# 2

Random

[JEON JI RAE]

 

Kling...

Bukan, itu bukan dering lonceng angin yang tergantung di atas pintu yang akan berbunyi tiap kali seorang pelanggan datang. Bukan. Itu adalah bunyi lonceng angin di dalam pintu hatiku yang akan berdering tiap kali bayangannya tertangkap oleh mataku.

Baru saja kakiku melangkah memasuki tempat dengan nama ‘Cafe the Med’ ini. Bahkan dia berdiri di dalam sana, di pantry yang ada di belakang sana, dan membelakangiku. Tapi, lelaki pucat itu. Aku bisa mengenalinya. Lelaki pucat itu, yang bisa membuat jantungku berdebar tak keruan hanya karena tampak belakangnya.

Apakah ini bisa disebut normal?

Tapi, ada apa dengan tas di pundaknya? Apa dia sudah harus pulang? Sial. Aku datang di saat yang salah!

Eon – ” O-oh ternyata saat yang lebih salah menyambutku di meja kasir. Kondisi yang mampu membuat mataku memutar tujuh keliling. “Berhentilah menatap dengan heran dan menebak-nebak perasaan masing-masing. Kalian hanya perlu kembali bersama. Masalah selesai.”

Yaa! Apa yang kau bicarakan? Aku tak mau mengganggu Noona lagi.” Dasar Jung Woosung bodoh. Lihat wajah Johwa Eonni sekarang, senyum kecutnya yang hanya bisa terpampang di sana. Temanku yang satu ini benar-benar – bodoh alami.

“Apa yang ingin kau pesan, Jii?”

Eonni, tolong berikan aku air mendidih agar bisa kusiramkan ke mulutnya.” Mantap jariku menunjuk kepalanya yang hanya beberapa senti lebih tinggi dariku itu sebal. Sungguh. Aku benar-benar ingin membuatnya melepuh sekali-kali agar dia bisa menderita, lalu aku tak akan menolongnya dan si bodoh itu akan meminta pertolongan Johwa Eonni.

Mereka terlihat bagus berdua. Mengapa pula kisah yang bagus harus memiliki akhir?

Yaa! Kau melukai mulutku dan aku tak akan mengajarkanmu rapp lagi.”

Oh? Menakutkan?” Kuangkat salah satu alisku menatapnya dengan tangan terlipat di dada, apa aku sudah terlihat ketakutan?

“Lihat, pasangan ini bertengkar lagi di kedaiku.” Yong-nim!

Benar saja, si pengusaha muda tampan dan berbakat itu – sebut saja idolaku – sudah berdiri di belakangku. Berkacak pinggang, menatap kami heran, dan – kling...

Lelaki-pucat-yang-juga-cerdas-dan-penuh-bakat-dengan-senyum-memesona-dan-juga-suara-rendah-yang-panas-hingga-pada-tahap-mengubahku-menjadi-uap-air-itu berdiri di sampingnya, membunyikan lonceng di dalam hatiku.

Menatapku. Membuat loncengnya berbunyi semakin kencang.

Menatap kami. Kami? “Tenang saja, Hyung. Kami akan bermesraan setelah ini.” Woosung, bocah gila itu sudah melingkarkan lengannya di leherku ketika kurasakan tubuhnya bergetar di punggungku karena tawa kecilnya yang menguar. Apa yang dia pikir dia sedang lakukan?

Loncengnya berubah menjadi alarm kebakaran!

“Lepas!” Mantap kupijakkan kakiku di atas kakinya seraya mendesis dengan bibir terkatup ke arahnya, sebelum akhirnya mengembalikan tatapanku pada Yong-nim dan si lelaki-pembunyi-bel – baiklah, aku terlalu malu untuk mencari tahu namanya, aku tahu aku payah – mengacuhkan rintihan kesakitan Woosung. Peduli setan! Yang penting dia melepau.

“Kalian akan pergi belanja?”

“Tidak, aku harus menjemput seseorang di bandara. Tapi, kurasa bawaannya akan banyak sekali. Jadi, aku mengajak Yoongi ikut serta.”

Ah, begitukah.” Mengangguk-angguk kepalaku perlahan mengerti. Mengerti apa urusan mereka, dan mengerti bahwa ternyata nama si lelaki-pembunyi-bel adalah, Yoongi. Apa ini? Mendengar namanya saja rasanya ada yang meletup-letup di dalam hatiku.

“Kurasa pesawatnya hampir tiba. Nikmati soremu, aku pergi dulu.” Dilambaikan tangannya sekilas sebelum ke empat pasang kaki itu melangkah menuju pintu ke luar.

“Ya, Yong-nim. Hati-hati, jalan licin.” Bisa kulihat ibu jarinya mengacung atas seruanku. Juga senyum si lelaki-pembunyi-bel yang terlihat sekilas dari tampak sampingnya.

Ngiiiingg...

Ya Tuhan, kali ini sirine ambulans!

“Yoongi, ya? Namanya manis seperti senyumnya.”

“Namanya Min Yoongi, kau ingin aku mengenalkannya padamu?” Kini giliran suara Johwa Eonni di belakang mesin register yang membawaku kembali ke dunia nyata. Apa dia bilang tadi?

“Kau bisa melakukannya untukku, Eonni?” Berbinar mataku menatapnya. Tentu saja, bukankah itu reaksi yang wajar untuk sebuah tawaran yang bagus?

“Kenapa tidak?” Oh! Senyum itu, senyum yang meyakinkan. Senyum yang seolah bisa membuat siapapun yang melihatnya bahagia, senyum Min Yoongi yang menghantui hari-hariku.

“Tolong, aku ingin memesan latte dengan pemanis senyum Yoongi-ssi dan nomor telfon-nya sebagai topping.”

“Baiklah, akan segera kusiapkan untukmu, Jeon Jirae-ssi.

Eomma!!! Rasanya ada kanguru yang hidup di dalam jantungku sekarang. Dia sedang berlatih meloncat dan meninju. Dum. Dum. Dum. Begitu kurang lebihnya yang terjadi di dalam sana.

“Kau menggelikan, Jii.”

“Lalala aku tak mendengarmu Jung Woosung. Lalala~” Lagu absurd itu masih terus mengudara dari mulutku seraya melahap sepotong lava cake di sampingku. Sekali lagi, mengacuhkan teriakan protes Woosung. Entahlah. biar saja. Aku masih bahagia, dan aku sedang tak ingin melayani bentuk pertikaian apapun.

Sepulang dari sini, mungkin aku harus membeli obat untuk mengendalikan detak jantung untuk berjaga-jaga jika aku mendengar suaranya melalui telefon nanti. Yoongi, Yoongi, Yoongi, Min Yoongi. Akan kuingat namanya baik-baik agar aku bisa mengucapkannya dengan lancar di hari pernikahan kami.

Aigoo... Aigoo...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet