Blue

Blue

“Aku akan memberikannya! Aku akan memberikkan nyawaku!” jerit Shinyoung, bangkit berdiri dan menatap Taeyeon tepat di manik mata. “Berhentilah mengganggu keluargaku karena mereka tidak bersalah! Kalau ada yang perlu mati disini, akulah orangnya!”

Taeyeon tertawa, tawanya terdengar meremehkan. “Kau menyadari itu setelah suamimu terbunuh? Bodoh! Aku tidak akan membiarkanmu mati begitu saja, karena aku lebih tertarik untuk melihatmu menderita!”

Taeyeon melakukannya dengan cepat. Ia melemparkan pedang-pedangan yang tergeletak di rumput tak jauh dari sana dan tepat mengenai kepala Ilsang. Laki-laki itu tampak terkejut dan kehilangan keseimbangan, karena lemparan yang cukup keras membuat kepalanya terluka dan darah mengucur deras dari sana.

“Ilsang!” jerit Saebyul kaget, tangannya bergerak untuk menekan pendarahan kepala lak-laki itu. “Apa yang kau lakukan pada suamiku, wanita jalang?!”

“WANITA JALANG, KATAMU?” desis Taeyeon, namun suaranya entah kenapa terdengar menggelegar. “Ini menantumu, Park Shinyoung? Perkataannya sangat rendah! Apa ia mendapat didikan darimu juga, hah?”

Sementara darah yang mengucur keluar dari Ilsang menjadi perhatian orang-orang itu, Taeyeon menatap Junho yang sedang menatapnya dengan takut. Tak ada yang menyadari kalau pandangannya meluluh, namun yeoja itu segera meluruskan tangannya untuk mencekik balita itu.

Sebuah kabut tebal datang tiba-tiba, menghalangi pandangannya dan membuat Taeyeon harus mengibaskan tangannya––karena ia tidak dapat melihat dalam kabut yang pekat itu. Dengan cepat, sebuah tangan menariknya dan ketika sadar Taeyeon sudah mendapati dirinya terbang.

“Membunuh anak kecil bukan gayamu, Ericha.” Ujar sebuah suara lembut, membuatnya menengadahkan kepalanya. Langsung saja pandangannya tertumbuk pada rahang sempurna milik Andrew yang sejak kapan sudah membawanya terbang.

“Aku hanya ingin meluapkan kekesalanku. Lagipula, kenapa kau tahu aku ada disana?” Tanya Taeyeon bingung.

Ia dapat melihat laki-laki itu tersenyum. “Jessica.”

Oh, ya, tentu saja, pikir Taeyeon malas. Jessica memang sangat mengkhawatirkan keadaannya––tidak peduli ia sudah menjalani dua puluh empat tahun sebagai makhluk yang sama dengannya. Jessica masih menganggapnya anak kecil yang perlu perlindungan.

“Kau memang membutuhkan perlindungan.” Gumam Andrew, seakan bisa membaca pikiran Taeyeon. “Kau ceroboh, Ericha, dan kau harus sadar akan sifatmu itu. Mereka bisa saja membakarmu.”

Taeyeon terkikik. “Jangan mengkhawatirkanku, Andrew.”

Pria ini selalu mampu membuatnya nyaman––kembali pada sifatnya yang polos dan penyayang. Kalau melihat Shinyoung, ia selalu berhasrat untuk membalaskan dendamnya, namun ketika Andrew datang, ia akan selalu mengontrol dirinya dan dapat kembali ke pribadinya yang asli.

Mereka mendarat dengan lembut, dengan bunyi plop halus yang mengiringi karena tanah di sekitar kastil cukup basah. Andrew sangat hebat––ia dapat memanggil (setidaknya itulah yang Taeyeon pikirkan) awan-awan hitam entah dari mana sehingga sinar matahari tidak langsung menyengat kulit mereka yang sensitif.

“Kalian berpacaran? Dekat sekali.” Sindir Jeremy yang sedang duduk di bawah pohon oak, menemani dua temannya yang sibuk membaca buku. “Akan ada yang datang nanti, dan bersiaplah untuk menerimanya dengan senyuman.”

Kening Taeyon berkerut. “Ne?”

“Seorang vampir tua bernama Jung Nayoung.” Ujar Andrew, menatap Taeyeon yang terlihat kebingungan. “Ia masih mempunyai ikatan keluarga dengan Jessica. Kau masih mengingat nama aslimu, bukan? Bersikaplah normal dan jangan pernah membantah ucapannya, karena...” lanjutnya, melirih di bagian akhir. “... ia sangat cerewet, sama seperti Jessica.”

“Bagus, Andrew. Aku mendengarnya.” Cibir Jessica kesal.

Laki-laki itu tertawa renyah. Kalau saja ia bukan makhluk seperti yang sekarang ini, kalau saja ia manusia biasa seperti dirinya saat itu, bisa dipastikan akan ada banyak gadis yang rela menunggu di depan rumahnya hanya untuk melihatnya keluar dan berjalan-jalan.

“Jadi, kau berhasil untuk membujuknya agar tidak membunuh?” tanya Jessica, menutup buku hitam tebal yang ia pegang dan menatap Andrew. “Semoga saja pikirannya dijernihkan. Tidak ada gunanya membunuh seperti itu.”

Sebuah helaan nafas terdengar dari Andrew. “Aku harus menariknya, dan––ia sudah membunuh. Hantaman pedang kayu pada pelipis pria tadi cukup dalam, cukup untuk membuatnya mengalami pendarahan di kepala dan dapat membunuhnya dengan singkat. Kau harus bisa mengontrol emosimu, Ericha. Jangan tiru Jeremy.”

“Diamlah.” Desisnya malas.

“Yang dikatakan Andrew memang benar, itu harus kau pikirkan lagi kalau belum mau disumpal dengan bawang putih, bodoh.” Sindir Aiden, menatap temannya yang sedang menatap langit dengan bosan. “Pikirkanlah bagaimana nasibmu kalau kau terus bersikap ceroboh seperti ini.”

Jeremy menampilkan taringnya dengan geram––ia dan Aiden sudah beberapa kali bersiteru tentang sifatnya yang keras kepala dan Taeyeon selalu dapat menangkap suatu reaksi aneh yang ditampilkan laki-laki itu. Seperti terluka, tidak terima, dan, entahlah. Namun itu semua muncul bukan karena perkataan teman-temannya.

“Tck, pakaian ini sangat merepotkan. Aku tidak percaya sudah mengenakannya selama delapan puluh tiga tahun.” Keluh Jessica, membenahi gaunnya yang lebar dan berat. “Apa bibi Nayoung mau membiarkan kita untuk mengganti pakaian, ya?”

“Aku tidak yakin.” Gumam Aiden.

Taeyeon sedikit kesal mendengarnya. Bukan apa-apa, pakaian ini memang sangat menyusahkan dan berat. Bahan beludru ini sangat-sangat membuatnya tidak bebas bergerak. Dan setiap ia ingin berganti pakaian, yang ditemuinya di dalam lemari adalah pakaian dengan tingkat  kesusahan yang sama.

“Kalau ada yang ingin kau tanyakan, lebih baik kau tanyakan padanya. Karena ialah yang paling mengerti akan takdirmu.” Ujar Andrew, mengajaknya untuk masuk ke dalam kastil. “Ia yang memilihmu, ia yang memberimu kesempatan untuk hidup kembali, dan yang terpenting, kau mendapatkan biru darinya.”

Alis Taeyeon terangkat. “Aku tidak mengerti.”

Kaki mereka menapak menaiki tangga teak yang terpoles indah. Karpet hitam membujur, membuat sepatu mereka tidak terdengar beradu dan ruangan besar itu tetap terkesan dingin dan sepi.

“Dari seluruh manusia yang ada di muka bumi ini, hanya ada satu yang berubah menjadi seperti kita setiap beberapa puluh tahun.” Ujar Andrew, tanpa sadar mengajak Taeyeon menuju perpustakaan. “Bibi Nayoung memiliki kalender astronominya sendiri. Kapan akan ada yang datang, kapan ia harus mengeluarkan setiap warna untuk itu.”

Mereka berhenti ketika sebuah pintu kayu besar terlihat menghalangi. Andrew mengibas tangannya, meraih gagang pintu dan mendorongnya agar terbuka.

“Setelahku, Aiden adalah orang yang terpilih. Ia meninggal karena serangan seekor beruang di hutan, saat ia sedang mencari obat untuk keluarganya yang terkena virus menular di desa. Karena kebaikan dan keberaniannya, ia mendapat cokelat––keberanian dan sikapnya sebagai laki-laki yang sebenarnya untuk mencari alternatif obat itu.”

Sebuah buku cokelat bertuliskan ‘Lee Donghae’ melayang dan mendarat halus di meja kayu panjang disamping mereka.

“Jessica meninggal karena diracun oleh seorang gadis desa yang membenci kecantikannya. Ia orang yang sangat polos dan tidak mudah terpengaruh. Ia adalah gadis yang baik dan kerap kali membantu orang lain dengan kemampuannya. Ia meninggal dan adiknya ditinggalkan sendirian. Warga langsung mengadopsinya dan memakamkan Jessica, sementara gadis yang meracuninya pergi begitu saja.”

Kali ini, buku hijau betuliskan ‘Jung Sooyeon’ yang mendarat tepat di samping buku tadi.

“Sementara Jeremy,” gumam Andrew, kali ini tangannya sendiri yang berangsur-angsur terangkat untuk menarik sebuah buku yang berwarna abu-abu. “Ia dibunuh oleh kakak laki-lakinya sendiri. Keluarganya adalah keluarga yang kaya raya dan kakaknya memutuskan untuk membunuhnya karena merasa kekayaan itu akan terbagi.”

Buku itu tidak langsung diletakkan pada meja tersebut. “Secara kepribadian, Jeremy sebenarnya adalah orang yang serius dan kokoh pada pendiriannyamungkin kau tidak percaya karena selama ini kau melihatnya sebagai seseorang yang suka bercanda.”

Taeyeon hanya mengangguk sebagai jawabannya. Andrew meletakkan sebuah buku berwarna abu-abu bertuliskan Kim Jongwoon.

“Semua buku ini adalah buatan bibi Nayoung. Ia dapat membaca nasib––mengetahui siapa saja yang akan menjadi bangsa seperti kita, dan menuliskan riwayat hidupnya sebagai manusia tanpa menanyakannya terlebih dahulu.” Ujar Andrew, matanya menyipit karena tersenyum. “Kalau dia datang nanti, ia pasti akan membawa bukumu.”

Taeyeon ikut tersenyum. Namja ini benar-benar bisa membuatnya tenang, setidaknya ia dapat melupakan keadaannya sebagai vampir kalau bersamanya. Entah kenapa, ada sebersit perasaan nyaman yang menyelusup dalam hatinya kalau Andrew ada di dekatnya, atau setidaknya––tersenyum padanya.

Lantai ruangan bergetar halus, namun Taeyeon dapat merasakannya dengan jelas. Andrew mengerutkan alisnya, lalu sedetik kemudian sebuah senyuman kelegaan terukir di bibirnya. “Dia datang.”

Mereka berjalan kembali menuju halaman dan mendapati Jessica, Aiden serta Jeremy sedang berdiri berbaris menghadap ke arah utara. Mereka tidak dapat melihat apa yang sedang mereka perhatikan, karena tubuh mereka menghalangi––khusus untuk Jessica, gaun hijaunya-lah yang menjadi penghalang.

Taeyeon sedikit berlari sembari mengangkat gaunnya, lalu berdiri di samping Jessica. Ia dapat melihat seorang wanita dengan gaun ungu lebar berjalan dengan tertatih-tatih ke arah mereka.

Kakinya bergerak untuk mendekat dan membantu sebuah tas besar yang dibawanya. Sebuah senyuman terukir di bibir Taeyeon saat wanita itu memandangnya dengan heran, lalu menuntunnya dengan baik agar ia tidak terjatuh.

“Selamat datang, bibi.” Ujar mereka bersamaan.

 

___

 

 Jauh berpuluh-puluh setelah itu, Taeyeon terus membunuh setiap anak pertama dari keturunan Shinyoung. Meski begitu, entah kenapa anak laki-lakilah yang pertama kali dalam siklus keturunan tersebut.

Waktu terus bergulir. Detik, menit, jam, hari, bulan, bahkan tahun. Perubahan terus terjadi. Tentu saja tidak mudah bagi makhluk seperti Taeyeon yang harus berpindah-pindah setiap tahunnya ketika kastil mereka ditemukan.

Identitas baru yang kadang sulit untuk diingatnya terus bermunculan. Berganti nama, penampilan, tempat tinggal, dan pergaulan. Meskipun bisa membungkam orang yang berani bertanya macam-macam padanya, namun itu semua akan menimbulkan kecurigaan lambat laun.

Tanpa ia sadari, di masa kini, ada keturunan Shinyoung yang rela memberikan itu semua untuknya.

Keceriaan, cinta, dan bahkan nyawanya..

 

___

 

1987

 

Taeyeon membulatkan matanya dan tertawa melihat orang-orang di depannya yang sedang sibuk mencari pakaian baru. Pusat perbelanjaan ini sangat dingin dan yang paling penting, tidak ada matahari disini. Mereka nyaman berada disini meskipun harus berbaur dengan para manusia di dalamnya.

“Ericha, bagiamana kalau gaun pendek ini?”

Jessica berlari kecil kearahnya dan memperlihatkan sebuah gaun pendek selutut berwarna hijau maroon. “Aku menyukai potongannya dibagian bawah, terlihat sederhana dan manis...”

“Cobalah untuk mencari warna lain, Jessica. Jangan hanya hijau.” Usul Taeyeon, menunjuk dirinya sendiri yang memakai kemeja putih, bukan biru. “Bagaimana kalau gaun ini? Warnanya manis dan cocok untukmu. Kita sudah tidak bisa memakai gaun beludru panjang dan berat seperti dulu, kan?”

Taeyeon menatap ke langit-langit pusat perbelanjaan itu dan menutup matanya. Lintasan-lintasan peristiwa, terutama saat Bibi Nayoung datang untuk pertama dan terakhir kalinya di hadapannya kembali terulang. Satu kalimat yang paling diingatnya adalah,

“Jaman akan berubah. Kalian harus ikut berubah. Aku tidak bisa lagi.”

 

Tadinya, tidak ada yang mengerti apa arti kalimat itu. Andrew pun harus mencari selama beberapa belas tahun untuk tahu artinya dan ketika mereka mengetahuinya, Bibi Nayoung sudah terbunuh dengan kepala yang terpenggal di kastilnya di puncak gunung sana.

Wanita baik itu, memberikannya sebuah buku bertuliskan Kim Taeyeon pada halaman depannya. Memberikannya nasehat-nasehat yang bijak, memberi tahu kalau vampir tidak sekejam yang dikira. Bahwa mereka masih layak menerima kehidupan karena mereka semua mati terbunuh.

“Aku tidak pernah bisa terbiasa dengan tali ini.”

Taeyeon mengangkat kepalanya, mendapati Andrew yang berdiri di hadapannya dengan tangan yang memegang sebuah dasi.

“Tck, mengikat dasi saja kau tidak bisa.” Cibirnya, menekan kepala Andrew agar menunduk karena ia tidak setinggi pria itu. “Kau harus mulai membiasakannya, Andrew. Kalau nanti ada acara-acara yang mengharuskan kau memakai dasi, tidak mungkin, kan, kau tidak memakainya?”

“Untuk itulah kau ada disini, Ericha. Membantuku mengikat dasi.” Ujar Andrew, tersenyum mengejek ke arah Taeyeon yang semakin mencibir dan sedang mengencangkan dasinya. “Kau tidak membeli pakaian?”

Taeyeon menggeleng. “Aku rasa pakaianku masih banyak. Aku..”

Tubuhnya berdesir saat itu juga ketika melihat seorang laki-laki melintas di belakang Andrew. Matanya menajam dan tubuhnya menegang, gerakannya terhenti di udara dan tangannya terlihat melayang.

Andrew mendesah cemas. “Tidak, Ericha..”

Namun Taeyeon telah menghilang dengan cepat. Namja itu mengerang putus asa. Seharusnya ia hanya mengajak Jessica kesini, bukan Taeyeon. Ia tidak menyangka waktu-nya sangat tepat.

Ia bisa merasakan aura itu. Aura keturunan Byun Hongjae, aura membunuh Taeyeon.

“Dimana Ericha?” tanya Jessica bingung.

Andrew menatapnya dengan siratan ia menemukannya. Pria itu dapat melihat mata Jessica yang membulat, dan wajahnya yang memandangnya dengan tatapan bingung dan tidak percaya.

“Dan kau tidak menahannya? Ppaboya!” pekiknya kesal, menarik dasi Andrew sehingga namja itu sedikit meringis. Sekejap saja, Jessica sudah berlari mencari temannya yang mungkin saja bisa melakukan tindakan yang sangat-sangat bodoh.

Kenapa waktunya bisa pas sekali? Gumam Jessica dalam hati tidak habis pikir, sama seperti Andrew. Ia berdecak kesal karena ia tidak dapat membaca pikiran Taeyeon.

Satu hal yang membuat Taeyeon menjadi bintang adalah pikirannya yang tak dapat dibaca oleh siapapun. Baik itu Andrew, Jessica, Jeremy maupun Aiden. Mungkin saja Bibi Nayoung dapat membacanya, namun wanita malang itu sudah terlebih dahulu meninggal sebelum memberitahu mereka bagaimana cara membaca pikiran Taeyeon.

Kakinya berhenti ketika melihat Taeyeon di kejauhan, namun..

Tunggu. Ia tersenyum?

Taeyeon sedang berbincang dengan seorang namja yang berusia (kalau ia bisa menebak) pertengahan dua puluh. Wajahnya tampak tersenyum menanggapi perkataan Taeyeon, berbeda jauh dengan pemikiran Jessica yang memungkinkan Taeyeon untuk langsung membunuhnya.

Ia dapat melihat Taeyeon memutar tubuh menghadapnya dan melambaikan tangannya, memintanya untuk mendekat. Dengan ragu, Jessica melangkahkan kakinya dan mendekati Taeyeon.

“Ini temanku, dia baru saja pulang dari luar negeri.” Ujar Taeyeon, menampakkan senyumnya dan menyenggol bahu Jessica yang terdiam. “Perkenalkan dirimu padanya, Jessica.”

“Namaku Jessica. Apa kabar.” Gumamnya, lalu setengah membungkuk.

Namja itu balas membungkuk. “Byun Seunghyun. Senang bertemu denganmu. Jadi kau teman dari Taeyeon-ssi?” tanyanya, diiringi anggukan Jessica. “Senangnya bertemu dengan kalian. Aku tidak menyangka ada yeoja-yeoja cantik seperti kalian di pusat perbelanjaan siang terik seperti ini.”

Bodoh, gumam Taeyeon dalam hati. Jessica dapat mendengarnya, entah kenapa.

“Seunghyun-ssi, bolehkah aku membawa Taeyeon sebentar? Kami masih ada urusan untuk berbelanja di atas. Pribadi.” Ujar Jessica, memberikan senyumannya ke arah Seunghyun yang mengangguk. “Kami permisi. Maaf, aku harus membawanya sebelum ia melakukan hal bodoh. Annyeong!

Taeyeon memutar bola matanya dengan malas, lalu hanya terdiam ketika Jessica menghujamnya dengan pandangan menusuk. Malas berkomentar, ia memilih diam dan mendengarkan kalimat apa yang akan Jessica bicarakan kali ini.

“Kau tahu kau itu apa?” tanya Jessica kesal, menghentakkan kakinya dengan marah. “Makhluk terbodoh yang pernah kutemui! Kenapa kalau bertemu dengan setiap keturunan Keluarga Shinyoung-mu itu kau menjadi lebih bodoh daripada keledai, hah?”

Taeyeon menghela nafas dengan malas. “Kita sudah membahasnya.”

“Kami mengkhawatirkanmu! Kalau kau sampai terbunuh––“

“Aku bahkan sudah mati, Jess.” Cibir Taeyeon kesal. “Aku bisa menjaga diriku sendiri. Kau tidak lihat, dia tidak curiga sama sekali terhadapku. Aku sudah seperti manusia normal, kau tahu? Bahkan ia mengajakku untuk bertukar nomor ponsel.”

Jessica mendengus. “Itu bukan jaminan.”

Andrew dan Jeremy datang dengan panik saat melihat dua wanita ini muncul dari sudut toko. Mereka menatap Taeyeon dengan pandangan khawatir, sementara Jessica kembali mencari-cari barang yang akan dibelinya hari ini.

“Dimana Aiden?” tanya Taeyeon, saat Jeremy duduk di sebelahnya.

“Menggoda beberapa gadis.” Jawabnya, memberikan sekaleng soda ke arah Taeyeon. “Minum ini. Sebagai formalitas. Aku merasa ada yang memperhatikan kita, mungkin bingung karena sedari tadi kita tidak makan atau minum.”

Taeyeon tertawa kecil. “Mungkin ia mau memberikan darahnya?”

Hidup sebagai makhluk peminum darah selama dua ratus dua belas tahun memaksanya untuk menjalani hidup normal sebagai vampir. Ia sudah tidak segan untuk mengkonsumsi cairan merah kental itu, namun masih tidak tega untuk meminumnya langsung dari tubuh seorang manusia.

“Kau membeli apa?” tanya Taeyeon bosan.

“Hanya beberapa kemeja dan sepasang sepatu. Aku rasa akan ada gadis yang mengajakku berkencan malam nanti, saat mahasiswa tingkat akhir mengadakan prom.” Ujarnya, mengangkat beberapa kantung plastik besar dan meletakkannya kembali. “Kau harus mulai membeli baju-baju lagi, Ericha. Mereka bisa mencurigaimu.”

Taeyeon mendesah malas, lalu menarik Jeremy untuk bangun. “Temani aku.”

Gadis itu sudah selesai membaca empat buku tentang makhluk yang tinggal bersamanya semenjak beberapa ratus tahun lalu. Baik itu Andrew, Aiden, Jessica maupun Jeremy. Setelah membacanya, ia merasa selangkah lebih dekat dengan mereka dan terutama dengan Jeremy.

Jeremy masih memiliki sepenggal rasa kemanusiaan, itulah yang pertama kali dipikirkan Taeyeon. Ia masih tidak tega untuk membunuh––sama sepertinya, namun menutupi kenyataan itu dengan menjadi yang paling bersemangat untuk berburu, membicarakan kematian, dan lainnya.

Jauh di lubuk hatinya, Taeyeon tahu Jeremy sedang memendam rasa sakit karena kakaknya. Ia dibunuh oleh kakak kandungnya sendiri, yang justru berpesta setelah kematian adiknya tersebut.

“Aku tidak tertarik..” lirih Taeyeon frustasi, menatap Jeremy dengan sebal. “Bagaimana kalau kau saja yang memilihkannya untukku? Aku akan berjalan-jalan, mencari udara segar. Siapa tahu––“

“Mencari anak adam keturunan Byun? Trik yang bodoh.” Ujar Jeremy dengan nada mengejek, lalu menarik lengan Taeyeon agar memasuki sebuah toko sepatu yang ada disana. “Aku beberapa puluh tahun lebih tua darimu, Ericha. Jangan membodohiku.”

Taeyeon mencibir. “Sombong.”

Jeremy tersenyum kecil. “Sepatu putih di ujung ruangan itu cukup manis.” Ujarnya, menarik tangan Taeyeon yang menampakkan wajah malasnya agar mendekat. “Coba pakai itu di telapak kakimu.”

Taeyeon menurut dengan malas. Sepatu itu memang manis, dan pas untuk ukuran kakinya.

“Pakai itu saja. Cocok dengan bajumu. Jangan memakai sandal kotor seperti itu.” Cibir Jeremy, bertumpu pada lututnya dan melepaskan sandal Taeyeon. “Begini ‘kan lebih baik. Mataku sakit melihat yeoja urakan sepertimu.”

“Ya! Aku bukan yeoja urakan!” tukas Taeyeon kesal.

 

___

 

nothing special-_- keep komen!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
fytaengogi
#1
Chapter 4: Ih sayang banget author, ff ini ga dilanjut. Seru menarik padahal. Dan bahkan, taeyeon blm ketemu baekhyun:((( yaudah sekian huhu
PiperGrace08
#2
wah ini keren thor.. ditunggu apdetnya :)
stephani_bap #3
Chapter 4: update soon!
jejesicamon
#4
Chapter 3: author, besok bantuin aku ulangan akuntansi ya!
stephani_bap #5
Chapter 3: ini seru banget unnie!!!
stephani_bap #6
Chapter 2: gpp kok unnie! update soon :)
jejesicamon
#7
Chapter 2: Authornim udah pulang dari rumah sakit ya? Cepet sembuh yaaa, i miss youuu
ByunKim #8
Chapter 1: tak apalah yg penting ff ini dilanjut ya heheh
aku mau nanya dong jeremy, aiden, andrew itu siapa trs disini baekhyun nya belum ada ya ?
my taenggo kasian sekali shinyoung jahat banget sih -_-
next thor !!