Ch.1

Another Way

Sujeong menyeka titik-titik air di bahunya, tadinya salju dinginlah yang ada disitu membentuk tumpukan kecil di atas mantelnya, menimbulkan sensasi yang aneh namun ia lega kini ia sudah ada di kamarnya yang hangat karena sudah menyalakan pemanas ruangan. Hari yang panjang, ia melepas mantelnya yang sepertinya bertambah berat karena sangat basah dan memasukannya ke keranjang cucian di sudut kamar. Ia mulai menyesali keputusannya untuk pulang lebih dulu dari teman-temannya yang lain di kampus dan menolak ajakan mereka mampir ke salah satu restoran. Tidak, sebenarnya ia sudah mulai menyesal ketika hujan salju turun hanya beberapa menit setelah kakinya melangkah melewati gerbang kampus. Ia tidak punya pilihan selain menerobosnya hingga tiba di kamarnya, meyakinkan Nenek Gong, pemilik flat yang dihuninya ini bahwa ia baik-baik saja. Nenek Gong kelihatan sangat khawatir, apalagi air yang awalnya adalah salju menetes-netes dari ujung rambut Sujeong.

Sujeong merebahkan kepalanya yang terasa pusing ke atas bantal, meletakkan lengannya di dahi, berharap lengannya punya fungsi yang sama dengan alat kompres atau semacamnya. Mata Sujeong menyipit ke arah jendela kamar yang menghadap langsung dengan tempat tidurnya, memperhatikan salju. Hari bersalju yang sangat dingin, suhu udara saat ini pasti membuat banyak orang memilih menghabiskan waktu di balik selimut, atau membaca buku sambil menyeruput teh hangat. Sujeong mendadak teringat keluarganya di rumah, kira-kira apa yang sedang mereka lakukan sekarang? Apakah ayahnya sudah pulang dari kantor? Apakah ibunya sudah sibuk menyiapkan makan malam? Sujeong memegang perutnya, ia sadar ia bahkan tidak terpikir membeli makan malam dan tidak mungkin ia keluar lagi di tengah hujan salju ini untuk membeli makan.

Ia rindu keluarganya, sudah bulan kelima setelah ia tinggal terpisah dari ayah dan ibunya dan berkali-kali pula Sujeong harus menelannya dalam hati saja. Bukankah ia sudah memikirkan risiko ini matang-matang sebelum ikut ujian masuk ke Universitas di Seoul yang jelas-jelas sangat jauh dari rumahnya di Daegu, mengharuskan ia tinggal di flat ini sendiri. Untunglah Nenek Gong sangat baik padanya, menganggapnya seperti seorang cucu. Tapi itu tidak cukup sekarang, mata Sujeong mulai berair, ia ingin makan masakan ibunya, menghabiskan malam dengan suhu rendah ini di rumahnya, mengobrol dengan ayahnya seperti yang biasa ia lakukan. Bukannya di kamar sendirian hanya ditemani oleh dengung pemanas ruang, menangis dan tidak tahu apa menu makan malam. Sebenarnya akan lebih mudah jika dia mengikuti tawaran teman-temannya di kampus tadi untuk makan bersama, tapi ia tidak bisa karena sejujurnya dia menghindari seseorang....

Ketika ia baru akan menghapus airmatanya yang mulai membentuk aliran sungai kecil di pipinya, terdengar suara ketukan di pintu. Sujeong menajamkan pendengaran, memastikan seseorang memang sedang mengetuk pintunya. Selama lima bulan ia tinggal disini ia tidak pernah benar-benar mengenal dekat tetangganya yang lain, baik di lantai bawah maupun di lantai dua, lantai yang sama dengannya. Hampir semuanya adalah mahasiswa tingkat akhir yang selalu pulang malam dan menghabiskan waktunya di dalam kamar. Bahkan Sujeong tidak mengingat nama-nama mereka, terakhir kali seseorang selain Nenek Gong mengetuk pintu kamarnya, tujuannya adalah meminjam selotip dan orang itu adalah kakak tingkat yang tinggal di sebelah kamarnya. Ia lulus sekitar sebulan yang lalu dan kamar di sebelah itu sekarang kosong.

Ketukan di pintu tidak berhenti, kali ini terdengar sedikit lebih keras.

“Kau yakin ada orang di dalam?”

“Yeah sepertinya aku melihat seseorang lewat beberapa menit lalu”

Suara yang samar-samar terdengar di luar itu suara dua orang laki-laki. Sujeong mengerutkan kening, mau apa dua lelaki itu mengetuk pintu kamarnya?

Dengan ragu dan sedikit takut Sujeong membuka pintu kamarnya, mengintip dari celah sempit yang terbuka karena ia sengaja tidak mau membuka pintunya lebar-lebar. Dua orang lelaki memang berdiri disana di depan pintu kamarnya, wajah keduanya mirip, mungkin kakak adik? Entahlah, yang jelas lelaki yang kelihatannya lebih muda yang berdiri di belakang kelihatan aneh, sorot matanya kelihatan malas dan kini ia sedang mendongak ke arah langit-langit, seakan ada pemandangan menarik disana.

“Oh, hai!” Lelaki yang berdiri di depan yang mengenakan turtleneck dan mantel coklat berkata lebih dulu, nadanya ceria seolah-olah di luar matahari sedang bersinar. “Boleh kami masuk?”
Kerutan di kening Sujeong semakin dalam, apa-apaan orang-orang ini, Sujeong bahkan tidak mengenal mereka. “Ah maaf, mungkin ini terkesan lancang tapi kami---lebih tepatnya adikku---baru saja pindah kesini, ke kamar di sebelah kamarmu dan kabar buruknya adalah di kamarnya tidak ada pemanas ruang. Kau tahu. Itu buruk sekali bukan, di cuaca sedingin ini”

Sujeong masih diam, celah pintu masih ia biarkan hanya terbuka beberapa senti.

“Jadi....” Lelaki itu melanjutkan, “Boleh kami masuk? Hanya sebentar sampai salju berhenti, kami akan keluar dan ke sauna”

Sujeong bergeming.

“Kami kebetulan punya makanan” Lelaki itu mengacungkan sebuah kantong plastik, harum makanan hangat menyeruak dari balik kantong itu. Sujeong menelan ludah, mengingat ia tidak punya makanan apapun untuk makan malam dan terancam tidak bisa tidur karena lapar.

“Hallo?” Lelaki yang berdiri di belakang kini sudah mengalihkan perhatiannya dari langit-langit dan mengibas-ngibaskan tangannya di depan Sujeong. “Tenang saja kami bukan orang jahat, lagipula tidak mungkin pemilik flat ini membiarkan kami masuk kalau kami bermaksud jahat kan?”

Sujeong tidak tahu apakah perkataan lelaki itu yang sebenarnya tidak begitu meyakinkan ataukah karena ia kasihan dan tidak mau mereka beku dalam ruangan tanpa pemanas atau karena aroma makanan di dalam kantong plastik, Sujeong akhirnya membukakan pintu untuk mereka.

“Terima kasih!” Seru lelaki bermantel coklat, matanya berkilat-kilat senang dan berhati-hati masuk ke kamar Sujeong. “Kau punya tiga mangkuk? Biar aku yang menuangkan supnya”

Sujeong seperti terhipnotis mengambilkan mangkuk, piring, sendok dan menaruhnya di atas meja,membiarkan lelaki itu menuangkan sup dan makanan-makanan lain yang terlihat menggiurkan. Sujeong tahu ia tidak dihipnotis, ia hanya lapar.

Ia memperhatikan kedua tamunya, lelaki yang nada bicaranya selalu ceria itu berpakaian lebih rapi dan tebal, ia memakai sweater berwarna krem ditumpuk mantel coklat, terlihat cocok dengan rambutnya yang juga kecoklatan. Sujeong seperti melihat kue coklat dengan ekstra krim. Oh tuh kan, dia pasti sudah sangat lapar.

Sujeong melirik lelaki yang satunya, sepertinya lelaki itu seumuran dengannya, rambutnya kelihatan sengaja ia buat acak-acakan, warna rambutnya coklat juga namun kelihatan lebih terang, terang yang berani. Sesekali ia menggigit bibir, sepertinya kebiasaan. Pakaiannya sangat kasual, kaus ditumpuk hoodie. Apa dia tidak kedinginan?

“Hati-hati kau melirikku terus nanti kau bisa jatuh cinta padaku” Lelaki yang sedang diliriknya itu tahu-tahu bersuara, padahal sedetik yang lalu ia sedang mengaduk supnya, bagaimana ia bisa tahu?

“Aku tidak—“

“Jangan mengelak, aku bisa lihat dari sini” Ia menunjuk bayangan di sendoknya sambil memamerkan cengiran menyebalkan.

Lelaki aneh.

Sujeong buru-buru mengalihkan perhatiannya pada makanan di hadapannya.

“Maafkan adikku, kadang dia suka bercanda. Yah sebenarnya kami berdua suka bercanda” Lelaki mantel coklat itu berkata, “Oh ya, kami belum memperkenalkan diri. Namaku Baekhyun dan dia adikku, namanya Taehyung”

“Taetae”

“Apa?”
“Kalau kau nanti sudah merasa akrab denganku kau bisa panggil aku Taetae”

Aneh. Lagi.

Kakaknya tertawa. “Kalian tidak pernah bertemu di kampus?”
Sujeong menggeleng, kalau ia pernah bertemu lelaki aneh ini di kampus, tentu ia akan ingat.

“Siapa namamu?” Tanya Baekhyun.

“Sujeong” Jawab Sujeong sambil tersenyum tipis.

“Maaf, tapi kau kelahiran tahun berapa?” Baekhyun bertanya lagi sementara Taehyung sudah sibuk memakan makanannya sambil menimbulkan bunyi berisik sendok beradu dengan dasar mangkuk.

“1995”

“Oh!” Baekhyun bereaksi seakan-akan ia baru menang lotre atau apa, “Kau seumuran dengan Taehyung! Kau yakin kau benar-benar tidak pernah melihat bocah ini di kampus?”

Sujeong menggeleng, “Mungkin jurusan kami berbeda, jadi....”
Baekhyun tertawa renyah, “Ah ya, aku lupa. Tentu kalian berbeda jurusan karena kalian tidak pernah bertemu”

“Sebenarnya adikku awalnya tidak mau tinggal di flat, karena yah kau tahu.. Dia tidak pernah tinggal jauh dari rumah sebelumnya”

“Kak,” Taehyung memotong.

Sujeong menahan tawa melihat ekspresi Taehyung. Tipikal anak manja.... sekaligus aneh.

“Ok ok, sebenarnya dia hanya belum terbiasa. Kebetulan flat yang ia tinggali tidak terlalu aman, terjadi pencurian seminggu yang lalu jadi ia minta pindah... dan disinilah kita berada sekarang”

“Dan dia lupa membelikanku alat pemanas ruang” Taehyung menambahkan sambil menuding kakaknya.

“Akan kubelikan, tenang saja. Tentu ayah dan ibu juga tidak ingin putra kecilnya ini berubah jadi bongkahan es” Baekhyun mengacak-acak rambut Taehyung dan Sujeong bisa melihat Taehyung mengernyit, ia jelas tidak suka diperlakukan seperti anak kecil.

“Berapa orang yang tinggal di flat ini?” Tanya Baekhyun.

“Mmmm, sepuluh mungkin? Aku tidak pernah benar-benar menghitung” Jawab Sujeong.

“Dan yang tinggal di lantai dua ini?”

“Tiga, sisanya di lantai satu”

“Oh, selain kau dan adikku siapa lagi?”

“Aku tidak tahu namanya, yang kutahu ia kakak tingkat”

Kini Baekhyun yang kelihatan mengernyit, “Kau tidak tahu namanya?”

“Aku tidak kenal semua yang tinggal di flat ini” Sujeong mengakui.

Baekhyun berdeham lalu meneguk air minumnya, “Baiklah Sujeong, karena sekarang hanya ada kau, jadi aku mau meminta tolong padamu”

“Minta tolong apa?” Sujeong bertanya dengan nada waspada, ia khawatir karena ia sudah memakan setengah dari makanan kakak beradik itu ia diharuskan mencuci pakaian Taehyung atau apapun yang akan merepotkannya.

“Aku titip adikku, karena mulai besok kan dia akan jadi tetangga barumu”

“Menitipkan bagaimana maksudnya” Sujeong melirik Taehyung, beraharap lelaki itu tidak sedang mengamatinya lewat sendok lagi.

“Dia mungkin akan sedikit merepotkan, tapi aku hanya minta tolong agar kau langsung meneleponku kalau ada apa-apa, akan kucatat nomor teleponku”

Sujeong menarik napas lega, kalau hanya itu yang dimaksud dengan ‘menitipkan’ tentu tidak masalah.

Tapi kalimat Baekhyun tidak berhenti sampai disitu  “Kau tahu, ia kadang sedikit aneh. Tidak semua memahaminya”

Alis Sujeong terangkat.

“Dia normal, tapi dia juga tidak normal. Ah bagaimana ya menjelaskannya. Begini, kau tahu kepribadian 4D kan? Nah kira-kira adikku seperti itu”

Sujeong melirik Taehyung lagi.

“Kak, kurasa kau seharusnya paham bahwa ketika kau membicarakan seseorang alangkah lebih baiknya kalau orang yang dimaksud itu tidak ada di sebelahmu” Taehyung mendengus.

“Hei, aku kan bicara kenyataan jadi tidak masalah.” Baekhyun menangkap raut cemas di wajah Sujeong jadi ia tertawa dan berkata sesantai mungkin, “Tenang, kadang dia hanya sulit dimengerti, bukan berarti ia gila. Tentu kalau ia gila aku sudah membawanya ke Rumah Sakit Jiwa dan ia jelas tidak akan lolos ujian universitas” Baekhyun melemparkan cengiran pada Sujeong, cengiran kakak adik itu mirip. Cengiran menyebalkan.

Taehyung sudah selesai makan dan kini sedang menatap ke luar jendela dengan tatapan terkesima, mulutnya sedikit terbuka sampai-sampai Sujeong mengira ada UFO melayang di luar sana.

“Kak,” Taehyung bersuara, “Saljunya sudah berhenti”

Baekhyun mengikuti arah pandang Taehyung, “Ah benar juga. Kalau begitu kami harus pergi. Ah sebaiknya aku mencuci piring dan mangkuk ini dulu”

“Tidak usah,” Sujeong berkata cepat, “Biar aku yang mencucinya”

Baekhyun menatap Sujeong dengan tatapan seolah berkata ‘Kau yakin?’

“Tidak apa-apa sungguh, kalian kan tamu jadi tidak apa-apa”

“Wow trims sudah menganggap kami tamu dan bukannya dua pria kurang ajar yang memaksa masuk ke kamarmu demi pemanas ruangan” Taehyung menimpali, cengiran menyebalkan menghiasi wajahnya lagi. Tapi sepertinya Sujeong mulai terbiasa dengan keanehannya jadi Sujeong hanya balas tertawa.

Baekhyun menyodorkan secarik kertas bertuliskan nomor teleponnya, “Kami akan ke sauna dan bermalam disana sekarang. Ini nomor teleponku kalau misalnya nanti adikku mulai membuat masalah –semoga saja tidak—Aku akan membelikan pemanas ruangan untuknya hari ini jadi kau tidak perlu khawatir dia akan menumpang lagi kesini besok”

“Terima kasih ya Sujeong” Baekhyun berkata dengan nada ceria sambil merangkul adiknya keluar dari kamar Sujeong.

Seketika kamar Sujeong menjadi senyap kembali. Wow, itu berarti kakak beradik itu memang sangat berisik. Sujeong menggeleng-gelengkan kepala sambil merapikan mejanya.

                                                          *

“Jadi bagaimana?” Baekhyun bersuara saat mereka sudah melangkah keluar flat.

“Bagaimana apanya?” Taehyung menendang-nendang kerikil di jalanan, kedua tangannya masuk ke saku hoodie.

“Tetangga barumu, dia manis juga” Ujar Baekhyun dan Taehyung menangkap nada jahil dalam ucapan kakaknya.

“Dia bukan tipeku” Kini Taehyung menerawang ke langit, tidak tertarik lagi pada kerikil.

“Oh ya?”

“Dia kelihatan sangat anggun, baik, pemalu. Tipe gadis dengan kepribadian seperti putri kesayangan. Wajar, sepertinya ia anak tunggal”

“Oh ya? Dari mana kau tahu dia anggun dan blablabla itu?”

“Kau tidak lihat hiasan buatan sendiri yang bertuliskan namanya besar-besar di dinding kamarnya? Yang dihiasi ornamen pita?”

Baekhyun kelihatan mengingat-ingat, “Yang mana?”

“Warnanya pink, di dinding dekat tempat tidurnya. Sangat mencolok”

“Oh, tulisan namanya itu?”

“Ya, hiasan huruf-huruf besar yang membentuk nama Ryu Sujeong. Aku yakin dia membuat hiasan itu sendiri”

“Hanya karena itu kau menyimpulkan kalau dia anak tunggal?”

“Tidak, kalau anak tunggal aku tahu karena melihat foto keluarga yang dibingkai di meja belajarnya. Dua foto keluarga dan satu foto bersama teman-temannya. Di foto keluarganya hanya ada ayahnya, ibunya dan dia jadi bisa kau simpulkan sendiri”

“Kau tahu, untuk ukuran orang yang baru pertama kali bertemu, kau mengobservasinya terlalu detail”

“Aku hanya berusaha mengenal tetangga baruku” Taehyung berkata lalu kembali menendang kerikil.

“Kak,” Taehyung menggumam.

“Hm?”

“Ayo lomba lari, siapa yang duluan sampai ke sauna berhak ditraktir telur rebus” Sebelum kakaknya sempat menanggapi, Taehyung sudah berlari kencang.

“Demi Tuhan Kim Taehyung, kapan kau dewasa” Keluh Baekhyun, tapi kemudian mau tidak mau ia ikut berlari juga.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
JeonginCouple #1
Chapter 5: Ohh my godness.. please sequel..
That so romantic kyaaaa .... >.< ska bgt crita kya gini romantis dgn cra berbeda so sweet dah...
Taejong couple too much cute kekeke...
byzeIo #2
Chapter 5: Sequel pleaseeeㅠㅠ gilaa sweet banget♡♡
akirachoi
#3
Chapter 5: Saya butuh encore dari cerita ini/???
Tithania #4
Chapter 5: ahh sweet bget nih couple!
lucu juga Baekhyun jd konsultan ny Taehyung hihihi..
sequel please author-nim..
nenknei
#5
Chapter 5: Akhir'y nemu ff ni couple pke bhsa, dri kmren" susah bgt cri'y
kereeen author nim.... sequel dong...
geaseokyu #6
Chapter 5: Ahh keren...
Aku suka couple taejeong
Mereka manis bgt
Ceritanya keren bgt
Please sequel