Three - Why Did I Fall In Love With You (Author's POV)

One Fine Spring Day

Why did I end up falling for you? No matter how much time has passed,

I thought that you would always be here, but you have chosen a different road

TVXQ – Why Did I Fall in Love With You

 

     “Ayo, Taeyeon… Lebih cepat lagi… Tempomu terlalu lambat! Apa yang kau pikirkan?! Kau akan tampil minggu depan!”

     “N-ne, seonsaengnim…”

Jong Woon sedikit dongkol, mereka semua akan pergi ke Jerman minggu depan, tapi sepertinya hampir semua murid bimbingannya belum siap. Lihat saja Taeyeon, salah satu dari 5 pianis yang ia bimbing, sudah 2 jam berlalu dan ia tetap saja mengulangi kesalahan yang sama.

     Yeoja itu kembali mencoba memainkannya lagi. Dan kembali mengulangi kesalahan yang sama.

     “Perhatikan saya!!” Jong Woon akhirnya meledak.

     Taeyeon ciut dan langsung menggeser tempat duduknya.

     Melodi Für Elise itu mengalun dengan sempurna, tanpa cacat. Jong Woon bahkan memainkannya dengan mata tertutup, tidak ada emosi atau tekanan yang terdengar pada melodi yang ia mainkan. Semuanya mengalun begitu lembut dan indah. Hanya dengan bermain piano, yang bisa membuat Jong Woon lebih tenang dan meredakan emosinya.

     ‘Oppa, bagian ini sulit sekali… Aku tidak bisa memainkannya…’

     ‘Ayolah, coba sekali lagi saja, kau bisa, Seo In-ah… Aku yakin kau pasti bisa.’

     Jong Woon membuka matanya. Ia sadar, semakin ia terhanyut dalam melodi itu, semakin ia tenggelam dalam memori akan masa lalunya. Semua ini hanya akan mengingatkannya pada Seo In. Jadi ia memutuskan untuk membuka matanya, tidak ingin terluka untuk yang kesekian kalinya lagi. Ia tidak ingin mencurahkan seluruh perasaannya dalam permainan pianonya kali ini. Karena perasaannya hanya akan menghancurkan permainan piano ini.

     Melodi Für Elise itu berakhir dengan sempurna, tanpa ada tekanan atau tempo yang berantakan, berlawanan dengan perasaan Jong Woon yang justru berantakan sekarang.

     “Cobalah bermain lagi.”

     “N-ne, seonsaengnim.”

     Taeyeon segera menempatkan jari-jarinya yang sedikit bergetar diatas tuts-tuts piano itu. Taeyeon pun memulai permainannya, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Detak jantungnya menggila.

     Jong Woon mulai memfokuskan pendengarannya pada setiap nada yang keluar dari piano itu. Tanpa sadar kepalanya sesekali mengangguk-angguk mengikutin alunan melodi itu.

     Taeyeon pun mengakhiri permainannya dengan baik, setidaknya bila dibandingkan dengan permainan sebelumnya. Tapi tetap saja ia tegang setengah mati.

     “Sudah lebih baik, tapi tetap saja belum sempurna. Kau boleh pulang sekarang, berlatihlah lebih sering lagi, dan jangan lupa gunakan feelingmu. Berlatihlah dengan partitur-partitur yang kuberikan kemarin-kemarin, ingat, lagu yang akan kau mainkan bukan hanya Für Elise, berlatihlah lebih keras.”

     “N-ne, seonsaengnim. Saya permisi.” Taeyeon segera meninggalkan ruang latihannya setelah membereskan barang-barang bawaannya. Jong Woon hanya menatap punggung Taeyeon yang sudah menghilang di balik pintu ruang latihan, lalu menghela nafas berat.

     “Hh… Aku lelah sekali, lebih baik aku bersantai sebentar.” batin Jong Woon. Jong Woon segera mengantongi handphonenya, kemudian mengambil sebuah headphone dari dalam tasnya, dan segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya.

 

***

 

     Jong Woon tengah menikmati kegiatannya sekarang. Segelas kopi hangat dan lagu-lagu yang mengalun lembut di telinganya. Jong Woon kembali menyesap Cappucinno Latté-nya, sambil mendengarkan salah satu lagu dengan headphonenya. Juga angin musim gugur yang menerpa wajahnya lembut, Jong Woon sangat menyukai musim gugur. Segala hal yang berhubungan dengan musim gugur selalu saja bisa memperbaiki mood-nya. Jong Woon benar-benar menikmati kegiatan dan suasananya sekarang ini.

     Ada beberapa alasan mengapa ia sangat menyukai musim gugur. Pertama, di musim inilah pertama kalinya ia bertemu dengan Seo In. Karena baginya itu adalah suatu kebahagiaan besar untuknya bisa bertemu dengan pujaan hatinya. Yang kedua adalah karena banyak sekali kenangan-kenangan manis Jong Woon di musim gugur. Ia lulus dari sekolah musiknya dengan nilai tertinggi pada musim gugur 5 tahun yang lalu, ia juga bertunangan dengan Seo In pada musim gugur 3 tahun lalu. Ketiga, adalah karena ia suka melihat daun-daunan kering yang berguguran. Daun-daunan kering bagiJong Woon adalah tentang segala masalah-masalahnya, Jong Woon berpikir bahwa segala masalahnya akan selesai pada waktunya. Maka dari itulah Jong Woon sangat mencintai musim gugur.

     Sebaliknya, Jong Woon sangat membenci musim semi, karena dimusim itulah ia kehilangan Seo In untuk selamanya, di hari pertama musim semi.

     Jong Woon kembali menyesap Cappucinno Latté-nya perlahan. Angin musim gugur yang sejuk membelai wajah tirusnya. Matanya tertutup. Sebuah lagu dari TVXQ mengalun lembut di telinganya.

     “Hh… Bogoshippeoyo, Seo In-ah… Duduk disini, minum kopi bersama sambil mendengarkan lagu ini… Neomu bogoshippeoyo, Seo In-ah, lebih dari apapun…”

 

Why wasn’t I able to convey to you?
My feelings that were growing everyday and night

 

     “Seandainya aku memiliki lebih banyak waktu denganmu…”

 

The words begin to overflow
But I know they won’t reach you now

 

     Jong Woon berusaha menikmati lagu yang mengalun lembut di headphonenya itu dan tak menghiraukan suara petikan-petikan gitar dan omelan seorang yeoja yang duduk di bangku di sebelahnya yang sedikit menginterupsinya. Jong Woon sedang tidak ingin marah-marah sekarang.

 

***

 

     “Ah… Kenapa daritadi aku selalu mengulang kesalahan yang sama?!”

     Hye Jung kesal sendiri. Ia terus-terusan mengomel pada dirinya sendiri karena sudah 30 menit ia duduk dan berlatih gitar di bangku taman ini, dan selalu mengulangi kesalahan yang sama. Hye Jung mencobanya lagi.

     Dan nada itu meleset lagi.

     “Argh!! Jinjja!!”

     Hye Jung meletakkan gitarnya di sampingnya, kemudian menghela nafasnya dalam.

     “Mungkin aku sudah lelah jadi tidak bisa konsentrasi, lebih baik aku istirahat dulu…”

     Hye Jung menyandarkan tubuhnya di bangku taman perlahan agar tidak terlalu menyakiti punggungnya, lalu memejamkan matanya.

     Hye Jung menghirup udara sejuk taman itu dalam-dalam, sambil menikmati bunyi-bunyian di sekitarnya. Meskipun ia tidak terlalu menyukai musim gugur, tapi ia sedikit merasa terhibur dengan suara-suara burung dan percikan air mancur buatan di taman itu. Hye Jung sedikit merasa sayang jika ia harus meninggalkan dunia ini sebentar lagi.

     Tiba-tiba pikirannya tertuju pada konser yang akan ia ikuti di Jerman minggu depan. Konser yang selama ini menjadi tujuan hidupnya juga penyemangatnya. Timbul sedikit semangat dalam dirinya.

     Hye Jung segera meraih gitarnya dan mencoba memainkan lagu itu lagi dengan semangat. Terdengar ada beberapa nada yang sedikit meleset, tapi Hye Jung tidak menghiraukannya. Ia terus mencobanya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk konsernya kali ini, ia juga ingin membanggakan orang tuanya. Meskipun ia merasakan perih yang luar biasa diujung jari-jarinya, ia tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah konser itu, konser itu dan konser itu.

    Hye Jung mengedarkan pandangannya ke sisi kirinya. Ada seorang namja yang sedang mendengarkan musik dan tampaknya ia sedikit terganggu dengan permainan Hye Jung. Hye Jung mengabaikannya dan tetap melanjutkan latihannya, tanpa mempedulikan tatapan kesal namja itu.

 

***

 

     Jantung Jong Woon sedikit berdebar. Sebentar lagi murid-muridnya akan tampil, dan ia jadi sedikit resah. Köln Theater sudah mulai dipadati oleh para pengunjung karena sebentar lagi Internationale Klassik-Konzert akan segera dimulai.

     Bagaimana kalau mereka membuat kesalahan di depan ribuan penonton disini? Bagaimana jika permainan mereka jadi berantakan? Bukankah itu akan sangat memalukan?

     Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Jong Woon semakin cemas.

     “Taeyeon, jangan lupakan tempomu. Jung Soo, jangan lupa, kau harus mengulang 3 bar terakhir partiturmu itu. Kwangmin dan Youngmin, jangan saling mendahului, ingat, kalian berpasangan, jadi kalian harus menyeimbangkan permainan kalian. Dan kau, Myung Soo, jangan lupa untuk bermain dengan perasaan.”

     Kelima murid Jong Woon itu mengangguk pelan.

     “Semoga berhasil. Aku akan duduk di barisan tengah, aku memperhatikan kalian. Jangan takut dan gugup. Arasseo?”

     “Arasseo, seonsaengnim.”

     Jong Woon berjalan meninggalkan murid-muridnya untuk duduk di kursi penonton, melewati seorang yeoja yang tengah bersiap dengan gitarnya. Jong Woon berhenti sebentar. Penampilan yeoja ini aneh, ia menggunakan mantel tebal dengan sebuah masker di wajahnya. Seingat Jong Woon sekarang masih musim gugur dan kebanyakan orang hanya menggunakan syal tipis, tapi yeoja ini sudah mengenakan pakaian ala musim dingin. Jong Woon hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kembali menuju kursi penonton, tapi sepertinya ia pernah melihat yeoja itu beberapa hari yang lalu di suatu tempat. Entahlah, Jong Woon tidak terlalu mempedulikannya.

 

***

 

     Jong Woon mengedarkan pandangannya ke sekeliling teater itu. Theater Köln adalah tempat impiannya bersama Seo In. Jong Woon tersenyum pahit sambil menatap seluruh interior ruangan raksasa itu. Indah memang, tapi pasti akan terasa lebih indah lagi jika saja Jong Woon bisa menikmatinya bersama Seo In. Mungkin terdengar sedikit gombal, tapi begitulah yang Jong Woon rasakan.

     Alunan musik pembuka konser itu tiba-tiba menyadarkan Jong Woon dari lamunannya. Keadaan mulai hening. Perhatian para pengunjung mulai terfokus pada pertunjukan itu. Jong Woon pun mencoba memfokuskan dirinya pada pertunjukan itu dan menikmatinya, walaupun ia tidak sepenuhnya berminat pada pertunjukan itu.

 

***

 

     Giliran Taeyeon sekarang. Jong Woon memperbaiki posisi duduknya dan memfokuskan perhatiannya. Well done, Taeyeon melakukannya dengan baik, begitu juga dengan keempat orang muridnya yang lain. Jong Woon menghela nafas lega, jerih payahnya tidak berakhir sia-sia.

     Jong Woon menyandarkan lagi tubuhnya pada kursi penonton, rasa cemas yang selama ini menghantuinya sudah pergi. Ia sudah lega sekarang. Sekarang adalah giliran pertunjukan instrumen gitar, Jong Woon tidak terlalu peduli karena ia tidak terlalu menyukai gitar.

     “Selamat malam, nama saya Shin Hye Jung. Mungkin anda akan merasa aneh dengan penampilan saya, saya memakluminya, karena memang inilah kekurangan saya. Tapi dengan kekurangan saya ini, saya akan tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anda semua.”

     Jong Woon sedikit membenarkan posisi duduknya. Yeoja aneh yang tadi ia lihat. Jadi, namanya Hye Jung. Apa yang akan ia lakukan?

     Beberapa penonton mulai berbisik-bisik dalam bahasa Jerman, Jong Woon tidak peduli dan kembali memfokuskan dirinya pada yeoja yang sedang berada di tengah panggung itu. Sepertinya akan ada pertunjukan menarik.

     Alunan Lagrima itu mengalun dengan lembut. Melodi yang ceria itu terdengar akrab di telinga Jong Woon, rasanya melodi itu sangat familiar. Apa ia pernah mendengarnya? Entahlah, Jong Woon tidak terlalu peduli, karena sekarang ia mulai tertarik dan mulai terhanyut dalam melodi karya Fransesco Tarréga yang dengan sangat sempurna dimainkan oleh gadis itu.

     Aula pertunjukan itu hening, tidak ada lagi suara-suara bisikan yang mengganggu. Semua perhatian penonton tertuju pada yeoja dengan pakaian aneh yang ada di hadapan mereka.

     Hye Jung menutup matanya dan tersenyum.

     ‘Mereka pasti tidak menyangka bahwa aku akan melakukan ini. Mereka belum mengerti artinya don’t judge a book by its cover dan akan kubuat mereka mengerti,’ batin Hye Jung.

     Melodi itu berakhir secara dim e rit pada 3 bar terakhir melodi itu. Kemudian Hye Jung segera me-medley melodi itu dengan Capricho Arabe, yang juga adalah karya dari Fransesco Tarréga. Fransesco Tarréga adalah salah satu maestro dan komposer lagu gitar klasik favoritnya, yang membawa warna baru pada dunia gitar klasik dengan karya-karyanya. Tentu saja ini adalah sesuatu yang membanggakan, karena ia bisa memainkan karya-karya dari idolanya di depan ribuan penonton dalam aula pertunjukan ini.

     Capricho Arabe itu mengalun dengan sempurna. Semua perhatian pengunjung disana seakan tersedot oleh penampilan Hye Jung. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer yang tenang dan anggun. Hye Jung berhasil menarik perhatian para pengunjung.

     Tanpa terasa, melodi yang anggun itu berakhir dengan indah, berganti dengan gemuruh tepuk tangan para pengunjung. Hye Jung berdiri dari kursinya dan segera membungkukkan tubuhnya member hormat. Ia tersenyum puas.

     “Semoga anda semua menikmati pertunjukkan saya.”

     ‘Yeoja itu bukan yeoja biasa…’ batin Jong Woon. ‘Ada sesuatu yang berbeda dari yeoja itu. Aku harus mengetahuinya.’

     Hye Jung pastilah seorang yeoja yang sangat luar biasa. Ia bahkan bisa membuat seorang Kim Jong Woon penasaran dengannya, karena Jong Woon bukanlah seorang namja yang mudah dibuat penasaran.

     ‘Aku harus mencari tahu tentang dirinya.’ batin Jong Woon sembari memandangi tubuh yeojaitu yang mulai menghilang dibalik tirai aula pertunjukan ini.

 

***

 

     Jong Woon menumpukan tubuhnya di pembatas kanal Sungai Rhein di kota Cologne ini, menghadap ke arah Sungai Rhein. Udara Cologne pagi ini sangat sejuk, jadi Jong Woon berminat untuk jalan-jalan sejenak menikmati pemandangan kota ini. Jong Woon akan pulang ke Korea 2 minggu lagi, memang masih agak lama, tapi apa salahnya ia mulai jalan-jalan disekitar sini? Cologne bukan sebuah kota yang kecil. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan emasnya untuk menikmati pemandangan kota ini yang begitu indah. Ia dan Seo In selalu bermimpi untuk bisa pergi bersama ke tempat ini.

     Jong Woon menutup matanya. Desir angin sejuk musim gugur menerpa wajahnya. Suara burung-burung yang berkicau riang dan suara riak air yang tenang ikut menemani dan menghiasi pagi Jong Woon. Segelas kopi hangat pun melengkapi acara jalan-jalan Jong Woon pagi ini. Ah, seandainya Seo In menemaninya sekarang di tempat ini.

     Jong Woon baru saja akan memakai headphone-nya saat ia mendengar suara seorang yeoja yang sepertinya familiar dengannya yang membuat Jong Woon menghentikan kegiatannya.

     “Ah, hangatnya…”

     Hye Jung kembali menyeruput Moccachino-nya perlahan, kemudian matanya kembali melihat-lihat keadaan disekitarnya.

     “Huh, kenapa daun-daun ini harus berguguran?! Seharusnya mereka tetap ada di pohon, karena melihat taman dengan pohon gundul seperti ini hanya akan merusak pemandangan!”

     Jong Woon menoleh ke sampingnya. Ah, ternyata yeoja yang kemarin membuatnya penasaran. Kebetulan sekali.

     “Mereka harus gugur agar daun-daun yang baru bisa tumbuh di musim semi nanti. Semua ada waktunya, pohon itu tidak akan gundul selamanya…”

     Hye Jung sontak menoleh. “Tapi ketika kau berjalan-jalan dan yang kau lihat di sekelilingmu hanyalah pohon-pohon gundul yang sudah kering dan kelihatan hampir mati, apakah menyenangkan?! Itu menyebalkan sekali! Musim gugur sepertinya hanya akan membawa kesedihan dan luka yang dalam. Aku lebih menyukai musim semi, karena musim semi lebih ceria!” celoteh Hye Jung.

     ‘Yeoja ini, dia polos, naif, atau apa? Dia benar-benar penuh kejutan, ada saja yang ia lakukan…’ batin Jong Woon.

     “Ya, aku mengerti filosofimu. Tapi musim gugur adalah hukum alam, meskipun kau membencinya, ia tidak akan berhenti ataupun hilang. Jadi, daripada kau terus menerus mengomel, lebih baik kau menikmatinya,” sahut Jong Woon. Jong Woon menyesap Cappucinno-nya lagi.

     “Iya-iya, aku tahu. Sebenarnya hanya itu yang kubenci di musim gugur, selebihnya, aku menyukainya. Udara jadi lebih sejuk. Aku tidak terlalu suka udara panas, karena kulitku tidak tahan panas. Hehehe…” Hye Jung berubah menjadi ceria lagi.

     ‘Yeoja itu sekarang berubah jadi ceria. Benar-benar yeoja yang unik…’ Jong Woon hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

     “Oh iya, biar kutebak, kau orang Korea, ‘kan? Sepertinya kau satu ras denganku… Ayo kita berkenalan!” seru Hye Jung sembari mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar.

     Jong Woon menyambut uluran tangan Hye Jung dan tersenyum. “Ya, aku orang Korea. Kim Jong Woon imnida, senang bertemu denganmu. Aku melihat penampilanmu kemarin malam di Internationale Klassik-Konzert. Dan aku sangat terkesan akan penampilanmu, permainanmu luar biasa.”

     “Ah, jadi namamu Jong Woon. Aku-…”

     “Kau Shin Hye Jung, ‘kan? Kau ‘kan sudah memperkenalkan dirimu kemarin…” Jong Woon tersenyum.

     “Hahaha, ya… Aku Hye Jung. Senang bertemu denganmu juga. Kau menontonku, kemarin? Jeongmal gamshahamnida. Kau menyukai musik klasik, ya?”

     “Ya, selain itu juga aku ada disana karena aku mendampingi murid-muridku yang mengikuti konser kemarin.”

     “Oh, benarkah? Kau seorang guru musik? Siapa saja muridmu? Barangkali aku mengenal mereka. Aku berkenalan dengan beberapa pianis dan gitaris dari Korea kemarin.”

     “Eum, Taeyeon, si kembar Youngmin dan Kwangmin, Myung Soo, dan Jung Soo. Kau mengenal mereka?”

     “Ah! Taeyeon muridmu? Dia teman sekamarku. Bagaimana kalau kita mencari tempat duduk baru mengobrol? Aku sudah mulai lelah untuk berdiri, hehehe…”

     Jong Woon tersenyum. “Kajja.”

***

     Jong Woon dan Hye Jung kini telah duduk disebuah kursi taman di bawah sebuah pohon maple sambil mengobrol dan sesekali menyesap kopi mereka.

     “Jadi begitu, makanya aku sering menggunakan masker. Ya, selain untuk menutupi ruam ini, aku juga tidak kuat kalau ada angin dingin yang masuk kedalam tenggorokanku. Lalu aku juga selalu pakai mantel seperti ini karena terkadang terkena tiupan angin pun sakit.”

     Jong Woon menggangguk-angguk mengerti. Ternyata yeoja ini memiliki banyak penderitaan. Jong Woon kira kisah-kisah seperti yang Hye Jung alami hanya sekadar ada di drama-drama atau film-film yang pernah ia tonton. Tapi ternyata, tidak. Ada juga kisah seperti itu di dunia nyata. Salah satunya seperti kisah yeoja yang di sebelahnya ini.

     Tiba-tiba mata Jong Woon tertuju pada sebuah ruam merah besar di pipi kiri Hye Jung. Ah, mungkin ruam itulah yang juga diceritakan Hye Jung tadi.  

     “Kenapa kau bisa bermain gitar? Bukankah akan sangat sakit jika harus menekan senar dengan jari-jarimu?”

     “Ya, memang sakit sekali. Tapi aku mencintai gitar dan bermain gitarlah tujuan hidupku. Jadi sesakit apapun, saat aku bermain gitar, aku pasti akan melupakan sejenak rasa sakit di jariku.”

     Jong Woon terdiam, yeoja ini benar-benar luar biasa.

     “Aku juga ingin menunjukkan pada orang-orang, kalau mereka tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilannya. Pasti kemarin banyak yang mengejekku, ‘kan? Aku senang sekali melihat mereka speechless padaku. Akhirnya mereka mengerti peribahasa don’t judge a book by its cover, hahaha…”

     Jong Woon hanya mengangguk-angguk pelan dan tersenyum.

     “Hh… Melihatmu, aku jadi teringat pada seseorang.”

     “Siapa? Penagih hutang?”                                          

     Tawa Jong Woon meledak, Hye Jung ternyata humoris juga. “Hahaha, bukan, Hye Jung-ah, melihat kau sangat yang bersemangat seperti ini... Kau mengingatkanku pada mantan tunanganku. Sayang sekali, seandainya kalian bisa bertemu, mungkin kalian akan langsung akrab.”

     “Seandainya? Waeyo? Dan kalau boleh tahu, kenapa mantan? Kau sudah putus dengannya?”

     “Kami tidak pernah putus. Kami hanya terpisah, dan kami tidak akan pernah bisa bersatu lagi.”

     “Waeyo?”

     “Ia sudah meninggal.”

     Hye Jung terdiam. “Mi-mianhaeyo aku tidak bermaksud untuk berbicara seperti itu…”

     “Gwaenchanayo, aku mengerti. Kau ‘kan hanya ingin tahu.”

     Hye Jung jadi sedikit tidak enak hati, karena setelah berkata kalau mantan tunangannya sudah meninggal, Jong Woon jadi terlihat sedih.

     “Jeongmal mianhaeyo, tapi jangan sedih, mungkin kau memang tidak pernah ditakdirkan untuk bisa bersama dengannya, tapi, percayalah, kau pasti ditakdirkan untuk bersama dengan seseorang yang lain. Dan aku jamin, kau pasti akan bahagia kelak, meskipun kau bukan bahagia bersamanya.”

     “Tidak mungkin. Aku tidak akan bahagia bersama dengan yang lain, kecuali dengannya. Tidak akan ada yang bisa menggantikannya. Sampai kapanpun.”

     “Kau tidak bisa hidup seperti ini terus, kau tidak bisa selalu hidup dalam bayang-bayangnya. Kau hanya akan membuatnya sedih jka ia melihat kau hidup seperti ini, kau harus berubah, lihatlah kedepan, kau akan menemukan kebahagiaanmu.”

     “Kebahagiaanku adalah hanya dengan bisa bersama dengannya.”

     “Ani, Jong Woon. Lihatlah, kalian bahkan tidak ditakdirkan untuk bersama. Pergilah, tataplah masa depanmu. Carilah kebahagiaanmu. Jangan hidup dengan menyedihkan seperti ini. Tuhan pasti memiliki suatu rancangan yang sangat indah dalam hidupmu. Kau pasti akan bahagia suatu hari nanti.”

     Jong Woon segera berdiri dan merapikan jaketnya. “Aku baru ingat kalau aku harus menemani murid-muridku untuk mengikuti workshop hari ini. Aku pergi dulu. Terima kasih atas waktumu. Senang berkenalan denganmu.”

     Jong Woon memasukkan lengannya kedalam kantong celananya dan pergi meninggalkan Hye Jung yang masih mematung di tempat duduknya. Suasana hatinya jadi buruk sekarang. Tidak pernah ia bertemu dengan orang seperti Hye Jung yang dengan sangat berani dan terang-terangan “memukulnya” dengan kata-kata seperti itu. Sekali lagi, bagi Jong Woon, tidak akan ada yang bisa menggantikan seorang Lee Seo In.

     ‘Berani sekali ia berbicara seperti itu.’

     “Eh? Kenapa ia pergi? Apa aku salah bicara? Aku ‘kan hanya memberitahu yang benar, dasar namja aneh!”

 

***

 

     Jong Woon mengacak-acak rambut hitamnya. Kejadian tadi pagi terus-menerus terngiang di kepalanya. Perkataan yeoja itu sangat membekas di hatinya, dan sekarang mulai mengganggunya. Jong Woon kesal sekali.

     “Argh! Yeoja itu menyebalkan sekali! Bisa-bisanya ia menyuruhku untuk melupakannya! Memangnya ia siapa?! Sampai ia berani berkata seperti itu?!”

     Tapi perlahan Jong Woon mulai sedikit menyadari kalau perkataan Hye Jung ada benarnya juga. Ia tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus. Tapi cepat-cepat ia tepis semua pikiran itu. Ia tidak akan melupakan Seo In sampai kapanpun. Tidak akan.

     “Tidak, aku tidak akan melupakan Seo In. Tidak ada yang akan bisa menggantikannya. Tidak akan ada.” Jong Woon menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Tidak ada yang bisa menggantikan seorang Lee Seo In untuknya.

     “Lebih baik aku keluar sebentar. Aku ingin mencari sedikit udara segar.”

 

***

 

     Penjual-penjual makanan kaki lima di sepanjang jalan di China Town itu meramaikan suasana malam itu. Para penjual berlomba untuk menarik pelanggan dengan atraksi-atraksi kecil yang mereka lakukan. Jong Woon memasukkan tangannya ke dalam kantong jaketnya sambil melihat-lihat penjual makanan di sepanjang jalan raya itu. Sudah jam 8 malam, dan ia merasa lapar. Ia baru ingat kalau ia belum makan daritadi siang dan ia tidak mau sakit maag kronisnya kambuh saat ia sedang berada di negara orang seperti ini. Karena pasti nanti ia akan kerepotan.

     Bau harum kuah kaldu ayam itu sangat menggoda Jong Woon. Jong Woon berhenti sebentar dan menoleh ke arah kanan. Ternyata bau itu berasal dari sebuah kedai mie ayam. Jong Woon memutuskan untuk masuk ke dalam kedai itu.

     Jong Woon baru saja akan menyesap kuah mienya saat tiba-tiba ada semangkuk mie lagi yang diletakkan di hadapannya. Refleks Jong Woon mendongak dan seketika itu juga ekspresinya langsung berubah.

     Yeoja itu.

     “Kau makan disini juga? Wah! Kebetulan sekali! Bolehkah aku duduk disini? Aku tidak punya teman,” celoteh Hye Jung ceria yang langsung mengambil duduk di hadapan Jong Woon sebelum Jong Woon sempat menjawab apapun.

     Jong Woon hanya mengumpat dalam hati tentang betapa sialnya ia karena bertemu dengan yeoja yang sudah merusak mood-nya sepanjang hari itu dan juga sekarang telah merusak acara makan malamnya yang menyenangkan. Jong Woon hanya berdecak sebal dan kemudian kembali melanjutkan acara makan malamnya tanpa mempedulikan kehadiran Hye Jung.

     “Hey, bagaimana tadi? Apa workshopnya berjalan lancar?” tanya Hye Jung sembari meniup uap dari mienya yang mengepul.

     Jong Woon hanya terdiam sambil mengunyah mienya.

     “Hey, aku bertanya padamu. Kenapa kau diam?”

     Jong Woon mendengus pelan. Yeoja ini! Jong Woon berusaha menahan emosinya.

     “Hey-…”

     “Diamlah! Aku sedang makan dan kau mengacaukan acara makan malamku!”

     Hye Jung sedikit terlonjak kaget dan kemudian menjawabnya dengan santai, “Kau marah padaku? Karena yang tadi siang? Ayolah… Bersikaplah sedikit dewasa. Kau bukan anak kecil yang gampang tersinggung, ‘kan?”

     Jong Woon segera menatap Hye Jung dengan tatapan membunuh.

     “Apa? Kau mau marah lagi padaku? Ayolah, kau mau hidup seperti ini terus? Tubuhmu ada disini tapi jiwamu seperti ada di tempat lain. Kau akan terlihat seperti mayat hidup!”

     “Diamlah!! Kau bukan siapa-siapaku!! Aku bisa mengurus diriku sendiri!! Jangan ikut campur dalam masalahku!!” Jong Woon segera meletakkan sumpitnya kasar dan beranjak pergi.

     “Hei!! Aku hanya tidak ingin kau menyia-nyiakan hidupmu seperti ini! Hidupmu masih panjang! Jangan sia-siakan hidupmu seperti ini!”

     Jong Woon tidak menggubris teriakan Hye Jung dan tatapan aneh juga terkejut dari pengunjung lain. Ia hanya ingin sendirian sekarang.

     “Aigo namja itu, dia bebal sekali!”

 

***

     

     BRAAAAKKK!!!

     “LEE SEO IN!!!"

     Jong Woon menatap sendu foto yang sedang ia pegang. Sekarang ia sudah ada di pinggir Sungai Rhein, tempat yang tadi pagi ia datangi. Jong Woon akhirnya meninggalkan Hye Jung sendiri di kedai mie itu dan memutuskan untuk pergi kesini karena ia sudah tidak tahan lagi dengan semua kata-kata Hye Jung.

     “Bogoshippeoyo, Seo In-ah… Tidak bisakah sebentar saja aku bertemu denganmu, mengantarkanmu pulang dan memastikan bahwa kau akan aman? Seperti yang seharusnya kulakukan dulu. Sekali saja… Tak bisakah?”

     Cairan bening itu mulai membasahi pipi putih pucat Jong Woon. Sebenarnya Jong Woon bukanlah seorang namja yang cengeng, tapi ia akan menjadi seorang yang cengeng untuk urusan yang ini.

     “Kumohon, sekali saja, ya Tuhan… Hanya sekali saja…”

     “Hei cengeng! Hapus airmatamu itu! Seorang pria tidak boleh menjadi seorang pria yang lemah! Kau harus bisa melawan sifatmu yang selalu menyalahkan diri sendiri itu! Semua itu ‘kan bukan murni kesalahanmu…”

     “Diamlah, kau tidak tahu apa-apa tentangku,” sahut Jong Woon sambil menyeka airmatanya. Bagaimana yeoja itu bisa tahu kalau ia disini?

     “Aku sudah mengetahui ceritanya. Taeyeon sudah menceritakan semuanya padaku. Menurutku, itu bukan murni salahmu. Tapi semua itu adalah takdir yang harus kau hadapi…” Hye Jung menyenderkan tubuhnya di pembatas sungai Rhein itu perlahan. “Ssh...” Pembatas sungai yang dingin itu sedikit menyakiti jemari-jemari mungilnya, tapi Hye Jung sudah terbiasa.

     “Jangan pernah bicara apapun soal takdir, kau bukan Tuhan.”

     “Kau mencintainya, ‘kan? Kau mau ia sedih jika ia melihatmu dengan keadaanmu yang sangat menyedihkan seperti ini? Ayolah! Move on, Jong Woon! Raihlah kebahagiaanmu!”

     “Kau tidak mengalami apa yang kualami! Makanya kau tidak merasakan apa yang kurasakan dan sampai kapanpun kau tidak akan pernah mengerti posisi dan keadaanku!!! Pergilah!!! Aku sudah muak melihatmu!!!”

     “Aku tahu rasanya kehilangan, Jong Woon, makanya aku bisa menasihatimu. Yang kau alami, aku sudah pernah mengalami semuanya. Baiklah, aku akan pergi. Hanya satu pesanku, Jong Woon, jangan hidup dalam bayang-bayangnya terus. Aku tidak pernah menyuruhmu untuk melupakan Seo In dan berhenti mencintainya, aku hanya tidak mau kau terus menerus hidup dalam bayang-bayangnya. Ia juga pasti akan sedih melihat orang yang ia cintai hidup menderita terkekang oleh perasaan bersalahnya dan hidup seperti robot seperti ini.”

     Jong Woon terdiam.

     “Semua ada waktunya, Jong Woon-ah. Pohon yang gundul tidak akan selamanya gundul, ia pasti akan tumbuh suatu hari nanti, seperti yang kau bilang. Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, Jong Woon.”

 

***

 

     “Ya, Jong Woon-ah, ada apa kau memanggilku kesini?” Hye Jung terlihat sedikit terengah saat tiba pinggir kanal Sungai Rhein ini, lalu ia segera berdiri di sebelah Jong Woon. Ini adalah pertemuan pertama mereka sejak beberapa hari yang lalu, sejak kejadian Hye Jung “menampar” Jong Woon dengan kata-katanya. Selama ini pun Jong Woon tidak pernah membalas segala tegur sapa Hye Jung.

     “Kupikir aku sudah terlalu kasar padamu selama ini. Aku ingin minta maaf.”

     “Hahaha, Jong Woon-ah, aku tidak pernah marah padamu. Aku bisa memaklumimu, karena dulu sebenarnya aku juga pernah seperti itu. Aku sudah memaafkanmu.” Hye Jung tersenyum hangat.

     Ada sesuatu yang berdesir di hati Jong Woon saat melihat senyum hangat Hye Jung. Rasanya sama ketika ia melihat senyum Seo In. Senyum yang damai dan ceria.

     “Aku tidak bisa melakukannya sendiri, kau bisa membantuku ‘kan?”

     “Hahaha, dengan senang hati, Jong Woon. Dengan senang hati.” Hye Jung tersenyum lagi.

     “Gomawo.” Jong Woon tersenyum lagi.

***

     Jong Woon mengelus wajah Seo In di foto itu lagi. Angin malam musim gugur yang sejuk meniup pelan rambut Jong Woon.

     “Seo In-ah, apakah aku harus melupakanmu? Apa itu yang kau mau?”

     Entah kenapa, akhir-akhir ini, setelah ia kembali ke Seoul ia selalu terngiang akan kata-kata Hye Jung. Mata hati dan pikiran Jong Woon sedikit terbuka. Ia sadar, sebagaimanapun ia merindukan Seo In dan berharap ia bisa kembali bersamanya, semua itu tidak akan mungkin pernah terjadi.

     Jong Woon menatap sendu foto dirinya bersama Seo In yang sedang tertawa bahagia. Hatinya berdesir. Betapa ia merindukan momen-momennya bersama Seo In waktu itu.

     “Hh… Aku sudah lelah seperti ini terus, Seo In-ah…”

     Sebenarnya Jong Woon sudah lelah untuk terus hidup seperti ini. Ia sudah terlalu lelah untuk merindukan Seo In, memanggil-manggil namanya, dan bermimpi tentangnya. Ia juga sudah terlalu lelah untuk berharap bahwa Seo In akan hidup lagi.

     “Seo In-ah, mianhaeyo. Aku… Aku mulai mencintainya. Aku mulai mencintai yeoja itu. Mianhaeyo… Apa kau marah padaku? Mianhae, nan nappeun namjayeyo. Mianhae…”

     Jong Woon mengusap pelan wajahnya. Ia bingung dengan apa yang ia rasakan sekarang. Rasanya semuanya menjadi semakin rumit baginya. Jong Woon masih belum mengerti dengan semua perkataan Hye Jung. Ia bilang bahwa Jong Woon akan bahagia suatu hari nanti, tapi yang Jong Woon lihat sekarang hanyalah kesedihan dan kebingungan semata. Apa Hye Jung membohonginya?

     Jong Woon hanya tertunduk sembari menatap foto Seo In yang sedang tersenyum lebar bersama dirinya. Entahlah, Jong Woon tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan sekarang.

 

***

 

     “Mian, Jong Woon-ah, tapi kurasa sebaiknya tidak ada hubungan yang spesial diantara kita. Kurasa lebih baik kita berteman saja… Kau tahu ‘kan apa alasanku? Aku tidak mau nanti kau akan lebih terluka lagi jika tiba-tiba aku meninggalkanmu. Aku bisa meninggalkanmu kapan saja.” Hye Jung masih sedikit terkejut karena Jong Woon baru saja menyatakan perasaannya pada Hye Jung di Namsan Park ini.

     “Aku tidak peduli, Hye Jung, aku tidak peduli. Setidaknya ijinkan aku untuk membahagiakanmu di penghujung hidupmu. Ya, aku tahu, meskipun mungkin hanya sebentar. Masalah aku akan terluka, aku siap, aku siap untuk terluka untukmu, Hye Jung. Asalkan aku bisa membahagiakanmu walau hanya sebentar, aku siap dan rela untuk terluka untukmu. Membahagiakanmu adalah kebahagiaanku.” Jong Woon tersenyum tulus.

     Hye Jung terdiam sebentar. Setetes airmata turun membasahi pipinya.

     “Gomawo, Jong Woon… Terima kasih sudah mencintaiku, tapi sekali lagi maafkan aku, aku tidak akan pernah bisa membalas cintamu. Aku tidak bisa menerimamu. Aku ingin kita untuk tetap berteman saja, tidak lebih dari itu.”

     “Baiklah, aku mengerti. Aku mengerti, Hye Jung. Aku bisa menerimanya.” Jong Woon tersenyum lagi. “Ya, uljima, cerewet…” Jong Woon tersenyum hangat dan menyeka airmata Hye Jung dengan lembut sehingga tidak menyakiti Hye Jung, membuat Hye Jung mau tidak mau jadi tertawa.

     “Jangan berhenti tersenyum, Hye Jung, jangan berhenti. Jangan biarkan lupus bodoh itu menghilangkan senyummu.” Hye Jung tersenyum mendengar kata-kata Jong Woon. “Aku tidak pernah menyesal mencintai seorang yeoja luar biasa sepertimu, Hye Jung.”

     Jong Woon memeluk Hye Jung hangat, bersamaan dengan daun-daun yang berguguran di Namsan Park itu.

     “I love you.”

     Jong Woon mengecup kening Hye Jung lembut.

     “I love you, too, Jong Woon.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet