Remorse

Peculiar Fate

 

"Dengan saudari Min Yoonbi, wakil dari pasien Kim Taehyung? Mohon maaf karena mengganggu kenyamanan Anda, Nona, tetapi kami harus menyampaikan kabar bahwa pasien Kim Taehyung telah menghilang!"

Tanpa menghiraukan suara dari telepon itu, Yoonbi menghampiri pemuda yang masih menyandarkan punggungnya dengan mata tertutup di sofa. "Tuan ... Kim Taehyung?" panggilnya, terdengar ragu. Kemudian ia membungkuk dengan kerutan di kening, menyentuh gelang khusus bernama Pasien Kim Taehyung di pergelangan tangan pemuda itu. "Tuan Kim Taehyung, kau bisa mendengarku?"

Taehyung tak yakin ketika tungkainya mulai melangkah, hingga sampai menempatkan ponsel di tangan kirinya ke dalam genggaman Yoonbi. "Ingin mengakhiri kekacauan di rumah sakit?" katanya, lantas menekuk sebelah lututnya ketika Yoonbi berlalu untuk mengkondisikan situasi melalui telepon. Taehyung menyentuh tubuhnya yang asli, yang pucat itu, dan anyep meresap di permukaan telapak tangannya.

Perlahan tubuh pemuda bersurai cokelat yang terbalut jaket hitam yang tergolek di atas sofa itu membuka mata. Menatap sayu pada Taehyung lamat-lamat. Memeriksa. Menelisik. Kemudian sebentuk senyuman patah di sisi kanan bibirnya terulas.

"Jika aku memang sudah mati, apakah kau seorang malaikat yang menyerupai wajahku?"

Taehyung merasakan sekujur tubuhnya menolak digerakkan.

::

"Sungguh, aku ingin tertawa."

Taehyung yakin bahwa Yoongi mengatakannya setengah hati. Tidak, tidak lebih dari lima persen dari hatinya. Wajahnya yang datar mengungkapkan kekesalan dan amarah yang sukar diantisipasi. Taehyung bisa mengetahuinya, begitu mudah, karena terlampau ia mengenalnya selama hidup. Tentu. Lantas dengan pikirannya yang kosong, ia berkata, "Tertawalah."

Yoongi mendengus yang anehnya terdengar menyedihkan. "Hanya jika seseorang menjamin kekonyolan ini enyah."

"Maka kau tidak bisa."

"Begitu menurutmu?" Yoongi menoleh ke arah cermin yang berada di pintu lemari. Melempar tatapannya yang sulit diartikan untuk memandang wajah—yang sebenarnya bukan—miliknya di pantulan itu. "Sayang sekali."

"Ya."

"Ya?"

"Sayang sekali," ucap Taehyung putus asa.

Selanjutnya waktu yang hening berlangsung satu atau dua menit dalam kecanggungan. Taehyung menjadi gugup dan menekan-nekan kuku ibu jarinya dengan jari telunjuknya, dan ketika menyadari bahwa Yoongi mengetahui apa yang ia lakukan, ia nyaris menggigit kuku-kuku itu—tanpa sengaja membuat kebiasaan buruknya semakin jelas. Namun Yoongi tidak tampak terganggu dan mulai bergerak.

"Apa yang kau ingin aku lakukan," kata Yoongi, menyokong tubuhnya yang semula berbaring di bawah selimut menjadi duduk dengan lapisan empuk kepala tempat tidur dan sebuah bantal menjaga kenyamanan punggung—menurut pengamatan Taehyung, itu adalah tempat tidur kamar tamu karena lemari kosong yang berdiri kesepian di pojok, "setelah mendengarkan ceritamu?"

"Itu bukan cerita." Taehyung mengelak, sedikit tersinggung karena ucapan Yoongi yang seolah ia telah menceritakan suatu omong kosong. "Itu fakta."

"Fakta ajaib—atau konyol?—yang kauceritakan tentang jiwa yang tertukar."

"... ya."

"Lalu apa yang kauharapkan dariku?"

Pandangan Taehyung mengarah turun secara naluriah. Gigi menggigit bibir bawah bagian dalamnya sementara tangannya yang gusar mencari-cari sesuatu yang dapat dipegang, sampai ia menemukan ujung selimut yang melingkupi sebagian tubuh Yoongi.

Tapi ia belum kunjung menemukan sesuatu untuk dikatakan. Terlalu sulit. Lebih sulit dari soal ujian akhir semester minggu lalu.

"Berapa usiamu?" Yoongi mengubah lajur pembicaraan dan napas Taehyung terembus sedikit lega.

"Sembilan belas."

"Adikku dua tahun lebih muda darimu. Min Yoonbi. Dia cantik, kan?"

Dan Taehyung tidak mengerti bagaimana harus menjawab.

"Kau punya pacar?" tanya Yoongi lagi.

"Tidak."

"Sekelompok teman?"

"Aku berteman dengan semua orang."

"Tidakkah kau berpikir keluargamu sedang menunggumu pulang?" Pertanyaan Yoongi yang ini membuat Taehyung mengepalkan tangan, dan ia sadar bila Yoongi melihatnya. "Di mana kau tinggal?"

"Haruskah kau melakukan ini?" Taehyung meloloskan sebuah deru napas yang keras. "Menggali latar belakangku?"

"Kenapa tidak?"

"Kupikir aku memiliki hak untuk diam."

"Kau tertarik pada jurusan hukum?"

"Yoonbi yang kaubutuhkan di sini. Bukan aku." Taehyung bangkit dari kursi rendah di samping tempat tidur. Namun ketika ia hendak melangkah, interupsi suara Yoongi menghentikannya.

"Cobalah memakai sudut pandangku untuk melihat," ucap Yoongi yang tenang. "Kau sudah mengetahui sebagian latar belakangku. Tidak, kau sudah—istilahnya—merampasnya dariku. Rumahku, kamarku, hingga—meski berat kukatakan—adikku. Dan kau akan mengetahuinya lebih seiring berjalannya waktu sementara kau dengan damai menggunakan hakmu untuk diam?"

"Merampas?" Taehyung membasahi bibirnya dengan geram. Belum pernah ia menerima sebutan menjengkelkan itu selama hidupnya. "Apakah aku berusaha mengakuisisi semua itu darimu secara paksa?"

"Bagaimana dengan keberuntungan yang tak terelakkan?"

"Kau pikir aku bahagia mengalami semua ini?"

"Lalu bagaimana denganku? Sampai kapan kau tidak memberitahu adikku tentang fakta konyol itu dan akan terus hidup bersama adikku ketika bahkan aku tidak tahu di mana aku seharusnya tinggal karena fisikmu?" Yoongi mengacak rambutnya. "Yoonbi mengganggap kita gila, ya, itu mungkin, tapi aku yakin sepenuhnya dia akan tetap mengenalku."

"Aku tidak."

"Apa?"

"Aku tidak seyakin itu." Suara Taehyung semakin menyerupai cicitan yang nyaris terhempas tekanan udara membuat Yoongi memandangnya, seperti memastikan bahwa ucapan itu memang berasal darinya.

"Itu pilihanmu."

Kemudian terdengar suara dari arah punggung Taehyung. "Apakah keberadaanku mengganggu?" Oh, itu Yoonbi.

Taehyung senang ketika gadis yang berdiri di ambang pintu itu akhirnya datang, dengan membawa sebuah nampan berisi dua gelas masing-masing air mineral dan teh, juga semangkuk makanan yang mengepul. Awalnya kesempatan itu hendak digunakan Taehyung untuk bergegas keluar namun sebelum ia mencapai langkah ke-limanya ...

... sesuatu terjadi.

"Tetaplah di sini, Yoongi." Yoonbi memanggilnya, dan menghampirinya setelah meletakkan nampan itu di atas meja kotak di samping tempat tidur. Yoonbi mendekat padanya dengan kerutan wajah ketakutan, dan berjinjit untuk membisikkan sesuatu di telinganya, "Jangan tinggalkan aku sendirian, atau kau yang menungguinya di sini—itu lebih baik. Aku takut pada orang asing, kau tahu."

Ketika Taehyung memberanikan diri untuk memastikan keadaan Yoongi kemudian, dengan perasaan bersalah yang berat, ia mendapati kobaran api yang diselimuti keputusasaan dalam sorot mata Yoongi.

Ini tidak boleh dibiarkan.

"Orang asing bukan berarti orang yang berbahaya." Taehyung mencoba. Tapi Yoonbi menggeleng, menolak untuk tinggal.

"Kita tidak tahu," Yoonbi berbisik, "kita belum tahu."

"Baiklah, sekarang kita kembali, karena jika tidak," Taehyung memandang presensi Yoongi yang menatap mereka dengan sorot hampa, "kita bisa melukainya."

"Kau bisa pergi." Tiba-tiba Yoongi menyela. "Oh, tidak," katanya lagi, seraya beringsut turun dari tempat tidur, "aku yang akan pergi."

"Tidak," sergah Taehyung. "Kau harus tetap di sini. Bagaimanapun."

"Aku harus kembali pada keluargaku, kau tahu." Itu jelas bahwa Yoongi tak berusaha mengindahkan ucapan Taehyung, dan Taehyung merasakan dadanya berdentum tidak nyaman ketika langkah Yoongi yang terhuyung melewatinya dengan kerlingan meremehkan.

"Tidak akan ada keluarga yang menjadi tujuanmu, kau tahu." Setelah Taehyung berkata demikian, Yoongi membelalak dan Taehyung sudah menduganya, jadi ia tersenyum dan menggeleng tak masalah. "Kau—bukan, aku akan tetap tinggal di sini sampai masalah kita terpecahkan. Tidak butuh waktu lama. Aku yakin. Itu jika kalian mengijinkan."

:::

 
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
Chapter 3: Ditunggu updatenya ^^
Sky_Wings
#2
❤_❤
Sky_Wings
#3
Kereeennn