BAB 3 - Seleksi

Half Blood

“Argh!”

Pukulan keras yang menghantam hidung mancungnya memaksa serigala itu untuk berteriak bahkan sebelum dia menyadari apa yang sedang terjadi.

Stephanie menggulung lengan baju lalu mendesah berat. Kerusakan tambahan yang harus diperbaiki selain luka bakar pada tubuh teman sekamarnya. Paling cepat membutuhkan waktu satu menit jika tidak ada indikasi tulang bengkok atau jaringan syaraf yang terputus.

“Sudah cukup. Sebaiknya kamu kembali ke kamar dan bangunkan Jessica untuk bersiap menghadiri acara di aula. Aku tidak mau kita semua terlambat hanya karena menunggu satu orang yang sulit bangun tidur.”

“Tapi urusanku dengan serigala cabul ini belum selesai,” protes Yuri melirik tajam ke arah mangsanya seolah menegaskan jika daging serigala bisa menjadi santapan makan malam.

“Kamu bisa memberinya pelajaran pada pertandingan olahraga namun sekarang pergilah.” Stephanie mendorong gadis berambut hitam itu keluar kamar lalu mengunci pintu dengan cepat.

Akhirnya, Taeyeon bangkit dan terduduk secara perlahan dalam keadaan bingung yang memuakkan. “Apa yang terjadi?” tanya Taeyeon mencoba berkonsentrasi pada ingatannya yang tumpul tapi hal itu sia-sia karena pada umumnya serigala mengandalkan kekuatan otot bukan otak.

“Kamu baru saja mengalami kematian suri.” Stephanie terdiam beberapa saat mengamati respons serigala yang agak lamban. Harus diakui ekspresi wajah Taeyeon terkesan lucu saat bola matanya melebar dan daun telinganya bergerak. “Berbaringlah agar aku bisa mengobati lukamu.”

“Aku tidak mengerti,” gumam wanita berkulit pucat sambil meluruskan badan dengan segudang pertanyaan di kepala.

“Bagian mana?”

“Mati suri,” jawabnya menganggap hal tersebut sebagai omong kosong belaka.

“Mati suri adalah peristiwa aneh di mana orang yang sudah mati bisa hidup lagi.”

“Aku tahu itu,” gerutu Taeyeon memutar bola mata secara berlebihan. Tentu saja reaksi tersebut mengundang tawa bagi yang meledek tetapi gadis itu tidak membiarkan senyumannya terlihat.

Telapak tangan gadis itu melayang bebas di atas permukaan kulit terbuka untuk memenuhi panggilan kebanggaannya sebagai keluarga phoenix. Taeyeon dibuat takjub saat melihat luka kemerahan yang semakin pudar seolah untaian benang tak terlihat keluar melalui ujung jari yang lentik.

“Wow, sungguh mengesankan. Kamu tampak keren untuk remaja seusiamu.” Taeyeon membolak-balik setiap anggota tubuhnya untuk memastikan tidak ada bekas luka yang tertinggal.

“Sebagian besar lukamu sudah ditangani oleh Profesor. Aku hanya membereskan sisa-sisa pada bagian luar. Tanpa aku pun luka itu akan sembuh dengan sendirinya setelah beberapa waktu.”

“Terima kasih, Ste... hmm...” Taeyeon menelan ludah. Lidahnya tersangkut di tenggorokan. Sial, siapa namanya; batin Taeyeon menggaruk puncak kepala yang tak gatal.

Bukankah diawali dari huruf S?

“Se...”

Atau huruf T?

“Te...”

“Tiffany. Kamu bisa memanggilku begitu untuk lebih mudahnya.”

“Ah, Tiffany. Nama yang cantik. Terima kasih untuk bantuanmu.”

“Tidak masalah. Ucapan terima kasih terbesarmu lebih pantas diberikan pada Yuri.”

Kening Taeyeon berkerut saat mengingat pukulan keras di hidungnya. “Kenapa? Dia bersikap kasar dan mengataiku serigala cabul.”

“Memang benar, kan?”

“Tidak sama sekali.”

“Aku penasaran kira-kira apa yang kamu lakukan bersama kekasihmu?”

Taeyeon memiringkan kepala. “Apa yang kamu bicarakan? Kekasih siapa?”

“Lihatlah Taeyeon betapa brengseknya dirimu. Kamu bahkan tidak mengakuinya sebagai kekasih.”

Tak mudah mempertahankan kesopanan bagi keturunan binatang buas terutama yang memiliki cakar dan taring tajam. Taeyeon menggeram kesal mengeluarkan udara panas melalui lubang pernafasan. “Jangan bertele-tele. Katakan siapa orang yang kamu maksud?” desaknya dengan sebelah alis terangkat tinggi.

Stephanie mengedikkan bahu ringan. “Ya, siapa lagi kalau bukan rubah yang datang bersamamu.”

“Astaga, yang benar saja. Itu tidak masuk akal. Demi alasan apa aku mengkhianati kawanan serigala.”

“Ibuku mengatakan kecantikan rubah bisa membuat seseorang mati secara perlahan karena terlalu menginginkan tubuhnya.”

“Itu pujian atau ancaman?”

“Keduanya.”

“Menurutku serigala berambut cokelat adalah yang tercantik seperti Lisa atau Wendy. Ada juga Ailee dengan proporsi dada, pinggul dan pantat yang sempurna. Aku sendiri tidak masalah dengan ukuran tetapi jika itu mempunyai bentuk yang...”

“Luar biasa. Keluarkan semua pikiran kotor di kepalamu itu. Tidak salah lagi. Kamu memang serigala cabul.”

***

“Jessica cepat bangun.”

Gadis yang dipanggil namanya berguling ke samping dan memeluk bantal. Sedikit menggigil akibat hilangnya selembar kain tebal yang menyelimuti tubuhnya.

“Aku akan mencampur acar mentimun ini ke dalam makananmu.”

Tipuan kuno membosankan. Jessica telah menghabiskan separuh masa hidupnya untuk mendengar bualan orang-orang yang mengancam dia dengan sepotong sayuran hijau menjijikkan.

“Baiklah, rubah pemalas. Aku menyerah. Atas nama persahabatan, aku menerima segala bentuk hukuman karena terlambat menghadiri acara penyambutan di sekolah.”

Sekolah? Itu dia!

Jessica melonjak bangun memegang erat-erat bantal bernoda keringat. Dia segera turun dari tempat tidur dan menendang pintu kamar mandi. Menyanggul rambut pirangnya yang berkilau sambil duduk tergesa-gesa dalam kepanikan ke dalam bak mandi. Kecerobohan kecil di sini dan di sana. Menyenggol sabun batangan hingga jatuh ke lantai.

Pintu kamar mandi berderit nyaring. Yuri terperanjat lalu buru-buru memalingkan wajahnya saat melihat tubuh temannya hanya terbalut selembar handuk putih.

“Pakaian apa yang kita gunakan hari ini?” tanya Jessica dengan pandangan lurus ke depan membelakangi lawan bicara. Bola matanya memancarkan sinar yang terang. Mengagumi atas kecantikan wajahnya yang terpantul dalam bingkai cermin segi empat. “Jangan berpikir menggunakan kaos hitammu, Yuri. Itu sama sekali tidak cocok.”

“Aku belum mengatakan apa-apa?”

“Pikiranmu sangat mudah ditebak.”

“Sayangnya bukan itu yang aku pikirkan karena kita hanya boleh berkeliaran di lingkungan sekolah menggunakan baju seragam.”

“Seragam?” pekik Jessica memutar posisi tubuhnya. Ekspresi keterkejutan terlihat jelas dari rahang yang tergantung bebas. Di sana dia menyaksikan Yuri memakai setelan jas dan rok pendek dengan warna selaras.

“Bagaimana aku tidak melihatnya? Dari mana kamu mendapat seragam ini?”

“Sama seperti bagaimana kamu bisa jalan ke kamar mandi dengan mata terpejam. Sangat mengejutkan, kan? Aku sungguh berharap ada pertunjukan kecil seperti kaki tersandung atau kepala membentur tembok agar kamu sadar bahwa kita tidak membawa koper berisi pakaian.”

“Aku tidak sedang bercanda. Sekarang di mana seragamku?”

“Lemari di sudut belakang dengan nama Jessica pada bagian atas. Ya, barangkali kamu buta huruf dan tidak bisa membaca namamu sendiri.”

Jessica berputar dan menggeram kesal. Walaupun pada kebanyakan waktu dia sering bersikap acuh namun ada kalanya dia menjadi gadis pemarah. “Katakan saja apa masalahmu,” gerutunya pada setiap entakkan langkah kaki.

“Apa?”

“Kamu bisa menegurku dengan kata-kata yang lebih bijak seperti yang biasa kamu lakukan. Namun, kali ini kamu memilih pertengkaran. Aku tidak terkesan pada cara bicaramu yang mengolok-olok teman sendiri.”

Yuri tertawa terbahak-bahak. Terdengar aneh dan dipaksakan.

Jessica memasang dasi terlebih dahulu sebelum meletakkan kedua tangan di samping pinggang. “Apa yang lucu?”

“Jadi, kamu menganggapku teman?”

“Tentu saja. Memangnya siapa yang akan memanggang kue di hari ulang tahunmu jika bukan aku; teman terbaikmu.”

“Seorang teman tidak akan berbohong.”

Jessica bersiap membuka mulut untuk memprotes tetapi pancaran kelemahan ganjil yang mengisi mata gelap burung gagak itu membuat dirinya terdiam. Yuri tampak kecewa, pikir Jessica, nyaris terlihat... sedih?

“Dengar. Aku berjanji tidak akan memberi penilaian buruk terhadap siapa pilihanmu bahkan jika itu berasal dari golongan reptil yang menjijikkan.”

“Aku tidak mengerti arah pembicaraan kita tetapi kamu baru saja berkomentar buruk.”

“Uh, aku benci reptil. Lupakan. Maksudku adalah siapa pun orangnya aku berharap kamu tidak merahasiakan hubungan itu dariku. Andai saja aku tahu lebih awal, aku pasti bisa menjagamu dari ancaman serigala.”

“Ancaman apa? Aku baik-baik saja.”

“Apa kamu mencintai Taeyeon?”

“Kamu tidak serius, kan? Itu pertanyaan paling bodoh yang pernah kudengar.”

“Kumohon jawab dengan jujur.”

“Taeyeon memang tampak memesona dengan otot-otot yang menonjol pada punggung telapak tangannya tetapi tidak. Untuk apa aku mencintai seorang wanita? Itu konyol. Aku masih ingin mempunyai anak-anak yang cantik dan menawan.”

“Jangan berlagak polos. Kita semua tahu keistimewaan dari serigala alpha. Dia bisa memberikan kamu selusin anak jika kalian mau.”

“Oh, benarkah? Aku bahkan tidak tahu jika Taeyeon adalah pemimpin kelompok serigala,” balas Jessica sembarangan; merasa muak dengan obrolan yang berputar-putar.

“Itu terlihat jelas dari tato di lengannya.”

“Terima kasih atas informasi yang tidak diperlukan.”

Yuri terdiam cukup lama, merenung dan berpikir keras. Banyak asumsi bermain di kepala tapi pundaknya seketika merosot saat mencapai pemikiran yang terburuk.

“Jika kamu tidak mencintai Taeyeon maka sudah pasti serigala itu meniduri kamu secara paksa.”

“Apa?!” jerit Jessica menggetarkan seluruh perabotan kaca di dalam kamar.

***

Pintu utama terbuka lebar menampilkan lorong panjang bermandikan cahaya silau dari sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kaca. Seorang penyihir wanita; begitulah pemikiran anak-anak korban penculikan, berjalan ringan tanpa beban seolah-olah ekspresi ketakutan pada wajah mereka merupakan hiburan yang layak dipertontonkan. Ketegangan semakin mencekam ketika satu per satu para penyihir jubah hitam bermunculan dari sayap kanan dan kiri.

“Selamat datang di Nymphaeum Mieza; sekolah sihir untuk anak-anak setengah dewa yang terpilih. Pesta penyambutan tahun ajaran baru segera dimulai namun sebelum itu kalian harus melewati seleksi di mana setetes darah akan menentukan ke mana kaki kalian melangkah.”

Meja batu itu dipersiapkan untuk tujuan mulia. Seohyun mendapat kehormatan membawa cawan perak berukuran besar berhias ukiran abstrak di sekelilingnya. Sebuah tongkat sihir meliuk-liuk dalam genggaman tangan sang kepala sekolah, menciptakan kabut warna yang berbeda melayang di atas udara.

“Seperti yang terlihat ada empat warna. Merah, biru, hijau dan ungu. Masing-masing warna adalah simbol kebanggaan rumah kalian, menyimpan sejarah leluhur yang memperkuat alasan mengapa kalian dibutuhkan berada di sekolah ini.”

Pada hakikatnya semua terbagi dalam dua kelompok besar; kekuatan fisik atau kekuatan sihir. Keturunan binatang buas cenderung memiliki ketahanan fisik yang kuat sementara kemampuan sihir hebat cenderung diwariskan pada mereka yang diberkati kemuliaan hati murni.

“Hunter, Magician, Acolyte, Crusader,” jelas Yoona sambil mengarahkan ujung tongkat sihirnya pada tiap-tiap warna secara berurutan.

“Upacara seleksi akan segera dimulai jadi silakan berbaris dengan rapi. Persiapkan diri kalian baik-baik dan jangan berkedip saat memasukkan setetes darah ke dalam cawan. Terdengar sedikit menyeramkan tetapi ketakutan tidak diperlukan sama sekali.”

Jessica bergidik ngeri mendengar jeritan anak-anak malang ketika benda tajam yang menyerupai pisau merobek ujung jari telunjuk mereka. Keterkejutan di awal bukan akhir dari kematian. Luka tersebut langsung tertutup saat Seohyun menjabat tangan mereka dan tersenyum ramah.

“Sepertinya itu menyakitkan,” komentar Jessica menyaksikan anak laki-laki yang pingsan setelah melihat darah keluar dari ujung jarinya. Merasa ketegangan yang merayap ke bawah telapak kakinya, gadis itu buru-buru menarik temannya untuk berpindah tempat pada antrean paling belakang.

“Menurutmu ke mana Stephanie akan terpilih?” kata Yuri menatap lekat sosok perempuan berambut merah yang sedang berjalan riang ke hadapan kepala sekolah.

“Acolyte,” balas Jessica merasa malas untuk menanggapi pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Dan benar saja, ketika cawan itu mengeluarkan kepulan asap hijau maka Stephanie dinyatakan resmi sebagai penghuni asrama Acolyte.

Taeyeon di sisi lain merasa gugup saat tiba gilirannya untuk maju. Bukan karena bernyali ciut melainkan kesadaran bahwa dirinya bukan yang terpilih. Bagaimana jika petir menyambar tangannya lagi. Dia tidak begitu ingat rasa sakit atas kematian singkatnya tetapi ada ketidaknyamanan pada beberapa anggota tubuhnya ketika kesadarannya pulih.

“Aku senang bisa melihatmu berada di sini. Bagaimana kondisimu, Nak?” tanya sang kepala sekolah sambil mengulurkan tangan kirinya ke depan untuk meminta persetujuan agar serigala itu memberikan sebelah tangannya.

“Aku bukan anak-anak,” jawab Taeyeon merengut lalu mendesah berat. Perlahan dia menyerahkan tangan kanan dengan ragu-ragu. “Apa cawan ini akan bereaksi terhadap darahku?”

“Jangan berkecil hati lantaran bukan yang terpilih. Itu sangat jelas, kamu ada di sini karena aku yang memilihmu.”

Taeyeon mendongak terkejut. “Kamu bisa membaca pikiranku.”

Rambut cokelat gelap itu berkilau indah membingkai senyum yang rupawan. “Bagaimana kalau sekarang kita mencari jawaban atas pertanyaanmu? Apa sudah siap?”

Entah ke mana perginya kegelisahan yang sempat Taeyeon rasakan karena saat ini yang tersisa hanya semangat yang berapi-api. “Ya!”

Setetes darah serigala yang terjatuh ke dalam cawan berubah menjadi kepulan asap biru kemerahan. Yoona tertegun menatap fenomena ganjil di mana dua warna tidak menyatu sempurna. Namun, siapa yang menyadari hal tersebut selain dirinya? Tidak ada. Kabut ungu adalah yang terlihat di mata orang lain.

“CRUSADER!” teriak sekelompok anak duduk di bagian kanan aula, bersorak dan bertepuk tangan menyambut kedatangan anggota baru rumah mereka. Taeyeon melangkah tegap melempar segaris senyum kesombongan yang tak terlihat.

Tidak lama kemudian riuh tepuk tangan menggema dari bagian utara pada sayap kiri. Beberapa anak Acolyte di barisan depan, termasuk gadis berambut merah, berdiri untuk berjabat tangan dengan teman yang baru bergabung.

“Aku ingin pergi ke kamar kecil,” bisik Yuri sedikit menoleh ke belakang. Dia merasa pusing dan mual melihat antrean semakin pendek. Ingatan tentang masa kecilnya meninggalkan trauma. Dia selalu menjadi pilihan terakhir dalam kegiatan kelompok belajar, bukan karena tidak pintar, tetapi tak seorang pun mau berteman dengan si pembawa sial; itu yang mereka percaya.

“Maksudnya kamu ingin pergi melarikan diri,” koreksi Jessica sambil menendang kaki temannya untuk berjalan maju.

Seperti biasa pikiran buruk selalu muncul saat Yuri merasa cemas. Bagaimana jika dia tidak dipilih? Tapi dia melihat Taeyeon duduk di sana, menggoyangkan sebelah kaki dengan santai dan tertawa bersama anggota Hunter lainnya. Jadi, mungkin itu bukan masalah. Lalu bagaimana jika tidak ada teriakan anak-anak atau suara tepuk tangan untuknya?

“Bolehkah aku meminjam tanganmu sebentar?”

“Tangan? Oh.. ya.. tentu saja,”  kata Yuri tergagap setelah menyadari gilirannya telah tiba.

“Tidak perlu takut karena ini sama seperti saat aku membuka segelmu.”

Yuri tersenyum lemah. Ya, luka gores itu tidak akan membuatnya mati kehabisan darah namun jujur saja dia lebih senang kalau tidak dipertontonkan. Seandainya cawan itu menyemburkan warna bagi mereka yang merasa gelisah dan mau muntah, tempat itulah yang paling cocok untuknya.

“Aku tidak tahu jika mempunyai kekuatan sebesar itu. Rasanya luar biasa hebat tapi juga menyeramkan.”

“Kamu bisa kehilangan akal sehat jika tak kuasa mengendalikan diri. Itu sebabnya aku menguncinya kembali. Pelajari cara mengontrol kekuatanmu maka segel akan terbuka dengan sendirinya. Sekarang bersiaplah.”

Wajah Yuri tampak pucat bagaikan mayat hidup. Dia lupa bagaimana cara bernafas. Oksigen tidak sampai ke otak dan tercekik di antara saluran pernafasan. Otot-otot merah pada bola mata menegang dengan kelopak yang terbuka lebar.

“MAGICIAN!” teriak anak-anak pecah saat asap biru mengudara. Walaupun bukan bagian dari mereka, atau mungkin belum, tetapi Jessica adalah orang yang bertepuk tangan paling keras.

Yuri bisa menyaksikan orang-orang begitu antusias sehingga dia mendorong kedua kakinya berjalan dengan gemetar menuju bangku Magician. Dia merasa lega sudah terpilih sementara tepuk tangan mereka lebih dari cukup untuk menyatakan jika burung gagak diterima dengan hangat.

Di depan sana hanya tersisa satu orang, berdiri di tengah dengan mengacungkan kedua ibu jari untuk sahabatnya. Yuri balas tersenyum; memohon dalam hati agar gadis pirang itu tergabung ke dalam kelompoknya.

“Siap untuk putaran terakhir?” tanya kepala sekolah menahan telapak tangan yang termuda di atas miliknya.

“Tentu saja,” balas Jessica bersemangat; menyapu pandangannya ke segala arah untuk memastikan mendapat perhatian penuh dari anak laki-laki. Selain belajar sekolah juga bisa menjadi tempat untuk mencari pasangan. Mungkin lelaki pirang yang duduk di barisan belakang dengan bola mata biru yang memukau. Atau pria beralis tebal yang memiliki lesung pipi di senyumnya.

Jessica bersiap menerima tepuk tangan dan sambutan yang meriah apabila asap putih itu tidak muncul ke permukaan. Para profesor saling menatap sementara anak-anak dibuat takjub dengan rahang terbuka. Yoona tersenyum samar melihat sejarah terulang kembali. Konon, kabut putih tersebut akan muncul setiap dua ratus tahun sekali.

“Kurasa ada sedikit kesalahan di sini. Ya, barangkali darahku bercampur dengan keringat atau kotoran.” Jessica mengoceh sambil menggosok sebelah tangan yang bebas pada permukaan baju lalu berkata, “kita bisa coba lagi pada tangan kiri.”

“Tidak ada yang salah karena warna putih itu melambangkan keseimbangan; yang memberikan hak istimewa untuk memilih rumahmu sendiri.”

Jessica melompat senang. “Benarkah?”

“Ya, silakan bergabung dengan kelompok yang kamu mau.”

Anak-anak bersorak; berteriak menyebut nama rumah mereka untuk menjadi yang terpilih. Itu tidak sedang berebut tetapi mempertahankan nilai kehormatan. Tiap anggota baru membawa kebanggaan bagi masing-masing kelompok.

Kemarilah.”

Jessica tersentak mendengar suara itu di tengah keributan yang tak kunjung reda. Itu merupakan komunikasi dua arah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. Tidak perlu menggerakkan mulut untuk berbicara. Semua berasal dari hati dan pikiran.

Aku akan menjagamu.”

Gadis itu baru saja mempertimbangkan untuk bergabung ke sana; kelompok yang lebih didominasi dengan anak laki-laki, sebelum kalimat manis itu menyebabkan perutnya mual dan mau muntah. Jessica berputar ke kiri dan berjalan, menatap sepasang mata hitam yang berkilau. Yuri melompat dari tempat duduk melakukan tarian ubur-ubur aneh untuk menyambut  kedatangan temannya.

Rubah bodoh.”

Tutup mulutmu. Aku tidak akan pernah kembali pada orang yang memilih pergi meninggalkanku.”

Persetan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
winwin_sone #1
Chapter 4: Masih menunggu update nya, makin seru soalnya
kun90ero
#2
Ada yulsic