One - Fly (Shin Hye Jung's POV)

One Fine Spring Day

I can make it, I’ll do well, I cried that out loud endlessly

Even though sometimes it’s tough and a little scary

Super Junior K. R. Y. – Fly

             

     Kususuri pinggiran jalan di kota Seoul yang sudah mulai ramai pukul 4 sore ini. Beberapa penjual makanan kaki lima sudah mulai sibuk dengan stand cemilan mereka yang sudah mulai ramai dengan pembeli. Mereka kelihatan mulai sibuk dengan pelanggan-pelanggan yang sudah mulai membuat antrian kecil di depan stand mereka. Ada juga anak-anak kecil yang sedang menarik-narik tangan orang tua mereka untuk memaksa orang tua mereka untuk membelikan makanan-makanan kesukaan mereka. Mereka pasti tergiur dengan harum makanan yang menyebar dimana-mana, mereka terlihat semangat sekali menarik-narik lengan orang tua mereka. Keramaian yang sudah menjadi rutinitas setiap menjelang malam di kota Seoul ini sudah akrab bagiku, dan aku yakin aku pasti akan sangat merindukannya nanti.

     Kurapatkan mantelku lagi, hari ini cuaca Seoul sudah mulai lebih berangin, lebih sejuk, tapi belum terlalu dingin, orang-orang juga belum mulai mengenakan pakaian yang lebih tebal. Sepertinya hanya aku yang mengenakan pakaian ala pertengahan musim dingin. Mungkin hanya tubuhku saja yang bermasalah, karena kulihat kebanyakan orang masih mengenakan pakaian ala musim panas. Kurasa mereka mungkin menganggapku si makhluk aneh, karena hanya aku yang memakai dua lapis mantel dengan syal tebal dan sebuah masker yang terpasang dengan rapi di wajahku. Aku tidak peduli, karena memang aku berbeda dari yang lain.

     Ada alasan lain mengapa aku menggunakan masker, selain untuk melindungi tenggorokanku dari angin sejuk musim gugur, aku juga ingin menutupi ruam-ruam merah besar yang sudah mulai muncul di wajahku. Sebagai seorang yeoja, jerawat kecil saja akan membuatmu malu, bagaimana jika ada ruam sebesar telapak tangan bayi di pipi atau dahimu? Tentu saja kau akan menutupinya sepertiku. Sekali lagi, aku berbeda dari yang lain.

     Beberapa orang mulai menatapku, yang mungkin salah satunya disebabkan oleh pakaian dan sebuah gitar yang tersampir rapi di tubuh ringkihku ini, dan mereka juga mulai membicarakanku. Aku hanya menatap mereka santai dan tersenyum, meskipun mereka tidak bisa melihat senyumku. Apa lagi yang bisa kulakukan? Keadaanku memang seperti ini, ‘kan?

     Gwanghwamun Square sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit usaha ‘lebih’ saja akan segera menibakanku disana. Kupercepat langkahku. Tempat yang menyenangkan yang selalu kusukai dari dulu. Tempatku biasa menunjukkan kemampuanku, sekaligus untuk menghibur orang-orang yang merupakan hobiku. Juga untuk membuat orang-orang yang mengejekku terdiam dan kagum akan kemampuanku, menyenangkan bukan ketika kau melihat mereka yang mengejekmu speechless oleh kemampuanmu? Yang aku butuhkan sekarang hanyalah sampai ke Gwanghwamun Square yang sudah sangat dekat dengan lebih cepat dan duduk di depan patung Raja Se Jong seperti biasa.

 

***

 

     Perlahan, kupetik senar demi senar gitar kesayanganku, kulantunkan Romance d’Amour yang lembut dan tenang, kucurahkan seluruh perasaanku ke dalam melodi ini. Orang-orang sudah mulai berkumpul dan membuat kerumunan kecil di hadapanku, bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak, lansia, semuanya. Semuanya tampak penasaran.

     Untuk yang kesekian kalinya dalam hidupku kumainkan melodi ini, melodi yang membuatku jatuh cinta pada gitar saat aku mendengar lagu ini untuk pertama kalinya dan memutuskan untuk mempelajari gitar.

     “Wah… Hebat ya…”

     “Iya…”

     “Bagus sekali… Dia sangat berbakat…”

     Aku tersenyum dan menutup kedua mataku, aku menikmatinya, meskipun aku tahu kalau sebenarnya aku sedang menyiksa diriku sendiri. Kucoba untuk meleburkan semua rasa perih diujung jariku dengan lantunan melodi indah yang keluar dari gitarku. Kucurahkan seluruh kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang mendesak hatiku. Terbanglah lupus, terbanglah. Biarkan aku bebas dari jeratmu. Aku ingin hidup lebih lama lagi.

     “Kondisimu sudah semakin menurun, Hye Jung-ssi, aku khawatir kalau kau tidak akan bertahan…”

     “Tak bisakah kau mengusahakan kesembuhanku, Dokter Lee? Tolonglah, aku bahkan belum sempat membanggakan orang tuaku…”

     “Aku sudah memberikanmu semua metode pengobatan yang ada, tapi dari semuanya tidak ada yang menunjukkan efek yang berarti… Mianhaeyo, Hye Jung-ssi, aku menyerah…”

     Terkadang aku merasa hidupku sedikit tidak adil, seperti drama. Kematian di depan mata. Umurku mungkin hanya tinggal 1 atau 2 bulan lagi. Aku tersenyum pahit dibalik maskerku yang tebal ini tiap kali aku teringat olehnya. Tapi aku tidak akan menyerah, setidaknya aku tidak mau meninggal dengan menyedihkan, seperti menghabiskan waktu-waktu terakhirku dengan menyesali dan menangisi semuanya. Aku akan melanjutkan hidupku seperti biasa, seperti tidak ada hal buruk yang menimpaku. Menurutku begitulah cara hidup yang seharusnya.

     Ah, aku jadi merindukan ayah dan ibu. Mereka pasti akan senang jika melihat orang-orang yang terlihat sangat antusias menyaksikan konser tunggal jalanan kecil anaknya. Tapi sayang, kami sudah berbeda dunia.

     Kupikir Narcisso Yepes mungkin sedang tersenyum diatas sana karena salah satu karyanya yang paling terkenal berhasil dimainkan oleh seorang gadis lemah yang sudah sekarat ini dan diterima juga disukai orang.

     Romance d’Amour pun berakhir dengan diiringi tepukan tangan orang-orang di sekitarku. Aku tersenyum dibalik maskerku. Aku senang, sepertinya mereka terhibur dengan permainan gitarku. Aku bisa membuktikan pada mereka kalau aku bisa.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet