Victim 2

[Play] Victim

Satu Tahun Lalu, Hari Pertama di Musim Panas 2014.

 

“Tunggu dulu, pesta apa?” Jinri melihat pacarnya bingung.

“Pesta kelulusan atau apalah itu –itu tidak penting, babe. Yang penting adalah di sana akan ada banyak kue dan minuman dan musik dan minuman dan –“ Jinri menutup mulut Jongin, anak ini baru tujuh belas tahun tapi dia sudah tergila-gila pada minuman.

“Kita bahkan belum kelas tiga, Jongin.”

“Joonmyun –si tuan rumah, kan sudah lulus. Kamu tidak kenal? Mantan ketua OSIS berduit banyak itu.” Jongin membentuk gerakan menghitung uang dengan tangan kanannya.

“Aku tidak di undang.”

“Oh, Jinri. Joonmyun bilang bahkan petugas kebersihan sekolah boleh datang.”

Nah, Jinri lupa kalau tidak hanya banyak uang mantan ketua OSIS itu juga sangat baik hati dan ramah (lebih ke arah hypocrite kalau menurut Jinri.)

“Bagaimana dengan mobil?”

“Aku bisa pinjam pada ayah atau ...Sunggyu hyung.

Jinri tidak yakin Kakak Jongin mau meminjamkan mobilnya (Jinri juga tidak yakin Jongin akan mendapat satu kata balasan dari Kakaknya –sudah sekian tahun sejak mereka terakhir bicara ) tapi Jinri hanya mengangguk.

“Kamu tidak bisa menyetir. Apa kita perlu membawa supir?”

“Tidak, mereka akan mengadu pada Ayah.” Jongin melihat ke sekeliling kantin tempat mereka berkumpul –sekolah memang sedang tutup tapi anehnya kantin sekolah selalu di buka untuk umum. Jongin menunjuk seorang pria berambut pelangi yang sedang tertawa bersama beberapa gadis. “Sehun bisa menyetir.”

Jinri menggaruk kepalanya, mencoba mencari alasan lain untuk menggagalkan rencana Jongin sampai akhirnya dia mengangguk pasrah.

“Oke, tapi aku ajak yang lain.”

 

*****

 

Malam itu hujan deras, petir saling bersahutan dan jalan raya sangat licin. Tapi sebuah mobil berisi beberapa remaja sekolah menengah justru menambah kecepatannya. Seolah tidak mau kalah dengan bunyi musik rock yang mengaum dari radio.

Semua penumpang asik membicarakan pesta yang baru saja mereka hadiri, sesekali bercanda tanpa ada satupun yang benar-benar memperhatikan jalan, tidak juga remaja pria tujuh belas tahun yang berada di depan kemudi. Sampai akhirnya mobil berguncang hebat dan di hentikan mendadak.

Ke enam remaja di dalam sana saling berpandangan, wajah-wajah gembira mereka berubah menjadi pucat dan kekhawatiran.

“Jin-“

“Jinri.” Jinri menguap lebar, ugh dia ketiduran lagi. Jinri mengucek matanya, bersiap untuk memarahi Jongin –Jongin yang membangunkannya tadi, kan? Tadi jelas suara laki-laki dan Sehun ada di rumah sakit, saat melihat dua orang yang ada di depannya.

Jinri meloncat dari sofa ruang depan yang dia jadikan tempat tidur, merapikan rambut yang berantakan lalu tersenyum malu kepada orang yang membangunkannya. “Sunggyu...”

“Apa enak tidur di sofa?” Sunggyu tersenyum, menuntun Jinri berjalan menuju dapur sementara adiknya –Myungsoo, pria yang tadi memberi CPR hanya memandang Jinri sekilas lalu pergi ke kamarnya di lantai dua.

“Tidak juga.” Jinri menggaruk rambutnya yang tidak gatal, tapi aku menunggu kamu jadi tidak apa.

“Kamu menungguku?”

‘Uh , apa aku baru saja mengatakannya dengan suara keras?’ Jinri memukul kepalanya.

Hyung, Jinri itu lima tahun lebih muda darimu.” Jongin yang sibuk menghirup ramyun-nya di dapur berkata. (Dan Jinri harus menahan dirinya dari memukul kepala Jongin dengan barang pecah belah di dapur.)

“Mana yang lain?”

“Suzy dan Soojung sudah tertidur setelah menangis selama berjam-jam, dan Jiyoung baru naik ke kamar beberapa menit lalu. Mau ramyun?”

Jinri mengangguk, melihat jam merah di dinding dapur, pukul Sebelas lewat lima. Uh, Dia tidur terlalu lama. Tapi kenapa Sunggyu baru saja pulang dari mengantar Sehun? Apa sakitnya separah itu?

“Bagaimana Sehun?” Jinri bertanya pada Sunggyu sambil mengambil duduk di kursi sebelah Jongin.

“Benar dugaanku, Aritmia Jantung. Jantung Sehun berdetak terlalu pelan saat berenang.” Sunggyu meraih dua cup ramyun yang di sodorkan  Jongin, memberikan satunya pada Jinri. “Ada banyak penyebab Aritmia Jantung; stress, kafein, pil diet, alkohol. Apa Sehun mengkonsumsi salah satunya?”

“Tidak, tapi kurasa ...stress.”

“Karena traumanya kambuh lagi.”

Jinri melirik Jongin, tau pasti pria itu juga teringat pada tubuh Sehun yang membeku di mobil tadi.

“Sehun punya trauma?” Sunggyu terlihat tertarik, ramyun di hadapannya tidak disentuh sedikitpun.

“Ya, trauma pada mobil.” Jinri berkata, lalu melanjutkan dalam hati, lebih tepatnya pada mobil Hyundai hitam type i30 5.

“Kasihan.” Sunggyu mengangguk, menunduk untuk memainkan ramyunnya yang mulai mengembang. “Kasihan sekali.”

 

Jinri memasuki kamarnya (sebenarnya kamar orang tua Jongin) dengan perlahan, khawatir membangunkan Jiyoung yang ternyata masih berdiri di balkon, memandang lurus ke arah laut Busan di malam hari.

“Jiyoung?”

Jiyoung berpaling ke pada Jinri, matanya bengkak dan memerah. Padahal tadi jelas Jiyoung tidak menangis.

“Jinri, mau jalan-jalan?”

Sebenarnya ini sedikit terlalu malam untuk jalan-jalan di pantai, tapi Jinri sudah tidur cukup lama tadi, jadi dia mengangguk. Dan lagi tampaknya Jiyoung perlu mengatakan sesuatu. (Mereka sudah berteman selama tiga tahun tapi Jiyoung tidak pernah benar-benar memberitahu mereka masalahnya, walau Jiyoung selalu jadi pendengar pertama saat mereka dalam masalah.)

Jinri membawa Jiyoung keluar rumah setelah mendapat izin dari Sunggyu yang baru ingin memasuki kamarnya (yang berada tepat di sebelah kamar Jinri –kamar orang tua Jongin).

Mereka berjalan menyusuri pinggiran pantai yang berpasir putih. Waktu sudah hampir tengah malam tapi masih ada beberapa orang yang berada di sana, dan  mereka beruntung bisa datang dengan pakaian tebal –tidak seperti Jinri, Jinri memeluk tubuhnya yang menggigil, sedikit menyesal karena tidak mengambil sweater tadi.

“Kamu baik-baik saja?”

“Ya.” Jiyoung mengangguk, menendang kulit kerang di pasir yang berkilauan terkena sinar bulan. “Tidak, sebenarnya aku tidak baik-baik saja.”

Jinri diam, menunggu Jiyoung melanjutkan perkataannya. Tapi Jiyoung juga diam, tampak memikirkan sesuatu selama hampir lima menit sebelum akhirnya bicara lagi;

“Aku suka Oh Sehun.”

Jinri mengangguk, dia hampir bisa menduga hal itu sebenarnya. Yang tidak Jinri sangka adalah Jiyoung benar-benar mengakuinya.

“Jauh sebelum Suzy dekat dengannya. Aku masih ingat waktu itu, saat kamu mengenalkan Jongin dengan temannya yang berambut pelangi. Aku benar-benar benci pria yang mewarnai rambutnya –aku hampir melempar remote ke televisi begitu melihat Lee Dongwook dengan rambut pirang. Tapi anehnya aku justru suka rambut Sehun, juga suaranya yang aneh, juga tingkah lakunya, juga ...aku tidak tau, aku rasa aku suka semuanya tentang Sehun.”

Jiyoung tersenyum, tampaknya mengingat pertemuan pertama mereka. Jadi Jinri juga ikut tersenyum.

“Saat Sehun mulai dekat dengan Suzy, aku merasa marah. Bukan pada Sehun, apalagi Suzy, tapi pada diriku sendiri yang bahkan tidak bisa berada lima menit di dekat Sehun karena aku malu.”

Jiyoung memang terlalu baik, Jinri menatap Jiyoung yang masih sibuk menendangi kulit kerang.

“Jadi saat ...saat Sehun mulai kehabisan nafas di air tadi, aku sebenarnya melihat, aku langsung khawatir tapi sebuah pikiran melintas dipikiranku; kalau Sehun tidak ada, maka Suzy tidak bisa bersamanya. Kalau aku tidak bisa bersama Sehun, maka tidak ada yang boleh. Aku menjadi egois selama beberapa saat dan kehilangan kesempatan untuk menolong Sehun.”

Jinri terdiam di tempatnya, melihat Jiyoung tidak percaya. Mereka benar mengenai yang jarang bicara lah yang paling menakutkan.

“Aku tidak bermaksud begitu, sungguh! Aku hanya... hanya menjadi gila sesaat. Maafkan aku, Sehun.”

Jiyoung berhenti menendang kulit kerang, tubuhnya bergetar hebat, tangan kanannya yang memegang telepon genggam  tampak memutih karena di kepal terlalu erat. Dan tidak perlu orang pintar untuk tau Jiyoung sedang menangis. Jinri berjalan mendekat, memeluk tubuh Jiyoung sekilas.

“Kamu tidak apa?” Jiyoung tidak menjawab. “Kamu mau sendirian dulu?”

Jiyoung mengangguk tanpa berkata apapun, jadi Jinri meninggalkannya menangis di pinggir pantai, dan kembali ke dalam villa.

Bagian dalam villa sedikit gelap karena sebagian lampu sudah di matikan. Tapi Jinri masih bisa melihat pintu-pintu yang terdapat di ruang tamu. Di bagian kanan dan kiri ruang tamu (yang luasnya hampir seluas kamar apartemen Jinri ini) terdapat masing-masing satu pintu (satu ke kamar Jongin dan satu lagi kamar tamu utama). Di bagian belakang ada tiga lorong, lorong kanan menuju kamar mandi dan kamar tamu cadangan, lorong tengah menuju dapur dan ruang makan, dan lorong kiri ...Jinri tidak tau apa yang ada di lorong kiri.

Jinri berjalan mendekat menuju lorong itu. Sunggyu tidak pernah memberitahunya apa yang ada di sana, dan Jinri juga tidak pernah penasaran mengenai apa isinya. Paling tidak, tidak sampai sekarang.

Sudah tinggal beberapa meter lagi saat Jinri tiba-tiba berhenti, merasakan suatu perasaan aneh mendekatinya. Dan Jinri langsung berteriak saat sebuah tangan dingin terasa di bahunya.

“Ini aku!”

Jinri membuka mata, melihat seorang pria berwajah mengantuk sedang menutupi mulut Jinri dengan sebelah tangan  (Oh, Jinri baru sadar kenapa teriakannya tidak lagi terdengar sekarang). Jinri mengangguk, melepaskan tangan pria itu dari mulutnya (ngomong-ngomong tangannya beraroma sabun, apa pria ini memakai hand-cream?)

“Apa yang kamu lakukan disini?”

“Bukankah harusnya aku yang tanya itu?” Pria itu menatap Jinri kesal. (Dan Jinri mulai merasa takut.)

“Aku hanya... well, melihat-lihat?”

“Tidak ada yang bisa kau lihat di dalam gudang. Pergi ke kamar dan tidur, ini sudah terlalu malam untuk melihat-lihat.” Pria itu mendorong Jinri menuju tangga di dekat dapur.

“Oke, aku tidur.” Jinri mendengus, berjalan menaiki tangga lalu berbalik pada si pria, “Ini pertama kalinya kamu bicara padaku, Myungsoo.”

 

Jinri bangun dengan sedikit sakit kepala dan hidung yang berair. Ugh, ini pasti karena jalan-jalan tengah malamnya dengan Jiyoung kemarin. Ngomong-ngomong, Jinri melirik tempat tidur bagian lain yang kosong dan nyaris serapi kemarin, Jiyoung tidak hanya rajin bangun pagi, dia juga rajin merapikan tempat tidurnya? Orang macam apa Kang Jiyoung ini. Jinri menggeleng, bangun untuk mandi tanpa merapikan selimut dan bantalnya (Jiyoung bisa membereskan itu nanti)

Aroma harum bacon dan pancake tercium begitu Jinri mulai menuruni tangga. Di dapur sudah ada Sunggyu (dengan kemeja putih dokternya) sedang membolak-balik pancake, sementara meja makan di penuhi Suzy, Soojung dan Jongin yang sibuk memperebutkan bacon, dan di sisi lain meja Myungsoo sedang mengunyah sarapannya dalam diam.

“Pagi, Jinri! Sunggyu bilang dia mau mengantar kita menjenguk Sehun hari ini.” Suzy menyapa Jinri, tapi tangannya masih memainkan garpu untuk menarik sepotong bacon di piring.

“Bagus,” Jinri mengangguk, memilih duduk di sebelah Myungsoo lalu mengambil bacon yang sedang di perebutkan tiga temannya (Suzy dan Soojung mencoba merebut balik, tapi Jongin hanya duduk di kursinya dengan pandangan putus asa; “kita sudah kalah, saudariku.”)

“Halo, Myungsoo.”

Suzy dan Soojung berhenti merebut bacon ditangannya, Jongin langsung berdiri dan Sunggyu berbalik dari pancake di kompor.

“Kalian sudah berteman?” Sunggyu bertanya sambil tersenyum lebar.

“Ya.” Jinri menjawab bersamaan dengan jawaban; “Tidak.” dari Myungsoo.

Sunggyu mengangguk dan kembali memasak kue, sementara tiga yang lain mulai sibuk mengincar pancake yang hampir matang. Mereka pasti berpikir aku hanya mencoba mendekati Myungsoo (walau tidak salah juga sih). Jinri tersenyum pada Myungsoo, memotong sedikit pancake di piring Myungsoo, dan hanya dibalas dengan pelototan darinya.

“Mana temanmu yang satunya?” Sunggyu bertanya, meletakan sepiring pancake yang segera habis di lahap oleh tiga lainnya (mereka memutuskan untuk berhenti berebut dan memilih untuk berbagi.)

“Jiyoung? Aku pikir dia sudah turun.” Jinri bertanya heran.

“Aku belum melihatnya.”

“Mungkin Jiyoung pergi jogging, kamu tau dia maniak kesehatan.” Suzy menjawab dengan mulut di penuhi pancake dan madu (euh, kalau Oh Sehun ada disini Suzy tidak akan pernah melakukan itu.)

“Mungkin kamu benar.”

“Baiklah, kalau begitu kita pergi ke rumah sakit setelah Jiyoung kembali.” Sunggyu memutuskan, mengambil dua bungkus roti dari lemari dan memberikannya pada Jinri. (Tampaknya Sunggyu sudah menyerah untuk memasak dan mereka berdua belum makan sama sekali.)

 

Tapi Jiyoung tidak juga kembali. Walau waktu sudah menunjukan pukul delapan dan mereka sudah menunggu lebih dari satu jam. Dia juga tidak mengangkat semua panggilan dan pesan yang sudah mereka kirimkan. Jinri memandangi pintu masuk dengan gelisah, ada apa? Apa mungkin Jiyoung malu menemuinya setelah pengakuan kemarin? Tidak, tidak mungkin itu.

“Kita harus cari Jiyoung.”

“Tapi aku sudah harus pergi ke rumah sakit.” Sunggyu memainkan stetoskop di tangannya.

“Kamu bisa pergi, kami akan mencari Jiyoung.” Jinri bangkit dari tempat duduk. Kang Jiyoung bukan orang yang biasa ke luar untuk waktu lama, terlebih jika dia tidak memberi kabar sebelumnya.

“Apa?” Suzy terlihat kesal, “Jiyoung mungkin hanya sedang berbelanja di pasar atau apa– aku mau bertemu Sehun, kalian tidak?”

“Bae–“

“Yang mau mencari Jiyoung bisa tinggal, yang lain ikut aku. Bagaimana?” Sunggyu memotong perkataan Jinri, memasukan stetoskopnya ke dalam tas dan mengeluarkan kunci mobil.

“Aku cari Jiyoung.”

“Aku juga.”

Jinri dan Jongin menatap Soojung yang belum menjawab. Gadis itu melihat Jongin, lalu Suzy dan akhirnya mengangguk. “Aku juga cari Jiyoung.”

“Kalau begitu aku pergi dengan Suzy.” Sunggyu berjalan keluar pintu bersama Suzy, “dan Jinri?”

“Ya?”

“Myungsoo ada di kamarnya, suruh dia membantumu.”

 

“Kenapa aku harus mengorbankan tidurku yang berharga dan berjalan di pinggir pantai mencari gadis –yang wajahnya saja aku tidak ingat?” Myungsoo berjalan sambil menggerutu.

“Karena Sunggyu menyuruhmu membantu.” Jinri menyalakan telepon genggamnya, membuka aplikasi instagram milik Jiyoung. “Dan ini wajahnya, sudah ingat? Sekarang cari.”

Jinri menyerahkan telepon genggamnya pada Myungsoo, matanya sibuk melihat-lihat pengunjung pantai. Berharap bisa menemukan Jiyoung di antara mereka.

“Dan kenapa aku harus mencarinya bersamamu?”

Jinri mendengus, “Kamu mau mencarinya bersama Soojung? Sayang sekali Soojung dan adik tersayangmu adalah pasangan dan kamu akan jadi obat nyamuk diantara mereka.”

Myungsoo tidak menjawab, tapi Jinri bisa mendengar sedikit gumamannya; adik tersayang dari Hongkong.

“Kenapa kamu begitu membenci Jongin?”

Myungsoo berhenti berjalan, menatap Jinri dengan tatapan aneh. “Aku tidak.”

“Oh, dan kamu harap aku percaya itu? Kamu benci Jongin, dan Sunggyu juga well, walau sekarang hubungan mereka jauh lebih baik.” Jinri menarik Myungsoo yang berhenti untuk kembali berjalan.

“Aku dengar hubungan mereka membaik karena mereka minum bersama? Wah, itu kali pertama –dan semoga terakhir kalinya aku bersyukur Jongin suka minuman keras.” Jinri melirik Myungsoo yang masih memiliki ekspresi anehnya, “Bagaimana kalau kalian juga minum bersama? Siapa tau kamu bisa berhenti membencinya?”

Myungsoo tidak menjawab, dan Jinri tidak berminat meneruskan perkataannya jadi mereka hanya melanjutkan bicara dalam diam.

“Aku memang membenci Jongin.” Myungsoo berkata setelah lama diam, “dan aku tidak akan menyukainya walau aku minum segudang alkohol jadi jangan pernah berharap begitu.”

 

Jinri membuka pintu kamar dan langsung ambruk di atas tempat tidur, kulitnya perih dan kakinya terasa pegal tapi Jiyoung masih belum di temukan. Sebenarnya kemana Kang Jiyoung pergi? Jinri memandangi dress milik Jiyoung yang di gantung di depan lemari.

Hey, tunggu dulu.

Jinri reflex berdiri, tidak menghiraukan kakinya yang masih berdenyut dan berlari menuju koper milik Jiyoung di sebelah lemari. Tidak ada disini. Baju yang dipakai Jiyoung kemarin tidak ada. Berarti dugaannya hanya dua, Jiyoung tidak berganti baju (Yang sangat tidak mungkin sebab Jiyoung tidak suka baju yang bau) atau Jiyoung tidak pulang sejak kemarin. Jinri menatap tempat tidur di sebelahnya (yang tadi pagi Jinri katakan; nyaris serapi kemarin) dengan horror. Bagaimana kalau tempat tidur itu bukannya nyaris serapi kemarin, tapi memang dalam  keadaan yang sama dengan kemarin karena tidak ada satupun yang tidur disana?

Jinri berlari keluar kamarnya, menuruni tangga lalu membuka Jongin di lantai satu.

“Jongin!”

“Choi apa kamu tidak tau yang namanya mengetuk?” Jongin yang sedang mengganti baju mendengus, menutupi dada dengan kedua tangan. Uh please, lagipula bukannya Jinri tidak pernah melihat itu semua (jika ada satu hal yang sangat disukai Jongin, itu adalah membuka baju, Jinri ingat Jongin pernah mendapat detensi karena membuka pakaian di kelas biologi –“Ini demi menunjang pelajaran anatomi, saem!”).

“Jongin, bagaimana kalau Jiyoung bukannya pergi tadi pagi, tapi justru tidak pernah pulang?”

“Apa?” Jongin duduk di atas tempat tidur, tampak melupakan fakta bahwa dia belum memakai bajunya kembali.

“Pakaian yang Jiyoung pakai kemarin tidak ada di kamar, dan tempat tidurnya –tempat tidur orang tuamu tampak rapi dan belum pernah di pakai. Bagaimana kalau Jiyoung memang belum pulang sejak kemarin?”

“Apa yang kamu bicarakan? Jiyoung makan ramyun bersamaku kemarin malam sebelum  hyung datang.”

“Bukan itu, kami pergi keluar setelah kamu dan Sunggyu tidur. Dan Jiyoungmembicarakan beberapa hal yang, well, cukup mengagetkan. Dia memintaku meninggalkannya sendiri jadi aku masuk dan tidur lebih dulu. Aku tidak pernah benar-benar melihat Jiyoung masuk ke dalam villa. Bagaimana kalau dia tidak masuk?”

“Ini aneh.” Jongin terlihat sedang berpikir, “tapi kita masih belum bisa mencari kesimpulan apapun. Coba cari barang Jiyoung yang lain, telepon genggam atau dompet. Jika dia memang berniat pergi, dia tidak mungkin meninggalkan barang-barang itu.”

“Baiklah, aku ke atas.”  Jinri berjalan keluar kamar. “Dan pakai bajumu, Jongin.”

Jinri menutup pintu kamar dan hampir memekik kaget ketika melihat gadis rambut panjang di hadapannya. “Soojung, apa yang kamu lakukan?”

“Oh, halo Jinri.” Soojung tersenyum gugup. “Ada apa?”

“Jongin akan menjelaskan semuanya, aku harus kembali ke kamar.” Jinri menepuk pundak Soojung lalu berlari ke lantai dua.

 

Koper Jiyoung belum di buka sama sekali, seluruh peralatan mandinya masih berada di dalam tas. Jinri menemukan dompet Jiyoung di atas meja televisi tapi kemanapun Jinri mencari, Jinri tidak dapat menemukan telepon genggamnya. (Jinri ingat kemarin malam Jiyoung membawa telepon genggam bersamanya, apa ini berarti Jiyoung benar-benar tidak pulang?)

Jinri membuka lemari kecil di bawah meja televisi, terbatuk sedikit karena debu yang ada di dalamnya (itu berarti sudah lama sejak ada yang membuka lemari ini), Jinri baru ingin menutup kembali lemarinya saat sebuah kertas menarik perhatiannya. Ini Foto keluarga, Jinri menarik keluar kertas yang sudah menguning itu.

Di dalamnya berisi dua orang tua dengan dua anak lelakinya. Pria dewasa berumur sekitar tiga puluh sekian tahun sedang merangkul wanita dewasa yang mengenakan hanbok merah. Wanita yang kemungkinan besar adalah Ibu Sunggyu itu sedang tersenyum dan matanya terlihat seperti sebuah garis tipis (Jinri sekarang tau dari mana Sunggyu mendapatkan matanya). Di depan mereka berdiri dua anak laki-laki, yang lebih tinggi sudah pasti adalah Sunggyu yang tampaknya berumur sekitar delapan tahun, tersenyum lebar ke kamera sementara yang satunya sedang memeluk Sunggyu dari belakang, (kemungkinan besar adalah Myungsoo dan mengingat selisih umurnya dan Sunggyu, Myungsoo pasti berumur lima tahun saat itu).

“Jinri, bagaimana?” Jinri segera menyembunyikan foto itu ke dalam kantung bajunya ketika pintu mendadak di buka, Jongin dan Soojung masuk dengan wajah khawatir.

“Aku delapan puluh persen yakin Jiyoung tidak pulang tadi malam.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
choramyun99 #1
Chapter 6: Woaaaaw such a dramatic and... Unpredictable storyyyyyyyyy


Meskipun in the end sulli gak berakhir dengan myungsoo but cerita ini mind blowing banget
hanieychoi #2
Chapter 6: Aku suka, dengan endingnya. tak sangka jinri bertukar menjadi peran antagonis. tapi aku suka dengan ending cerita ni. you did a great job author. Keep writing.

Aku pikir endingnya sulli sama jongin atau myungsoo.
doraemon27 #3
Chapter 6: endingnyaaaaah
gak nyangka banget, ternyata sulli nya psikopat,
good job author :)
vanilla133 #4
Chapter 6: Aku pikir jinri akhirnya sama jongin/myungsoo malah sebaliknya. Ya udhla yg penting jinriku tetap selamat,bahagia dan waras akhirnya.
tikook #5
Chapter 6: lumayan bikin jantung deg2an.. good job authornim..
aliceeuu #6
Chapter 6: The plot tho oh god. Ga nyangka ternyata bakal berakhir kayak gini. Aku pikir ya kalau ga myungsoo ya jongin yang bakal sama sulli, but nah. Anyway ceritanya seru banget, jarang banget aku baca cerita yang bertema kayak gini nih.
seiranti
#7
Chapter 6: The plots really twists^^ ga nyangka endingny jd ky ginih! I thought tht sulli yg plg waras d cerita ini, tiba2 berubah jd psikopat in the end of the story.. But still i prefer sull wth myungsoo^^hehee
babbychoi
#8
Chapter 6: Apasih kak? Jinrinya gila banget
Aduh myungsooku wkwkw
no-w-here
#9
Chapter 6: Endingnya ga terlalu buruk.. meskipun aku lebih suka jinri sama myungsoo/jongin. Hahahaha...
Well, kita semua pasti shok sm berita tgl 6 kmrn.. tapi ini lebih baik kan? Terutama buat Jinri..
Bikin cerita lagi ya thor.. jgn lupa the truthnya dilanjutin. :))
doraemon27 #10
Chapter 5: nooooo, please jangan jadiin ini endingnya. aku masih penasaran gimana endingnya. ayolah author dilanjut ceritanya please, :(