12 September 2821

Baekhyun menghentakkan kaki-nya dengan kesal saat keluar dari ruangan Choi sonsaengnim, bagaimana tidak? Wanita tua galak itu memakinya habis-habisan mengenai keterlambatannya. Ingin sekali Baekhyun berteriak bahwa hal itu adalah kesalahan Park Chanyeol tetapi pasti wanita tua itu tidak percaya. Dirinya makin kesal mengingat apa yang Chanyeol katakan padanya tadi. Dengan bodohnya Chanyeol menganggap remeh pekerjaannya. Memang, pekerjaan dia hanyalah sebagai peneliti genetika ABO dan bukan seorang yang memiliki jabatan teratas dari perusahaan ini, tetapi bukan berarti pekerjaannya sepele. Sebagai peneliti Baekhyun harus benar-benar serius dan berkonsentrasi dalam pekerjaannya, jika salah sedikit bisa hancur ras ABO di muka bumi ini.

"Hey, hey.... Ada apa dengan wajah yang tertekuk itu?" Seseorang menyenggol bahu Baekhyun dengan sengaja.

Baekhyun melihat siapa pemilik suara itu, "Oh, Jongdae..."

Pria yang sama-sama berkacamata itu, Kim Jongdae, adalah sahabat Baekhyun dari saat kuliah sampai sekarang bekerja di Excroplyte Researching Institute. Mereka berdua adalah orang-orang B dalam angkatannya yang berhasil menembus perusahaan adidaya tersebut. Tidak heran, Jongdae paham sekali dengan Baekhyun.

"Choi sonsaengnim?" ujar Jongdae menduga,

Baekhyun mendengus, "Ya, kau bisa lihat sendiri."

"Makanya, jangan sampai terlambat lagi. Masih untung wanita tua itu tidak melapor ke Park sajangnim." ujar Jongdae menasehati, mendengar itu Baekhyun memutar kedua bola matanya,

"Kalau saja anak dari Park sajangnim tidak menggangguku, mungkin aku tidak akan terlambat." 

Jongdae terdiam sesaat, matanya membelalak, "Maksudmu Park Chanyeol?"

Baekhyun kembali memutar kedua bola matanya, "Siapa lagi?"

Jongdae tertawa mendengarnya, "Aku rasa Park Chanyeol punya sesuatu denganmu."

Baekhyun mengangkat alisnya, "Sesuatu?"

"Ya," Jongdae mengangguk, "Semacam perasaan tertarik padamu. Itu gosip yang beredar dikalangan karyawan."

"Gosip." Baekhyun mendecak, "Ku kira kau sudah pensiun menjadi penggosip, Jongdae."

"Berteman dengan Taehyung membuatku sadar bahwa sehari saja tidak membicarakan orang itu menyakitkan."

"Kau gila." ujar Baekhyun sambil menghela napas.

"Tapi sepertinya mungkin saja Park Chanyeol itu suka padamu."

"Ew?" Baekhyun mengerenyitkan dahi.

"Ada apa lagi dengan dahimu?" Jongdae menatap Baekhyun, "Dia tampan, punya segalanya dan dia tertarik padamu, bukankah itu paket plusplus?"

"Itu masih belum pasti." ujar Baekhyun saat mereka masuk ke dalam ruangan labolatorium,

"Belum pasti gimana? Kau cocok kok dengan dia."

Baekhyun melihat Jongdae dengan tatapan jijik, "Ew, kau pikir aku gay?"

"Melihat dari penampilanmu ya, kau gay."

Baekhyun kembali mendengus, "Aku menyukai dada dan bokong, Jongdae."

"Ya, itu dulu." sahut Jongdae, "Kau akan gay untuk Park Chanyeol."

"Membayangkannya saja menjijikan, Ya Tuhan..."

"Kau sudah sampai tahap membayangkan dirimu dengan Park Chanyeol?" Jongdae tertawa jahil, "Aku kira tadi kau bilang kau menyukai dada dan bokong."

"Jongdae....." Baekhyun ingin protes tetapi ia tidak memiliki kata-kata yang pas untuk membalas omongan jahil Jongdae, "Intinya aku bukan gay dan tidak akan gay, terutama untuk makhluk yang satu itu." Baekhyun memberikan penekanan pada itu.

Tetapi Jongdae hanya kembali tertawa.

12 September 2821

Luhan menghapus air matanya saat dia terduduk di bangku penumpang depan mobil milik Zitao, sementara pria yang lebih muda itu menyetir mobilnya. Luhan masih saja tidak bisa menghentikan air yang mengalir dari matanya itu, melihat Sehun berada di depannya benar-benar meruntuhkan semua barier yang sudah ia pasang selama ini. Boleh bilang kalau Luhan berlebihan, tetapi jika mantan pacarmu yang tiba-tiba menghilang lalu setelah sekian lama dia muncul lagi, apa kau tidak akan merasakan beban berat yang tiba-tiba ada di dadamu setelah melihat dia? Ya, Luhan merasakan seperti itu, jadi wajar saja kalau dia menangis.

"Hyung... Sudahlah... Mungkin saja ini kebetulan Sehun kuliah di tempat yang sama dengan kita..." Zitao mencoba menenangkan Luhan sambil tetap fokus ke jalanan,

Luhan menggeleng, "Tidak ada yang namanya kebetulan, Tao-ya, aku yakin dia sengaja."

"Sengaja bagaimana? Aku yakin karena dia memang dari sananya cerdas sehingga dia bisa bersekolah di A." 

"Tetap saja.... Kenapa harus universitas ini? Kenapa tidak tempat lain? Masih banyak universitas di A yang lebih baik."

Zitao menghela napas, dia juga bingung ingin merespon seperti apa. Dahulu dia satu sekolah dengan Luhan dan Sehun, dan mereka selalu makan di meja yang sama ketika jam istirahat, Zitao paham betul bagaimana hubungan Luhan dengan Sehun, hubungan mereka penuh bintang dan pelangi serta unicorn berwarna putih, jika itu yang ingin kau ketahui, tetapi sejak Luhan menginjak tahun ketiga di sekolah, entah kenapa tiba-tiba Sehun menjadi jarang masuk ke sekolah, dan teman-teman Luhan sering melihat Sehun di pub pada malam hari, Sehun pun makin jarang menghubungi Luhan, selalu ada