik dan membawanya kedalam mobilku. “Kita akan bersenang-senang hari ini.” Ujarku. Dia mengangguk dan tersenyum.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet