Chapter 5

Gloomy Winter Wish

Yoongi duduk menunggui kopinya yang berangsur mendingin. Sudah ketiga kalinya ini ia melirik jam di tangan. Jarum panjang menunjukkan ruang diantara angka sebelas dan dua belas. Ia mendesah, tapi tetap mencoba sabar.

“Min Yoongi-ssi?”

Pria itu menoleh, rasa kesalnya seketika terbang entah kemana. Bibirnya menyunggingkan senyum. Matanya menangkap seorang wanita berjalan mendekat padanya dengan pakaian modis sambil berjalan bak model di karpet merah.

“Sudah lama menunggu? Maaf, aku terlambat sepuluh menit.”

Yoongi lagi menyunggingkan senyum paksa. “Sebenarnya dua puluh lima menit.”

“Oh?”

“Tapi tidak apa, aku terbiasa menunggu. Menunggu giliran untuk tampil, bergantian dengan artis lain. Terkadang sampai satu jam.”

Wanita itu duduk. Seorang pelayan datang untuk mencatat pesanannya. Setelah sang pelayan pergi, wanita itu menyilangkan kakinya. “Jadi, ada kemajuan apa?”

Yoongi menyesap kopinya. “Tidak banyak, tapi cukup maju.”

“Setidaknya aku bisa berterimakasih padamu, hari ini aku yang traktir.” Ujar wanita itu dengan senyum panjang.

“Ah, tidak perlu repot-repot. Bagiku, imbalan yang Anda berikan sudah lebih dari cukup.” Ucap Yoongi sungkan.

Pelayan datang membawa pesanan wanita itu. Seleranya sangat bagus, ia memesan makanan Prancis yang Yoongi sendiri tidak bisa bahkan untuk menyebut namanya. Saliva Yoongi ditelan, ia berani bertaruh akan mati kelaparan jika makan makanan mahal yang habis dalam tiga kali suap. Minumnya? Terlihat seperti soda biasa.

Wanita itu tidak langsung melahap makanannya. Seperti bangsawan, ia lebih banyak berbicara dan meminta makanan penutup kepada pelayan.

“Min Yoongi-ssi, aku bisa percaya padamu, kan?”

Yoongi diam sejenak. “Tentu saja. Aku tidak akan mengecewakan Anda.”

*

“Kimberlyyy!!”

“Oooooy!”

Kedua gadis itu berpelukan. Sangat erat seperti tidak pernah jumpa bertahun-tahun. Padahal mereka baru saja bertemu kemarin lusa. Persahabatan yang akan membuat iri siapa saja yang melihatnya.

“Bagaimana liburanmu?”

Yui terkekeh. “Apanya yang liburan? Aku hanya cuti satu hari.”

Kim merangkul pundak Yui. Kemudian mereka tertawa bersama.

“Ngomong-ngomong, kenapa kau cuti? Bahkan hanya untuk satu hari. Tidak biasanya—kau, kan, suka sekali mengajar. Bahkan tetap masuk saat kau sakit.”

Deg. Yui merasa seperti dikepung polisi karena kasus penipuan. Penipuan? Ya, dia memang menipu. Tepatnya akan menipu. “Aku… sakit, eh… aku ada urusan….”

Kening Kim mengeriyit, seperti tidak yakin dengan jawaban Yui. Tapi kemudian ia tersenyum cerah sekali. “Hei, kemarin aku baru saja bertemu seseorang.”

Nafas Yui mendesah panjang. Lega rasanya Kim tidak terlalu penasaran tentang alasannya cuti. “Siapa?” Tanyanya.

“Tebak. Kau mengenalnya. Sangat baik.”

“Aku?”

Kim mengangguk.

“Lak-laki?”

Kim mengangguk.

Yui tidak langsung menebak lagi, ia berpikir. Mengingat-ingat laki-laki yang ia kenal dengan baik, dan Kim juga mengenalnya.

“Taehyung?”

Kali ini Kim terbahak. “Kenapa aku harus bilang padamu kalau aku bertemu Taehyung?”

“Yah, Mungkin saja kalian membicarakan sesuatu yang tidak aku ketahui….”

“Bicaramu ngawur.” Kim meninju pelan lengan Yui. “Ayo tebak lagi!”

“Beri aku clue?”

Kim tersenyum menggoda. “Kim.”

“Kim?” Kim mengangguk. “Yang aku kenal dan kau juga mengenalnya. Kim Taehyung, Kim Yoo Hyun, Kim Jong Dae, Kim—Kimberly Choi….”

“Heh, aku perempuan.”

“Oops.”

Mereka berdua hening. Yui masing mencoba menebak-nebak, sedangkan Kim enggan memberikan clue lagi.

“Cinta pertamamu.”

Mata Yui terbelalak, kepalanya degan cepat menoleh pada insan di sampingnya. “Myungsoo?!”

“Ehm-mm.”

“Yah, di mana kau menemuinya?!” Tanya Yui menggebu-gebu.

“Wah, kenapa kau semangat sekali? Bagaimana dengan Taehyungieee….” Gurau Kim dengan nada manja menirukan Yui kalau sedang aegyo di depan Taehyung.

“Kimberlyyyy, ayolah—“

“Aku bertemu dengannya di toko buku saat aku sedang mencari referensi baru untuk novelku—tunggu, Myungsoo menyukai buku? Aku tidak tahu itu.” Bola mata Kim berputar ke atas, menandakan ia butuh penjelasan.

Yui mengalihkan pandangannya pada kolam di depannya. “Buku? Setahuku dia tidak suka buku.”

“Ah, mungkin dia sudah berubah. Itu bagus, siapa tahu kita bisa menjadi teman dan membicarakan banyak hal seputar buku dan dunia tulis menulis.” Khayalan Kim melayang. Seperti biasa, pikiran gadis itu selalu berkeliaran ke mana-mana.

Kepala Yui bergerak naik turun. “Benar. Itu kemajuan, Kim Myungsoo.”

“Tapi yang aneh, dia melihatku, kami berpandangan untuk beberapa saat, tapi dia langsung menutup buku yang dibacanya. Lalu pergi begitu saja.”

“Myungsoo? Tidak menyapamu? Padahal kalian beteman cukup baik, kurasa.”

*

Bunga-bunga masih terus mekar. Seperti bersaing untuk menunjukkan siapa yang terbaik mahkotanya. Juga dengan pohon, mereka bersaing untuk menampilkan gugusan bunga yang paling indah.

Namun angin musim semi yang begitu menyejukkan tidak membuat polisi Kim Namjoon duduk bersantai di kursi goyangnya. Kepalanya terus berdenyut, ia sudah memeriksa lebih dari dua puluh kali kertas di tangannya. Tapi hasilnya sama saja.

Namjoon mendial sebuah nomor, lalu menempelkan ponsel di telinga kirinya.

Halo?”

“Oh, Taehyung-ah, bisa kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.”

Tentu saja. Setelah jam makan siang aku bisa pulang. Kita bertemu di tempat biasa?”

“Baiklah, sampai bertemu.”

Tiga puluh menit kemudian, Namjoon datang lebih dulu. Ia memesan secangkir the hijau untuk menjernihkan pikirannya. Kemudian matanya menangkap seorang pria yang berdiri mematung sambil menjelajah pandang. Namjoong mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat kepada lelaki kebingungan yang kini menangkap sinyalnya.

“Sudah lama?” Tanya Taehyung.

“Tidak, pesananku baru saja datang.”

Saat itu juga seorang pelayan datang, lalu pergi setelah mencatat pesanan Taehyung.

“Baiklah. Silahkan bicara, Polisi Kim.”

Namjoon tidak mengindahkan pujian Taehyung yang memanggilnya secara terhormat. Ia masih resah gundah gelisah. Namjoon yakin sekali, selama sepuluh tahun karirnya menjadi detektif, ditambah lima tahun menjadi polisi, ia tidak pernah salah dalam menemukan jejak-jejak para pelaku kejahatan. Semua bukti yang ia kumpulkan benar dan selalu kuat di pengadilan.

“Taehyung… ah, ini agak sulit—bagaimana ya,”

“Ada apa? Katakan saja.”

Tepat saat itu pelayan datang membawakan pesanan Taehyung. Sampai sang pelayan undur diri, Namjoon baru akan angkat bicara lagi.

“Kau punya kakak?”

Taehyung mengangkat wajah. “Hyung?” Namjoon mengangguk. “Tidak. Aku hanya punya satu adik laki-laki. Kenapa?”

“Namanya?”

“Adikku?” Tanya Taehyung, entah pada dirinya sendiri atau pada Namjoon. “Kim Tae Myung.

Namjoon mendesah. Ia menundukkan kepala, lalu menyerahkan sebuah map coklat kepada Taehyung.

“Ini apa?” Namjoon tidak menjawab, hanya memberi isyarat pada Taehyung untuk membukanya.

Satu menit kemudian, mata Taehyung terbelalak. Napasnya tercekat. Selembar kertas yang ada di tangannya itu mengemukakan bahwa tersangka pembunuh Kim Seok Jin adalah Kim Tae Soo, kakak laki-laki Kim Tae Hyung dan Kim Tae Myung. Orang itu sekarang masih dalam tahap pengejaran polisi.

Mata Taehyung mengaca samar. Ditatapnya Namjoon dengan penuh tanda tanya. “Hyung, kubilang aku tidak punya kakak….”

“Aku tahu, tapi kau sudah menanyakannya kepada rumah sakit, dan hasilnya—Ibumu memang punya tiga anak laki-laki. Sidik jari yang aku tes waktu itu, benar milik Kim Tae Soo.”

*

Desiran angina berhembus halus bagai alunan nada yang berjajar lembut. Langit yang semula biru perlahan memerah, lalu menjingga. Sebentar lagi bintang akan bermunculan, seperti gula di atas kue black forest.

Taehyung duduk menatap jendela kosong di depannya. Pikirannya berkecamuk. Rasanya ingin sekali melemparkan otaknya itu dari apartemennya—kalau tidak ingat otak itu juga yang berhasil membuatnya menjadi dokter.

“Taehyung-ah.” Suara lembut Ibunya merasuk lembut dalam telinga pria dengan wajah sendu itu. Membuyarkan segala hal dalam lamunan beralasannya.

“Ibu,”

“Ada masalah di rumah sakit? Kau dicaci-maki pasien lagi?”

Taehyung duduk di sebelah Ibunya, lalu menyandarkan punggungnya di sofa. “Ibu, aku ingin menanyakan sesuatu.”

Ibunya tersenyum lembut. “Kau selalu menanyakan banyak hal.”

“Ibu, apa Ibu punya tiga anak?”

Raut wajah Ibunya berubah dengan cepat. Matanya tidak berkedip selama beberapa detik. “Apa yang kau bicarakan? Anak Ibu hanya kau dan Tae Myung.”

“Apa aku punya kakak laki-laki bernama Kim Tae Soo?”

 

To be continued!

Terimakasih yang sudah baca, jangan lupa komentarnya ya! :D

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
keyhobbs
#1
Chapter 7: wah ini udah berarhir aja...tapi lumayan gk nyangka lho tiba-tiba aja myungsoo muncul and jdi tersangka...dan satu lg aku gk pernah tau lho klo yoongi itu first lovenya kim^^ nice job authornim,,
luvelydream #2
Chapter 6: waaahh jadi siapa ini yang ngebunuhnyaaa >< kepo sama pembunuhnya nih author-nim >< haha
keyhobbs
#3
Chapter 6: Ahh....kok taehyung bisa ikut terlibat sih?? Dia cuman d fitnah aja kan ? :(
keyhobbs
#4
Chapter 4: Aku suka cara yoon gi manggil kim dengan sebutan "gadis prancis" hihi :)
hooneymoon #5
I think I'm going to enjoy this story. It looks well written and is great!
luvelydream #6
Chapter 3: wow penuh misteri banget ini ceritanya xD kirain ceritanya bakal terus mellow, soalnya dari awal nyesek banget T_T tapi ternyata ngga haha lanjutkan author-nim! ^^