CHAPTER 12 – SUPER DELICATE

WHERE MY HEART BELONGS ?

Yuto’s POV

3 days before going to beach..

Patah hati. Aku patah hati berkali-kali. Semenjak malam itu aku melihat dia memeluk pinggang Kei dan menangis untuk yang pertama kalinya sejak kepergian ibunya, aku sudah merasakan patah hati. Lalu aku melihatnya berkencan dengan Kei. Bahkan aku membuntutinya, aku patah hati sekali lagi. Lalu kemudian aku memberanikan menyatakan cinta padanya, dia memang mengiyakan tanpa keraguan saat itu. Dia menerimaku menjadi kekasihnya. Lalu kami menghabiskan banyak waktu bersama meskipun singkat.

Berjalan-jalan mengunjungi café yang dulu kami ingin kunjungi namun gagal karena sama-sama tidak punya pasangan. Menghabiskan malam berdua saja dikamarku. Saling mencium dan menggoda satu sama lain. Merajut cinta. Aku masih mengingat semua memori tentang Nina dan aku. Tapi aku menyadari aku terlalu pengecut menghadapi semuanya. Aku tak tahu begini pengecutnya diriku. Rasanya aku ingin menangis meskipun pada akhirnya aku hanya mampu tersenyum palsu.

Ada satu bagian dari diriku yang tak ingin kutunjukkan pada Nina dan semua orang. Aku yang sudah patah hati. Aku yang terluka. Aku memilih menyembunyikan semua memori itu. Menggantinya dengan semua ingatan palsu dan berpura-pura kehilangan satu bagian memoriku. Merelakan Nina. Rasanya hatiku terkoyak melihat wajah muram Nina. Apalagi saat melihat dia tersenyum padaku, meskipun aku tahu jauh didalam hatinya mungkin dia menangis. Atau itu hanya anganku.

Kali ini aku kembali patah hati. Aku berharap keajaiban benar-benar datang, aku ingin melupakan semua rasa sakit yang aku rasakan dalam hatiku. Aku menyaksikan Nina yang memeluk Kei kemudian mencium bibirnya. Nina terlihat sangat bahagia bersama Kei. Aku selalu berangan fakta bahwa Nina menyukai Kei tidak akan pernah terjadi dalam hidupku. Namun aku menyaksikannya sendiri. Disinilah aku, semakin terpuruk dan terluka.

Aku memandangi langit yang begitu sepi. Tak ada awan tak ada hujan atau pelangi. Aku kesepian. Aku merindukan aku yang dulu. Tapi bagaimana aku bisa kembali? Aku tahu aku pengecut. Aku hanya ingin terus bersembunyi. Membiarkan Nina dan semua orang tertawa ketika tahu apa yang sebenarnya terjadi? tentu tidak mungkin. Lebih baik aku bersembunyi. Aku ingin bersembunyi.

“Yutooooo……” aku menoleh menghadapi sipemilik suara yang sejak tadi aku pikirkan. Aku mengulas senyumku. “Nina. Okaeri.” Ujarku lalu kembali menatap langit diluar jendela. Dia berdiri menjajari kursi rodaku. “Apa yang menarik sore ini?” tanyanya. Aku tersenyum lalu menunjuk kearah langit. “Langitnya berkata kalau kesepian. Pelangi sedang enggan menemani karena hujan sedang pergi.” Aku menjawabnya. Dia tersenyum lalu memelukku, menempelkan pipi kirinya ke pipi kananku.

Demi Tuhan jangan lakukan ini, Nina. Karena tentunya aku akan kehilangan semuanya karena ini. Aku harus terus bersembunyi. Aku menyentuh pipi kanannya dengan telapak tanganku. “Daijoubu Nina?” tanyaku dia hanya mengangguk. Lama kami terdiam dengan posisi itu. Rasanya aku ingin segera mengatakan kalau aku mengingat semua memori tentangnya, sekaligus sekalian aku ingin mengatakan kalau aku mencintainya. Tapi aku tidak bisa melakukannya.

“Rasanya aku merindukan pizza favorite Yuto. Aku juga merindukan berantem dengan Yuto. Rindu bermain hujan dengan Yuto. Rindu ci..” Nina berujar namun menggantung kalimatnya begitu saja. Tentu saja aku tahu apa yang dia maksud. Aku mengingatnya dengan jelas. Tapi kumohon jangan mengingatkanku lagi tentang itu.

“Kenapa Nina?” tanyaku. Dia hanya menggeleng kemudian berpindah tempat dan kini berjongkok didepanku. Dia tersenyum lalu menyentuh kedua tanganku, menggenggamnya erat. “Yuto harus segara sembuh. Karena aku merindukan Yuto. Aku berjanji akan menemani Yuto kemana saja yuto mau.” Ujarnya. Sekali lagi aku mencintaimu. Selamanya aku akan patah hati karenamu. Kupasang ekspresi tertarik dan bahagia, mataku kubuat membulat sempurna, “Hounto? Benarkah? Aku ingin mengajak Nina ke pantai. Tapi bisakah? Kaki dan tanganku masih terluka.” Ujarku sambil terus berusaha agar terlihat sedih.

Dia  mengangguk, “Aku kan dokternya. Aku akan mengijinkan Yuto untuk berjalan-jalan sejenak kalau Yuto merasa bosan.” Katanya. Aku mengepalkan jemariku keudara, “Yatta! Arigatou na.” ujarku mencoba terus bersemangat kemudian kudorong rodaku dan meraih ponselku. Membuka-buka file yang selalu kusimpan. Kenangan pertamaku dengan Nina saat kami masih kecil. Aku harap dia mengingatnya. Mengingat sebuah tempat yang hanya milik kami berdua.

“Aku ingin kita kesini.” Ujarku sambil menyodorkan sebuah foto Sebuah pantai kecil tempat kami dulu berkemah bersama. Hari dimana pertama kalinya aku menggenggam tangan Nina. Hari pertama aku memutuskan untuk mencintai dan menjaganya seumur hidupku. “Umm.. kita bisa kesana. Kalau kaki Yuto sudah baikan yaaa…” ujarnya lalu dia memeluk bahuku sekali lagi. Aku mencintaimu Nina. Dengan segenap jiwa dan perasaan yang aku punya. Aku menganggukkan kepalaku, “Umm.. kita pergi sama-sama.” Ujarku. Dia tersenyum dan tetap memelukku. Aieru. Aierunda.

 

….

 

D-day, this is our precious memory..

Kami tiba dipantai dengan menggunakan mobil Kei. Rasanya menyakitkan menjadi saksi mereka menjadi dekat satu sama lain. Aku duduk di jok mobil belakang dan hanya menjawab sesekali ketika ditanya. Nina dan Kei terlihat nyaman satu sama lain dan memanggil nama kecil mereka. Aku cemburu, sangat cemburu. Tapi aku terlalu pengecut untuk menyuarakan semuanya.

Kei dan Nina membantuku turun dari mobil dan meletakkanku dikursi rodaku. Aku merasa sangat tidak berguna pada kakiku. Kaki yang memalukan karena terluka. Aku merasakan Nina mendorong kursi rodaku. Aku sedikit menoleh dan mendapati Inoo tidak mengikuti kami berdua. Aku menyentuh tangan Nina. Menolehkan kepalaku padanya, dia tersenyum sumringah sekali, senyuman pengampun. Aku diam-diam menjulukinya demikian.

“Kau bahagia Nina?” tanyaku. Dia mengangguk dan tersenyum, “Emm! Aku suka tempat ini. Ingat kan dulu kita pernah berkemah disini berdua saja?” jawabnya. Sekarang ganti aku yang mengangguk, “Umm… aku ingat. Aku juga ingat kalau Nina dan aku akhirnya terkena demam setelahnya karena kedinginan. Padahal villa papa tidak jauh dari sini.” Dia terkekeh mendengar kalimatku. Perasaan tenang menghampiriku. Benar-benar senyuman pengampun.

“Habisnya Yuto jahil sekali mengajakku berenang dimalam hari.” Dia berkata sambil menggodaku. Aku terdiam, dia benar aku selalu berbuat nakal padanya, mengerjainya dan membuatnya susah,  “Gomen. Maaf kalau membuat Nina selalu sakit karenaku. Maaf karena terus menerus merepotkan Nina. Kalau saja aku bisa memiliki pacar tentu akan lebih baik. Aku tak akan merepotkan dan mengganggu Nina lagi.” Ujarku. Nina terdiam, melepaskan pegangannya dipundak dan kursi rodaku. Dia berdiri menjajariku. “Memangnya seperti apa gadis impian Yuto?” akhirnya dia bertanya.

Aku menoleh padanya, sungguh aku mencoba tersenyum secerah yang aku bisa, menutupi semua kegugupan dan semua kebohongan yang aku ciptakan. Berharap dia tidak mengetahuinya, berharap dia tetap percaya padaku kini dan nanti. “Kau tahu, belakangan ini aku bermimpi ada seorang gadis. Figurenya mirip sekali dengan Nina. Tidak tinggi, tidak gemuk, tidak juga kurus, tapi rasanya dia rapuh sekali, membuatku ingin memeluknya. Rambutnya hitam legam sebahu, lurus dan rapih. Dia mengenakan headband bintang warna sapphire bertahtakan beberapa permata dengan warna yang senada. Lalu dia mengenakan dress selutut tanpa lengan warna biru dipadu dengan heels warna sapphire. Cantik sekali. Diperlengkap dengan lesung pipi diujung bibir kanannya. Mirip sekali dengan Nina bukan?” ujarku mencoba mendeskripsikan sedetail mungkin sosok Nina dalam mimpiku, berharap dia menangkap pertandaku.

Dia terdiam beberapa detik, kemudian tersenyum dan menepuk bahuku, “Umm… mirip sekali denganku. Apa Yuto yakin itu bukan aku?” tanyanya. Aku menghela nafasku, dia tidak menyadarinya. Dia tidak menangkap pesan yang kumaksud. Kuputuskan untuk menggeleng dan tertawa, menyembunyikan semua kebodohanku, “Bagaimana mungkin aku menyukai Nina. Nina adalah saudaraku satu-satunya. Selain Nina aku tak punya siapapun lagi. Aku akan kesepian tanpa Nina.” Jawabku akhirnya. Dia tersenyum dan mengangguk, “Semoga Yuto segera menemukan gadis impian Yuto.” Ujarnya. Dia bergerak kembali kearah kursi rodaku. Mendorongku pelan, menuju mobil Kei.  “Yuk, kita harus kembali. Yuto harus beristirahat.” Ujarnya.

Aku mulai panik, mungkin aku tidak akan punya kesempatan lagi padanya. Aku menahan roda kursiku, menghentikan langkah Nina, “Matte. Nina, matte.” Dia behenti melangkah. Perlahan aku mulai mencoba  berdiri dan berjalan kearahnya, aku ingin memeluknya untuk terakhir kalinya. Aku harus melepaskannya, bukan ?

Dengan sekali langkah kecil akhirnya aku mencapainya, aku memeluknya dengan erat. Membaui aroma tubuhnya yang menyenangkan dan aku rindukan. Seseorang yang sebentar lagi tidak akan bisa aku peluk dan hanya bisa kutatap dari kejauhan, seseorang yang hanya mampu kucintai dengan jarak yang pasti. Seseorang yang jauhnya serta keberadaannya sesemu pelangi. Aku mencintaimu Nina Kaminari. Bisikku sepenuh hati.

“Aku tahu Nina sedang jatuh cinta. Berbahagialah dengan Kei.” Ujarku tepat saat Kei menghampiri kami berdua. Sempurna sudah aku patah hati dan jatuh cinta disaat yang sama karena Nina. Aku terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya padanya. Mengatakan kalau aku jatuh cinta padanya, mengatakan kalau aku tidak pernah melupakannya. Aku bodoh. Bagaimana mungkin aku melupakan orang yang begitu sangat berarti untukku. Aku mencintaimu Nina, selamanya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet