CHAPTER 1 - A WARM TEARS

WHERE MY HEART BELONGS ?

 

Nina’S POV

Namaku Nina Kaminari, usiaku 19 tahun. Hidupku sempurna. Aku selalu merasa bahagia. Aku punya kedua orang tua yang sangat menyayangiku. Lalu dua adik kembarku laki-laki dan perempuan, bernama Yui dan Yue. Hidupku sempurna. Kedua orang tuaku selalu dapat memenuhi apa yang aku perlukan, dan bahkan tak jarang apa yang aku inginkan dan terlihat sulit bagi orang lain selalu bisa kudapatkan. Semasa sekolah dan kuliah dulu nilaiku selalu sempurna. Aku menjadi peraih lulusan terbaik disekolah dan di kampus. Dan bahkan aku meraih gelar dokter termuda dikampusku dulu.

Ayah memberiku tanggung jawab untuk mengurus sebuah klinik kecil dipinggir kota, dimana klinik itulah yang menjadi tempat kenangan ayah bersama mendiang ibu. Ibu bercerita, kalau saat itu usia ibu masih muda, 19 tahun, sedangkan ayah berusia 28 tahun. Ayah tengah menjalani praktik di klinik itu. Klinik yang merupakan klinik nirlaba milik keluarga ayah, keluarga Kaminari. Ibu saat itu terpaksa membawa salah satu nenek tetangganya untuk berobat diklinik. Lalu mereka bertemu dan akhirnya memutuskan menikah beberapa bulan kemudian. Tepat saat ibu dinyatakan lulus SMA.

Aku menyentuh foto ibu sekali, tak sedikitpun aku dapat mengeluarkan air mata. Aku sudah lelah menangis. Aku tidak penah menangis. Ibu pernah bilang “Jangan menangis. Karena itu melelahkan. Lebih baik kau diam atau tersenyum sekalian.” Tapi akan aneh kalau aku tersenyum saat melepaskan kepergian ibu. Dibelakangku, sebuah peti mati terbuat dari kayu jati yang disepuh dengan warna putih mengkilat tengah ditandu untuk dimasukkan dalam mobil jenazah. Kedua adikku dengan mata bengkak berwarna merah mengiringi peti mati ibu. Sedangkan ayah berdiri disebelahku, memegang bahuku dengan mantap. Aku tahu ayah tak pernah kuat menghadapi kehilangan. Terutama kehilangan ibu.

Ayah begitu mencintai ibu, lebih dari apapun. Suatu ketika pernah ibu menjadi sukarelawan bencana alam diluar kota. Ayah tak berhenti sekalipun untuk mengkhawatirkan ibu. Beberapa menit sekali ayah mengirimkan pesan singkat ke ponsel ibu. Dan barulah ayah tenang saat ibu sudah menelepon. Pernah juga saat ibu kembali kerumah orang tuanya karena bertengkar dengan ayah, ayah sampai gusar dan tidak bisa makan karena tidak ada ibu. Akhirnya ayah memilih untuk menjemput ibu. Tapi disini, ayah terlihat berbeda. Ayah terlihat sangat tegar.

Semalam saat ibu dalam kondisi kritis, ayah berkata “Biarlah kita membiarkan ibu pergi. Rasanya tidak tega membiarkan ibu begini menderita. Kalian harus belajar melepaskan ibu. Agar ibu tidak khawatir.” Semalam aku hanya diam dan mengangguk. Aku tidak menangis! Aku memenuhi janjiku pada ibu dulu sekali, agar aku tidak pernah menangis. Dan bahkan mungkin Yui dan Yue mengiyakan karena mereka tidak mengerti harus kehilangan ibu selamanya. Usia Yui dan Yue baru menginjak 13 tahun. Mungkin mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti.

Lalu pagi tadi, ibu menangis dalam tidurnya. Saat kubangunkan beliau sudah terlihat begitu lemah dan pucat. Suara hatiku berkata inilah terakhir kalinya aku akan melihat ibu. Lalu aku beranikan diri memeluk ibu, dan beliau berbisik padaku “Saat ada yang pergi tentu akan ada pengganti. Sedih itu selalu beriringan dengan kebahagiaan. Jadi tersenyumlah, sayang.” Aku mengangguk dan mencium pipiku. Dan begitulah, ibu pergi dengan tenang saat ayah memeluknya. Ibu pergi dalam pelukan orang yang dicintainya.

Hidupku yang sempurna sepertinya akan berubah sangat drastic. Tidak ada lagi ibu yang menyapkan sarapan ataupun bento dan makan malam untuk kami. Untukku bekerja tengah malam. Semua tidak akan sesempurna semula. Aku menatap peti mati yang sudah diangkat menuju mobil jenazah yang kami sewa. Puluhan rangkaian bunga berdiri berjajar mengantarkan ibu. Inilah akhir kehidupan ibu, semoga ibu bahagia. Itterasai.

 

 

Aku meneguk segelas ocha hangat didepanku. Mataku kembali menangkap bungkusan abu jenazah ibu. Ayah dan aku juga Yui dan Yue memutuskan untuk menyimpan abu ibu dirumah, agar kami selalu merasa dekat dengan kami. Ibu selalu berada dirumah, meskipun beliau sering terlibat kegiatan social tapi beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya dirumah. Beliau selalu mengantar kami pergi meninggalkan rumah dan menunggu kami didepan pintu saat kami kembali dari kegiatan kami. Senyum ibu selalu merekah saat mengatar ataupun menyambut kami. Ibu selalu tersenyum.

Aku meneguk kembali ocha digelas dari tanah liat didepanku. “Menangislah. Kau belum menangis sama sekali.” Aku mendengar suara anak laki-laki tak jauh dariku. Aku mendongakkan kepalaku. Mendapati wajah yang sangat familiar didepanku. “Yuto-chan..” panggilku lirih. Sepertinya air mataku menggenang tapi aku tidak menangis.

“Hmm… menangislah Nina.” Ujar Yuto. Aku menggeleng, “Tidak. Aku tidak menangis. Aku tidak pernah menangis. Tidak. Aku pernah berjanji pada ibu.” Jawabku. Yuto tersenyum lalu menghampiriku. Dia memelukku dan kemudian entahlah, aku merasa bodoh saat aku balas memeluknya dan sama sekali tidak menangis. Dia membelai puncak kepalaku serta rambutku yang panjang sebahu.

Nakajima Yuto. Dia adalah saudara sepupuku, putra bungsu dari paman yang merupakan adik ibu. Dan kebetulan dia adalah seorang penyanyi dari grup idol terkenal Hey! Say! JUMP. Yuto dan aku sudah dekat sejak kecil. Dia seperti kakak yang tidak pernah kumiliki. Dan baginya aku selalu menjadi adik yang tak pernah dimilikinya. Yuto sangat baik namun aku sering kali mengerjainya karena sifatnya yang sangat kekanakan mudah sekali untuk dijahili.

“Arigatou, Yuto-chan. Aku tahu kau sibuk untuk konsermu yang akan datang. Terima kasih.” Ujarku. Yuto tersenyum. Dia menepuk-nepuk puncak kepalaku, “Kau memang tidak pernah menangis. Aku kan ingin meminjamkan bahuku untukmu, Bodoh! Sekali-kali kita perlu menangis untuk melepaskan semua beban dan kesedihan.” ujarnya sambil mengetuk daiku dengan telunjuknya yang panjang. Aku tersenyum, “Aku berjanji pada ibu untuk tidak pernah menangis.” Jawabku. Dia mengangguk kemudian menarik tanganku. Membuatku berdiri dari tatami yang sedari tadi aku duduki.

“Kenalkan Inoo-kun, ini adik kecilku, Nina Kaminari.” Ujar Yuto. Mataku membulat menyadari bahwa sedari tadi Yuto tidak datang sendirian. Dan bahkan aku rasa lelaki bernama Inoo ini juga menyaksikanku dan Yuto saat berpelukan tadi. Aku menelan ludahku, merasa gugup. “Nina, ini teman satu grupku di JUMP, namanya Inoo Kei. Dia lebih tua 3 tahun dariku. Berarti 4 tahun diatasmu. Ah, ya. Mungkin kau tak mengenalinya, karena rambutnya berwarna blonde. Keperluan perannya di drama terbarunya.” Jelas Yuto. Yuto benar aku tak mengenali lelaki itu kalau Yuto tak menjelaskannya.

“Hajimemae?” ujar Inoo sambil mengulurkan tangannyA. Aku tersenyum menerima uluran tangannya. “Terima kasih sudah datang. Maaf merepotkan.” Ujarku sopan. Ah, tapi Yuto salah. Aku juga tidak mengenalinya bukan karena rambutnya yang berganti. Tapi aku tak pernah memperhatikan anggota JUMP. Aku tidak tertarik sama sekali dengan Idol manapun. Waktuku selalu kugunakan untuk belajar dan bekerja. Hidupku yang sempurna. “Nina-chan?” panggil Inoo lembut. Aku terjaga dari lamunanku. Memandang sekeliling. Yuto sudah meninggalkanku dan kudengar suaranya menemani ayah ngobrol.

“Ah, gomen na. Tadi kau bicara apa?” tanyaku. Inoo tersenyum, “Aku turut berduka cita.” Ujarnya. Aku mengangguk dan tersenyum, “Emmm… arigatou. Tidak apa-apa kok.” Ujarku sambil mengibaskan telapak tanganku didepan wajahku. Dia menepuk bahuku. Aku kaget setengah mati. Rasanya seperti ada yang mengepak-ngepak diperutku dan aku tak tahu itu apa. “Kau tahu, aku rasa Yuto benar bahwa Sekali-kali kita perlu menangis untuk melepaskan semua beban dan kesedihan. Kenapa kau sama sekali tidak menangis?” tanyanya.

Aku terdiam, bayangan kepergian ibu sore tadi memang terasa sesak. Saat mengantarkan ibu ketempat kremasi, saat menerima abu ibu, saat ibu masih sempat memelukku tadi pagi. Semua menyesakkan dan membuatku lelah. Aku ingin menangis, sekali saja. Tapi aku tak tahu bagaimana memulainya. Aku mendongakkan kepalaku, menatap manik mata Inoo. Dia masih menatapku. “Aku ingin. Dan meskipun aku pernah berjanji pada ibu untuk tidak menangis, aku ingin sekali mengingkari janji itu. Aku ingin menangis untuk ibu. Tapi aku belum meminta izin pada beliau. Aku…” kalimatku terhenti. Aku kehilangan kata-kataku. Aku merasa sangat bodoh.

Inoo tersenyum, “Bolehkah aku meminjamkanmu tempat untuk menangis? Aku akan minta izin pada ibumu.” Setelah menyelesaikan kalimatnya Inoo berjalan menuju tatakan dimana abu dan foto ibu berada. Dia meletakkan satu tangkai bunga krisan putih yang tadi terikat rapih dibuket dari Yuto. Kemudian dia menangkupkan tangannya, berdoa sambil memejamkan matanya. Lalu dengan suara lirih yang cukup kudengar dia berkata pada ‘ibu’, “Okaasan, tolong izinkan Nina untuk menangis. Izinkan aku meminjamkan tempat untuknya menangis. Kumohon kalau ingin marah, marahlah padaku.”

Mataku membelalak tidak mempercayai apa yang aku dengar. Ibu… haruskah aku menangis? Lalu tanpa kusadari kakiku sudah melangkah dan meraih pinggang Inoo. Menyembunnyikan wajahku dipunggungnya yang bidang berbalut kemeja warna biru muda. Lalu akhirnya aku menangis, menumpahkan semuanya dipunggungnya. Membasahi kemejanya. Aku merasakan sepasang tangan menyentuh tanganku. Terasa hangat menyelimuti hati dan kulitku.

“Arigatou, Inoo-kun” ujarku. Dia tidak menjawab dan hanya menepuk-nepuk pelan tanganku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet