Chapter 2

Nodus Tollens : Broken Wings
Please Subscribe to read the full chapter

NODUS TOLLENS

n. the realization that the plot of your life doesn't make sense to you anymore-that although you thought you were following the arc of the story, you keep finding yourself immersed in passages you don't understand

 

Ia membuka matanya.

Suara petir yang menggelegar membuatnya terkejut. Ia menoleh ketika menyadari bahwa ruangan ini tidaklah familiar. Sofa usang berwarna krem, furnitur dari kayu yang mengkilap, serta sebuah kanvas kosong yang ada di depannya.

Dimana ia sekarang? Ia yakin ini bukanlah apartemennya.

Chaeyoon menoleh ke arah jendela besar di sisi kanannya. Kedua matanya membulat ketika ia hanya melihat warna abu-abu tanpa batas. Tak ada gedung, pohon atau awan.

Ia tersentak ketika mendengar sesuatu di belakangnya.

Sebuah gambar muncul di kanvas yang tadinya kosong. Chaeyoon mengernyitkan dahinya saat melihat sketsa seorang laki-laki di kanvas itu. Wajahnya tampak familiar, tapi ia tidak bisa mengingatnya.

Gadis itu tak dapat mempercayai penglihatannya saat melihat air berwarna hitam meluncur turun dari mata laki-laki itu. Jantung Chaeyoon berdegup kencang saat melihat warna merah muncul dari dadanya. Ia merasakan bulu kuduknya meremang. Semua ini terlalu familiar.

Ia menggeleng.

Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang lain.

Api.

 

Chaeyoon tersentak.

Sinar matahari memasuki kamar melalui celah-celah tirai. Lagu "Call Me Baby" yang ia setel menjadi ringtone alarm terdengar dari ponsel yang ia letakkan di meja kecil samping tempat tidur. Chaeyoon menghela napas panjang. Ia meraih ponsel itu kemudian mematikannya.

Ia bangkit dari tempat tidur kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Ketika ia menatap bayangannya di depan cermin, kedua matanya melebar. Ia mengusap pipinya yang basah karena airmata.

Apa....

Tiba-tiba, ia teringat akan sesuatu.

Dengan tergesa-gesa, Chaeyoon melangkah keluar kamarnya. Gadis itu harus memastikan bahwa apa yang ia lihat semalam hanyalah mimpi belaka.

Tapi, langkahnya melambat hingga terhenti tepat di belakang sosok laki-laki yang tengah menatap keluar jendela apartemen. Sebelah sayap hitamnya yang terluka kini sudah diperban dan laki-laki itu tak lagi mengenakan kemejanya yang berlumuran darah. Dia memakai sweater abu-abu milik Yoongi yang tertinggal di apartemennya.

Chaeyoon memejamkan kedua matanya.

Ini adalah kenyataan.

Laki-laki itu nyata. Dia berdiri tepat di depannya.

 

Laki-laki itu tidak melakukan apapun saat Chaeyoon membalutkan perban di sebelah sayapnya yang terluka. Dia hanya diam sambil memperhatikan gerak-gerik gadis itu dengan kedua mata merahnya yang tajam.

"Apakah kamu adalah seorang malaikat?" tanya Chaeyoon ketika ia selesai mengobati sayap laki-laki itu.

Hening.

Sebelah ujung bibir Chaeyoon terangkat ke atas, membentuk senyuman tipis. Ia menghela napas panjang, kemudian membereskan kotak P3K dan menaruhnya kembali ke atas kabinet di dapur. Ketika ia kembali ke ruang tamu, laki-laki itu sudah duduk di sofa. Namun, tatapannya masih tertuju pada Chaeyoon.

"Apakah kamu adalah utusan kematian?"

Ia tahu pertanyaannya terdengar bodoh, tetapi bukankah sayap hitam identik dengan malaikat kematian? Setidaknya, itu yang ia pelajari dari novel dan komik yang ia baca dulu.

Laki-laki itu masih diam seribu bahasa.

Rasa kantuk membuat Chaeyoon menguap. Ia melirik jam dinding dan mengerang. Pukul 02.19. Ia benar-benar membutuhkan waktu tidurnya yang berharga.

"Oke, memang sepertinya kamu tidak ingin menjawab pertanyaanku. Tapi, bisakah kamu memberitahu siapa namamu?"

Laki-laki itu tampak bingung untuk sesaat. Dahinya yang berkerut memperlihatkan bahwa dia sedang berusaha untuk mengingat sesuatu. Kemudian, dia menatap Chaeyoon sambil menyebutkan namanya.

 

"Jungkook?" panggilnya. 

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet