Bab Satu

Moonlight Angel

YuJi melangkahkan kakinya di tengah kegelapan malam. Peta di tangannya mengatakan ia harus melewati gang kecil itu dan berbelok ke kiri di ujung jalan. Tembok batu di samping kiri kanannya seolah memisahkan dirinya dari peradaban luar. Berjalan sendiri tanpa penerangan, bahkan bulan bersembunyi di balik awan malam, YuJi mempercepat langkahnya. Ia berharap segera tiba di tempat yang dituju. Tidak terpikir olehnya bahwa ia harus melewati gang sempit dengan aroma lembap yang menusuk untuk mencapai apartemen yang direkomendasikan oleh salah satu temannya. Apartemen itu terletak di pinggiran kota Seoul, jauh dari keramaian kota. Seharusnya aku tidak mendengarkan kata HaeRi, ucap YuJi dalam hati. HaeRi adalah teman yang sudah ia kenal sejak masa sekolahnya, tapi ia tidak pernah benar-benar bisa percaya pada orang itu. YuJi terpaksa mengikuti sarannya kali ini karena ia tidak menemukan pilihan lain.

Suara gemerisik membuyarkan lamunan YuJi dan gadis itu segera menoleh ke belakang untuk mencari asal suara. Hanya kucing, hanya kucing, hanya kucing, atau tikus. YuJi mengulang kata-kata itu dalam hati dengan harapan hal tersebut bisa membuatnya sedikit tenang. Bukan hantu dan makhluk semacamnya yang menakuti pikirannya, tetapi manusia. Perampok, preman, atau yang lebih parah.. pemerkosa. Ia mempercepat langkahnya dan berbelok ke arah yang ditentukan oleh peta. Masih ada jalan lurus tanpa belokan yang harus ia tempuh. Jam menunjukkan pukul sebelas malam, waktu ketika seharusnya seorang gadis seperti dirinya sudah membersihkan diri atau bahkan sudah beristirahat di dalam kamar dengan nyaman. Kenyataannya, YuJi masih harus mencari tempat agar ia bisa berlindung dari angin malam itu.

Beberapa menit YuJi berjalan, akhirnya ia berdiri di depan sebuah gedung bercat coklat muda dengan atap persegi yang terlihat baru. Gedung itu tidak terlalu tinggi tetapi melebar dan memiliki anak-anak gedung di belakangnya. Gedung utama -yang pintu masuknya menghadap YuJi seakan menyambut kedatangannya- berukuran lebih besar dibanding gedung lain. Daerah sekitarnya tidak lagi terlihat gelap melainkan telah digantikan oleh terang yang berasal dari lampu-lampu yang dinyalakan di dalam apartemen itu. Sejujurnya, gedung itu tidak bisa disebut apartemen karena tidak terlihat demikian, lebih cocok untuk disebut hotel yang lumayan mewah. Pintu masuknya berupa kaca setebal beberapa senti yang terbuka secara otomatis. Pilar tebal bewarna putih di kedua sisi pintu memberikan kesan mahal pada gedung apartemen itu. Tamu yang baru datang akan disambut dengan empat deret anak tangga menuju pintu masuk. YuJi mengecek sekali lagi alamat apartemen itu dengan yang tertera di peta. Tidak salah lagi. Ia segera mengambil langkah lebar menaiki anak tangga di hadapannya dan berjalan memasuki gedung.

Dekorasi di dalamnya membuat YuJi semakin ragu menyebut tempat itu sebagai apartemen. Oh! Ya ampun. Furniturnya didominasi warna coklat yang membuatnya terlihat klasik dan elegan. Lobi apartemen dihiasi lemari coklat besar berisi pajangan ala Perancis dan foto-foto pemandangan luar negeri. Meja rendah dengan taplak berenda warna putih berdiri kokoh dikelilingi deretan sofa yang terlihat empuk dengan warna senada dengan lemari pajangan di seberang ruangan. Bau kayu yang memenuhi lobi memberitahu YuJi bahwa hanya orang dengan harta berlebih yang mampu tinggal di apartemen tersebut. Sejenak YuJi memaksa dirinya berubah pikiran dan meninggalkan tempat itu untuk menemukan apartemen dengan harga lebih terjangkau. Sebelum ia sempat berpikir demikian, sebuah suara mencegah niatnya. "Selamat malam. Ada yang bisa kubantu?"

YuJi mencari asal suara dan menemukan seorang wanita paruh baya dengan ukuran tubuh jauh lebih tinggi darinya berdiri di samping meja yang mirip meja resepsionis hotel. Tubuh langsing bak model yang terbungkus kaos tipis tanpa lengan dipadukan dengan celana jeans ketat sehingga membentuk lekuk tubuhnya membuat wanita itu terlihat seperti remaja modern dibandingkan YuJi yang hanya mengenakan pakaian seadanya. "A-aku.. Aku hanya ingin melihat-lihat." Ia bingung mengapa suaranya gemetar seakan-akan ia takut terhadap wanita itu. YuJi memang merasa tidak nyaman memandang wanita berambut pirang yang sedang menatapnya dengan matanya yang lebar seakan melotot, seperti ia akan merobek kulit YuJi dengan tatapannya. Wanita paruh baya itu tidak memiliki darah Korea, ia bisa mengetahui hanya dengan melihat ukuran dan warna matanya yang biru dan kulitnya yang kecoklatan seperti terbakar matahari. Tetapi ia bisa berbahasa Korea dengan fasih, pikir YuJi.

"Kau tidak seperti sedang melihat-lihat." Ia berjalan mendekati YuJi sambil masih memandangi gadis mungil itu dengan tatapan tajamnya. Begitu ia sudah berada di depan YuJi -membuatnya harus menunduk agar bisa melihat wajah gadis itu karena perbedaan tinggi mereka-, suaranya berubah menjadi lebih ramah. "Namaku Kimberly Rivers. Aku pemilik apartemen ini sekaligus menjadi penyambut tamu. Jadi.. ada yang bisa kubantu?" Ia tersenyum. Bukan senyum tulus, tetapi juga bukan senyum sinis.

 

Kimberly berjalan memimpin di lorong sambil membawa kunci apartemen yang akan ditempati YuJi. Lorong itu hanya diberi cahaya seadanya dari lampu-lampu kecil yang ditempel setiap beberapa meter di tembok. Kini mereka berdua berada di gedung lain yang merupakan anak gedung di belakang lobi. Lorong diberi warna putih pucat yang catnya sudah sedikit terkelupas dan berdebu seperti tidak pernah dirawat. Keadaan di gedung itu bertolak belakang dengan lobi yang sempat membuat YuJi berdecak kagum. Kini ia tahu mengapa harga apartemen tersebut bisa dibilang murah. Ternyata hanya lobinya yang dibuat seindah mungkin. Kurasa tujuannya adalah untuk menarik tamu agar menyewa apartemen ini. Tapi YuJi tidak menyesali keputusannya untuk menetap di sini karena ia tidak terlalu peduli dengan kualitas tempat tinggal asalkan ia bisa terlindung dari panas dan hujan.

Kimberly menoleh ke belakang untuk menatap YuJi sekali lagi. Wajahnya menyiratkan perasaan bersalah. Bagi YuJi, entah mengapa ekspresi wajah itu seperti dibuat-buat. "Maaf jika fasilitasnya seadanya, tapi kau bisa mengandalkanku apabila kau membutuhkan sesuatu. Aku akan berusaha membantu. Jangan sungkan."

YuJi mengangguk ragu. Ia tidak melihat siapapun sedari tadi di apartemen itu. "Kau di sini bekerja sendiri?" Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya.

Kimberly tidak langsung menjawab. Mungkin ia tidak berpikir bahwa gadis itu akan menanyakan pertanyaan seperti itu. "Tidak, ada lima orang pegawai yang membantuku mengurus tempat ini. Ketika aku tidak ada di tempat, kau bisa menghubungi mereka jika ada sesuatu." Kemudian ia berhenti di pintu bertulis angka B203 yang membuat YuJi juga menghentikan langkahnya. "Ini kamarmu. Dan ini kuncinya," ia menyerahkan kunci bewarna emas dengan sedikit karat di pinggirnya. YuJi menerimanya sambil mengucapkan terima kasih dengan suara pelan yang mungkin tidak terdengar oleh Kim. "Buat dirimu senyaman mungkin. Selamat malam." Kimberly melipat tangan di depan dadanya dan berjalan meninggalkan YuJi sendirian di lorong itu.

Matahari pagi musim panas memaksa masuk melewati celah jendela kamar tidur yang terbuka. YuJi tengah mematut dirinya di cermin yang terletak di samping lemari pakaian. Ia melihat bayangan dirinya mengenakan kemeja tanpa lengan berbahan chiffon warna hijau tosca dipadu hot pants dan sandal flip-flop putih, dengan kalung perak mencapai tengah dadanya berbandul salib yang diukir ayat Alkitab di sepanjang permukaannya. Rambut coklat tua YuJi dikucir di puncak kepala dan dibiarkan tergerai membentuk gelombang alami. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengambil tas selempang sekaligus kameranya yang digantung di belakang pintu.

Kamar tidur apartemen itu sebenarnya cukup nyaman, tetapi ada keanehan yang tidak bisa dijelaskan YuJi. Pertama kali memasuki kamar, ia terperangah melihat ukuran tempat tidurnya. Ranjang king size yang biasanya digunakan untuk dua orang -padahal ukuran apartemen itu hanya cukup untuk tempat tinggal satu orang-, penerangan dalam kamar hanya berupa lampu kecil warna kuning redup yang terletak di atas meja rias di dekat pintu masuk kamar sehingga pada malam hari kamar itu benar-benar terlihat mengerikan seperti dalam film horor yang sering ditonton YuJi, dan yang lebih membuatnya mengerutkan dahi adalah tembok kamar yang dilapisi bahan kedap suara. Ia berpikir mungkin itu dibuat agar orang-orang bisa mendapatkan privasi, tetapi mungkin ada alasan lain yang bisa menjelaskan hal itu. YuJi tidak ingin terlalu ambil pusing.

Ia mengecek sekali lagi barang bawaan dalam tas selempangnya, menutup jendela, dan mengunci pintu kamar tidur. YuJi berjalan melewati ruang tamu yang digabung dengan dapur kecil sekaligus ruang makan dengan jendela lumayan lebar menghadap bagian samping gedung. Setidaknya lampu jalan dari luar membantu menerangi ruangan sempit itu pada malam hari ketika hanya ada cahaya seadanya di dalam. YuJi berniat membeli lampu tambahan untuk diletakkan di ruang tamu. Ia tidak ingin mengambil resiko ada orang asing masuk ke dalam apartemennya namun ia tidak menyadari hanya karena minimnya penerangan.

YuJi memasukkan kunci apartemen ke dalam tas setelah memastikan ia mengunci pintu dengan benar. Ia melihat lorong panjang itu. Berhalusinasi tentang hal buruk yang bisa terjadi padanya apabila ia pulang tengah malam, sendirian, tanpa perlindungan apapun, dan.. dan.. Astaga! Apa yang ia pikirkan? YuJi menggeleng keras untuk mengusir imajinasi dahsyatnya. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Tidak ada yang salah. Tidak ada apapun. Ia mengomel pada diri sendiri karena terlalu khawatir dan ketakutan. Seharusnya ia bukan menjadi fotografer, melainkan penulis novel fantasi tingkat tinggi. Ia yakin novel-novelnya akan laris dan dihargai mahal.

Tiba di lantai dasar, YuJi merasa sedikit aman karena cahaya matahari sudah semakin terlihat. Ia membuka pintu kaca yang memisahkan anak gedung dengan gedung utama. Taman hijau di samping kiri kanan yang tidak ia sadari semalam, mungkin karena keadaan sekitarnya yang terlalu gelap, menyambut hangat begitu keluar dari anak gedung. Dalam sekejap YuJi sudah berada di lobi tempat kemarin ia tiba untuk pertama kali. Ia mendapati Kimberly sedang berdiri di dekat lemari pajangan. Matanya hanya fokus pada satu titik, tetapi bukan sedang memperhatikan sesuatu dalam lemari itu. Ia sedang melamun. Tangannya bersedekap dan alisnya berkerut, menambah ketajaman wajahnya. Bersama dengan Kim, ada dua orang lelaki duduk di sofa kulit yang berada di seberang lemari tersebut. YuJi mengira-ngira usia mereka sepantaran dirinya. Sekitar dua puluhan. Yang satu bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata sipit dan rambut diberi warna merah menyala. Alis matanya berjajar rapi seperti semut berbaris membingkai indah di atas kedua mata lelaki itu. Dan caranya tersenyum pada YuJi sekarang ini.. O-oh! Bibir ditarik ke kedua sisi sehingga menghasilkan lesung pipit yang menawan, menambah keunikan wajahnya. Ia mengangkat tangan dengan maksud menyapa YuJi dengan jari-jari tangan yang panjang dan lentik seperti ia melakukan perawatan khusus pada jari-jari itu. YuJi membalas sapaannya dengan tersenyum semanis mungkin yang selalu ia berikan pada semua orang yang baru ia temui.

YuJi memindahkan arah pandang ke sebelah dan bertemu dengan sepasang mata hitam pekat tanpa lipatan unik di atasnya sedang memandanginya. Mata kucing itu mengawasi setiap inci gerakan yang ia lakukan. Pemuda tersebut lebih pendek, tetapi YuJi bisa melihat otot tubuhnya dibalik kaos oblong yang menempel pas di kulitnya yang sedang ia kenakan saat itu. Rambut hitam dibiarkan acak-acakan dan jatuh ke dahinya yang sempit. Tindikan di kedua telinga beserta cincin-cincin yang ia susun di tangan kanan memberikan kesan preman. Lelaki itu juga tersenyum, tapi entah mengapa YuJi merasa tidak nyaman dengan lekukan miliknya. Ia terlihat sedang merayu. Tidak, ia memang sedang merayu YuJi. "Kau pasti gadis cantik yang diceritakan Kim." Suara tenornya sangat enak didengar, seperti sedang menyanyikan sebaris lirik lagu.

Kimberly yang sedari tadi tidak menyadari kehadiran YuJi, seolah mendapati nyawanya kembali dan melirik gadis itu. "YuJi, selamat pagi. Kau akan pergi?" 

YuJi merasa kikuk karena tiga pasang mata tengah menatapnya, menunggu jawaban. Ia mencengkram kamera yang tergantung di lehernya dan mengangkat benda itu setinggi penglihatan mereka. "Bekerja."

Lelaki berlesung pipit tadi mengangguk sekilas. Ia menjauhkan diri dari sofa untuk menggapai tempat YuJi berdiri. "YuJi? Senang berkenalan denganmu. Aku Kim NamJoon."

Mengingat sopan santun yang diajarkan ibunya, YuJi segera membungkukkan badan sambil menahan kamera di bawah dada. Bahasa tubuhnya canggung. Ia memang tidak mudah menyapa orang asing, terutama laki-laki. Mereka seperti serigala berbulu domba. Kau tidak bisa menilai hanya dengan melihat, tetapi kau butuh waktu lama untuk mengetahui sisi baik dan sisi buruk mereka. Hal itu mungkin berlaku bagi semua orang, namun kau harus lebih berhati-hati terhadap makhluk yang disebut pria. "Son YuJi." Jawabannya terdengar jauh.

"Gadis mungil sang fotografer. Manis sekali." YuJi mengangkat wajah untuk memandang si lelaki berotot. Ia mengucapkan kata-kata itu tanpa ragu ataupun malu. "Jin-hyung pasti menyukainya."

YuJi mengerutkan kening. Campuran ekspresi antara bingung dan tidak setuju terlukis di wajahnya. "Maaf?" Apa sih yang dipikirkan lelaki ini? Apa ia sedang mabuk?

Kimberly yang merasakan situasi kurang menyenangkan, berdeham untuk mencairkan suasana. "Perhatikan omonganmu, JiMin."

JiMin -begitu ia dipanggil- terkikik tanpa perasaan bersalah. Ia menoleh ke luar melalui jendela besar yang terbentang sepanjang ruangan sederetan pintu masuk. Jendela itu kini hanya berlapis tirai tembus pandang yang menyuguhkan pemandangan sekitar apartemen dengan jelas. Tadi malam jendela ditutup dengan tirai tebal panjang yang pagi ini diikat di kedua tepi jendela. "Kupikir aku akan bersenang-senang sebentar," lalu JiMin meninggalkan tempat itu.

"Tidak usah mendengarkan dia. JiMin memang selalu berbicara tanpa berpikir." NamJoon berusaha mengambil alih pembicaraan. Sepertinya ia merupakan laki-laki yang cukup ramah dan bisa dipercaya.

"Aku tidak apa-apa." YuJi tersenyum menenangkan. Ia tahu bahwa sikap temannya itu bukan kesalahan NamJoon. "Sudah waktunya aku pergi."

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet