PROLOG

Half Blood

Sepanjang hidupnya Jessica menantikan waktu untuk diculik. Sementara anak-anak seusianya mengigil ketakutan di bawah kolong tempat tidur. Tujuh belas tahun adalah batas ketetapan. Jika Sang Guru telah menjatuhkan pilihan maka tidak ada yang pernah berhasil pulang ke rumah. Tidak ada lagi yang namanya keluarga, kerabat dan teman-teman. Bayangan tentang penculik bermata merah menghantui mimpi para penduduk di desa Laverton.

Namun, malam ini Jessica memimpikan sesuatu yang berbeda. Dia tiba di sebuah pesta yang dipenuhi oleh para pangeran. Wajah tampan, rambut hitam berkilau, hidung mancung, alis tebal, otot-otot menonjol dari balik pakaian mewah. Oh, dia melihat tangkapan yang bagus; lelaki bertubuh tinggi dengan mata biru terang. Jessica baru saja akan membuat langkah-langkah kecil untuk mendekatinya tetapi sebuah palu raksasa menghantam dinding istana dan menghancurkan para pangeran menjadi serpihan debu.

Matanya terbuka lebar menyambut sinar matahari. “Ayah, mataku akan terlihat bengkak jika kekurangan waktu istirahat,” protes Jessica pada suara dentuman keras yang merusak mimpi indahnya.

“Orang-orang mengoceh bahwa kamu yang akan diculik tahun ini,” gerutu lelaki tua tersebut sambil memaku papan kayu membentuk tanda silang pada jendela kamar. “Semua penduduk desa sudah tidak waras. Mereka bilang jika mencukur rambut sampai habis dan memoles wajah anak-anaknya dengan lumpur maka dapat terhindar dari penculikan. Hah, aku tidak percaya dengan omong kosong itu. Aku pastikan tidak ada yang bisa masuk ke rumahku malam ini,” tegasnya dengan memukul palu keras-keras.

Jessica mengusap-usap daun telinganya dan memandang kesal pada kamar tidur yang terlihat mirip dengan ruang penjara. Celah sempit di jendelanya lebih cocok untuk lubang semut.

“Aku tidak mengerti kenapa orang-orang mengira kamu yang akan diculik. Kalau masalah kebaikan yang dicari, seharusnya dia mengambil anak keluarga Hwang.”

“Stephanie?” sahutnya dengan rahang mengeras.

“Ya, dia anak perempuan yang sempurna. Dia selalu mengantar bekal makan siang untuk ayahnya dan juga berbagi dengan nenek gelandangan.”

Jessica melompat dari tempat tidur lalu membanting pintu kamar mandi. Dia cukup bosan mendengar semua orang memuji kebaikan gadis berambut merah. Bagaimana pun itu mengalir dalam darah setiap keturunan burung phoenix yang dikenal sebagai sayap penyembuh.

Dia mengamati pantulan wajah di dalam cermin. Rambut pirang keemasan dan mata cokelat. Ayahnya tidak bisa melihat  keistimewaan dalam dirinya tetapi ibunya bisa. “Kamu terlalu cantik untuk dunia ini,” katanya menirukan ucapan sang ibu beberapa tahun silam. Dia yakin bahwa itu adalah kekuatan terbesar yang dimiliki oleh seekor rubah.

Malam ini Jessica beserta anak-anak yang tinggal di desa Laverton akan berjalan ke tengah hutan. Sehingga dia harus bersiap agar tampil memukau dan mengingatkan Sang Guru bahwa dirinyalah yang pantas untuk diculik; bukan Stephanie ataupun anak pengecut lainnya.

Langkah pertama, Jessica mengoles irisan buah mentimun pada wajahnya. Astaga, baunya seperti kotoran sampah tetapi itu bagus untuk mengencangkan kulit. Lalu dilanjut dengan pemijatan menggunakan sari bengkuang dan dibilas susu kambing. Terakhir dia menutup wajahnya dengan lapisan putih telur. Setelah melakukan rutinitas perawatan yang memakan waktu hampir dua jam, Jessica melangkah keluar rumah mengenakan gaun kuning pastel dengan rambut yang dikepang rapi.

Dia berencana mengunjungi sahabatnya; Yuri yang berpakaian serba abu-abu dan menyukai hal-hal berbau suram. Tidak ada tempat tinggal yang nyaman bagi burung gagak selain kawasan pekuburan. Dan untuk sampai ke sana Jessica harus berjalan sejauh satu kilometer melewati pondok-pondok kayu beratap daun jerami. Para lelaki dewasa sibuk membuat kegaduhan dengan suara pukulan palu yang menggema sementara anak-anak mereka bersembunyi di belakang pintu.

Pemandangan wajar yang terjadi ketika menjelang tutup tahun. Penduduk desa sudah putus asa mencoba berbagai cara untuk menangkal kutukan dari waktu ke waktu tetapi pada saat itu gilirannya belum tiba. Sang Guru hanya membawa anak yang telah mencapai tahun ke tujuh belas. Waktu di mana mereka mengalami perubahan besar dalam hidupnya.

Dikatakan bahwa pengalaman pertama adalah yang paling menyakitkan. Jessica sendiri belum mengalaminya tetapi dia telah menyaksikan kesombongan Yuri yang mengepakkan sayap hitam di antara puluhan batu nisan. Jessica bertanya-tanya apakah suatu saat nanti tubuhnya akan dipenuhi rambut coklat yang cantik seperti sang ibu atau tetap berada pada garis keturunan manusia biasa seperti ayahnya.

“Kamu mau pergi ke mana?”

Jessica terlonjak kaget dan hampir jatuh terpeleset. Astaga, dia tidak menyangka akan bertemu seekor reptil di tengah perjalanan. Itu adalah jenis langka yang harus dihindari.

“Menemui sahabatku,” jawab Jessica.

“Kenapa kamu berteman dengan wanita pembawa sial?” tanya Tyler mengikuti langkah kaki yang berjalan cepat.

“Yuri tidak membawa sial.”

“Pada suatu malam seekor burung gagak hinggap di atas rumah penduduk desa. Lalu keesokan harinya ditemukan mayat seseorang di rumah tersebut. Itu artinya dia penyebab kematian.”

Jessica berusaha keras menggigit lidahnya untuk tidak berbicara kata-kata sampah. Bukankah lelaki itu juga pembawa sial? Apabila salah satu golongannya jatuh di atas kepala manusia maka nasib buruk akan datang di sepanjang tahun.

“Sang Guru akan menculik burung gagak itu sehingga kamu membutuhkan teman baru,” lanjut Tyler.

“Dia mengambil jumlah genap.”

“Satu lagi tentu saja Stephanie. Tidak ada yang mengalahkan kebaikan dari burung phoenix. Tapi jangan khawatir, aku mau menjadi teman barumu nanti.”

“Aku sudah kebanyakan teman!” bentak Jessica dengan nada suara tinggi.

Seketika wajah Tyler menjadi pucat pasi. Jangan membuat seekor rubah marah; pesan yang disampaikan oleh leluhurnya secara turun temurun. “O-oh, begitu ya.. tadinya kupikir.. kita.. ya, sampai jumpa..” ucapnya terbata-bata sambil berlari kencang.

Jessica mendorong pintu pagar kuburan yang sudah berkarat dan merasakan duri rumput liar menggores kulit mulusnya. Perlahan dia melangkahkan kaki melewati batu nisan lapuk yang tertancap secara acak dan tertutup dedaunan kering. Sebuah rumah berdiri di tengah dengan dinding kayu gelap yang ditumbuhi akar tanaman menjalar. Sambil menaiki anak tangga yang berderit nyaring, gadis itu mengabaikan bau tak sedap dari tanah kuburan. Tangannya bergerak mengetuk pintu kayu lalu mempersiapkan diri untuk pertengkaran kecil yang pasti terjadi.

“Jangan menggangguku,” terdengar suara serak dari balik pintu yang tertutup rapat.

“Bukan seperti itu cara menyapa seorang sahabat,” rayu Jessica dengan nada suara pelan.

“Kita tidak berteman dekat.”

Jessica memutar bola matanya bersama udara panas yang terhempas dari lubang hidung. “Kemarin kita bersenang-senang. Barangkali kita bisa melakukannya lagi hari ini.”

“Kamu menggunting rambutku.”

“Tapi kita sudah memperbaikinya.”

“Kamu mengoles wajahku dengan cairan lengket yang bau.”

“Itu agar kulitmu lebih bersinar.”

“Tapi aku tidak pernah bisa menandingi kecantikanmu.”

“Bukan berarti kita tidak bisa berteman. Lihat, aku membawakanmu kue!”

“Kue buatanmu sendiri atau dari toko roti?” tanya Yuri setengah menyindir.

Jessica mengabaikan celoteh temannya dan berkata, “kue ini baru saja keluar dari pemanggang. Masih renyah dan banyak mentega seperti kesukaanmu.”

“Katamu aku bau.”

“Kamu tidak bau.”

“Lalu kenapa kemarin bilang begitu?”

“Karena kamu belum mandi selama tiga hari berturut-turut. Yuri, buka pintunya..”

“Aku masih tidak mengerti alasanmu ingin berteman,” kata gadis berambut hitam melalui celah pintu selebar satu jengkal telapak tangan.

“Sejujurnya kamu terlihat manis dan lucu.”

“Ibuku mengatakan bahwa aku adalah gadis pemarah dan keras kepala. Jadi, salah satu dari kalian pasti berbohong.”

Gunakan pesona wajah memelas untuk meluluhkan hati yang keras. Dengan kepala yang tertunduk rendah Jessica mengatakan, “bisakah kita mengobrol di dalam dengan ditemani secangkir teh hangat dan roti manis?”

Kali ini Yuri mengakui kekalahannya. Dia meninggalkan rubah cerewet itu dengan pintu rumah yang terbuka lebar. Jessica langsung melompat ke dalam dan berlari memeluk tubuh sahabatnya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
winwin_sone #1
Chapter 4: Masih menunggu update nya, makin seru soalnya
kun90ero
#2
Ada yulsic