[ii] his daily

COMEBACK

Ruangan dengan tiap dinding yang dilengkapi kaca itu tampak redup jika dilihat dari kejauhan. Salah satu dari beberapa lampu di ruangannya menyala, alunan musik bervolume rendah mengiringi tiap gerakan tari yang dilakukan seorang laki-laki. 

Rambut bercat pirang itu tertutup oleh topi hitam yang sengaja dipakai terbalik. Kaus pendek abu-abu bertuliskan sebuah kata bahasa Inggris yang dipakainya terlihat basah oleh keringat. Laki-laki tersebut memakai celana training hitam, hembusan napasnya terdengar jelas seiring dengan tiap gerakan yang ia lakukan.

Dengan pandangan mata terfokus pada pantulan kaca, laki-laki itu langsung membungkukan badannya begitu musik yang berasal dari ponselnya berhenti berputar. Ia membaringkan dirinya di atas lantai, memandangi langit-langit ruang dance training dengan napas yang masih belum stabil.

Topi hitam yang dipakainya kini tergeletak di sisi tubuhnya. Ia masih mencoba mengumpulkan energinya sebelum kemudian memutuskan untuk sedikit mendongakan kepala hanya untuk mendapati sebuah dua buah botol air mineral yang sudah kosong.

"I'm gonna die," desahnya mendramatisir. Ia kembali memandang langit-langit, kemudian mulai menutup matanya. Ada cukup banyak hal yang berkecamuk di pikirannya saat ini.

Kalau dipikir-pikir masalah yang sedang--atau akan--dihadapinya tidaklah sulit. Tapi, ia malas saja kalau teringat bahwa ia harus ; 1) mampir ke mini market terdekat untuk membeli air mineral 2) menahan dinginnya udara malam di musim dingin 3) kembali ke dorm yang membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit jika ditempuh dengan jalan kaki.

Sedangkan saat ini, ia sedang merasa kelelahan tingkat tinggi karena habis berlatih dance sejak siang hari hingga barusan. Kemudian, kalau matanya masih sehat--yang ia yakini tujuh puluh persen masih sehat--maka sekarang adalah pukul setengah sebelas malam. 

Saat itu ia baru teringat masalah baru yang kira-kira bakal menimpanya. Ia memang sering selamat dari masalah yang satu ini, tapi ia tidak yakin kalau malam ini ia masih semujur itu.

Tepat ketika ia sedang memikirkan alasan yang paling ampuh untuk keluar dari masalah yang bakal menimpanya, suara pintu yang didorong terbuka membuatnya segera menegakan badan secara buru-buru. Menengokan kepala secara reflek, ia tampak langsung menghela napasnya begitu tahu siapa yang datang.

"Do you wanna sleep over here, Mark Lee?" tanya seorang pria tinggi yang tengah berjalan memasuki ruangan. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku jaket musim dingin yang dikenakan olehnya. "Apa karena Haechan yang terlalu berisik? Aku sering mendengar kalian bertengkar hampir tiap malam," lanjutnya, masih berkata dengan bahasa Inggris.

Seulas senyum ringan tampak di wajah laki-laki bernama Mark. Ia menyilakan kakinya dan mengambil topi yang tergeletak di samping tubuhnya.

"I might be end up sleep in here if you're coming," ungkapnya. "Mengenai Donghyuck, ya kurasa kau sedikit benar. Kami memang sering bertengkar, tapi aku belum semenyerah itu sampai harus mengungsi ke tempat lain untuk numpang tidur. Lagi pula, kau tahulah, pertengkaran kami cuma main-main bahkan jika pada akhirnya dia membuatku sangat kesal."

"Ya ya ya, aku tahu itu," balas pria itu sambil tertawa. Ia mengeluarkan sebuah botol air mineral dari saku jaketnya kemudian menyerahkannya pada Mark. "Kau harus berhenti latihan sampai tengah malam, Brother. Untung aku yang menemuimu, bukan Pak Manager."

"Jinjja, kamsahamnida*," balas Mark. Ia meminum air mineral itu dalam satu tegukan. "And one again, I feel thank you that you're the one who come here. Ini terakhir kalinya aku berlatih sampai larut. Serius."

*Serius, terima kasih. 

Orang yang diajak bicara oleh Mark tampak tidak menanggapi dengan serius. Ia malah tertawa geli, membuat Mark memasang ekspresi merajuk sambil berujar, "Johnny Hyung, aku serius."

"Kau memang orang terjujur yang pernah kukenal, Mark. Tapi aku takkan pernah bisa mempercayai ucapanmu kalau sudah menyangkut latihan dan lain-lain. Kau terlalu suka bekerja keras untuk bisa istirahat."

"Whatever then. Yang penting aku belum ketahuan oleh Pak Manager," bela Mark. Ia melirik cctv yang terpasang di sudut ruangan. "Lagian mereka juga jarang memeriksa cctv."

Johnny mendekat pada Mark. Ia membungkuk, lalu berbisik, "Kau bisa saja kena masalah karena ketahuan memprovokasiku untuk tidak mengadukanmu."

Dengan suara yang sama rendahnya, Mark menimpali, "I don't think so. Kita bicara dengan suara rendah dan dengan bahasa campuran. They won't find it weird because it's our thing. Mereka takkan mencurigaiku dan memeriksa cctv hanya untuk menyelidiki aku telah memprovokasimu atau tidak."

Johnny tampak terdiam selama seperkian detik. Beberapa saat kemudian, ia tertawa. 

"Seperti biasa, aku takkan menang kalau sudah berargumen denganmu. Intinya, sebaiknya kita segera kembali ke dorm, Mark Lee."

Mark tidak membalas perkataan pria yang sudah ia anggap sebagai saudaranya ini. Berlatih selama bertahun-tahun bersama Johnny membuat Mark mengenal cukup dalam tentang kepribadiannya. Menurut Mark, kerja keras hyung-nya yang satu ini membuatnya lebih termotivasi. 

Kesabarannya menunggu waktu debut juga membuatnya sangat kagum, bahkan empat jempol dari tangan dan kakinya tak mampu untuk mengapresiasi kesabaran Johnny. Untuk beberapa waktu yang terasa aneh, Mark juga kadang merasa tak enak hati pada lelaki itu karena ia bisa debut terlebih dahulu dibandingkan Johnny yang sudah training lebih lama darinya.

Mengetahui berita bahwa di comback pertama ini Johnny bakal ikut serta bersama Mark dan teman-temannya tentu saja membuat Mark senang sekaligus lega. Every hard works will get its feed, ujar Mark saat itu.

Ia memakai jaket musim dinginnya serta menggendong tas punggung yang dibawanya. Bersama dengan Johnny, Mark meninggalkan tempat latihan mereka. Jalanan yang sudah sepi membuatnya tak perlu memakai masker untuk menutup wajah. Ia juga tak perlu khawatir ada fan fanatik yang mengikutinya atau apa, sekarang ini sudah cukup larut.

Keduanya berjalan dengan diam. Johnny merupakan tipe orang yang suka bicara, tapi sekarang ia tengah disibukan oleh ponsel. Di sisi lain, Mark sadar diri bahwa ponselnya tidaklah terlalu penting. Ia hanya mendapatkan pesan masuk dari keluarganya dan member satu grupnya. 

Menjadi bagian dari trainee membuat Mark tak bisa bersosialisasi dengan lancar di sekolah. Ia terlalu sibuk ini itu sehingga tak sempat membalas chat basa-basi dari teman sekolahnya. Kalau masuk sekolah, Mark masih bisa bergurau dengan teman-temannya. Tapi, kalau mengobrol lewat benda elektronik, ia lebih suka bertemu secara langsung. Ponsel sering kali menyita waktunya untuk hal-hal yang kurang berguna.

"Ibuku cerewet sekali," keluh Johnny. Ia menunjukan ponselnya. Lewat layar ponsel tersebut, Mark bisa melihat banyak chat dari orangtua Johnny. "Dia mencecarku dengan berbagai pertanyaan yang isinya 'apakah kau menghabiskan malam natalmu dengan baik?' 'kau benar-benar tak punya liburan?'"

"Aku selalu mendapatkan pesan semacam itu tiap satu bulan," ujar Mark ringan. Ia memasukan kedua tangannya ke dalam saku. "Dan karena aku yang benar-benar belum bisa memenuhi kemauan mereka untuk pulang, keluargaku memutuskan untuk kemari."

"That sound great. Im jealous."

Mark tertawa. Ia berkata, "Ibuku baru ke sini saat Natal kemarin. Segalanya jadi terasa hebat."

"Terima kasih sudah berbagi cerita, Mark Lee," balas Johnnya sarkastis. Ia menghela napasnya ringan. "Aku bersyukur bisa debut setelah sekian lama. Aku juga sudah sangat menanti-nanti waktu ini. Tapi, rasanya pasti akan menyenangkan kalau aku bisa pulang untuk beberapa hari. Musim dingin membuatku kangen Chicago."

Mark teringat rumahnya, tempat tinggalnya, serta masa-masa di mana ia masih kecil. Tak banyak yang bisa ia ingat, terkadang ada sesuatu yang ingin ia ingat tapi hal itu serasa buram dan tidak jelas. Intinya, Mark kangen rumahnya juga. Tapi, ia sadar diri kalau karir dan mimpinya ada di kota dan Negara ini. Ia belum sesukses itu untuk kembali ke tempat kelahirannya dan bernostalgia ria di sana.

"Kurasa semua member asing juga merasakannya," ujar Mark. "Sepertinya kita harus membuka grup chat bersama yang isinya keluhan sesama member asing."

"Terdengar bagus," balas Johnny. Ia menyimpan ponselnya ke saku. "Aku akan mengingatkan diri untuk membuatnya kalau merasa tidak tahan untuk berkeluh kesah."

Mark menanggapinya dengan lalu. Ide yang ia luncurkan memang sangat spontan. Bahkan ia jadi kepikiran tentang keluh kesah apa yang dimaksudkan Johnny selain kangen rumah.

"Kau tanya keluh kesah yang bagaimana?" Johnny balik bertanya begitu mendengar pertanyaan Mark. Ia berdecak pelan sambil menatap langit malam yang tampak gelap. Dengan suara ringan dan sangat normal, Johnny berujar, "Tidakkah kau kepikiran bagaimana pusing dan bingungnya dirimu kalau, misal, orang yang kau taksir yang tinggal di sekitar tempat tinggalmu tiba-tiba secara mendadak dan tidak disangka-sangka memutuskan untuk datang kemari dan kita bertemu dengan tidak sengaja?"

Tanpa menunggu lama, Mark menjawab, "Tidakkah semua itu terdengar sangat klise? Maksudku, hal semacam itu sering diharapkan terjadi, tapi tak pernah ada yang terwujud."

Johnny menggedikan bahunya. 

"Siapa yang tahu," gumamnya. Ia kemudian menengok pada Mark dengan kedua mata memicing. Ekspresi wajahnya yang tampak curiga membuat Mark menoleh dengan wajah seolah-olah menyuarakan 'apa?'

Johnny tertawa ringan. Ia kembali menatap lurus jalanan yang tengan mereka lewati. Suasana sepi jalan setapak ini membuat suaranya makin terdengar jelas saat berkata, "Kita semua punya masa-masa sebelum menjadi trainee 'kan? Saat di mana kau hidup layaknya orang biasa, bukan untuk dipersiapkan menjadi bintang. Aku yakin, kau pasti punya. Aku sendiri juga punya."

"Hyung, aku tak mengerti," gumam Mark. Ia ikut-ikutan memandangi langit yang gelap. "Aku tentu punya masa kecil. Siapa yang berpikir kalau aku langsung sebesar ini?"

Johnny berdecak. Ia merasa tangannya gatal ingin menyentil kening anak laki-laki yang tengah berjalan di sampingnya ini.

"Aku sangat ingat berapa tinggimu saat kau baru masuk agensi, Mark, tak perlu ingatkan aku kalau kau punya masa kecil," ungkap Johnny agak jengah. "Maksudku, kau pasti punya kenalan yang dekat denganmu di masa kecil 'kan? Seseorang semacam teman dekat atau yang lebih dari itu. Sebab, kudengar kau cukup populer di sekolah. You must have someone."

"Kau kedengeran sangat penasaran. But, i did't have those person."

"Kau tahu, Mark, aku sedang dalam masa meragukan kejujuranmu setelah insiden tadi," ujar Johnny sambil menahan tawa. Ia menggedikan bahu. "Ya siapa yang tahu? Aku hanya mencoba bertanya."

"Hyung, kau terasa agak aneh," ungkap Mark sambil meneliti ekspresi Johnny. "Apakah kau sedang melaksanakan tugas khusus?"

Tidak membutuhkan banyak waktu, Johnny segera menimpali. Ia menghela napasnya sok kecewa.

"Ya, aku sedang berusaha mengorek pengalaman menarikmu untuk dijadikan bahan pembicaraan di variety show kita nanti. Membayangkanmu tampak salah tingkah itu menyenangkan, aku sangat menikmatinya." 

Johnny sudah berlari kecil terlebih dahulu sebelum Mark sempat memukul bahunya. Ia berteriak sesuatu tentang 'jangan marah' dan 'aku sedang latihan menjadi lucu' serta 'salahkan Haechan' saat masih terus berlari menjauh dari Mark.

Sedangkan di belakang Johnny, Mark memutuskan untuk tidak ikut berlari. Kakinya masih agak berat untuk diajak berlari setelah latihan hampir seharian. Alih-alih memikirkan balasan apa yang bakal ia berikan pada Haechan--yang tampaknya merupakan biang masalah--ia malah sedang memikirkan perkataan Johnny.

Secara tidak disangka, Mark jadi memikirkan hal-hal aneh yang pastinya sangat jarang dipikirkan olehnya. Ia menggelengkan kepala. Dibenarkannya posisi topi yang ia kenakan secara terbalik. Setelah melakukannya, ia memasukan kedua tangan ke dalam saku, kemudian bergumam, "Tidak akan mungkin terjadi. Aku bahkan sudah kehilangan informasi tentangnya.Mana mungkin bisa bertemu secara tiba-tiba?" []

__________________________

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sacrifar-kun
#1
Good fanfic. Agak susah nemu fanfic bahasa indonesia NCT yang well written. You did it good. Keep writing, okay!