That Student

More Than Word

            Ji Han duduk sambil menopang dagu. Langit senja sudah mulai terlihat di balik jendela. Ji Han sudah memakai ranselnya tapi belum juga beranjak pulang. Bibirnya mengerucut dan wajahnya ditekuk. Sesekali terdengar helaan napas yang kasar. Tangan lainnya yang menganggur ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk meja. Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Akan sangat mengerikan jika di dengar saat malam hari.

Sudah setengah jam ia seperti itu. Kehilangan kesabaran, Ji Han menghentakkan kakinya dan berdiri tegak. Baekhyun menoleh sedikit ke belakang karena kaget mendengar decit kursi.

            “Byun-gun!” teriak Ji Han dengan manja. Ia menghentak-hentakan kakinya seperti anak kecil.

            “Eish! Tadi kan sudah kubilang untuk pulang duluan.” Baekhyun kemudian melihat kertas yang ada ditangannya. “Sial.”

Ji Han lupa bahwa Baekhyun sedang menghitung dan menyuruhnya untuk tidak bicara. Ia menyadari kesalahannya dan langsung mundur beberapa langkah. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gelisah dan menggenggam erat bagian samping roknya. Badannya menciut karena rasa takut.

Baekhyun meletakkan kertas-kertas yang dipegangnya ke atas meja dengan kasar. Ia memutar tubuhnya ke belakang secara perlahan.

            “Pulanglah.” Ji Han bisa melihat bibir Baekhyun yang bergetar menahan amarah. Nada yang lembut itu justru membuat bulu kuduk Ji Han berdiri. Ia bisa melihat kilatan emosi di mata Baekhyun. Ji Han menelan ludah yang tersendat di tenggorokannya. Ia membenarkan letak ransel di punggungnya dan dengan langkah yang percaya diri melenggang ke luar kelas. Kepala Baekhyun bergerak mengikuti arah Ji Han pergi. Matanya tidak melepaskan gadis itu sedetik pun, membuat Ji Han merasa sesuatu sedang menusuk-nusuk punggungnya. Ji Han melirik Baekhyun yang kembali menghitung lembaran itu dari luar jendela. ‘Si bodoh itu,’ maki Ji Han dalam hati.

Ji Han berjalan menuju gerbang dengan langkah yang sempoyongan. Sesekali ia menendang udara kosong dan diiringi dengan sumpah serapahnya.

            “Yo!” Ji Han berjingkrak kaget saat seseorang menepuk pundaknya. Ia melihat sosok yang tidak asing tersenyum padanya. Ji Han membungkukan badannya hormat. Pria itu melakukan hal yang sama. Kini perasaan Ji Han jadi tidak enak. Ia menggesekkan kedua lututnya dengan resah. Pria itu terus memandangnya. Ji Han merasa seperti ditelanjangi oleh pandangan itu. Pria itu menggerakkan matanya mengikuti lekuk tubuh Ji Han dari atas kepala hingga kaki.

            “A-aku masih banyak urusan jadi—” Ji Han terkesiap dengan gerakan pria itu yang tiba-tiba berjongkok di depannya. Sontak Ji Han menutupi roknya.

            “Ahh apa itu karena aku?” Pria itu menunjuk luka yang ada di lutut Ji Han.

            “Apa?”

Merasa sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, pria itu kemudian berdiri dan dengan satu gerakan ia merangkul bahu Ji Han. Ji Han spontan memberontak berusaha melepaskan lengan itu. Tapi pria itu semakin mengeratkan rangkulannya dan membungkam mulut Ji Han lalu menyeretnya pergi. Ji Han memejamkan matanya ketakutan. ‘mwoya? Apa ia ternyata marah karena aku mencampuri urusannya? Sial. Aku mau dibawa kemana? Apa pria ini akan membunuhku? Ommaaa...appaaa...tolong aku...’ Ji Han menjerit dalam hati.

            Bau minyak wijen dan daging asap bercampur di udara. Suara dentingan peralatan makan memenuhi ruangan itu. Ji Han sekali lagi memperhatikan pria di hadapannya yang menyeruput ramyeon dengan lahap. Ji Han menatap bibir pria yang berlumuran kuah ramyeon itu sambil menggelengkan kepala dengan mulut menganga.

            “Kenapa melihatku seperti itu? Kau juga harus pesan. Biar aku yang bayar.” Pria itu berbicara dengan mulut yang masih penuh. Hal itu membuatnya menciptakan hujan kuah ramyeon di atas meja. Ji Han sedikit menggeser duduknya ke belakang.

            “Begini...” Ji Han memainkan bibirnya. Ia tidak yakin untuk memulai pembicaraan.

            “Apa? Kau ingin bertanya sesuatu?” pria itu kali ini menelan makanannya terlebih dahulu.

            “Ke-kenapa kita pergi kesini? Kau tidak ingin membunuhku? Atau kau sedang mengumpulkan energi dulu?” Pria itu menatap Ji Han dengan tidak percaya. Detik kemudian ia tertawa keras.

            “Kau lucu. Kau pikir aku akan melakukan itu?” pria itu mengambil minum dan meneguknya dengan beberapa kali tegukan. “Aku berhutang padamu untuk yang tadi pagi. Aku hanya bisa minta maaf dan membayarnya seperti ini.”

            “Jadi kau tidak marah padaku?” tanya Ji Han polos.

            “Kau menyelamatkanku. Kenapa harus marah?”

            “Lalu kenapa kau seperti itu tadi? Membungkam mulutku dan menyeretku?”

            “Ah, kau ketakutan? Mian.” Pria itu melayangkan tatapan menyesal. “Seseorang yang kukenal masih berasa di sekitar situ. Aku tidak ingin dia melihat kita.” Ji Han mengganggukan kepalanya paham meski masih ada sedikit rasa tidak percaya.

            “Tapi...tadi pagi, siapa orang-orang itu? Kenapa mereka mengganggumu? Bukankah seharusnya kau lapor ke polisi? Kau bahkan sampai terluka seperti ini. Lihat wajahmu. Orang tuamu akan sangat khawatir. Kau tahu, hal ini tidak boleh dibiarkan. Kalau kau takut untuk melapor, aku bisa melakukankannya untukmu.”

            “Aigoo...ternyata kau cerewet juga ya.” Pria itu tertawa kecil tapi tatapan matanya sangat dingin.

            “Bukan begitu, hanya saja...”

            “Aku tidak apa-apa. Aku bisa mengurus masalahku sendiri. Jika kebetulan kau melihatku dalam situasi seperti itu lagi, tolong jangan ikut campur. Jangan mempedulikanku. Kau harus terus berjalan dan jangan lihat ke belakang.” Pria itu melontarkan kata-kata yang dingin dan hampa. Ji Han tiba-tiba ingin menangis dan dadanya terasa sakit. ‘Apa ini? Ada apa dengan pria ini? Aku hanya berusaha menolong. Kenapa kau berkata seperti itu? Kau seharusnya menangis dan menjerit minta tolong!’.

            “Kau tidak akan pesan kan? Kalau begitu kita pulang saja.” Pria itu bangkit menuju kasir. Ji Han hanya mengikutinya patuh tanpa suara. Ji Han merasakan udara malam yang menusuk tulang-tulangnya ketika melangkah keluar. Ia mengutuk dirinya yang tidak membawa jaket.

            “Uwahh dinginnya benar-benar...” Pria itu bergidik kedinginan dan melihat Ji Han yang memeluk badannya sendiri. Pria itu membuka jaketnya dan mengenakannya pada Ji Han. Ji Han yang merasa tidak enak langsung menolak.

            “Eyyy. Pakai. Pakai saja. Ini salahku sampai kau pulang malam begini.” Ji Han membungkukkan badannya berterima kasih. Ia kemudian sadar mengenai pakaian yang di kenakan pria itu. Sejak pagi hingga tadi, pria itu selalu mengenakan jaket.

            “Wae? kau tidak mungkin baru sadar kan?” Pria itu melihat reaksi Ji Han yang terkejut. “Ya! Kau benar-benar baru sadar?!”

            “Ne...” Ji Han menggangguk bingung.

            “Ya! Aku bahkan tadi menyeretmu dari area sekolah. Kau pikir kenapa aku bisa ada disana, huh?”

            “Aku...aku tidak menyadarinya...”

            “Waahh gadis ini benar-benar. Aku tidak tahu kalau kau sangat bodoh.”

            “Ya Aish! Aku memang tidak bodoh.” Ji Han meletakkan kedua tangan di atas pinggang.

            “Aigooo...bicaramu. Kau harus sopan! Aku ini seniormu!”

Ji Han hanya mengerlingkan matanya kesal. “Jangan bilang aku bodoh kalau begitu.”

            “Ne...ne...” Pria itu mengalah tidak ingin memperpanjang masalah. “Aku akan mengantarmu sampai halte bus.”

Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk menunggu di halte. Ji Han merapatkan jaket pria itu di tubuhnya. Sesekali ia melirik ke sebelah dan melihat pria itu sedang berusaha kuat menahan dinginnya udara. Wajah pria itu semakin pucat. Luka di wajahnya terlihat semakin menghawatirkan. Ia kemudian melihat ada beberapa luka yang sudah hampir sembuh di lengannya. ‘mwoya? Itu bukan yang pertama kalinya?’

            “Ah. Busnya datang.” Pria itu berseru lega.

            “Terima kasih sudah mengantarku.” Ji Han mengangguk pamit.

            “Aku akan menemuimu lagi. Hutangku masih belum lunas.” Pria itu menyunggingkan senyum yang lebar. Ji Han hanya membalasnya dengan senyum yang tipis.

            “Ah. Jaket.” Ji Han baru teringat saat ia sudah duduk di kursi. Ia kemudian membuka jendela dan menatap pria itu yang masih berdiri di sana.

            “Bawa saja. Besok baru dikembalikan.”

            “Namamu? Kelas?”

            “2-C. Kim Jong In.” Teriak pria itu sambil melambai-lambaikan tangannya pada bus yang sudah melaju.

 


 

            Setiap pagi aku melalui jalan yang sama ke sekolah. Setiap pagi aku harus berjalan kaki sepanjang 5 kilo meter. Setiap pagi aku pergi dengan perut kosong. Setiap pagi tetanggaku melihatku dengan iba. Mereka menatapku seolah aku anak yang memiliki kehidupan paling menderita di dunia ini. Jangan bercanda. Hidupku bahkan lebih bahagia di bandingkan dengan kalian. Tapi akhir-akhir ini sebuah ombak besar menghampiri hidupku. Mereka menemukanku. Mereka mulai muncul beberapa minggu yang lalu. Sial. Aku bahkan menghabiskan semua uangku untuk persembunyianku. Mereka bahkan tahu dimana aku sekolah. Dan sedang menghalangi jalanku sekarang. Dua pria dewasa dengan badan yang tinggi besar. Aku tidak tahu pasti siapa nama asli mereka. Aku tidak mau tahu. Aku hanya tahu codename mereka, Jack dengan ramput pirang dan Bean dengan rambut coklat.

            “Sekarang kau benar-benar harus ikut kami.” Jack dengan kasar memegangi lenganku. Aku segera menepisnya. Tapi kemudian, Bean wajahku. Tepat di pipi. Aku tersungkur ke tanah. Ia kemudian menarik jaketku, memaksaku untuk berdiri. Memukulku dan menarikku lagi. Terus begitu hingga beberapa kali. Aku merasakan sakit yang luar biasa pada wajahku. Aku merasakan sudut bibirku sobek. Ah. Aku bersumpah akan membunuhmu jika aku sampai tidak bisa makan setelah ini. Aku menyunggingkan senyum mengejek. Menantangnya. Kesalahan besar kurasa. Ia melayangkan tinjunya ke perutku. Aku berteriak dengan suara tersendat. Si bodoh itu membuatku kesulitan bernapas sekarang. Sesuatu memberontak keluar dari perutku. Itu membuatku terbatuk-batuk. Darah. Sial. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengenai bajuku.

            “Jangan berlebihan. Kita tidak ingin dia mati.” Jack berusaha menghentikan rekannya. Kaki Bean yang sudah di depan wajahku ia tarik kembali. Jack menarik lenganku ke atas. Badanku benar-benar lemas setelah pukulan tadi. Mereka berhasil menyeretku.

            “Ya! Apa yang kalian lakukan?!” Aku kemudian mendengar suara seseorang. Gadis itu. Kenapa dia di sini? “Le-lepaskan dia!”

Aku melihat kaki gadis itu bergetar ketakukan. Ia mengepalkan kedua tangannya sangat erat. Tapi matanya menatap mereka penuh keberanian.

            “Aku...aku sudah memanggil polisi kemari. Mereka akan segera datang.” Dasar bodoh. Kalau tingkahmu seperti itu, mereka sudah pasti tahu kalau kau berbohong.

            “Hei kau cepat masukkan anak ini ke dalam mobil sebelum polisi datang. Aku akan mengurus gadis itu.” Mwoya? Mereka percaya? Siapa sebenarnya yang sangat bodoh disini?

Bean mendekati gadis itu. Perutku semakin sakit dan aku semakin membungkukkan badanku. Aku kemudian melihat mereka berdua berlari. Sedangkan aku terus diseret pria ini. Aku tidak bisa seperti ini. Gadis itu dalam bahaya. Aku mengambil pisau kecil yang kuselipkan di saku jaketku. Aku selalu membawanya untuk kugunakan jika sewaktu-waktu aku terpojok seperti ini. Dengan sekali hentakan aku menusuk paha Jack dan berhasil melepaskan diri dari cenkramannya.

Aku menyeret kakiku mencari gadis itu. Aku harus memastikan kondisi gadis itu. Aku tidak bisa memaafkan diriku jika terjadi sesuatu padanya. Pikiranku penuh dengan skenario-skenario terburuk tentangnya. Ini pertama kalinya aku ingin menangis frustasi untuk seorang gadis. Dan pertama kalinya pula aku menitikan air mata karena merasa lega atas kemunculan seseorang. Aku melihatnya dari balik jendela sedang duduk manis menikmati makan siangnya di sekolah.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet