[vii] her surprise

COMEBACK

Hari pertamanya di Seoul memang tidak berjalan dengan baik. Tapi di hari kedua ini ia berharap semoga saja kemujuran datang padanya.

Kemarin pagi, saat ketika Nara minta bantuan Hyori untuk meminjaminya ponsel nyatanya kurang berhasil. Cewek berambut pendek itu hanya mengangkat alis dan meninggalkan Nara begitu saja setelah ia mengutarakan permintaannya. Nara tentu saja protes, ia ingin mengejar Hyori dan memaksanya meminjami ponsel. Tapi, rasa kantuknya lebih besar dari keinginan menemukan ponsel. Nara sukses terlelap dan baru bangun pukul enam sore.

Tolong, jangan salahkan Nara karena tidur selama itu. Kalian pasti bakal memarahinya sebab, 'Astaga, Nara Jung, kau ini sedang berada di Seoul! Seoul, kota yang sangat ingin kami datangi!' dan sederet alasan yang membuatmu menyalahkan Nara. Tapi, ingat saja, Nara masih jet lag. Tubuhnya belum menyesuaikan diri dengan waktu yang baru. Ia baru saja terbang dari London ke Kanada dan Kanada ke Korea.

Berita tambahannya, Nara ikut penerbangan pagi di tanggal--sebut saja N--dan sampai ke Korea di pagi hari di tanggal yang sama. Bagaimana bisa ia tidak bingung?

Kesialan masih mengikutinya hingga pukul sepuluh malam. 1) Dia lapar berat. 2) Di rumah Hyori tidak ada makanan ataupun bahan makanan. 3) Teman durhaka itu meninggalkannya sendirian di rumah.

Ketika Hyori pulang, ia membangunkan Nara yang tengah ketiduran di sofa dan berkata, "Aku sudah mencoba menghubungi nomor ponselmu dan tidak ada jawaban."

Nara kurang percaya dengan itu. Ia meminta Hyori untuk melakukannya lagi. Hyori mungkin sedang dalam mood baik. Cewek itu kembali memanggil ponsel Nara dan mengeset panggilan loudspeaker. Sayangnya Hyori memang tidak bohong.

Memikirkan itu sangatlah membuat Nara murung. Pagi ini, ia tergeletak lemas di atas kasur setelah bangun tidur. Sinar cahaya pagi menelusup melalui sela-sela tirai jendela. Nara melamun, dan beberapa menit kemudian ia sadar bahwa tak ada gunanya merenung tanpa melakukan apa pun.

Tepat saat Nara memutuskan hendak memulai hidup, pintu kamarnya sudah terbuka lebih dahulu. Ia melihat Hyori yang tampak lebih bersih darinya. Ia mengenakan jeans belel hitam dengan atasan berupa kemeja putih polos yang dilipat sampai siku, rambutnya yang kemarin berwarna hitam kini sudah berubah menjadi hitam semi kebiruan. Pandangan matanya membawa firasat buruk untuk Nara.

"Kau tidak berniat untuk mencarikanku lowongan kerja di sekitar sini 'kan?" tanya Nara mengantisipasi. "Soalnya, serius nih? Aku bahkan belum punya ijazah SMA."

Di dekat pintu kamar, Hyori berdecak. Ia melihat jam dinding yang menunjukan pukul tujuh pagi.

"Murid teladan, harusnya tidak bangun sesiang ini. Apa kau benar-benar Nara Jung si Peringkat Pertama dan ketua klub vokal sekolah? Mereka pasti salah saat melakukan pengerjaan rapor."

Nara menyingkap selimutnya. Ia masih memakai pakaian yang ia pakai saat pertama kali tiba di sini. Jangan menghardiknya, Nara hanya membawa tiga setel baju dan hanya baju ini yang nyaman dipakai untuk tidur.

Rambut sebahunya yang tidak rata tampak awut-awutan. Ia menyusirinya singkat dengan tangan, kemudiam berujar, "Hyori, aku sedang tidak ingin ribut."

Hyori menahan senyumnya. 

"Apakah aku lupa mengatakan bahwa kau harus melakukan beberapa permintaanku selagi kau tinggal di sini?"

Nara menaikan alis, "Apakah itu bakal mengurangi bayaran sewa kamar?"

Hyori memutar bola matanya. Ia berujar, "Itu perkara lain. Kau harus melakukan apa yang kuminta kalau tak ingin kutendang dari rumah."

Nara mengingatkan diri untuk menggunduli rambut Hyori. Ia mengangguk malas dan bergegas ke kamar mandi ketika Hyori menyerukan hal semacam, "Kau harus memasak untuk kami dan kau baru boleh makan setelah ikut rekaman denganku. Aku ada di lantai dasar."

Nara ingin menggoda Hyori dengan pertanyaan, 'Kami? Memangnya siapa orang kedua yang kau maksud? Jia?' Tapi Nara tidak mau menguras tenaganya untuk menanggapi sederetan sumpah serapah dari Hyori. Ia langsung melesat ke kamar mandi dan berhasil berpakaian rapih lima belas menit kemudian.

Dikenakannya celana blue jeans dengan baju atasan warna krem lengan panjang dengan model bahu yang terbuka. Rasanya agak dingin, Nara mengutuki diri sendiri karena seenaknya mengepak baju tanpa melihat terlebih dahulu. Rambut kecoklatannya terurai sampai bahu, ia agak bersyukur karena dulu Hyori tidak menjambak rambutnya banyak-banyak.

Di lantai bawah, Hyori bersama dengan seorang cewek yang tampak seumuran dengannya tengah duduk di depan sebuah laptop yang menyala. Cewek yang di samping Hyori pasti Jia, sepupu menyebalkan yang dimaksud Hyori. 

Nara menghampiri mereka. Ia agak penasaran dengan Jia, sebab Hyori kelihatan sangat tidak menyukai cewek itu. Dilihat dari sifat Hyori sendiri, biasanya ia sebal dengan sesuatu yang mengunggulinya. Mungkin, Jia lebih cantik dari dia?

Setelah Nara dekat dengan mereka, ia tidak bisa mengatakan bahwa Jia lebih cantik dari Hyori. Mereka berdua punya tubuh yang ideal. Hyori sendiri bisa terkenal di kalangan para cowok, dia cantik, tapi galak. Dibandingkan dengan Jia, sepupu Hyori yang satu itu kelihatan lebih kalem. Tapi, Jia memang cantik alami. Rasanya teduh saja kalau melihat orang seperti Jia. Mungkin aura inilah yang membuat Hyori kesal.

"Kau tidak berhak menentukan video apa yang bakal kubuat. Menyingkirlah."

Perkataan Hyori terdengar lebih jelas begitu Nara sampai di dekat mereka. Nara melihat ekspresi masam Jia. Cewek berponi lucu itu balas berseru dengan bahasa Korea, "Ya! Kau harus belajar mencintai produk dalam negeri!"

"Apakah aku juga harus memberi reaction video pada boyband dan girlband? Viewers-ku bakal turun drastis," ujar Hyori, ia menatap Jia datar. "Jangan mentang-mentang kau bercita-cita jadi idol, aku jadi terkena imbasnya. Tidakkah kau menyerah setelah berulang kali ditolak agensi?"

"Bisakah kau diam dan tidak mengungkit-ungkit itu lagi?"

"Apakah kau masih ingin terikat dengan kontrak gila yang menjadikanmu semacam budak?" 
"Kenapa kau selalu menyalahkanku?!"

Nara mengernyitkan dahinya saat mendengar pertengkaran keduanya. Mereka tampak jauh dari kata akur. Kali ini Nara sedikit paham tentang alasan mengapa Hyori langsung naik darah tiga kali lipat begitu Nara menyinggung nama Jia. Setahu Nara, keluarga Hyori agak bermasalah. Tapi, ia tidak tahu apa-apa tentang masalah Hyori dengan Jia. 

Setelah teriakan Jia barusan, Nara masih menunggu reaksi lain dari Hyori. Cewek berambut pendek itu biasanya bakal meledak kalau sudah bertengkar semacam ini. Nara sering mejadi imbasnya. Tapi, kali ini ia hanya diam dengan ekspresi datar. Matanya hanya terpaku pada layar laptop, mengabaikan keberadaan Jia sepenuhnya.

"Eonnie, aku heran kenapa kau bisa berteman dengannya."

Perkataan Jia barusan cukup membuat Nara kaget. Ia tidak menyangka bakal langsung diajak bicara oleh anak ini. Ia juga tidak menyangka bakal dipangil eonnie. 
Bukannya dia seumuran denganku?

"Dia egois, gila, mengesalkan, agak berengsek," komentar Jia selanjutnya. Ia berpindah duduk di sofa yang lain, memainkan ponsel tanpa repot mau melihat ekspresi Hyori. "Aku pasti sudah menendang selangkangannya kalau dia laki-laki," lanjutnya.

Nara langsung menghapus kesan imut dari diri Jia. Jiwa polosnya pasti sudah terkontaminasi Hyori.

Duduk di samping Jia, Nara berujar, "Aku bukan temannya. Kami bermusuhan. Dan kurasa kau benar, Hyori memang agak berandal. Meski sebenarnya aku juga ingin mengecapnya berengsek."

Hyori tidak bereaksi dengan komentarku, jadi aku melanjutkan.

"Memangnya dia tidak memberitahumu kalau aku rivalnya?" Jia menggeleng. Ia mengernyit bingung saat menatap Nara. 

"Maksudnya, kau orang itu? Orang yang membuatnya ketahuan memesan alkohol dan membuatnya diskors seminggu penuh sehingga nilai raya turun drastis meski ia punya nilai tes yang baik?" tanya Jia.

Nara tidak ingat pernah melakukan itu. Tapi, kini ia ingat. Sekarang alasan mengapa Hyori jadi sangat kesal padanya menjadi sangat normal. Pantas saja Hyori selalu sinis padanya dan mencoba mengganggunya...

"Kukira aku hanya pernah membuat potongan rambutnya tidak rata," balas Nara sambil menatap Hyori. Ia kemudian berseru, "Hey, cewek tomboy! Kau membuatku membayar sewa kamar karena masih dendam padaku 'kan?"

Hyori menghela napas panjang. Ia menoleh pada kedua orang yang menurutnya sangat menjengkelkan, kemudian berkata, "Aku bakal membakar kalian hidup-hidup kalau kalian masih berbicara."

"Dia membenciku karena kami menyukai laki-laki yang sama," ujar Jia. Ia menjentikan jarinya. "Cowok yang lebih tua setahun--atau dua tahun?--dariku. Kami bertemu di SMP dan bum dia mengajaku berkenalan dengannya alih-alih dengan Hyori."

"Omong kosong. Siapa juga yang menyukai cowok pindahan itu? Aku hanya tidak suka dia merebut peringkat pertama di kelas. Seperti halnya dia," ungkap Hyori sambil menunjukku. "Dia juga palsu, selalu baik pada semua orang. Memuakan. Niscaya aku bakalan memasangkan cowok itu dengan Nara karena mereka sama persis."

Nara menyernyitkan dahi, "Yang benar saja."

Jia kembali menjentikan jarinya. Ia berkata, "Ucapan Hyorilah yang omong kosong. Dia iri denganku yang satu sekolah dengannya dan kabar baiknya ; aku akan ikut audisi lagi tahun ini. Aku bakalan berada dalam satu agensi dengannya."

Seingat Nara, rumus matematika tidak pernah ada yang sepusing ini. Ia tidak paham dengan maksud agensi dan kata audisi yang dibawa-bawa mereka. 

"Mimpimu tak akan tercapai kalau kau ingin jadi idol hanya karena ingin satu agensi dengannya. Jangan bodoh," ujar Hyori dingin. "Tidak bisakah kau berhenti mengungkit?"

"Apakah ini cerita cinta segi tiga? Kalau boleh tahu, siapa laki-laki yang kalian maksud?" tanya Nara tampak bingung setengah mati.

"Nara, kau ingin kuusir?" seru Hyori secepat kilat. "Cerita karangan Jia sangat memalukan. Aku tidak pernah menyukai siapa pun!"

Nara melirik Jia yang tengah menatapnya sebelum balik melihat Hyori yang memasang ekspresi siap murka. Jadi, Nara memilih jalan aman. Ia menahan keinginan untuk menimpali perkataan Hyori dengan mengatakan bahwa cewek itu pernah berpacaran dan hubungannya berakhir dengan agak tragis setelah si cowok ketahuan ciuman di belakang asrama sekolah. 

"Jangan percaya padanya, Kak," ujar Jia pada Nara. "Hyori jelas-jelas masih tidak mau mengaku. Buktinya, ia tidak mau menerima tantangan yang kuberikan."

"Tantangan?"

Jia mengangguk. "Ya, tantangan untuk membuat reaksi video dari grup boy yang salah satu membernya adalah orang yang kumaksud tadi."

Nara sangat enggan melakukan rekaman reaksi video bersama Hyori, mereka pernah melakukannya dan berakhir beradu mulut karena berbeda pendapat sehingga video gagal diunggah. Tapi, kalau Hyori tampak menderita, Nara tak keberatan untuk melakukannya.

"Memangnya video apa?" tanya Nara.

Jia tampak mengabaikan pelototan mata Hyori yang mampu membelah apa pun yang dilihatnya kalau saja tatapan itu memunculkan laser. 

"Video comeback dari NCT 127, judul lagunya Limitless."

Nara mengernyitkan dahi. Ia tak tahu apa pun dengan lagu korea. Selama ini ia hanya menyanyikan lagu-lagu barat dan original sound track dari serial animasi Jepang. Nara tak pernah kenal dengan dunia lagu korea. Tapi, sekali lagi, kalau dengan melihat video itu mampu membuat Hyori kesusahan, kenapa tidak? 

Pasti menyenangkan.

Nara berusaha keras menahan senyum. Ia bisa sedikit membalas perbuatan mengesalkan Hyori dengan ikut memojokkannya seperti ini.

"Baiklah. Mari kita lakukan. Hyori, kau tadi bilang butuh bantuanku 'kan? Aku siap kok membantumu. Oh, ya, ngomong-omong aku tidak kenal dengan Hyori yang pengecut dan tidak mau menerima tantangan," ujar Nara mantap. Ia melirik pada Jia, "Aku masih penasaran, memangnya siapa orang yang disukai kalian berdua?"

Jia meletakan ponselnya. Ia buru-buru merebut laptop Hyori dan mencarikan video yang ia maksud. Sembari melakukannya, Jia berkata dengan santai.

"Dia sudah bertambah keren dan tampan sekarang. Kuperkenalkankan, posisinya main rapper dan dia bernama Mark Lee." []

___________________________

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sacrifar-kun
#1
Good fanfic. Agak susah nemu fanfic bahasa indonesia NCT yang well written. You did it good. Keep writing, okay!