Two - It Has To Be You (Kim Jong Woon's POV)

One Fine Spring Day

Even today I wander in my memory, I’m passing around on the end of this way

You’re still holding me tightly, even though I can’t see you anymore

I’m losing my way again

Yesung – It Has To Be You

 

      Aku menghempaskan tubuhku ke atas jok Audi ku, hari ini melelahkan sekali. Aku harus melatih 5 orang murid yang akan dikirim untuk mengikuti sebuah konser di Jerman. Tidak akan semelelahkan ini jika aku tidak harus mengajar 8 murid tetapku yang lain juga. Dan sebenarnya itu juga bukan tugasku jika saja Mr. Park tidak mengalihkan tugas itu dari Henry menjadi tugasku. Benar-benar melelahkan.

      Akhirnya setelah sekitar setengah jam, aku tiba di apartemenku di distrik Hongdae, di pinggiran kota Seoul. Setelah ini aku akan mandi, makan malam, dan tidur. Besok pagi aku akan bangun, mandi, sarapan dan pergi bekerja lagi. Hidupku seperti robot, rutinitaskulah yang sebenarnya mengatur hidupku, bukan aku. Aku sudah terlalu bosan untuk hidup seperti ini, datar, tanpa warna, juga tanpa rasa. Seandainya aku bisa, aku ingin kembali ke masa-masa sebelum kejadian itu, 2 tahun yang lalu, sebelum kejadian terkutuk itu terjadi.

      Oh Tuhan, aku mulai mengingatnya lagi. Aku mulai mengingat semua tentangnya. Saat ia tertawa, sedih, terharu, juga cemberut. Aku juga mulai mengingat semua perkataan yang pernah keluar dari bibirnya. Nasihat-nasihatnya, omelan-omelannya, juga kata-kata manjanya ketika ia memohon padaku. Aku mulai mengingat setiap gerak tubuhnya ketika dia bertemu denganku. Memelukku manja, mencium pipiku, dan kemudian tersenyum malu-malu. Semua ingatan akannya yang sedang berusaha kulupakan sepertinya tidak memihakku kali ini, mereka menyerang hati dan pikiranku.

      Sepertinya aku akan membatalkan kegiatanku untuk makan dan mandi. Aku lebih memilih untuk duduk diatas kursi taman panjang yang kuletakkan di balkon apartemenku, kemudian memeluk kakiku. Aku akan menghabiskan malamku disini, bersama dengan bayangnya. Biarlah, sekali ini saja. Gerimis yang mulai menginterupsiku tidak mengikis niatku sedikit saja untuk bernostalgia tentangnya, meskipun aku tahu, aku hanya akan melukai hatiku sendiri.

      Aku siap, aku ingin mengingat semuanya dengan perlahan. Kucoba untuk mengingat tentang pertemuan pertamaku dengannya, tapi nihil, tiba-tiba ingatanku tertuju pada kejadian 2 tahun yang lalu. Kucoba untuk mengingat-ingat saat-saat bahagiaku bersamanya, tapi tetap saja, pikiranku tertuju pada kejadian terkutuk itu yang membuatku terpisah dengannya untuk selamanya.

      “Oppa… Ayolah… Tak bisakah kau tinggalkan sebentar saja partitur itu dan mengantarku pulang?”

      “Jeongmal mianhaeyo, Seo In-ah, aku harus segera menyelesaikan lagu untuk muridku malam ini juga, sebentar lagi kami akan mengadakan konser di Classica… Kali ini saja, lain kali aku pasti akan mengantarmu pulang! Aku janji!”

      “Tapi diluar sedang hujan, oppa... Kau tega membiarkanku pulang naik bus dan kehujanan? Ayolah… Sekali ini saja, nanti aku tidak akan memintamu mengantarkanku pulang lagi…”

      “Mian, tapi kali ini aku benar–benar tidak bisa, Seo In-ah,” sahut Jong Woon sambil membetulkan letak kacamatanya.

     “Waeyo?” Seo In mulai merajuk.

     “Aku harus menyerahkan partitur lagu ini besok pagi. Datelinenya besok pagi.”

     “Ayolah oppa, diluar ‘kan sedang hujan… Ayo antarkan aku pulang…”

     “Aniyo, Seo In-ah, aku harus menyelesaikan partitur lagu ini, kalau tidak aku bisa diterkam Mr. Park besok pagi…”

     “Baiklah, aku menyerah , seorang Kim Jong Woon memang sulit dibujuk. Silahkan lanjutkan partiturmu itu, aku pulang dulu... Sampai jumpa di Classica besok pagi...” Seo In menggembungkan pipinya kemudian mengecup ringan pipi Jong Woon, Jong Woon hanya berdeham sambil terus berkutat dengan grand piano putih miliknya dan partiturnya.

     “Hey, pakai payungku. Hati–hati ya…”

     “Ne, annyeong, oppa...” Seo In tersenyum manis sembari mengambil sebuah payung disudut ruangan, lalu melangkah keluar dari kamar bernomor 324 itu.

     Batin Jong Woon bergemuruh melihat senyum itu. Annyeong? Apa suatu hal yang buruk akan terjadi?

     “Annyeong.”

     Jong Woon kembali memfokuskan dirinya ke dateline yang harus sudah ada di meja pria kejam-yang-sangat-disayangkan adalah atasannya yang bernama Park Jin Young itu besok pagi, sambil sesekali menerka kapan ia bisa tidur, juga berusaha menghalau pikiran yang tidak–tidak yang mulai muncul di dalam hatinya.

     Tiba–tiba matanya menangkap sesuatu yang tergeletak diatas meja.

     “Astaga… Kenapa dia bisa dengan begitu cerobohnya meninggalkan handphonenya? Menyusahkan saja.”

     Jong Woon meletakkan kacamatanya, meraih jaket kulitnya dan bergegas keluar sembari mengantongi sebuah handphone milik calon istrinya itu.

     Setelah keluar dari lift, dengan setengah berlari Jong Woon segera menerobos hujan, mencari sosok ramping perempuan yang dicintainya itu. Beruntung, Seo In masih berdiri di ujung jalan, sambil menunggu warna lampu lalu lintas penyebrang jalan berubah menjadi hijau.

     “Fiuuuh…”

     Ternyata Seo In masih disana. Jong Woon berhenti sejenak untuk sekadar mengambil nafas yang serasa hampir habis dan kemudian berlari kecil menghampiri Seo In. Sialnya lampu sudah berubah warna menjadi hijau. Jong Woon mempercepat larinya.

     “Seo-…”

     Ucapannya terputus saat ia  melihat sebuah bus meluncur menghampiri tubuh mungil Seo In. Nafasnya tertahan.

     “Seo In!!!! Awas disampingmu!!!”

     Menyadari sebuah suara teriakan ditujukan untuknya, Seo In menoleh ke samping dan bergegas mempercepat langkahnya, namun apa daya, bus itu sudah terlebih dahulu menghantam tubuh mungilnya.

     BRAAAKKK !!!

     Mata sipit Jong Woon membulat sempurna, tak mempercayai penglihatannya. Tubuhnya serasa melayang, padahal sedari tadi ia tak bergeming. Otaknya penuh, terlalu penuh untuk bisa mencerna semuanya. Sedetik kemudian ia tersadar.

     “Seo In-ah!!!” Jong Woon histeris saat tubuh Seo In terpental 5 meter jauhnya dari tempat awalnya berdiri.

     Kaki Jong Woon segera terlangkah sepanjang–panjangnya, menghampiri tubuh yang terkulai lemah ditengah zebra cross itu, kemudian segera mendekap erat tubuh Seo In. Sang supir bus segera melajukan busnya secepat mungkin, kabur. Jong Woon tak peduli akan bus itu, ia tidak peduli pada orang-orang di sekitarnya yang menebar sumpah serapah pada supir bus itu dan ia juga tak peduli pada tatapan prihatin orang-orang disekitar tempat itu. Ia hanya berharap semua ini tidak benar-benar terjadi, hanya salah lihat atau mungkin mimpi, halusinasi atau apalah.

     Seo In tersenyum lemah. “O-oppa... Kau datang? W-wae…”

     “Siapapun!! Tolong kami!!!”

     Orang-orang di sekitar mereka pun bergerak cepat, ada yang menelepon rumah sakit, ada yang menelepon polisi, juga ada yang mencoba memberikan pertolongan pertama pada Seo In.

     “Oppa... Naneun gwaenchana… Jangan mengkhawatirkanku…”

     “Mi-mianhaeyo, Seo In, seharusnya aku mengantarkanmu pulang...” sesal Jong Woon di sela tangisnya. Airmatanya bercampur dengan air hujan yang dengan tidak tahu dirinya turun sangat deras menghantam mereka malam itu.

     “Gwaenchana, oppa... A-aku memang sebentar lagi akan pulang... C-cincin ini, oppa yang pegang ya?” ujar Seo In terbata sambil melepas perlahan cincin pertunangannya dengan Jong Woon yang berlumuran darah dan menyerahkannya pada sang pujaan hati. Jong Woon yang tak bisa berkata apa–apa lagi menerima cincin itu dengan tangan yang bergetar hebat karena menangis.

     “Oppa... Selamat tinggal.”

     Tanpa aba–aba, bibir Jong Woon segera mengecup pelan kening Seo In, seakan ingin menambahkan nyawa pada Seo In yang perlahan berkurang, tak dihiraukannya rasa amis darah yang menyerang lidahnya. Baginya saat ini, ia hanya ingin tetap bersama dengan perempuan yang ia cintai.

     “Saranghaeyo.” Seo In memaksakan diri untuk tersenyum.

     “Na-nado, nado saranghaeyo...” Tepat setelah kata–kata itu terluncur dari bibir Jong Woon, Seo In menghembuskan nafas terakhirnya.

     “ANDWAEEE!!!! LEE SEO IN!!!! Apa yang kau lakukan??!!! Jangan bercanda!!! Kau tidak akan meninggalkanku, ‘kan??!! Jebal!!! Ini bukan April Mop!! Ini sama sekali tidak lucu, Seo In-ah... Ireona!!! Jebal, ireonaseyo!!!” seru Jong Woon seraya mengguncang–guncangkan tubuh mungil Seo In. Tubuh kaku Seo In terguncang hebat. Tapi Seo In tetap tidak membuka matanya.

     Aku memukul-mukul pelan kepalaku. Dan aku menangis, lagi. Aku memang terlalu bodoh.

     “Tapi diluar sedang hujan, oppa... Kau tega membiarkanku pulang naik bus dan kehujanan? Ayolah… Sekali ini saja, nanti aku tidak akan memintamu mengantarkanku pulang lagi…”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet