[iii] her travel

COMEBACK

shannon williams as Jung Na Ara~ 

______________________________

Pergi ke Seoul secara mendadak dan tanpa perencanaan yang matang merupakan hal gila pertama yang dilakukan Nara di minggu pertama ia menginjak umur tujuh belas. Kalau dipikir-pikir, umur tujuh belas seharusnya membuat Nara makin dewasa. Tapi, tampaknya angka tujuh belas itu cuma menambah tingkat kenekatannya.

Malam itu, Nara sangat bersyukur karena Ibunya membalas perkataan Nara sesuai dengan apa yang ia perkirakan. Hana memang sibuk, ia harus menyelesaikan administrasi akhir tahun sebelum bosnya marah-marah karena ia kembali memperpanjang deadline. 

Perkataan Nara yang menegaskan bahwa Hana sedang sibuk dan takkan sempat ikut ke Makau jelas membuatnya kecewa pada dirinya sendiri. Menghabiskan waktu bersama anak perempuan satu-satunya ini merupakan hal pertama yang diharapkan Hana dapat terjadi setelah sekian lama.

"Aku akan segera menghubungi Mom kalau sudah sampai di sana," ujar Nara sembari memeluk Ibunya. 

Nara pergi ke bandara pada pukul tujuh pagi. Ia langsung menolak tawaran ibunya yang ingin mengantarnya sampai bandara. Awalnya, ia hendak menerima tawaran tersebut. Tapi, kemudian ia ingat bahwa ia seharusnya menolak tawaran ibu kalau tidak ingin rencananya gagal.

Jadi, di situlah Nara, berdiri di depan gerbang rumah dengan tas gendong yang menempel di punggungnya. Ia melepas pelukan Hana dan segera masuk ke dalam taksi. 

Tak banyak yang ia pikirkan saat ini. Nara hanya melambaikan tangannya pada Hana dan menatap rumah kosong keluarga Lee sebelum kendaraan mulai berjalan. 

Menemui anak itu sebenarnya bukan hal yang spesial. Nara hanya ingat tentang janji konyol mereka beberapa tahun silam, saat di mana keduanya masih berada di tingkat sekolah dasar. Nara hanya ingat, betapa mudahnya menjalani hari di waktu-waktu itu. 

Ia takkan pernah menyangka kalau tiga tahun terakhir ini bakal terasa berat. Ia dipusingkan oleh banyak hal. Dari masalah keluarga sampai perihal masa depan. Nara pusing, ia butuh teman bicara yang sedikit normal. Bukan berarti semua temannya tidak normal. Tapi, Nara cuma ingin mendengar hal lain dari orang lain pula. 

Lagian, akhir-akhir ini Nara juga baru memutuskan bahwa 'Mencari Pengalaman Baru' adalah kegemaran keduanya selain menyanyi dan main basket. Meskipun begitu, arti dari kalimat tadi bukanlah mencari pengalaman baru dalam hal biasa. Nara menafsirkannya lebih kepada hal-hal aneh dan gila semacam ditangkap polisi sampai nekat pergi ke Seoul seorang diri seperti ini. Belum lagi menambahkan kalau ia baru saja berbohong pada ibunya. 

Nara jelas-jelas suka mencoba pengalaman baru.

Taksi yang ditumpanginya akhirnya sampai di bandara Internasional Vancouver tepat pada pukul setengah delapan pagi. Ia memang sengaja memilih penerbangan pertama begitu melihat tiket penerbangan Vancouver - Seoul yang berstatus available. 

Seperti biasanya, semua rencana aneh dan nekat versi Nara memang selalu berjalan lancar tanpa hambatan. Ia mengecek tiket pesawat online tadi malam, sambil berharap-harap cemas tentang apakah hari ini ada jadwal penerbangan ke Seoul dan Makau di saat yang sama. 

Ia membutuhkan kondisi itu agar rencananya bisa semakin mulus dan tidak ada wacana bahwa ibu bakal mencurigainya. Untungnya, Nara termasuk golongan orang mujur. Ia berhasil memesan sebuah tiket pesawat menuju Seoul dan memberi bukti pada ibunya dengan menunjukan halaman web pemesanan tiket yang menyatakan tiket menuju Makau masih available. 

Saat itu Hana tidak terlalu memperhatikan, ia hanya berkata akan memberi Nara uang saku dan uang perjalanan lewat rekening tabungan.

Ponsel yang digenggam Nara bergetar, Nara langsung mengangkat panggilan telepon itu begitu ia melihat identitas nama si penelepon.

Entah apa yang dikatakan orang itu, tapi yang jelas orang yang menelpon Nara sukses membuat cewek berambut hitam itu menjauhkan ponselnya dari telinga dengan ekspresi wajah mengernyit.

"Kau tidak perlu teriak-teriak begitu," ungkap Nara pada si penelepon. "Aku sudah memberitahumu tadi malam. It's not surprise."

Entah hal apa lagi yang dikatakan orang yang ada di seberang sana. Yang jelas Nara tertawa ringan. Ia maju beberapa langkah begitu antrian di depannya sudah selesai mengecek administrasi yang diperlukan untuk kepentingan penerbangan.

"No no no. Bukan masalah rekaman atau pinjam studio. Tapi kau benar, i need your help. Bukan tentang masalah besar, tenang saja. Kau cukup datang ke bandara sekitar dua belas jam lagi waktu sana. Is that ok?"

Lawan telepon Nara tampak meneriakinya lagi, kembali membuat Nara menjauhkan ponsel dari telinganya. 

"Kau bisa meneruskan mengatai kelompok vokalku setelah aku tiba di sana. Sekarang, aku sudah ditunggu pesawat. Terima kasih, Hyori Kang. Sampai jumpa di sana!"

Setelahnya, Nara menutup telepon. Kini tiba gilirannya untuk melakukan pemeriksaan administrasi sebelum benar-benar masuk ke dalam pesawat. Semuanya berlangsung cepat. Nara segera mencari tempat duduknya, mengeset ponsel menjadi mode penerbangan, lalu menyumpal telinganya dengan earphone. Nara melepas jaket musim dingin untuk kemudian dipeluk olehnya. 

Perjalanan dari Vancouver ke Seoul kira-kira memerlukan waktu hampir dua belas jam. Waktu yang lebih lama dari perjalanan London - Vancouver yang hanya menghabiskan waktu sekitar sembilan jam. Belum lagi menambahkan fakta bahwa Nara pergi seorang diri. Semua ini jelas bakal terasa panjang.

Nara berniat untuk tidur sepanjang perjalanan. Meski tidur selama sebelas jam berturut-turut terdengar sangat tidak mungkin, tapi, biarlah. Ia bisa mencari ide agar perjalanannya tidak membuatnya mati bosan.

Tepat ketika Nara tengah mengikuti intruksi dari para pramugari, seseorang duduk di sampingnya. Orang itu jelas laki-laki, ia berambut hitam pendek dengan mulut dan hidung tertutup sebuah masker hitam. Dari ujung mata Nara, ia bisa menangkap beberapa buah tindik yang terpasang di telinga laki-laki itu. Nara juga seratus persen yakin kalau orang ini orang Asia.

Para petugas memberitahukan bahwa pesawat sebentar lagi lepas landas. Nara secara reflek langsung mengeratkan pegangannya, ia jelas tidak menggemari tahap awal penerbangan ini. Dengan konsentrasi terpusat pada rapalan doa supaya ia tidak mual, tepukan tangan seseorang di bahunya membuat Nara menoleh.

"Can I borrow your pen?" tanya laki-laki itu, kini ia sudah melepas maskernya.

Nara mengikuti arah pandang laki-laki tersebut. Ia melihat tangannya sendiri yang tengah menggenggam sebuah pulpen hitam.

"Sure," ujar Nara singkat. Ia memutar otak untuk mencoba basa-basi, sebab laki-laki yang ada di sampingnya tampak terlihat agak canggung. Nara tidak terbiasa dengan keadaan seperti itu, kecuali dengan keluarganya ... mungkin.

Sembari menyerahkan puplen hitam, Nara berkata, "By the way, this trip gonna be so damn long, right? Just in case you feel uncomfortable because of me, then just say it.*"

*ngomong-ngomong, perjalanan ini bakal sangat panjang 'kan? kalau ternyata kau merasa tidak nyaman karenaku, kau hanya perlu mengatakannya.

Laki-laki tersebut berterimakasih atas pinjaman pulpen dari Nara. Ia kemudian mengulas senyum sambil agak menganggukan kepala.

"Baiklah. Aku juga tidak menyangka bakal menempuh perjalanan selama ini. Biasanya hanya memakan waktu lima jam. Tapi, sekarang? Entahlah, mungkin aku sedang tidak beruntung."

"Lima jam? Pasti maksudmu bukan penerbangan dari Vancouver ke Seoul," timpal Nara secara langsung. Ia menelengkan kepalanya. "Bisa saja sih. Tapi, kau pastinya harus memakai teleportasi, mantra khusus, atau apalah." 

Tanpa diduga-duga, laki-laki yang duduk di sebelahnya tertawa.

"Memang bukan dari sini ke Seoul, tapi dari Bangkok."

Nara terdiam selama seperkian detik. Selanjutnya, ia langsung berkata, "Aku takkan bertanya lebih jauh mengapa orang yang berasal dari Bangkok bisa sampai ke Vancouver untuk pergi menuju Seoul."

"Kedengarannya memang agak memusingkan," timpal laki-laki itu. Ia menghentikan kegiatan menulisnya begitu pesawat benar-benar mulai lepas landas. "Sebaiknya kita berhenti bicara dulu."

Di sisi lain, Nara yang awalnya sudah sedikit melupakan dengan lepas landas kini sudah kembali perpegangan erat pada kursi. Ia menutup matanya rapat sambil menahan guncangan yang mulai terasa. Dengan sedikit menahan getaran, Nara berkata, "Yeah, lebih baik berhenti bicara dulu. Aku merasa kalau sebentar lagi gigiku bakal meloncat keluar."

"Kau pintar mencairkan suasana," ungkap laki-laki itu. Ia tertawa ringan. 

Nara masih menutup matanya. Ia benar-benar benci dengan turbulensi.

"Aku hanya tidak ingin mati bosan setelah tutup mulut selama dua belas jam penuh," gumam Nara. Ia kemudian menoleh, melihat lurus-lurus orang yang tengah ia ajak bicara. 

"Tapi, Tuan, sebaik apa pun dirimu, aku tidak akan merekomendasikan agar kita bertukar informasi apa pun termasuk nama. Sebab, nama punya kekuatan," celoteh Nara. Ia bisa melihat ekspresi bingung dari lawan bicaranya.

Seperkian detik kemudian, Nara menambahkan, "Kau tahu ... misalnya Voldemort."

Nara tidak tahu sejak kapan ia pandai melucu. Tapi, laki-laki itu kelihatannya tak bisa menahan geli waktu mendengar perkataan abusrd Nara. Hal tersebut membuat Nara mau tak mau ikut tersenyum ketika mendengar tawa renyah dari orang itu. 

Guncangan dari hasil lepas landas kini sudah mulai hilang. Laki-laki itu kembali mengisi sebuah kertas yang berisi informasi identitas diri. Dari mulai kolom nama, umur, sampai daerah asal.

Nara benar-benar tidak berniat untuk mengintip atau apa. Tapi, ia tidak sengaja membacanya begitu melihat kertas tersebut.

"Kau bisa tahu identitasku begitu membaca kertas ini," ungkap laki-laki itu. 

Nara sudah mengalihkan pandangan sebelum ia tertangkap basah telah membaca identitas diri laki-laki yang duduk di sebelahnya.

Dengan nada suara normal, Nara membalas, "Aku tidak membaca apa pun."

"Nope. Aku tidak mempermasalahkannya."

Nara hanya membalas dengan anggukan. Ia mengalihkan pandangan pada kaca jendela yang ada di sampingnya. Di sana ia bisa melihat hamparan awan putih yang tampak mengambang di tengah-tengah udara. Sementara ia memikirkan rencana kegiatan yang bakal ia lakukan di Seoul, Nara tetap saja ingat tentang identitas diri yang baru saja ia baca secara tidak sengaja.

Namanya Chittaphon Lee-apalah, berumur 21 bulan Februari nanti, dan berasal dari Thailand.

Nara menghela napas pendek. Ia mulai memutar playlist dari ponselnya, kemudian menutup mata.

Kuharap Hyori tidak sedang dalam mode anak sialan saat ini. Aku benar-benar membutuhkan bantuannya. []

____________________________

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sacrifar-kun
#1
Good fanfic. Agak susah nemu fanfic bahasa indonesia NCT yang well written. You did it good. Keep writing, okay!