# 1

Random

[LEE JO HWA]

 

‘Wa a a ash away... Neoui ireumdo, neoui ipseuldo, kkeutnae jieugo...’

Lantang suara Ailee Eonni menyambutku dari pengeras suara di setiap sudut kedai ketika kulangkahkan kaki memasuki counter. Memutar lagu seperti ini di hari hujan, apa yang sedang dipikirkan Yong Sajangnim?

“Dia hanya menjadi semakin sentimental saja setiap hari.” Lirih gumaman seorang lelaki di belakang meja kasir terdengar setelah helaan berat nafasnya, mengundangku untuk mengalihkan perhatian dari apron yang belum terpasang sempurna ke arahnya.

“Kau benar, Yoongi-ya. Kadang aku khawatir, kapan dia bisa sembuh dari ke-sentimental-an-nya ini?” Kutatap lelaki di depanku itu dengan pandangan prihatin, senada dengan apa yang ditunjukkannya padaku.

Aku setuju. Kami semua di kedai ini setuju, pemilik kedai kami ini masih terluka hatinya meskipun dia terlihat seperti tak memedulikannya. Rasanya, ‘rasa sakit hati Yong Sajangnim’ ini menjadi semacam legenda yang berkembang di kedai kami.

Buktinya, lagu-lagu bertemakan putus cinta terus terputar di sini setiap hari. Hah...

“Mungkin dia akan sembuh jika kau juga sudah sembuh dari patah hatimu?” Jelas kudengar tawa kecilnya menguar sebelum kalimatnya berlanjut, “Sudahlah, ini giliranmu. Selamat bekerja!”

Tepukannya di pundakku menutup kalimatnya, mengantarkan kakinya melangkah meninggalkanku di belakang mesin kasir. Apa yang dia bilang tadi?

Yaa! Yoongi-ya! Siapa yang patah hati dengan siapa?”

Tak ada jawaban apapun meskipun keras-keras kuteriakkan itu pada punggungnya yang belum sepenuhnya menghilang tertutup kerai pantry. Hanya tawanya yang masih terdengar dilengkapi kasak-kusuk karyawan lain di pantry. Menyebalkan!

Aku dan Yong Sajangnim, kondisi kami jelas sekali berbeda!

Kuhela nafas panjang, mengenyakkan tubuhku di kursi kasir seraya membenarkan tali apron di belakang leherku. Kenapa semua orang di kedai harus menyamakan kondisi kami? Sudah jelas sekali aku hanya mahasiswi ceria yang tak punya waktu untuk memikirkan hal semacam itu. Karena kuliah dan pekerjaan paruh waktu ini sudah cukup menyita semua waktuku.

See? Aku tak punya waktu untuk sakit hati. Bahkan, walaupun hanya untuk –

Noona?” Suara berat dan lambaian tangan seseorang membuyarkan lamunanku seketika. Membuatku mengerjap demi menatapnya, lelaki itu. Sejak kapan dia berdiri di hadapanku? Untuk apa dia datang kemari?

Berdiri di hadapanku dengan latar rintik hujan di luar sana dan lagu Taeil, di dalam sini? Heundeullinda?

“Bolehkah aku memesan?”

DASAR LEE JOHWA BODOH! Tentu saja dia datang kemari untuk meminum kopi. Tak mungkin dia kemari hanya untuk menemuimu, bodoh!

“Ya, ya. Ten – tentu saja boleh.” Otakku! Mengapa kau harus memerintahkan lidah dan bibir ini untuk terbata ketika menjawabnya? Haruskah tanganku bergetar di atas mesin register hanya untuk mencatat pesanan yang sudah kuhafal di luar kepala? Bolehkah aku menghindari tatapannya terang-terangan seperti ini?

Bukankah ini semakin menunjukkan jika aku – aaargghh... Bukan begitu! Tidak ada apa-apa di antara kami! Hanya otakku saja yang bermasalah. Aku harus mencari donor otak segera.

“Susu hangat dengan madu, dan lava cake.” Baru saja kubawa mataku menghindari tatapannya sepersekian detik yang lalu ketika pesanannya mengundang tatapanku kembali ke padanya. Apa aku mendengarnya dengan benar?

“Susu hangat dengan madu, dan lava cake.” Sekali lagi diulangnya pesanan itu, lengkap dengan senyum hangat yang mengembang di antara pipi tembamnya yang naik. Senyum hangat dan manisnya, selayaknya susu dengan madu.

Ah ya! Aku harus berhenti terpesona dan mencatat pesanannya!

“Kau tahu apa itu lava cake, kan? Kue cokelat yang meleleh pada bagian tengahnya. Bukan kue yang berbentuk seperti larva*

Astaga. Lelucon payah itu, mengapa dia masih mengingatnya? Kutampar diriku sendiri dalam hati karena telah mengenalkan lelucon payah itu padanya.

“Usaha yang bagus untuk melucu.” Melengkung senyum kecilku ke arahnya demi menghargai lelucon payahnya. Bahkan aku ingin sekali lagi menampar diriku sendiri ketika mendapati ujung hidungnya berkerut karena tertawa di hadapanku. Sial. Sadarkan dirimu, Lee Johwa.

“Ada lagi yang ingin kau pesan?”

“Tidak. Itu sudah cukup.”

“Baiklah, tunggu sebentar.”

Senyum itu masih di sana ketika kepalanya mengangguk perlahan, bahkan masih bisa kurasakan matanya melekat pada punggungku ketika kulangkahkan kaki ke pantry untuk menyiapkan pesanannya. Entahlah, mungkin dia ingin membuat lubang di punggungku?

Tidak, tidak. Bukan berarti aku tak suka tatapan ataupun kehadirannya di sini. Tidak, bukan begitu. Aku menyukainya. Sungguh! Aku masih benar-benar – baiklah, lupakan. Tidak semua hal bisa terus bersamamu. Benar?

“Benar, Yong-nim?” Kumiringkan kepala menatap lelaki di sampingku, mencari persetujuannya sembari menyiapkan sepotong kue di atas piring. Oh? Yaa! Sejak kapan dia ada di sini?

“Apanya yang benar?” Berkerut dahinya menatapku heran, meskipun sebenarnya – aku yakin – pikirannya juga tak jauh lebih baik dari pikiranku sekarang.

“Tidak, aku hanya iseng.” Dari telinga kiri, ke telinga kanan. Melintang senyumku selebar yang bisa kulakukan. Setelah itu, “Oh! Ada yang menunggu pesananku!” raih piring dan gelas pesanan, melesat menuju meja kasir! Secepatnya! Secepat mungkin sebelum Yong-nim memberondong dengan pertanyaan yang aneh! Cepat cepat cepat!

Yaa Lee Johwa! Kau berhutang satu penjelasan denganku!”

Eommaya...” Kusempatkan menghela nafas dan memutar bola mata demi meratapi seruan Yong-nim sebelum akhirnya kembali ke pekerjaanku. Sekali lagi, tersenyum lebar seraya menyodorkan pesanan ke arah pelanggan di hadapanku. “Semuanya, 3000 Won.”

“Kau punya hutang apa dengan atasanmu?” Disodorkannya selembar uang di atas meja bersamaan dengan disodorkannya pertanyaan itu. Membuatku reflek mengambilnya, memproses transaksi kami dengan sepatah frasa, “Bukan apa-apa.”

Benar-benar bukan hal yang besar, ‘kan? Dia tak perlu tahu tentang ini.

“Benarkah? Kau tidak membutuhkanku untuk membantumu membayarnya?” Renyah tawa kecilnya kembali menguar di ujung kalimatnya, yang entah mengapa walaupun tak lucu – tetap saja menggelitik ujung bibirku untuk setidaknya tersenyum bersamanya. Apakah ini karena tawanya? Tentu saja bukan!

Kalau saja tawanya bisa menyelesaikan semua masalah dan kekalutan dalam otakku ini. Sayangnya, ya sayangnya, memang tawanya yang bisa menyelesaikan semua masalah ini. Dia, bocah yang sangat mencintai musik hip hop ini adalah jawaban dari semua pertanyaan yang sekarang berputar-putar di dalam otakku.

Sayangnya, “Tetap saja aku tak bisa meminta bantuanmu meskipun ini semua tentangmu.” Hey? Tunggu –

Apa aku baru saja menyuarakannya? Isi hatiku?

“Kenapa?” Kini dimiringkan kepalanya di hadapanku, menatapku heran. Jika dia hanya menatapku heran seperti ini, bagaimana aku harus menatapnya sekarang?

Kau. Benar. Benar. Bodoh. Lee. Jo. Hwa. Sungguh.

Otak, kau perlu diganti!

 

*) Larva, tokoh kartun berbentuk ulat dari Korea.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet