CHAPTER 14 – HONESTLY, I LOVE YOU

WHERE MY HEART BELONGS ?

Nina’s POV

Sejak 3 hari yang lalu, Yuto mengabaikanku. Dia malas berbicara denganku. Bahkan dia terkadang tak mau menjawab pertanyaanku. Sudah 5 hari Yuto keluar dari rumah sakit. Dan sejak 5 hari yang lalu pulalah aku memilih tinggal dirumah Yuto, tiap sore aku datang kerumahnya untuk menginap. Aku sudah miminta izin pada ayah serta paman dan bibi untuk terus menjaga Yuto. Aku ingin selalu berada didekat Yuto. Tidak ada yang lebih kuinginkan daripada itu.

“Yutoooo…” panggilku padanya yang sedang membaca sebuah buku di sofa merah dipojok kamarnya. “Hmm..” Dia bahkan tidak repot-repot melirikku. Aku menarik nafasku dan menghelanya, mencari kekuatanku. Aku berjalan menghampirinya, kupasang wajah seceria mungkin. Aku memantapkan diri, aku harus mengatakan padanya, semuanya. Tidak peduli dia mengingatnya atau tidak. Tapi aku akan mengatakannya.

Aku berjanji pada hatiku, jika memang perasaannya sudah tidak ada untukku, maka aku akan melepaskannya. Aku akan melupakan cinta pertamaku pada Yuto. Aku akan memulai hidupku yang baru. Menyusun balok demi balok hidupku kembali yang akan menjadi sempurna suatu hari nanti. Aku akan melepaskannya. Itu janjiku yang terakhir.

“Ada yang ingin kubicarakan.” Ujarku. Dia masih tidak berminat melihatku, tapi aku sudah memutuskan. Aku memilih duduk disebelahnya. “Yutoooo…” panggilku manja. Dia menolah, “Bicara saja.” Ujarnya, seperti merasa risih dengan apa yang kulakukan. Aku diam sebentar, kemudian aku mengambil buku yang dibacanya. Dia menoleh padaku dengan ekspresi marah. “Apa sih yang kau lakukan, Nina? Kalau mau bicara, ya bicara saja. Tidak perlu sampai begitu.” Serunya.

Aku menahan tangisku yang hampir pecah, aku menggigit bibir bagian bawahku. Aku kemudian menarik kedua tangannya, meletakkannya dalam pangkuanku. Dia masih menatapku dengan tatapan marah, tapi aku sudah tidak peduli lagi. “Aku mencintaimu, Yuto Nakajima. Sejak dulu sekali, hingga hari ini, semoga sampai nanti.” Dia tidak merespon. Tapi wajahnya tersirat raut kaget, dan selama sepersekian detik tadi aku merasakan gerakan tangannya yang ingin menarik diri dariku. Tapi aku berhasil menahannya.

“Aku menyukai Yuto sejak pertama kalinya kita pergi ke pantai untuk berkemah. Aku memutuskan menjadikan Yuto sebagai cinta pertamaku. Menjadikan Yuto motivasiku. Menjadikan Yuto satu-satunya alasan menyempurnakan hidupku. Semua terasa sempurna saat Yuto ada untukku. Cukup hanya ada Yuto, semua menjadi sempurna.  Mungkin Yuto tidak ingat, tapi aku merasa paling senang saat Yuto dulu cemburu ketika pertama kalinya mengetahui kalau Inoo-kun dan aku pergi berkencan. Lalu malam itu, Yuto menciumku untuk pertama kalinya. Aku menyukai pengalaman yang meledak-ledak bersama Yuto.

Yuto yang seperti petasan begitu semarak dan heboh. Aku menyukai Yuto yang seperti itu. Yuto selalu baik padaku, bahkan Yuto datang disaat yang tepat. Yuto waktu itu memintaku menjadi pacarnya. Dan saat aku setuju, Yuto menciumku untuk kedua kalinya. Tidak ada yang membuatku bahagia sampai saat ini selain ciuman yang diberikan oleh Yuto malam itu.

Mungkin Yuto masih tak mengingatnya, kita bahkan tinggal satu kamar selama beberapa hari, dan… dan… merajut cinta bersama. Aku menyerahkan semuanya pada Yuto. Ya, cintaku, perasaanku juga segenap jiwa dan pikiranku. Kalau Yuto masih lupa, hari itu sebenarnya Yuto bukan kecelakaan saat sedang latihan akrobatik untuk konser JUMP. Tapi saat itu kita bertengkar untuk yang pertama kalinya sebagai pasangan. Yuto sangat cemburu dengan Inoo-kun. Lalu aku keluar mobil dan hampir tertabrak. Tapi Yutolah yang menyelamatkanku. Berkat Yuto aku masih hidup.

Yuto mengorbankan diri untukku. Aku bahagia karena itu. Namun, Yuto menghapus semua memori itu. Yuto menjadi Yuto yang sekarang. Pemarah padaku dan mengabaikanku. Bahkan memaksaku untuk bahagia dengan Inoo. Bagaimana aku bisa bahagia kalau duniaku bukan bersama Yuto? Aku tidak akan pernah bahagia. Karena pusat duniaku adalah bersama Yuto. Aku merindukan, Yutoku. Aku merindukanmu, Yutti.” Aku menyelesaikan kalimat panjangku.

Yuto masih memandangku. Dia tidak memberikan respon yang aku harapkan. Berarti memang aku harus pergi, bukan. Aku melepaskan genggaman tanganku padanya. Kemudian beranjak, “Aku hanya ingin menyampaikan kalau aku masih menyukai dan mencintai Yuto. Tidak peduli Yuto mengingatnya atau tidak. Tolong jangan minta aku pergi bersama Inoo-kun lagi.” Dia masih tidak merespon. Aku berdiri, namun aku ditahan oleh tangannya. Aku menoleh kearahnya, menunggunya berkata apapun. Aku sudah siap dengan semua kemungkinan.

“Aku mengingatnya. Bahkan dengan sangat jelas.” Ujarnya. Aku terpaku dan menoleh padanya. Dia menatapku dengan tajam. Dadaku berdegub dengan kencang. Aku merasa sangat bahagia sekali.

 

….

 

Yuto’s POV

Perlahan semburat merah jambu menghiasi pipinya yang suka sekali aku cubit. Itu tandanya bahagia. Lebih dari 17 tahun aku mengenalnya. Aku sudah menghafal semua kebiasaannya. Aku sudah menghafal mati tiap-tiap pertanda perilakunya. Tapi memang belakangan aku sendiri yang ternyata salah membaca pertanda. Dia masih mencintaiku. Bahkan harus dia sendiri yang menyatakannya padaku, kalau tidak aku benar-benar tak bisa membacanya. Mungkin karena aku terlalu cemburu.

Dia masih berdiri didepanku, mungkin dia menungguku mengatakan sesuatu. Tapi aku tak sanggup berkata apapun. Semua kalimat yang ingin kukatakan tercekat ditenggorokanku. Kami sama-sama bernafas tidak teratur karena saling merindu. Tapi aku takut memulainya, aku takut saat aku memulainya kembali dia akan beranjak pergi. Aku tak mau kehilangan dia.

Aku tak mau melakukan suatu kebodohan lagi, tapi aku tak tahu harus melakukan apa. Aku hanya menatapnya, mengagumi wajahnya yang semakin lama semakin cantik dan nampak dewasa. Auranya terpancar betapa dia adalah gadis yang pintar dan menyenangkan, tentu saja dengan senyuman pengampunnya. Aku menarik nafasku, perlahan aku melepaskan genggaman tanganku. Aku sendiri tidak memahami apa yang aku lakukan. Aku masih duduk dan tidak bergerak. Aku hanya mau menatapnya seperti ini.

Dia juga menatapku balik seperti ingin melakukan sesuatu namun tergambar jelas diwajahnya kalau dia juga bingung. Aku mengulas senyumku akhirnya, dia juga balas tersenyum. Kemudian dengan cepat dia sudah menubrukku, melingkarkan sepasang tangan mungilnya dileherku. Menenggelamkan wajahnya dibahuku, dan aku merasakan dia menangis. Aku balas memeluknya. Kami hanya melakukan itu selama berjam-jam lamanya. Saling memeluk dalam diam dan menikmati hembusan nafas kami yang saling naik turun. Dia menangis sesegukan, namun aku hanya memeluk dan membelai punggungnya.

Kami bertahan sampai di jam keempat, itupun pelukan kami terlepas saat perutnya berbunyi tanda lapar. Dengan wajah memerah karena malu dia menunduk dan menatapku. Aku kali ini bisa membacanya sekali lagi, “Kamu lapar?” tanyaku. Kalimat pertama yang keluar setelah 4 jam kami berpelukan. Dia mengangguk, dan tersenyum malu-malu. Aku bangkit berdiri. Kakiku sudah lebih dari sehat untuk sekedar berdiri dan berjalan sekarang. Sesekali aku mampu berlari-lari kecil.

Dia menyelipkan tangan kanannya di tangan kiriku saat aku sudah berdiri disampingnya. Aku menoleh padanya. Dia hanya mengulas senyumnya dengan wajah lebih malu dari biasanya. Wajah yang pernah kuingat saat suatu pagi kami terbangun ditempat tidur yang sama. Aku kemudian menggenggam tangan kanannya erat dengan tangan kiriku. Rasa hangat menyelimuti tangan hingga ke jantungku. Mau tidak mau wajahku kini memerah karena senang. Aku bahkan dapat merasakan genggaman tangannya balik menggenggan padaku.

Aku menarik tangannya agar dia bisa melangkah bersamaku. Bersama kami menuju ruang makan rumahku. Dirumah sedang tidak ada orang, Ayah dan Ibu juga kakakku sedang bekerja. Tautan tangan kami tidak terlepas sampai akhirnya kami menyadari tidak ada makanan di dapur. Hanya ada bahan-bahan mentah yang tersedia di kulkas. Tangan dingin Nina terlepas saat mengecek kulkas. “Aku yang akan memasak. Yuto duduklah.” Ujarnya saat menoleh padaku. Mataku memanas karena bahagianya. Aku menggeleng, “Meskipun aku tidak bisa memasak, tapi aku ingin memasak sesuatu untukmu. Jadi, Ninalah yang harus duduk menunggu.” Ujarku. Matanya membulat karena heran, tapi kemudian dia tersenyum dan mengangguk. Dia bangkit berdiri. Aku baru menyadari kalau dia begitu semungil ini. Tingginya hanya sebahuku, kira-kira tinggi badan kami berbeda 20cm.

Aku menepuk puncak kepalanya lalu mengecupnya pelan. “Tunggu ya Nina.” Dia mengangguk lalu berjalan menuju tempat duduk pantry yang tersedia.

 

….

 

Nina’s POV

Aku memperhatikan gerakan tangan Yuto yang terlihat kaku saat memotong bawang bombai. Matanya memerah karena pedih. Aku berkali-kali menghapuskan air matanya yang keluar dengan tissue. Tapi dia tetap bersikeras untuk memasak makanan kami. Ini adalah kali pertama Yuto memasak. Biasanya selama ini aku yang akan memasakkan untuknya saat kami bersama. Dan tentunya Yuto memilih masakan paling simple, Spaghetti Bolognaise, dimana bumbunya sudah jadi namun perlu ditambah dengan bawang putih dan bawang bombai lalu dihangatkan sebentar.

Dia terlihat sangat bersemangat dan tampan. Aku tidak tahu apa rahasianya selama ini, bagaimana ingatannya kembali? Bagaimana dia bisa mengenaliku sebagai kekasihnya? Apakah dia masih mencintaiku? Aku akan menanyakan semuanya. Tapi nanti. Karena kami masih punya waktu, bukan?

Yuto sesekali melirikku, wajahnya bersemu merah. Itu karena bahagia. Aku hafal dengan perangainya. Tidak kurang dari 35 menit, masakannya selesai. Tampilannya sangat cantik karena dia menghiasnya dengan perstelli, tomat dan taburan keju. Aku tersenyum, “Ittadakimasu.” Ujarku sambil menyendokkan spaghetti buatannya dan memakannya.

Air mataku luruh seketika ketika merasakan makanan buatannya. Sesungguhnya makanan buatan Yuto sangatlah asin, lalu terkadang terasa asam karena terlalu banyak tomat yang ditambahkan. Sepertinya Yuto memutuskan menambahkan tomat dan beberapa sendok garam. Tapi aku tetap memakannya karena itu buatan Yuto. Karena ini masakan pertama orang yang aku cintai.

 

….

 

Yuto’s POV

“Bagaimana rasanya?” tanyaku sesaat setelah dia menyendokkan spaghetti buatanku. Dia mengangguk dan menelan suapannya. Lalu berulang kali menyuapkan kemulutnya spaghetti buatanku. Dia makan dengan lahap, membuatku sangat bersemangat dan lega. “Oishii.” Ujarnya pelan disela menelan spaghettinya. Aku mengangguk dan tersenyum lebar, “Arigatou.” Balasku. Akupun menyendokkan spaghettiku. Sesaat aku tersadar. Masakanku sangatlah asin dan terasa asam dari tomat yang kutambahkan.

Aku melirik Nina yang tengah makan dengan lahap. Dia tidak complain dengan rasa masakanku, malah dia memakannya dengan lahap dan kini sudah tinggal dua suap spaghetti lagi. Aku dapat membayangkan seberapa keras dia menahan rasa asin itu dimulutnya. “Yamette Nina.” Ujarku lirih. Dia mengangkat kepalanya menatapku, aku terkesiap, air matanya menggenang tanda bahwa dia ingin menangis. Aku tersentuh dengan itu, perasaan bersalah menyeruak dari hatiku. “Yamette Nina. Jangan dimakan lagi. Rasanya asin.” Ujarku.

Dia menggeleng, “Enak kok. Apalagi ini masakan pertama yang Yuto buat sepanjang hidup Yuto.” Ujarnya. Aku tersadar, dia benar, ini pertama kalinya aku memasak dan orang pertama yang memakan masakanku adala Nina. Aku bangkit kemudian memeluknya dari belakang. “Gomen na.” ujarku. Nina menggeleng dan masih mencoba menyuapkan sendok terakhir kemulutnya. Dia mengunyah dengan perlahan dalam pelukanku. Lalu menelannya. Dia melepaskan pelukanku dan kini menatapku. “Sepahit apapun atau seasin apapun masakan Yuto, aku akan selalu memakannya. Arigatou.” Ujarnya.

Aku langsung meraihnya dalam pelukanku, memeluknya seerat mungkin yang aku bisa. Aku merasakan aroma strawberry dari rambutnya. Membuatku perlahan makin tak bisa memaafkan diriku sendiri atas kebodohanku kemarin, “Gomen na Nina. Aku tak pernah melupakanmu. Aku tak pernah amnesia. Aku hanyalah cemburu denganmu dan Inoo. Aku takut kau meninggalkanku. Aku takut kau tak lagi mencintaiku. Aku takut melepaskanmu. Gomen na Nina.” Ujarku.

Aku merasakan kepalanya menggeleng, “Aku mencintai Yuto. Aku akan disini bersama Yuto. Selalu. Hatiku selalu milik Yuto. Maaf membuat Yuto bingung denganku. Tapi aku mencintai Yuto. Sejak awal aku akan disini. Bersama Yuto.” Ujarnya. Aku menangis pelan dan mempererat pelukanku. Gomen na.

 

….

 

Inoo’s POV

Aku hampir saja mengganggu mereka berdua kalau saja aku tidak segera sadar dengan apa yang aku lihat. Aku mendengarkan kata perkata yang mereka ucapkan satu sama lain. Mereka yang saling mencintai satu sama lain. Dan aku tidak lebih dari seorang yang egois memaksakan diriku untuk tinggal diantara mereka berdua. Aku mencintai Nina Kaminari, itu sudah jelas. Tapi apakah dia mencintaiku? Itu yang tidak mutlak.

Seperti yang kudengar tadi, sejak awal Nina menyukai Yuto. Sejak awal dia merelakan hatinya dimiliki oleh Yuto. Aku yang sejak awal egois memaksanya. Membuat Yuto begitu terluka dan marah. Seharusnya aku lebih bersabar. Jika cinta itu bukan untukku berarti sejak awal perasaanku telah salah jatuh. Dan tandanya tidak pernah ada benang merah untukku dan Nina. Gomen na Nina, gomen na Yuto.

(END) 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet