PART 2 : WHITE RABBIT WITH CHERRY BLOSSOMS TREE

THAT SPRING

2014 : Spring

O thou with dewy locks, who lookest down
Through the clear windows of the morning, turn
Thine angel eyes upon our western isle,
Which in full choir hails thy approach, O Spring!

The hills tell one another, and the listening
Valleys hear; all our longing eyes are turn’d
Up to thy bright pavilions: issue forth
And let thy holy feet visit our clime!

Come o’er the eastern hills, and let our winds
Kiss thy perfumèd garments; let us taste
Thy morn and evening breath; scatter thy pearls
Upon our lovesick land that mourns for thee.

O deck her forth with thy fair fingers; pour
Thy soft kisses on her bosom; and put
Thy golden crown upon her languish’d head,
Whose modest tresses are bound up for thee.

(To Spring, From Poetical Sketches, by William Blake 1783).

 

Jiwon menutup buku “Five People You Me in Heaven” yang baru dibelinya semalam. Matanya kemudian menerawang memandangi gugusan bunga sakura yang bermekaran indah. Jiwon melirik jam dipergelangan tangannya. Sebuah jam tangan kulit yang tak sengaja ditemukannya setahun yang lalu. Jam tangan milik seorang ‘kastria’ yang menyelamatkan dirinya. “Aigoo, sudah jam segini. Aku ada janji dengan Tuan Choi.” Dia bergumam.

Bergegaslah Jiwon menuju sebuah tempat dimana dia berjanji bertemu. Dengan cekatan Jiwon mengendarai Chevrolet Camaro Convertible merahnya. Dan tak sampai 15 menit dia sudah sampai disebuah café perancis, Silencieux. Café kecil yang juga menjadi tempat favoritenya membaca buku. Jiwon memarkir mobilnya dan bergegas masuk ke dalam café yang memang lengang disaat jam 4 sore. Café akan ramai ketika menginjak pukul 5 atau 6.

Jiwon menatap berkeliling mencari-cari sosok yang familiar diingatannya. Setelah setahun mencari-cari tahu, Jiwon mengetahui sebuah nama selain nama ayah angkatnya. sebuah nama dari seseorang yang menjadi bagian dari foto tua yang ditemukan Jiwon. Lalu mata Jiwon berhenti pada sosok yang tubuhnya menghadap dirinya namun tengah berbicara dengan orang lain didepannya. Jiwon mengeluarkan foto using dari agenda merahnya.

“Benar. Itu tuan Choi.” Gumamnya. Jiwon memberanikan diri menghampiri meja yang terisi dua orang itu. “Selamat sore. Apakah anda Tuan Choi?” tanya Jiwon sopan.

Seorang pria paruh baya namun tetap terlihat enerjik itu mengangkat kepalanya. Matanya membulat kaget, seperti tidak mempercayai sesuatu. Namun dengan cepat nampak menguasai dirinya. “Ah. Benar. Kau pasti Kim Jiwon. silahkan duduk.” Sapa orang itu ramah.

Jiwon mengangguk dan tersenyum. Bersamaan dengan itu, pria yang tadi berbicara dengan tuan Choi menoleh dan kaget. “Aku bertemu denganmu lagi, Kim Jiwon.” bisik hatinya.

“Jinwoo-ya, nanti paman akan mampir ke kantormu. Tentu paman akan mempertimbangkan semuanya. Kau tak perlu khawatir. Paman selalu setuju dengan keputusanmu. Sekarang, biarkan paman berbincang dengan nona cantik ini.” Ujar tuan Choi. Laki-laki yang dipanggil Jinwoo itu mengangguk dan merapihkan berkas-berkas dihadapannya. Memasukkannya dalam tas hitam lalu dia beranjak berdiri.

Mempersihkan Jiwon untuk duduk. Saat pergantian duduk itulah Jinwoo mengenali jam dipergelangan tangan kanan Jiwon. “Jam tanganku! Bagaimana dia bisa memilikinya? Aku tak mungkin salah mengenalinya, karena paman Yongguk yang memberikannya padaku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke delapan. Dan aku kehilangan jam tangan itu setahun yang lalu.

“Jam tangan yang bagus, nona.” Ujar Jinwoo. Jiwon menoleh dan menggenggam lengannya. “Ya, jam tangan klasik ini memang limited edition dimasanya. Dan sampai saat ini belum ada yang menyamainya. Sayangnya pemiliknya terpisah dengannya.” Ujar Jiwon lugas.

Jinwoo tersenyum, “jadi kau sengaja mengenakannya supaya si pemilik menemukanmu?

“Kalau begitu, aku pergi dulu, paman Junhong. Bye.” Jinwoo beranjak pergi meninggalkan Choi Junhong dan Kim Jiwon. Tuan Choi atau Choi Junhong kini menatap sepasang mata bulat penuh ingin tahu dihadapannya, senyumnya merekah. “Kau tumbuh dengan baik. Nuna dan Hyung pasti bangga memilikimu. Menjadi perempuan yang cerdas dan bermartabat.”

“Jadi, ada keperluan apa sehingga kau sampai susah payah menyusulku kemari nona Jiwon?” buka Junhong, mengawali pertemuan mereka. Jiwon tersenyum, dengan sigap dia mengeluarkan agenda merahnya dan mengulurkan foto yang disimpannya.

Sebuah foto yang terdiri dari 6 orang pria muda yang nampak sangat rebel dilihat dari penampilan mereka. “Aku ingin tahu cerita dibalik foto ini, paman. Aku menemukan foto ini bertahun-tahun yang lalu saat membantu auditor membereskan ruang kerja ayag saat audit tahunan. Aku penasaran siapa mereka yang ada difoto ini.” Ujar Jiwon dengan santai. Gesturnya sangat bermartabat dan tenang.

Junhong tersenyum dan meraih foto itu. Dipandangi foto yang diambil sekitar 28 tahun yang lalu, atau ketika dia berusia sekitar 18 tahunan. “Aku ingat foto ini. Ini fotoku dengan kelima hyungku, ketika kami memenangkan kejuaraan music pertama kalinya. Ah, waktu begitu cepat berlalu. Ah iya, kau bilang kau menemukannya di ruang kerja ayahmu. Apa sekarang Himchan-hyung tahu kalau kau menemuiku?”

Jiwon tersenyum, “Tidak paman. Ayah kemungkinan besar tidak tahu.”

Junhong menatap gadis didepannya, wajahnya nampak sangat tenang dan tersenyum hangat, “Ah begitu. Kami sudah kehilangan kontak setidaknya 20 tahun yang lalu. Sejak aku berangkat menuju Paris.” Jiwon tersenyum makin lebar begitu kalimat junhong selesai, matanya terus berbinar.

“Kenapa kehilangan kontak paman? Kalau dari foto ini kalian harusnya merpakan teman sangat dekat.” Tanya Jiwon. Junhong menatap mata Jiwon, senyum hangatnya tidak pudar sedikitpun dari wajahnya. Kemudian Junhong menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya masih mengawasi gerik Jiwon. “Tentu. kami sangat dekat dulu. Ada yang ingin kau tanyakan Jiwon-ah?” jawab Junhong.

Jiwon menggeser duduknya mendekati meja, seolah dengan begitu Junhong dapat mendengarkan suaranya lebih serius. “Apa paman siapa aku? Apa ketika terakhir paman bertemu dengan ayahku paman sudah mengetahuiku? Maksudku, apakah aku sudah lahri saat terakhir kalian bertemu dengan ayahku?”

Junhong melipat kedua tangannya di dadanya sembari terus menatap Jiwon, “Tentu saja. Aku melihatmu sehari setelah kau dilahirkan oleh ibumu. Nuna sangat bahagia saat memilikimu saat itu, terlebih hyung, hyung sellau menantikan kehadiranmu.” Jawab Junhong tenang.

Mata Jiwon makin membulat, tidak percaya akan apa yang didengar telinganya. Tidak mungkin. Mana mungkin dia mengetahui bagaimana aku lahir. Harusnya dia tidak tahu. Jiwon berkata dalam hati. Dengan tangan begetar dia meraih gelas berisi jus jeruk yang sebelumnya sudah dia pesan. Dan gerakan tangan Jiwon ini tak luput dari pengamantan Junhong.

“Ada lagi yang ingin kau tanyakan?” tanya Junhong. Jiwon menatap Junhong yang tersenyum hangat. “Paman tidak berbohong padaku kan?” tanyanya. Junhong tergelak, “Bagian mana aku yang berbohong Kim Jiwon. aku ingat dengan jelas kau dilahirkan tanggal 19 Oktober, tepat 26 tahun yang lalu. Meskipun aku sudah tua, aku sama sekali tidak lupa kalau kau dilahirkan oleh nuna favoritku, dan juga hyung yang paling aku segani. Aku selalu ingat Kim Jiwon.” jawab Junhong.

Jiwon menentramkan hatinya, seolah dia menyerah. “Aku harus mencari tahu. Kenapa paman Junhong berkata demikian, kenapa dia mengetahui kelahiranku? Harusnya kan dia tidak tahu. Aku kan diadopsi saat aku berusia 6 tahun.” Batinnya. Kemudian Kim  Jiwon bangkit dari duduknya. Dia tersenyum senormal mungkin, “Baiklah, kalau demikian. Aku pulang dulu paman Cjoi Junhong. Aku berharap paman bisa berkunjung ke rumah. Nanti aku akan sampaikan pada ayah kalau paman sudah tiba di Seoul.”

Junhong tersenyum mendengar kalimat gadis muda didepannya. “Tentu. Jika ada waktu tentu aku akan berkunjung. Selamat sore.” Maka pergilah Jiwon dari hadapan Junhong. Sepeninggal kepergian Jiwon, Junhong mengeluarkan dompetnya. Ada sebuah foto yang dia simpan disana. Foto yang sama persis dengan yang dimiliko oleh Jiwon. foto 6 laki-laki muda.

“Aku tak berbohong kan, hyung. Aku sama sekali tak menyebutkan namamu atau nama Himchan hyung sebagai nama ayahnya. Dia tidak perlu tahu. Tidak sekarang.” Kemudian Junhong meninggalkan café itu.

……

 

Jiwon memukul-mukul kemudinya, meskipun dia sudah sampai didepan rumahnya dia tak segera turun. Wajahnya memerah karena menahan tangis dan juga kesal. Dia paling kesal saat apa yang menjadi rencananya tidak berjalan dengan baik. Dia benci mengalami kekalahan.

“Kenapa paman Junhong tidak mengatakan yang sejujurnya? Kenapa dia malah berkata mengenalku sejak aku dilahirkan? Menyebalkan. Mana mungkin aku bertanya pada ayah atau ibu, mereka sudah berjanji tidak akan mengatakan ‘soal itu’ lagi. Argh!!”

 

(flashback)

Jiwon menangis terisak sambil menunjukkan akte kelahirannya pada ayahnya. Tadi siang, dia mencari akte kelahirannya karena besok dia harus membawanya ke sekolah sebagai syarat pembuatan sertifikat kelulusannya. Pencariannya berakhir pada setumpuk dokumen adopsinya enam tahun yang lalu.

Namanya bukan Kim Jiwon, melainkan Bang jiwon. dia diadopsi oleh ayahnya, Kim Himchan saat dia berusia 6 tahun. Parahnya Jiwon sama sekali tidak ingat bagaimana dia bisa diadopsi enam tahun yang lalu. Jiwon sama sekali tidak ingat bagaimana dia berakhir di rumah itu. Bagaimana dia kehilangan orang tua kandungnya.

“Jiwon-ah… Kim Jiwon..” panggil ayahnya. Jiwon masih terisak, rasanya panggilan itu makin menyesakkan hatinya. Ayahnya memanggilnya dengan lembut seolah dia memang benar putrinya. “Jiwon-ah… kemarilah… kemari pada ayah.” Panggil Kim Himchan sambil berjalan menghampirinya.

Jiwon bergerak mundur, “Aku… aku bukan Kim Jiwon. aku Bang Jiwon.” desisnya. Jiwon berurai air mata. Sementara Himchan terus bergerak maju menghampiri putri semata wayangnya. “Kau putriku, kau putri ayah. Tak ada yang bisa mengubah takdir itu. Tidak juga surat itu. Kau selalu menjadi putriku.” Ujar Himchan.

Jiwon menatap ayahnya, tangisnya makin deras saat dia melihat ayahnya terus menatapnya tenang. “KAU BUKAN AYAHKU!!! KATAKAN DIMANA AYAHKU!! SIAPA NAMA AYAHKU!!! SIAPA AKU!!! AKU BUKAN KIM JIWON!!!!” Jiwon berteriak dengan histeris. Teriakan itu kemudian disusul dengan derap langkah terburu-buru dan pintu ruangan kerja Himchan terjeblak terbuka.

Nampak Kim Nayeon, istri Himchan memandang suami dan putrinya bergantian. Matanya membelalak panik saat melihat Jiwon menangis keras. “Apa yang terjadi? kenapa Jiwon sayang? Ada apa?” tanya Nayeon. Himchan menoleh pada istrinya.

“Sayang, katakan pada Jiwon, kalau dia adalah putri kita. Kalau dia putriku seorang dan tak ada yang merubah fakta itu” ujar Himchan. Nayeon tereksiap mendengar kalimat Himchan. Dia tak menyangka secepat ini rahasia dia dan suaminya diketahui oleh Jiwon. Nayeong menghampiri Jiwon dan meraih Jiwon dalam pelukannya. Tak peduli seberapa keras Jiwon meronta.

Plak!!

Nayeon menampar Jiwon dan membuat Jiwon yang tadinya histeris dan meronta menjadi terdiam. Matanya yang bengkak dan memerah menatap sepasang mata Nayeon. “Kau putriku. Kau selalu menjadi putriku. Ingat itu. Kau adalah putriku yang paling berharga. Tak ada yang merubah fakta itu.” Ujar Nayeon tegas. Meskipun demikian seberapa kuat Nayeon menahan tangisnya, air matanya tetap luluh membasahi pipinya.

Air mata itulah yang membuat Jiwon tersadar dan merasa bersalah. Ibunya tak pernah menangis, tidak pernah marah dan selalu berkata menyayanginya. Jiwon merasa telah berbuat jahat. “Ibu… ibu… ibu maafkan aku. Aku menyayangi ibu. Aku minta maaf.” Ujarnya sambil terisak. Nayeon menatap putrinya, “Kau putriku, jangan pernah mengatakan kau bukan putriku.” Jiwon masih terisak namun dia terus mengangguk-angguk dan berbalik memeluk erat ibunya.

Kim Himchan yang menyaksikan keduanya bergerak memeluk istri dan putri satu-satunya. “Tak akan ada yang boleh mengungkit lagi. Kau adalah putriku, kau Kim Jiwon, putri Kim Himchan dan Kim Nayeon. Tak ada yang bisa merubah fakta itu.”  Maka dengan demikian tertasbihlah dan tak ada yang berani mempertanyakan fakta itu.

(flashback end)

 

Jiwon menatap salinan akte kelahirannya yang jelas-jelas tertera namanya Bang Jiwon. lalu dia menatap foto enam orang pria, foto lama yang ditunjukkannya pada paman junhongnya tadi sore. Dibalik foto itu hanya ada nama Choi Junhong dan emailnya. Yang beruntungnya email itu masih aktif. Karena itulah Jiwon bisa menghubungi Junhong.

Jiwon merebahkan badannya diatas kasur, dia merasa lelah. Tak pernah selelah ini.

…….

 

“Hyung.. bagaimana kabarmu?”

Pria itu tersenyum setelah mendengar panggilan untuknya. “Aku baik, Junhong-ah. Kau?”

Aku baik, Hyung. Aku kembali ke Seoul.”

Pria itu mengernyit. “Bukankah harusnya kau kembali sepuluh  tahun lagi? Kenapa tak mengirim email kepada kami?”

Suara diseberang terdnegar tergelak. “Putrimu yang menghubungiku. Dia tanya soal kelahirannya. Tenang, aku tak menyebutkan satu namapun. Aku hanya bilang ‘hyung dan nuna bangga dan bahagia memilikimu’ dan memang benar begitu adanya.

Senyum pria itu mendadak sirna, “Terima kasih Junhong. Kau melakukan yang terbaik. Sesuai rencana, kita tak akan berkomunikasi seperti ini lagi. Lebih baik gunakan email.”

“Arraso, hyung. Anyway, Jinwoo mengatakan ingin merenovasi studio menjadi restoran dengan live music. Dan dia ingin kembali menggunakan nama ‘Rose’. Aku akan memintanya untuk menyisakan ruangan yang sering dipakai Yongguk hyung menciptakan lagu agar tidak disentuh. Tentu kalau kau menyetujuinya.”

“Aku setuju, Junhong. Terima kasih sudah mengurusnya.”

Ne, hyung. Baiklah. Annyeong.

Sambungan terputus. Kim himchan yang tak lain adalah pria itu kembali menerawang. Mengingat kelima temannya. “Sudah lama kita berpisah, kawan.”

……

 

Wendy  merapihkan baju-baju Jinwoo yang baru diangkatnya dari tempat jemur pakaian. Sembari dia terus mendengarkan celoteh Jinwoo tentang seseorang. Wendy tersenyum, sudah dua tahun dia menjadi saksi bagaimana Jinwoo terus menyayangi dan mencintai  mendiang Seulgi. Setidaknya Wendy sekarang merasa lebih lega karena Jinwoo kembali normal. Seperti dirinya.

“Lalu Wendy dia mengatakan kalau sengaja mengenakan jam tangan itu. Ah, aku harus bagaimana, bagaimana aku mengatakannya kalau aku pemilik jam tangan itu? Aku takut dia merasa aku berbohong. Tau sendirilah, perempuan kan lebih sering curiga, bukan?” ujar Jinwoo.

Wendy terbahak-bahak sambil melempar handuk kering yang baru ingin dilipatnya. “Jangan menyama-ratakan perempuan dong, oppa. Aku memang mudah curiga, tapi siapa tau gadis itu tidak. Jangan menyerah sebelum berperang. Oppa payah.”

Jinwoo mengerucutkan bibirnya, meraih handuk merah miliknya dan melipatnya dengan rapih. “Begitukah? Umm… bagaimana dong, aku trauma. Nanti Nam Taehyun merebutnya lagi dariku.” Goda Jinwoo. Wajah Wendy bersemu merah. Dia lebih dari paham maksud dari kalimat Jinwoo. Jinwoo menyukai Seulgi yang mencintai Nam Taehyun. Dan Jinwoo juga menyayanginya sebagai adik sementara Wendy sendiri jatuh cinta pada Nam Taehyun.

“Bercerminlah, Son Wendy. Lihatlah betapa merahnya wajahmu. Ish. Kalian ini. Tahu bakal begini dari dulu saja aku jebak kalian berdua. Ish.” Ujar Jinwoo sambil mengacak-acak rambut Wendy. Wajah Wendy terus memerah “Oppa, gemanhae. Tolong berhenti dongggg.” Rajuk Wendy.

“Sekarang, ceritakan padaku bagaimana kelanjutan kisah kalian?” tanya Jinwoo. Wendy menghentikan kegiatan melipatnya kemudaian memeluk Jinwoo dengan erat. “Gomawo, uri deer oppa.” Wendy tersenyum dan melepaskan pelukannya.

“Aku dan Taehyun memulainya kembali. Tanpa peraturan, tanpa batasan. Semua kembali seperti semula, seperti dua tahun yang lalu. Mengawali perkenalan kami lewat music yang kami mainkan. Malam itu kami bertukar cerita tentang jeda dua tahun kami yang kosong. Mengisinya. Lalu oppa datang kan. Eh, kenapa oppa baru bertanya sekarang?”

Jinwoo tersenyum. Kepalanya bersandar di sofa merah miliknya. “Karena aku menunggumu dan Taehyun bercerita, tapi tetap saja kalian tak bercerita.” Wendy menatap sepasang mata Jinwoo yang bulat, tampak raut kesedihan terpancar disana, terselip rasa bersalah dihati Wendy.

Wendy yang tadinya duduk diatas karpet dan bersandar pada sofa merah jinwoo, kini memposisikan duduknya disebelah Jinwoo, kepalanya merebah dibahu Jinwoo. “Mianhae oppa. Maafkan aku. Harusnya aku tahu kalau oppa begitu care pada kami. Padaku terutama. Oppa benar-benar menjalankan pesan Seulgi. Oppa pasti sangat mencintainya.”

Jinwoo terpengarah, dia menoleh untuk menatap Wendy yang wajahnya tertunduk. Penyesalan karena membuat ‘adik’ kesayangannya bersedih melingkupi hatinya. “Anniya. Bukan seperti itu, Son Wendy. Aku tak bermaksud begitu. Aku melakukan ini semua karena memang aku menginginkannya. Kalian adalah dua dikku, bagaimana mungkin aku tidak peduli. Dan soal Seulgi, aku memang mencintainya. Gadis pertama yang membuatku jatuh cinta. Aku tak mungkin melupakannya.”

Mendengar kalimat Jinwoo, Wendy menegakkan badannya, ada yang dia takutkan dari kalimat Jinwoo. “Bukan begitu oppa. Aku senang oppa mulai tertarik dan kembali lagi ke kehidupan normal. Seulgi pasti menginginkan oppa untuk berbahagia. Berbahagialah oppa. Soal gadis bernama Jiwon itu, jangan ragu, aku pasti mendukungmu, huh?”

Jinwoo tersenyum dan tangannya bergerak membelai puncak kepala Wendy. “Aku mengerti.” Kemudian interupsi itu hadir. Ponsel Jinwoo bordering keras. Sebuah nama tertera disana.

 

Junhong-samchun calling

Jinwoo tersenyum ketika membaca nama yang muncul dilayar ponsel pintarnya. “O, paman. Bagaimana?” tanya Jinwoo. Dia sudah tahu jika pamannya menghubunginya makan memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, karena pamannya sangat irit dalam bebricara. Pamannya lebih suka mengekspresikan dirinya lewat music atau tarian.

hahahha. Kau ini selalu tidak sabar Jinwoo-ya. Pantas nuna-ku selalu kesal tiap bercerita tentangmu. Kau harus belajar dalam berbisnis. Kau memang jago dalam bidang kesehatan seperti kedua orang tuamu, tapi soal bisnis seperti ini, ibumu dan aku tentu lebih jago. Baiklah, aku sudah memutuskan. Studio itu memang sebaiknya dikembangkan saja seperti katamu. Aku setuju. Kalian toh sudah memiliki 80% dari total bangunan itu. Sisakan saja satu ruangan yang dulu aku katakan jangan disentuh, mengerti?

Jinwoo tersenyum mendengar kalimat panjang pamannya. dia sudah tahu pamannya akan menyetujuinya. Menyetujui usulnya. “Dengan senang hati paman. Kami akan menyisakan ruangan itu. Terima kasih paman.”

“Baiklah. Aku akan menunggu peresmiannya.” Ujar Junhong dari seberang.

“Baik paman. Segera, setelah renovasi selesai tentunya aku akan mengundang paman dan teman-teman paman.”

em.. kalau begitu. Aku tutup ya. Annyeong.

Sambungan telepon terputus. Jinwoo tak mengulur waktu, dikirimnya pesan pada semua temannya.

 

To : Seungyoon, Seunghoon, Taehyun, Mino

Rencana kita bisa dijalankan. Paman Junhong sudah setuju.

……

 

Jiwon menatap sekelilingnya. Papan tanda kedatangan di depan menunjukkan dia sudah tiba di tempat yang dia tuju. Menggunakan kereta dari Seoul hanya agar ayahnya tak mengeceknya, 3 jam penuh dilalui Jiwon. “Saatnya bergerak mencari tahu.” Ikrar Jiwon.

Bergegas dia menuju deretan taksi berwarna hitam didepan stasiun. Dia menemukan satu yang kosong, “Tolong ke alamat ini pak.” Begitu pinta Jiwon. duduknya nampak tenang sambil mengawasi lautan di Busan yang memukau. Mata Jiwon mematas, tak dia sadari air matanya sudah luruh. “Ah, ada apa denganku?” tanyanya berbisik pada dirinya sendiri.

Jiwon kemudian mengeluarkan tas tangan besar warna coklatnya, mengeluarkan agenda tua yang selama ini menjadi pegangannya. Jiwon membuka halaman yang telah dia tandai dengan post it warna merah.

 

Jung Daehyun : Busan, Anan-Dong, Bunseong-ro, 117, Mediterania Condominium

Daehyun memberitahuku kalau mulai hari ini dia akan menempati tempat baru. tempat yang lebih dekat dengan sekolah music miliknya. “HYNJ Vocal School” tentu suatu hari nanti akan menjadi sekolah yang besar, benar tidak Gukkie? Jae?

 

“Setidaknya, seharusnya paman Daehyun mengetahuinya. Tidak mungkin tidak ada yang mengetahui siapa ayah kandungku. Harusnya dia tahu.” Jiwon bergumam, sebuah foto lima orang remaja laki-laki tengah memegang alat music. Dia mengenali ayahnya, kim Himchan memegang Keyboard. Lalu paman Junhong sebagai drummer. “Yang vocalis ini pasti paman Daehyun.” Jiwon tersenyum. Hatinya terasa lapang, dia meyakini sesuatu.

“Nona, anda sudah sampai.” Setelah lima belas menit, taksi yang dikendarainya berhenti tepat di lobby utama sebuah apartemen mewah bernama Mediterania. Jiwan turun dari taksi setelah menyerahkan beberapa lembar uang. Dia menatap bangunan yang cukup mewah itu.

Dia menuju meja resepsionis. “Selamat sore nona, ada yang bisa saya bantu?” seorang perempuan diawal usian 20an menanyainya. Jiwon mengangguk, “Maaf bisakah..”

“Ya!!! Son Wendy!! Sudah kukatakan, jangan merajuk seperti itu. Ish. Jinwoo hyung kalau sakit memang seperti itu. Biarkan dia tidur. Jangan panik, aku akan segera pulang.” Suara seorang pria muda begitu keras tak jauh dari Jiwon berdiri, membuat Jiwon yang hendak bertanya justru menghentikan kalimatnya. Mencuri dengar.

Pria itu menoleh dan menemukan Jiwon yang menatapnya sedikit risih, “Ah. Maafkan saya. Nona, tadi sampai mana pembicaraan kita?” ujar pria itu yang memilih mengabaikan Jiwon. resepsionis yang berada disamping resepsionis yang sedang menangani Jiwon tersenyum, dipaksakan.

“Tuan Nam, tadi paman anda berpesan agar anda segera menyusulnya di café white.” Jawab resepsionis itu. Seseorang yang bermarga Nam itu tersenyum, “Ah, jadi begitu. Baiklah, terima kasih. Lagipula kenapa harus aku yang harus mengurus surat-surat ini sih. Jinwoo-hyung selalu membuatku repot. Ini karena penyakitnya itu. Dasar orang tua.” Lelaki itu menggerutu setelah mengucapkan terima kasih. Gerutuan yang cukup keras sehingga Jiwon dapat mendengarnya.

Jiwon terkikik halus, “Ah, iya nona ada yang bisa saya bantu.” Respsionis yang menangani Jiwon kembali bertanya. Jiwon menoleh, “Ah maaf. Saya jadi focus mendengarkan laki-laki tadi. Saya mencari Tuan Jung Daehyun.”

“Ah, kenapa hari ini tuan Jung terkenal sekali. Lelaki barusan adalah keponakan Tuan Jung, Tuan Jung saat ini berasa di café White nona. Apa anda ingin menyusulnya juga? Tak jauh dari sini. Hanya 7 menit. Dua blok ke kiri dari pintu keluar utama.” Jelas resepsionis itu. Jiwon terpengarah namun cepat-cepat dia mengucapkan terima kasih. Kemudian dia bergegas menuyusuri jalanan Busan.

Tepat 7 menit, jiwon sudah berhasil menemukan café White yang dimaksud oelh resepsionis yang membantunya. Bergegas Jiwon masuk kedalam café dan menemukan sosok laki-laki yang bernama Nam sedang duduk dihadapan laki-laki berjas hitam yang duduk membelakangi Jiwon.

“Paman, ini surat-surat yang harus ditanda tangani. Jinwoo hyung sedang sakit, jadi aku yang menggantikan. Mengenai sharing profit ada di halaman ketiga, bisa paman cek nanti. Seperti yang paman lihat, hanya paman yang belum menandatangani suratnya.” Ujar Nam. Jiwon melanjutkan langkahnya hingga mencapai sisi kiri dari sosok laki-laki yang diduganya sebagai Jung Daehyun.

“Paman Jung Daehyun?” panggil Jiwon.

“Ne?” Laki-laki yang bernama Jung Daehyun itu menoleh, termasuk juga laki-laki bernama Nam. Daehyun nampak terkejut dengan kehadiran jiwon. dan Jiwon sudah menduga hal itu. Dia berharap itu adalah pertanda dia akan menmukan titik terang mengenai asal-usulnya.

“Kim Jiwon? benarkan?” sapa Daehyun. Jiwon membeku, bagaimana dia mengetahuiku?

“Siapa paman?” laki-laki bernama Nam itu bertanya. Daehyun menoleh bergantian pada Jiwon dan Nam, “Oh, kenalkan nam Taehyun, dia putri sahabat baikku, namanya Kim Jiwon.” ujar Daehyun. Tubuh Jiwon makin membeku. Lidahnya kelu dan loginya tak mempercayai apa yang didengarnya.

“Bagaimana paman tahu namaku?” tanya Jiwon. laki-laki bernama Nam Taehyun yang duduk didepan ikut mengernyit seperti Jiwon dan menatap Daehyun. Daehyun tertawa kecil, “Tentu aku mengenalimu. Aku melihatmu beberapa jam setelah dilahirkan. Dan kau meskipun sudah sedewasa ini aku tak mungkin salah mengenali. Kau sangat mirip nuna dan hyung.”

Jiwon terdiam. Air matanya luruh, dia merasa kemungkinan kali ini dia akan gagal mengetahui bagaimana dia diadopsi oleh keluarga Kim. Minggu lalu setelah dia bertemu dengan Choi Junhong, sahabat baik ayahnya yang di paris dan kembali ke Seoul, Jiwon mencari tahu sekali lagi mengenai dirinya dari rumah panti asuhan dimana dia diadopsi. Tapi ternyata rumah panti itu sudah tidak ada karena bangkrut. Sebagian besar pegawainya pindah keluar kota.

Jiwon juga sudah melakukan riset kepada badan hukum yang melayani proses adopsi. Dia hanya mendapati bahwa dia bernama Bang Jiwon sebelum diadopsi oleh KimHimchan. Dalam dokumen yang ada tak tercantum siapa nama ayah dan ibunya. Dia sudah mencari tahu dan mencoba menghubungi paman Moon Jongup juga, tapi selama satu minggu pencariannya selalu gagal. Jongup yang berada di LA sudah mengganti alamatnya dan karena dia bukan keluarga, pihak kependudukan LA tak bisa membantunya.

Melihat air mata Jiwon, Taehyun bergerak dari kursinya. “Nona duduklah dulu. Paman Daehyun ada apa ini?” tanya Taehyun. Daehyun menggeleng sekilas, tapi kemudian dia seperti teringat sesuatu. “Kau ingin menanyakan sesuatu Kim Jiwon?” tanya Daehyun.

Jiwon menyeka air matanya, matanya kemudian menatap Daehyun, kepalanya perlahan mengangguk. “Aku ingin mengetahui siapa ayah kandungku. Tapi sejauh ini aku mencari tahu aku tak pernah mendapatkan jawaban.” Daehyun tersenyum, tangannya spontan mengusap pipi Jiwon yang basah. Lalu menoleh pada Taehyun, “Kau Nam Taehyun. Tunggulah di mobilmu. Nanti kalu sudah selesai aku akan menghubungimu. Aku harus berbicara dengan nona ini.”

Taehyun mengangguk sambil merapihkan berkas-berkas yang dibawanya. Sepeninggal Taehyun, Daehyun memesankan Vanilla Latte untuk Jiwon. jiwon terlalu lelah untuk bertanya bagaimana Daehyun tahu minuman kesukaannya.

“Minumlah dan ceritakan perlahan apa yang sedang kau cari?” tanya Daehyun. Jiwon menyesap vanilla lattenya dan menarik nafasnya. “14 tahun yang lalu aku menemukan sebuah akte adopsi atas nama Bang Jiwon. didalam akte itu tertera kalau aku diadopsi saat berusia 6 tahun. Aku bertanya pada ayah dan ibu tapi mereka tak menjawabnya. Aku bahkan berjanji untuk tidak menanyakannya lagi. Tapi aku penasaran, bagaimana aku bisa dibuang oleh kedua orang tua kandungku. Bagaimana aku sama sekali tak punya memori tentang keduanya. Aku mencari tahu dengan membongkar perpustakaan milik ayah. Berharap ada petunjuk. Satu-satunya petunjuk yang aku punya adalah buku harian ayah.” Ujar Jiwon sambil mengeluarkan buku harian yang dibawanya, buku harian dengan berlembar-lembar foto 6 orang pria muda.

“Dari diary ayah aku mengetahui ayah memiliki 5 orang sahabat. Di foto ini ada nama Choi Junhong. Dan beruntungnya aku, ayah menuliskan alamat email Paman Junhong. Dari situlah aku bisa menemui paman Junhong. Satu minggu yang lalu aku berhasil menemuinya, dia kembali ke Seoul, namun yang membuatku heran, paman junhong mengatakan aku putri dari hyung dan nuna favoritnya. Lalu aku mencari tahu ke rumah panti dimana aku diadopsi. Hasilnya nihil, rumah panti itu bangkrut dan sebagian besar karyawannya sudah pindah. Kebagian kependudukanpun aku tak mendapatkan apapun. Aku akhirnya menemukan satu nama, Moon Jongup. Tapi paman Jongup sudah pindah. Satu-satunya harapanku adalah lembaran ini, tertera nama paman disana.” Ujar Jiwon mengakhiri kalimatnya.

Daehyun meraih buku yang ditunjukkan oleh Jiwon. dihalaman itu terbuka dan tertulis dengan jelas namanya dan alamatnya.

Jung Daehyun : Busan, Anan-Dong, Bunseong-ro, 117, Mediterania Condominium

Daehyun memberitahuku kalau mulai hari ini dia akan menempati tempat baru. tempat yang lebih dekat dengan sekolah music miliknya. “HYNJ Vocal School” tentu suatu hari nanti akan menjadi sekolah yang besar, benar tidak Gukkie? Jae?

Daehyun memejamkan matanya. “Aku ingat saat kau dilahirkan. Bagaimana semalaman kami menunggui nuna melahirkanmu. Bagaimana saat suara tangismu pecah, hyung langsung berlari masuk ke ruang bersalin dan memeluk nuna. Aku ingat sosok bayi kecil bersimbah darah menangis meraung namun hyung mengecupnya dengan sayang. Aku ingat dengan jelas.”

Jiwon membulatkan matanya. Tak mempercayai apa yang didengarnya. “Tapi bukankah aku….”

“Kau keponakan pertama kami. Lalu dua tahun kemudian Youngjae meninggal. Dan kami memutuskan untuk berpisah saat itu juga. Aku tak tahu bagaimana kau bisa memiliki surat adopsi seperti itu. Bukan aku yang mengaturnya. Aku hanya mengatur kepergian Himchan hyung dan Nayeon nuna ke Jepang saat kau berusia 4 tahun. Itu saja.” Ujar Daehyun.

Jiwon diam, dikepalanya dia menghitung-hitung dan memprediksikan bagiamana kalau dia ternyata masih dibohongi.

Daehyun tersenyum, “Kalau begitu mari kita ke Seoul. Kita bisa ikut mobil Nam Taehyun. Sekaligus ada beberapa hal yang ingin aku urus disana. Kita bisa menanyakan pada ayahmu apa yang sebenarnya terjadi.” ujarnya tenang. Jiwon diam namun dia tak punya pilihan lain.

……

 

From : Dad

Jiwon-ah, ayah dan ibu akan kembali besok. Kau jangan lupa menjemput kami.

 

Jiwon menutup ponselnya setelah membaca pesan singkat dari ayah angkatnya, Kim Himchan. Senyumnya merekah. Kemudian seseorang duduk disampingnya. “Sakura selalu indah.” Ujar seorang laki-laki. Jiwon menoleh kesampingnya, menemukan seseorang dengan mata menyerupai mata rusa tersenyum.

“Dan sakura yang mempertemukan kita huh?” bisik Jiwon. pria itu tersenyum dan mengikuti pandangan Jiwon menatap sakura.

Disebuah taman, duduklah seorang laki-laki dengan jam tangan kulit dipergelangan kirinya duduk disamping gadis berblazer merah. Keduanya tersenyum.

……
========================================================================

 

B.A.P Member

Bang Yongguk (Killed at 30yo)

bang_yongguk_from_b_a_p_by_ali07bleach-d

 

Kim Himchan (52 Yo)

6f546cf05daef3a3c82b0ee8d01b3b36.jpg

 

Jung Daehyun (49 Yo)

Jung+DAe+Hyun+-+vocalista.png

 

Yoo Youngjae (Killed at 24 Yo)

images?q=tbn:ANd9GcSuv0hxn4IBjSec0827mZv

 

Moon Jongup (47 Yo)

tumblr_static_jongup-1shot.jpg

 

Choi Junhong (46 Yo)

tumblr_nj0jfbgnHJ1ssinkqo1_500.jpg

 

 

Spouses

Song Jieun as Yongguk's wife (Killed at 30 Yo)

97550b085f0da7f8e4c0fdf9120a8342.jpg

 

Kim Nayeon as Himchan's wife (48 Yo)

tumblr_mph1iuLddv1sq6vhjo1_500.jpg

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ELF813
#1
Chapter 3: Duh greget sama si Taehyun & Wendy, kirain udah balikan lagi -_-
yooyra #2
Chapter 2: Yass! Setelah nungguin sequel empty akhirnyaa! Pas pertama liah cast nya kok Kim Ji Won sih? Si Bobby? Eh tau nya Ji Won aktris. Yampunn deh.

Next chaptahh ditunggu loh thor hehe
ELF813
#3
Chapter 1: ini sequel EMPTY?
Wendy & Jiwon is my bias <3