Bab Dua

Moonlight Angel

NamJoon membanting pintu di belakangnya. Apartemen miliknya jauh berbeda dengan milik YuJi. Ruangan itu terlihat tiga kali lebih besar, namun keadaannya sangat memprihatinkan seakan baru terjadi peperangan dahsyat dalam apartemen itu. Botol-botol bir dan puntung rokok berserakan di meja kaca yang terletak di ruang tengah, bahkan ada yang tergeletak di lantai. Semuanya dibiarkan begitu saja tanpa tanda-tanda akan ada yang membersihkan.

Cahaya matahari jatuh di ruangan yang luas itu melalui jendela besar di samping yang tirainya dibiarkan setengah terbuka. NamJoon berjalan ke arah dapur dan membuka pintu kulkas. Matanya tertuju pada sekaleng bir yang isinya tinggal setengah. Ia menyambar kaleng itu lalu menenggaknya dengan rakus seakan tidak ingin orang lain mengambilnya.

"Wah, wah.. Sudah kembali rupanya." NamJoon tidak perlu berbalik untuk mengetahui siapa yang ada di sana bersamanya. Ia langsung bisa mengenali suara lelaki itu.

"Aku sudah bertemu dengannya." NamJoon meremukkan kaleng bir yang tadi ia pegang dan membuangnya ke tempat sampah di samping meja makan yang terletak di tengah-tengah dapur.

"Oh?" Hanya itu jawaban dari lawan bicaranya. Suaranya terdengar malas dan sepertinya ia tidak tertarik dengan topik yang sedang dibahas. Jari-jarinya sibuk mengetik layar handphone seakan ia sedang sendirian di ruangan itu.

NamJoon memutar bola mata kemudian beralih menatap temannya. "Ayolah, Jin. Kau punya jawaban yang lebih bagus daripada hanya sekedar 'oh'."

Jin mengangkat kepala dari layar handphone dan mengangguk. "Berharap aku menjawab dengan kata-kata lain? Beri aku contoh." Ia berkata sambil memperlihatkan cengirannya. Ia tidak terlalu suka berbicara tapi ia sangat sering berdebat dengan NamJoon. Ia sudah menganggap lelaki itu sebagai saudaranya sendiri.

NamJoon tidak menggubris candaan Jin dan meneruskan, "Menurutku ia lumayan. Manis, kelihatannya lugu. Kurasa kau akan menyukainya. Namun ia tidak memiliki tubuh semampai seperti wanita-wanita yang sering kau rayu. Ia pendek." NamJoon tertawa sendiri membayangkan tinggi YuJi yang bahkan tidak menyentuh dada JiMin yang menurutnya saja sudah cukup pendek.

Jin mengerutkan keningnya dan mulai berjalan ke arah pintu keluar apartemennya. "Lugu? Dari mana kau tahu?"

NamJoon mengerang pelan. "Kan sudah kubilang. Kelihatannya. Aku juga tidak tahu." Ia mulai terlihat tidak sabar tetapi tetap menjaga suaranya terkendali.

Terdengar suara pintu ditutup yang menandakan bahwa Jin telah keluar dari ruangan itu bahkan sebelum NamJoon menyelesaikan kalimatnya.

"Oh, demi Tuhan! Tidak bisakah ia membiarkan emosiku tenang sehari saja?"

 

                                                        

 

YuJi memandang berkeliling dari balik lensa kamera. Hiruk pikuk Myeongdong Market memang menjadi daya tarik tersendiri. Pasalnya, tempat ini menjadi tempat berkumpulnya para remaja bahkan orang-orang dewasa yang memiliki ketertarikan pada fashion. YuJi bisa mendapatkan foto-foto penuh warna dari sibuknya kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kawasan ini. Kabel earphone yang terhubung dengan handphone terpasang di telinganya agar ia tetap bisa berkomunikasi dengan seseorang di ujung sana tanpa menganggu pekerjaannya.

"JungKook? Ya, kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Bagaimana pekerjaanmu? Ah, syukurlah. Mengunjungiku? Oh, tidak. Sebaiknya kau fokus saja pada kehidupan dan pekerjaanmu. Nuna tidak igin merepotkanmu. Ya, ya, tentu saja." YuJi tertawa tertahan mendengar apa yang dibicarakan adiknya. "Aku lebih dewasa dari kau, Jeon JungKook. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Sesekali? Hmm.. Baiklah, tapi kalau kau memang sibuk, sebaiknya kau tidak usah memaksakan. Ya. Ya, baiklah. Aku mengerti." YuJi membiarkan earphone tetap terpasang meskipun telepon sudah dimatikan.

Ia menurunkan kameranya dan berputar arah. Lampu-lampu toko di sekelilingnya menyala menyambut para tamu. Sungguh pemandangan yang sangat biasa di tempat ini, walaupun YuJi sudah lama tak menikmatinya. "Korea memang sudah banyak berubah." Ia berjalan-jalan santai di sepanjang jalan itu sambil sesekali memasuki beberapa toko untuk melihat-lihat produk kecantikan yang saat ini sedang laris dan diburu banyak remaja karena musim panas telah tiba.

Rasa lelah setelah kira-kira dua jam berkeliling membuat alarm dalam perut YuJi berbunyi. Ia memutuskan menuju restoran Burger King untuk memberi makan perutnya yang sejak pagi belum diisi. Keramaian di dalam restoran itu menyambut YuJi begitu masuk ke dalam. Ia segera memesan makanan dan mengambil tempat duduk di pojokan tepat di sebelah seorang gadis yang kini sedang duduk membelakangi Yuji sambil larut dalam majalah di hadapannya seakan-akan dunia hanya latar belakang berbayang.

Tak berapa lama menunggu, tiba-tiba sepasang tangan terulur di samping YuJi dan melingkari tubuhnya seperti kain pembungkus. Sontak Yuji mengangkat kepala dan bersiap mengambil tas selempang yang ia letakkan di atas meja untuk menghajar orang tak punya sopan santun itu ketika sebuah suara memekik senang, "Astaga! Bukankah kita berjodoh?" Suara tenor yang ia dengar tadi pagi kini ada di belakangnya.

YuJi berdiri menatap pemuda itu. Mata hitamnya tersenyum membentuk bulan sabit hingga YuJi tidak yakin apakah lelaki itu bisa melihat sekitarnya. Namun YuJi tahu satu hal, mata itu terlihat polos tanpa rasa bersalah bahkan setelah ia memeluk seseorang yang baru dikenal tanpa izin. "Apa yang kau lakukan?!" YuJi menahan amarahnya tetapi emosi itu tetap nyata dalam suaranya.

"Shh! Kau tidak usah memberikan respon seperti itu, YuJi. Aku hanya ingin bersikap ramah," jawab JiMin dengan ringan. Ia bergerak dan mengambil tempat kosong di seberang gadis itu.

YuJi menurunkan suaranya karena ia sadar bahwa beberapa orang telah memperhatikan mereka berdua. Ia berputar menghadap JiMin yang sudah duduk di depannya dan terpaksa mengikuti. "Aku tidak suka dipeluk."

JiMin mengangkat tangan tanda menyerah. "Begitukah? Baik, akan kuingat."

"Mau apa kau di sini?" Pertanyaan itu terdengar kasar tetapi itulah yang dikatakan YuJi. Ia tidak tahan berada di dekat lelaki tersebut. Seperti mendekati bahaya.

JiMin tersenyum lebar. Ia bertopang dagu sambil memperhatikan seinci demi seinci wajah YuJi, mengikuti garis wajahnya yang berbentuk oval dan lembut. "Kurasa aku boleh berada di sini kapanpun aku mau, sama seperti kau dan orang lain yang memiliki hak sama." 

YuJi mengerutkan keningnya tidak setuju. Memang ia berhak untuk berada di sini, tapi mengapa harus di waktu yang sama dengan YuJi? "Aku tidak menyukaimu." Kata-kata itu dikeluarkan begitu saja olehnya.

JiMin meletakkan satu tangan di dada seperti orang yang sedang berpura-pura tersakiti. "Ow! Sayang, kau manis. Jauhkan kata-kata pedas dari mulutmu. Aku sudah jinak jadi kau tidak perlu takut."

Kaget bahwa JiMin bisa menebak pikirannya, YuJi langsung menjawab, "Apa? Aku tidak takut padamu."

Kemudian pria itu menepuk tangan sekali, masih dengan senyum lebar yang terpasang di wajahnya. "Bagus. Kalau begitu kita bisa berteman, bukan? Ayolah, aku bisa menjadi teman paling menyenangkan yang pernah kau punya."

Tidak ada jawaban. YuJi pura-pura sibuk dengan kameranya sehingga ia bisa menghindar dari keharusan untuk menjawab.

"Aku bisa mengajakmu berkeliling Seoul. Kau pasti butuh tempat-tempat indah untuk--"

"Aku bisa berkeliling sendiri."

"Aku bisa mentraktirmu makan siang setiap hari," desak JiMin.

"Aku bukan pengangguran yang meminta makanan pada orang lain."

"Aku bisa menghiburmu apabila kau bosan."

"Hidupku cukup menyenangkan untuk dilalui."

JiMin menghela napas dan bersedekap. "Kau tahu, aku memang suka bertingkah seenaknya saja, tapi aku bisa menjadi pria yang baik. Apakah salah untuk menawarkan kebaikan?"

YuJi melirik pemuda itu. Apa yang dikatakan JiMin barusan menimbulkan perasaan bersalah dalam dirinya. JiMin memang suka berbicara dan bertingkah asal, tapi YuJi belum mengenalnya secara mendalam. Tidak ada salahnya memberikan orang lain kesempatan untuk menunjukkan kebaikan dalam diri mereka.

"Aku.. Maaf, sepertinya aku memang terlalu berlebihan." Suara YuJi menjadi sangat pelan saat mengucapkannya.

"Tidak usah dipikirkan. Wanita secantik dirimu memang harus waspada terhadap pria sepertiku." Lekukan senyum di bibirnya terlihat angkuh. Ia merupakan pria yang sangat percaya diri, YuJi bisa melihatnya.

"Lihat, kau menimbulkan kecemasanku lagi." Gadis itu menyipitkan mata.

JiMin tertawa. "Dan lihat, ternyata dugaanku benar bahwa kau takut padaku."

Dengan itu, YuJi tersenyum tipis namun segera ia lenyapkan dari wajahnya.

JiMin melongo sejenak. Apakah ia salah lihat? Tidak, ia yakin gadis itu tersenyum. "Hey, itu pertama kalinya kau menunjukkan senyummu padaku, meskipun aku tidak yakin kau tersenyum karena kau langsung mengubah ekspresimu menjadi serius kembali. Kau harus sering-sering tersenyum seperti itu. Kelihatannya tidak buruk. Sama sekali tidak buruk."

YuJi mengerang. "Hentikan omong kosongmu. Apakah kau selalu merayu wanita yang kau temui seperti itu?"

"Tidak juga. Hanya padamu."

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet