Chapter 3

Locked
Please Subscribe to read the full chapter

Tidak ada. Di sini juga tidak ada.

Aku membungkukkan badanku agar bisa melihat karpet berwarna coklat tua yang terbentang di sepanjang lorong hotel bintang lima ini dengan lebih jelas. Tidak ada. Aku menghela nafas seraya menegakkan badanku dan menyisir rambutku dengan jari-jari tangan, frustasi. Sudah sekitar sepuluh menit aku menjelajahi lorong lantai tujuh belas ini, berharap menemukan gelangku tapi usahaku sia-sia. Di mana sih gelangku?

Tidak mungkin terbuang, kan?

Aku kembali memusatkan pandanganku ke karpet lagi, mengusir jauh jauh pikiran bahwa gelangku telah terbuang. Aku memejamkan mata sejenak lalu menggeleng dengan cepat.  Tidak mungkin terbuang. Tidak mungkin, tidak mungkin. Astaga aku bisa gila!

Aku beranjak menuju lift, menyerah untuk menjelajahi karpet untuk lebih lama lagi, lagipula tidak ada tanda-tanda gelangku di sana. Aku memencet tombol lift untuk turun ke lobby hotel lalu berdiri di depan lift yang aku gunakan sebelumnya, ada kemungkinan aku menjatuhkannya di lift itu.

Aku mendongakkan kepalaku, melihat ada di lantai berapa lift ini sekarang. Dua puluh tiga. Aku menghela nafas berat, beearti aku harus menunggu lift ini menuruni lima lantai dulu baru aku bisa masuk. Aku meniup ponikku kesal lalu memutuskan untuk menjelajahi karpet sekitar lift dengan berjongkok dan membiarkan mataku berkerja.

Tidak ada

Aku mengerang pelan sambil mengacak rambutku frustasi. Demi tuhan, di mana sih sebenarnya gelangku?

Saat itu juga suara dentingan bel lift memandakan bahwa pintu lift telah terbuka terdengar. Aku tersontak kaget hingga kehilangan keseimbanganku untuk berjongkok. Alhasil, aku terjungkal ke lantai dengan bunyi gedebuk keras

Oh sial

Aku mengelus-elus punggungku yang terbanting keras ke lantai sambil meringis pelan. Kenapa suara lift harus mengagetkan begitu sih?

Setelah sakitnya sudah sedikit reda, aku mendongakkan kepalaku ke atas, melihat lift yang terbuka lebar di depanku

Si penupang sialan berdiri di sana, menatapku dengan satu alis terangkat. Jelas-jelas memberiku tatapan apa-yang-sedang-kau-lakukan dan tentu saja dengan ekspresi jijik. Bagaimana tidak? Aku terduduk dengan posisi kaki berkangkang di lantai

Aku menelan ludah. Kenapa hari ini aku sial sekali? Aku menggerutu dalam hati lalu beranjak berdiri dengan menopang satu tanganku mendorong lantai dengan sekuat tenaga. Punggungku masih terasa sakit efek dari kejadian terjungkal tadi. Aku batuk-batuk kecil mencoba untuk tetap stay cool dan masuk ke dalam lift, memilih untuk berdiri  di kanan lift berlawanan dari posisi si penumpang sialan berdiri. Aku menyandarkan badanku ke dinding besi lift yang membuatku bergidik kedinginan dan bermaksud untuk memencet tombol lantai lobby tapi lampu tombol itu sudah menyala. Aku mengerutkan dahiku, beralih menatap orang di sebelahku. Dia mau ke lobby juga?

“Cepat tutup pintunya” ucapnya datar tanpa menatapku

Aku tersontak kaget kemudian buru-buru memencet tombol untuk menutup pintu lift. Setelah memastikan pintunya telah tertutup aku melihat penumpang sialan sekilas—aku lupa namanya, ia menghela nafas dan menyandarkan punggungnya ke dinding lift sambil memejamkan mata. Dari lantai tujuh belas turun ke lantai lobby bukanlah sebentar.

Aku mengibaskan rambut panjangku ke belakang punggungku agar tidak menganggu pengelihatanku saat menjelajahi lantai mencari gelang. Sedetik kemudian aku tenggelam menjelajahi lantai lift. Memanjangkan leherku agar bisa melihat ke ujung sudut lift. Di sini juga tidak ada.

Dia menghembuskan nafas kesal. Sepertinya ia terganggu olehku yang tidak bisa diam daritadi

“Tidak bisakah kamu diam aja? Di sini sempit, bukan tempat untuk bergerak-gerak leluasa. Kamu enggak pernah naik lift?” ucapnya pedas sambil menatapku lurus

Oke, aku menyesal tidak mengulitinya hidup-hidup tadi di bis.

Aku menggigit bibir bawahku kesal, baru saja mau membalas perkataannya saat suara bel lift kembali terdengar, satu alisku terangkat. Cepat sekali sampai ke lobby?

Benar saja, lift berhenti di lantai dua belas dan sepasang kekasih (mungkin suami-istri yang baru saja menikah) memasuki lift dengan si wanita menyandarkan kepalanya ke bahu sang pria dengan aegyo penuh.  Aku mengidikkan bahuku pada pemandangan di depanku jijik namun berusaha untuk tetap tersenyum sopan lalu mundur ke belakang lift membiarkan pasangan itu masuk begitu juga dengan si penumpang sialan. Dia tampaknya tidak terganggu oleh kehadiran pasangan lovey-dovey ini. Kenapa ke lobby saja aku harus dihadapkan dengan ini sih?

Aku baru saja menyandarkan kepalaku ke dinding lift yang dingin saat si wanita merengek pada pria di sebelahnya

“Astaga! Oppa, coba lihat! Ada keriput di wajahku!! Bagaimana ini?” rengeknya panik setelah melihat pantulan dirinya di dinding lift

Aku mendengus tidak percaya. Apa katanya, keriput? Astaga! Aku yang selalu ditumpangi jerawat sialan yang  tentunya tidak hilang dalam sehari saja tidak sepanik itu. Aku memutar bola mataku sambil menghela nafas berat. Indeed, rich people.

“Huh?” si pria mendekatkan wajahnya ke istrinya. “Tidak ada keriput sedikitpun di wajah sempurnamu  kok sayang. Jangan khawatir sayang, wajahmu lebih cantik dari malaikat” ia mencium kening istrinya lembut

Oh Tuhan. Aku bisa muntah di sini

Aku menutup mulutku dengan satu tangan, mencegah untuk benar-benar muntah. Pemandangan di depanku ini benar-benar menjijikkan dan sepertinya bukan cuman aku yang berfikir seperti itu, pasalnya orang di sebelahku juga memasang  ekspresi jijik terhadap pasangan terlalu-lovey-dovey itu. Ternyata dia bisa juga merasa jijik. Aku kira dia tidak punya hati maupun akal sehat.

“Oppa bisa ajaa~~~” si wanita memukul suaminya dengan penuh aegyo dan jangan lupakan suaranya yang dibuat-buat imut

Aku mengembuskan nafas berat untuk yang kesekian kalinya. Tuhan, tolong selamatkan aku.

Sepertinya doaku didengar.

Bunyi denting bel lift terdengar. Menadakan bahwa sudah sampai di lobby. Akhirnya.

 

 

 

Aku membiarkan pasangan itu keluar terlebih dahulu secara mereka ada di depanku. Aku menghirup udara lobby sebanyak-banyaknya saat aku menginjakkan kakiku keluar dari lift. Aku menopang badanku dengan satu tangan yang aku letakkan ke dinding.

“Astaga aku kira aku akan mati gara-gara mereka… Menjijikkan!” seruku sambil memegangi dadaku

 “Kenapa enggak sekalian kamu ngomong seperti itu di depan mereka”

Aku tersontak kaget lantas menempel ke dinding. Persis seperti cicak yang tertangkap basah. Lagi-lagi si penumpang sialan menatapku dengan tatapan jijik. Astaga, bagus sekali Kim Doyeon.

Aku mengatur nafasku, masih kaget akan suaranya tadi. Aku mendongakkan kepalaku dan menatapnya “Apa yang kau lakukan di situ?”

“Justru seharusnya aku yang tanya” Ia menghembuskan nafas kesal. “Apa yang kau lakukan di depan lift? Meng

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 4: aha~~aku tahu baekhyun naruh perhatian buat doyeon ya...walaupun bukan perasaan suka sih,tpi dia bru aja nolongin doyeon, hmmpp....awal yg baik kan?^^ anyway, I'll be waiting for sehun-doyeon story^^
keyhobbs
#2
Chapter 3: humm~~baekhyun...kenapa gk d kasih aja tuh gelangnya ke si Doyeon, kasian kan dia nyari-nyari..eh tpi pertempurannya itu lho...bikin ngikik geli,,
little_petals
#3
Chapter 3: Thanks for update xD
hahaha lucu xD
little_petals
#4
Chapter 3: Thanks for update xD
hahaha lucu xD
bubbleily #5
NEXT CHAPTER PLEASEEEEE
bubbleily #6
Chanyeol suka sama doyeon? Wah
keyhobbs
#7
Chapter 2: ternyata chanyeol suka sama doyeon?? Hihi awas lho....satu kamar,,,
bubbleily #8
Doyeon lucu
bubbleily #9
Ceritanya menarik :) update soon yah :D
little_petals
#10
Chapter 2: so funny, Doyeon lucu, ceritanya semakin menarik, update soon yaah author-nim