Part 2

Moment in Pers

Karyawan jangkung di salah satu rubrik menepuk bahu rose yang diketahui sedang etermenung 15 menit yang lalu. Bodoh, karena ia termenung dengan meraba bibirnya sendiri dan sesekali tersenyum, persis seperti orang idiot.

“kau salah makan? Atau kemarin habis mabuk?” karyawan jangkung, gwang su, melempar Koran pagi yang beredar.

Halaman depan Koran tersebut membuat rose membelakakan matanya. Ia baru sadar seminggu ini pekerjaannya tidak membuat hasil. Ia tertinggal berita besar pagi ini.

do kyungsoo putra kepala polisi seoul terbukti tidak bersalah.’

“sepertinya gajimu akan turun kembali seperti semula.” Karyawan itu menahan tawa.

Rose memicingkan matanya. Dalam Koran tersebut tertera bahwa ada seseorang misterius yang memberikan recorder dan memorycard kepada sang ayah tahanan. Kejanggalan pertama. Lalu tertera pula, si tersangka yang sebenarnya sudah mati karena kecelakaan, Jason dan joe lee.

Airmata rose menggenang begitu saja.

“tidak mungkin.” Ia meremas kertas berita yang berada ditangannya.

Gwang suu yang melihatnya cepat-cepat mengambil remasan Koran tersebut. Ia tau ada sesuatu yang terlewatkan hingga membuat rose menangis. i abaca ulang namun tidak menemukan keganjilan. Ya gwang su memang tidak tau kalau rose adalah adik dari si kembar Jason dan joe. Rose tidak pernah membicarakan keluarga sewaktu ia bekerja. Ia hanya mengaku sebagai gadis sebatang kara. Tidak lebih. Hanya sebagian saja yang mengetahui identitas keluarganya.

Rose berlari meninggalkan mejanya. Ia tau siapa orang dibalik semua ini. Sahabat dekat kedua mendiang kakaknya. Lee jun ho.

Tepat sebelum rose menghampiri junho di kantornya, junho mengirimkan pesan.

temui aku di makam jason’

Airmata rose semakin keluar deras. Ia selalu benci kenyataan. Kenytaan selalu menyakitkan baginya. Sama dengan hal kebenaran. Sampai sekarang dia belum mengerti kenapa kebenaran selalu datang di akhir.

Rose mendapatinya berdiri di depan makam dua kakaknya. Lee jun ho.

“kau sudah datang? Pasti kau membawa banyak pertanayan.”

Rose menggenggam tangannya yang bergetar hebat sejak tadi. Beruntung ia dengan baik menyetir, kalau tidak mungkin kejadian kematian kakaknya akan terjadi juga padanya.

“sejak kapan kau mengetahuinya?”

Junho berbalik menatap rose.

“aku juga sama sekali tidak mengetahuinya. Jason dan joe tidak pernah bercerita apapun tentan obat terlarang itu.”

“bohong..” rose menatap junho tajam.

Airmatanya kembali deras membasahi pipi yang semakin memucat.

“Jason dan joe oppa tidak akan pernah berbuat kegiatan tercela seperti itu.”

“demi tuhan, aku tidak mengerti roseeve lee. Aku sedang berupaya mencari tau tentang semua itu sekarang, Jason joe, do kyungsoo dan menghilangnya jong in. hanya saja waktu berjalan terlalu cepat”

Rose terdiam. Ia melupakan satu nama yang dipastikan 100persen mengetahui rentetan kejadian tersebut. KIm jong in.

 

--

 

Sore itu, jong in duduk menatap televisi. Ia tau rose pasti akan cepat datang dengan segudang pertanyaan. Jong in menarik nafas dalam-dalam, menyiapkan segala pikirannya untuk menjelaskan penjelasan sesi pertama. Walau bagaimanapun kata-kata joe akan tetap dijaganya. “jangan menyakiti perasaan’nya, aku percaya padamu, jong in.”

Jong in memejamkan matanya sejenak. Sejak 5 hari kedatangannya, apartemen ini sudah tidak beraroma nikotin lagi. Atau hanya indra penciuman jongin yang selalu merasakan aroma rose.

Suara pintu terbuka mengontraksi otaknya untuk membuka mata. Aroma rose kini sangat kuat.

“datang lebih awal, nona lee.” Ujarnya mencoba tenang.

.

.

.

Manik mata mereka saling bertatapan. Jongin sangat menyayangkan mata indahnya kini dihiasi lingkar hitam dan sedikit bengkak, sembab. Dia tau rose menangis.

“aku bertemu Jason dan joe hyung saat mereka menolongku dari gerombolan pemberontak pasar di gangnam. Saat itu aku mau menyelamatkan dagangan kecil ibuku, tapi aku dan ibuku menjadi sasaran si pemberontak. Kebetulan dua kakakmu menolonga kami berdua.”

Rose tetap diam, tidak merespon keganjilan apapun. Ia memang tau kakaknya sering ke daerah gangnam tempat resort keluarga dimana orangtuanya terbunuh.

“sejak saat itu, mereka dekat dengan ku, konyol.. mereka bilang karena aku mengngatkan adiknya di paris.” Jong in menyunggingkan senyumannya.

Airmata rose kembali menetes. Saat dimana orangtuanya dibunuh, rose dipinahkan dari seoul untuk melanjutkan studinya, tapi dia tidak tau kalau saat di paris, kematian merenggut kedua kakaknya.

“awalnya Jason hyung yang meberitau semua rahasianya. Termasuk obat terlarang yang secara tidak sengaja ia temukan. Kemudia mereka berdua mengancamku kalau memberi tu siapapun. Karena mereka berdua sudah ku anggap sebagai hyung-ku sendiri. Aku mendukung apa yang akan ia lakukan terhadap obat terlarang yang mereka temukan. Dan sahabatku kyungsoo sangat depresi melihat ayahnya yang gila jabatan meninggalkan ibunya yang sakit keras. Dan kyungsoo mengingankan kematian.”

Jong in menghela nafasnya. Kali ini mata tajamnya meluluh, bening bening kaca mulai terlihat dimatanya.

“aku tau seharusnya aku tidak memberi tau obat terlarang itu padanya. Dan ia menyetujui untuk membelinya. Sayangnya saat aku akan menghampiri mereka, joe hyung datang dengan wajah panik. Obat terlarang itu sudah diketahui seorang mafia, hingga ia terpaksa menyembunyikannya dibawah dek mobil mewah kyungsoo, karena kyungsoo menginginkannya, tanpa sepengetahuan kyungsoo tentunya. Tau barangnya hilang Jason hyung frustasi. Ia tidak tau joe hyung menyembunyikannya demi keselamatan mereka berdua, tapi tetap saja, ada atau tidak ada barang tersebut mafia itu tetap akan mengejarnya. Sampai malam itu, Jason hyung membangunkanku, memberikanku foto mu, dan sebuah memory card. Dia bilang, aku harus menjagamu jika kau kembali ke seoul. Dan menjelaskan semua kejadian sebenarnya kalau-kalau kyungso tertangkap karena menyembunyikan benda tersebut.”

Diam, shock. Tangan rose bergetar hebat. Ia tidak tau dua kakak kembarnya menyimpan banyak rahasia yang bahkan sahabatnya sendiri tidak mengetahuinya. Belum lagi rose merasakan hal aneh dengan mafia yang disebutkan jong in.

“siapa dia? Mafia itu?” mata rose yang sembab menjadi serius menatap jong in.

“mafia itu, dia yang memiliki obat tersebut, dia yang membunuh orang tuamu karena tidak mau membli obat terlarang itu sebagai perjanjian. Dia yang menyembunyikan nya di resort mewah keluargamu lalu ditemukan Jason dan joe. Dia.. dia adalah rekan kerja jung woo sung, yoo sang yoon.”

Rose mengerutkan dahinya, nama yoo sang yoon tidak asing di telinganya. Sewaktu kecil keluarganya dan seseorang bernama yoo sang yoon sering bertemu seingatnya. Dan dia juga ingat, ia menjadi tahanan beberapa bulan lalu. Sayangnya rose tidak menerima tugas wawancara dengan sang yoon, karena dia piker hanya kasus penggelapan dana universitas. Yang jelas dipikirannya sekarang bagaiamna ia bisa membalas kegiatan keji orang bernama yoo sang yoon, yang membunuh orangtuanya.

“dia sudah menjadi tahanan, dan kasusnya sedang di prosese. Walaupun yang diproses bukan kasusnya sebagai pembunuh atau penjual oibat terlarang. Tpi bisa dipastikan hukumannya berat.”

Rahang rose mengeras. Dua tangannya mengepal begitu saja.

“akan kupastikan dia mati.” Ujar rose dengan amarah.

Jong in berjalan mendekati rose yang duduk disebrangnya. Ia menggengam dua kepalan tangan rose.

“orangtuamu dan kakakmu tidak ingin melihat gadis kecilnya sebagai pembunuh. Jangan melakukan kegiatan yang membuatmu menyesalinya roseeve lee.”

 

--

 

Rose mendapati wajah jong in yang terlelap di sampingnya. Sejak saat itu jong in selalu tidur bersamanya, sekedar menemani dan me-ninabobok’kan rose. Dalam kondisi dtress, jongin tidak ingin melihat rose sebelum tidur kembali menghisap aroma manis yang berbahaya, atau meminum minuman beralkohol di kamarnya, jadi ia memastikan rose terlelap tidur setiap malamnya.

Pagi itu orse tergerak membuatkan makanan yang bukan ramen. Ia beranjak dari kasurnya untuk menyiapkan apa yang dibutuhkan. Walaupun butuh setengah jam sendiri ia berlatih menyalakan kompor listrik di apartementnya. Potongan sayuran pun terpotong dengan bentuk aneh.

Jong in berjalan dengan mengamatinya. Bibirnya melingkar membentuk setengah lingkaran sempurna melihat si penulis bergulat dengan alat dapur. Si penulis yang biasa bergulat dengan pikiran tulisan dan benda lainnya yang jongin tidak terlalu tau, sekarang dihadapannya memegang teflon dan pisau. Rambutnya diikat dengan berantakan, dan kaos kebesaran dengan hot pantsnya entah kenapa membuat jong in tergoda

“kau mau memasak sup dengan Teflon?”

Rose menegakan kepalanya, ia tidak mengharapkan jongin bangun sepagi ini, ia tidak ingin terlihat bodoh dengan peralatan masak di depan jong in.

“aku kira kau sudah berangkat mengejar berita-berita.” Kini jong in persis disebelah rose.

“kau tidak ingin aku meluangkan waktu untuk mu?” rose mencibir.

Mata jong in terpaku dengan rose. ia mraih tangan rose, meletakan Teflon dan pisau di meja dekatnya.

“ada apa jong in, kau tidak ingin sarapan?”

Jong in mengangkat rose hinggaa duduk sempurna di meja, kemudia meraih bibirnya yang sedikit pucat. Jong in selalu terpikat pesona tersendiri dari rose, sedangkan rose selalu terbuai dengan setiap sentuhan jong in. jong in melepaskan ikatan rambut gadis dihadapannya, membiarkan rambut indahnya jatuh tergerai. Sementara rose mengalungkan tangannya nan ramping di leher jenjang jong in denagn sempurna.

Saat diaman jongin menekan lembut bibir rose, ia seperti tersengat aliran listrik, darah di bibirnya memanas, hingga rose tidak dapat mengendalikan dirinya. Jemari lentiknya meremas rambut jong in, mencengkram tubuhnya. Detik itu ia tidak ingin merenggangkan jarak dengan jong in. bibirnya membuka, mencoba menghirup aroma jong in yang sudah tidak terlalu asing.

.

.

.

Rose bisa mendengar degup jantungnya, merasakan hembusan nafas jong in. kim jong in, laki-laki disebelahnya mengelus lembut pipi rose yang sudah tidak pucat. Ia menarik selimut menutupi tubuh rose. wajah mereka berhadapan sekarang.

Kini rose bisa melihat sisi mata jong in yang hangat, begitu juga jong in melihat ropse tersenyum.

“saat itu, aku meluhat ibuku didorong olehnya hingga kepalanya terbentur meja dan mengeluarkan banyak darah. Kakinya diibjak dengan alas an sudah tidak bisa memberikannya kepuasan. Tapi waktu itu aku tidak bisa berbuat banyak. Aku terlalu takut dengan laki-laki berengsek itu. Dan dia meninggalkan kami begitu saja, tanpa melihat mukaku keluar dari rumah kecil yang kutinggali.”

Rose mengerutkan keningnya.

“kenapa kau menceritakannya sekarang?” jong in hanya tersenyum dan mengecup kening rose. Ia melanjutkan kembali ceritanya.

“selang 5 hari, aku melihat seyeon-noona, duduk dengan kondisi berantakan. Wajahnya lembam biru seperti terkena pukulan, belum lagi tangannya gemetar, sama seperti mu. Lalu aku sadar kalau seo yeon noona adalah putri tunggal si berengsek itu dengan istri sahnya dan lagi ternyata si berengsek itu telah memperkosanya. Detik itu aku mulai membenci jung woo sung. Mengubah marga ku menjadi kim, sama seperti ibuku.”

Rose menempelkan tangannya yang hangat pada pipi jong in, ia tidak tau gelapnya kehidupan jong in di masa lalu.

“waktu itu aku mendengar ibuku berteriak, dan saat aku lihat woo sung sedang menyiksanya. Hingga aku sadari bahwa ibuku meninggal saat di rumah sakit, aku berlari tanpa arah. Dan tekad ku bulat untuk membalas dendam ibuku. Aku dan seo yeon noona menyelinap ke ruang kerjanya. Laki-laki itu terkejut melihat ku bersamaan dngan putrinya. Saat itu seo yeon noona membuka kedok ayahnya sendiri di depan ku dan laki-laki itu. Sayangnya tuhan terlalu cepat mengambil nyawanya sebelum aku mengeluarkan belati di saku ku. Dia terkena serangan jantung. Tapi seo yeon nona terlalu lemah, ia terjatuh begitu melihat ayahnya mati, tangannya kembali bergetar hebat ketakutan. Dan suara sirene polisi mulai berdatangan. Aku menyembunyikan noona di brankas besar si berengsek itu, dan menusukan belati tepat di dada jung woo sung.”

Rose yang tidak bisa mendengar kenyataan kembali menangis. rasanya sakit mendengar jong kehidupan jong in.

“aku menceritakan mu, karena waktuku tidak banyak rose. hanya seminggu. Setidaknya aku sudah melaksanakan permintaan Jason hyung membuatmu tersenyum.”

“kau tidak bersalah jong in, kita bisa meluruskan kejadian itu. Kau tidak membunuh woo sung.”

“lalu siapa? Seo yeon  noona? Aku tetap membunuhnya rose saying.”

Jong in menghapus airmata rose dengan jarinya.

“berjanjilah padaku, jangan menghalangiku untuk menembus kesalahanku. Woo sung tetap ayah ku walau dia berengsek.”

“please..” rose memeluk tubuh jong in dengan erat. Sedetikpun ia berpisah, senyumnya akan kembali hilang.

 

--

 

Jemari lentiknya mengangkat cangkir kuno berisikan teh berbau bunga. Ia menyesapnya sedikit demi sedikit. 180 derajat berbeda darinya. Rambutnya coklat tua dihiasi aksesoris batu permata. Anggun. Rose menghela nafas berat.

“jadi?” ujarnya.

“ayo kita membebaskan jong in dari hukumannya.”

Perempuan anggun di hadapan rose menunduk, matanya dihantui rasa ketakutan. Jikalau jongin tau dia menemui perempuan tersebut, apalagi untuk mendiskusikan tentang hukuman eksekusinya, ia pasti membenci rose.

“beranikan dirimu, jung seo yeon. Kalian berdua tidak bersalah bukan. Bersaksilah untuk jong in.”

“maaf aku tidak bisa.” Ujarnya dengan nada bergetar.

“please jung seo yeon… jongin membutuhkan mu. Hanya ada kau sebagai saksi mata kematian jung woo sung ayahmu bukan.”

Rahangnya mengeras mendengar rose menyebutkan nama jung woo sung.

“kenapa kau peduli dengan jong in, kau mencintainya huh?” matanya tajam mengarah pada rose.

“dia, pernah membantu kakak ku, dan itu juga salah satunya.”

Mereka berdua terdiam. Seoyeon selalu takut mengingat kejadian itu. Ia ingat betul saat suara tangis eommanya di ruang kerja pria bernama woosung, kemudian suara-suara gemuruh lain yang membuatnya menangis. saat jong in di amankan oleh 2 pihak berwenang, tapi dia hanya bisa diam melihat kejadian itu dibalik brankas besar yang dipenuhi uang laki-laki berengsek itu.

Ia ingin membantu jong in, ribuan kali ia membujuk jongin untuk melarikan diri, tapi sifat batu jongin belum bisa ia kalahkan. Ia sudah terlalu lelah dengan kenyataan yang terjadi padanya. Ia sudah menyerah untuk jong in.

Seoyeon tersenyum.

“maafkan aku rose, aku tidak bisa. Sampaikan salam ku pada jong in.” seoyeon mengeluarkan airmatanya.

Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya kalau jong in mendapatkan eksekusi nanti, disisi lain ia juga terlalu takut. Seo yeon beranjak dari duduknya.

“jung seo yeon.. bukan kah kau juga mencintai jong in? Cuma kau kunci dari kejadian itu. Aku mohon beranikan dirimu seo yeon-sshi.”

Berat rasanya rose mengatakan kata-kata dipikirannya, tapi akan lebih sakit kalau dia tidak bisa melihat jong in lagi untuk selamanya.

“apa kalau aku pergi dari jong in, kau mau menolongnya? Kau membenciku kan jung seo yeon. Baiklah aku akan pergi, tapi aku mohon selamatkan kim jong in. bukan untukku, tapi untuknya.”

Seoyeon diam terpaku mentap rose. mereka sama-sama wanita seoyeon tau bagaiaman perasaan rose apalagi dengan umurnya yang masih muda. Ia memang selalu menginginkan kim jong in, tapi hatinya sudah melepaskannya. Bukan karena cinta, tapi ketakutan yang besar. Dan seoyeon merasa malu dengan rose yang telah berani melepas orang yang dicintainya. Ia merasa sebagai pengecut.

Seoyeon jatuh duduk kembali dikursinya sementara matanya masih melihat rose yang semakin mejauh.

 

--

 

Dua laki-laki di depan rose menatapnya dengan bingung. Rose terus meneguk vodka tanpa henti. Seekali ia melihat rentetan angka di ponselnya.

“maaf nona rose, kau mau mengahbiskan berapa botol lagi, ini sudah botol ketiga.” Ujar laki-laki yang diketahui adalah gwangsu.

Sementara laki-laki disebelahnya menatap dingin. Ia mengenal rose seperti adiknya sendiri. Masalah besar atau stress hebat pasti sedang mengusik dirinya.

“lee gwang su, bisakah kau meninggalkan kami berdua?” ujar junho tanpa menatap kontak mata gwangsu.

Saat dimana setelah gwangsu beranjak dan meninggalkan merek berdua, junho mengambil botol vodka yang di pegang erat rose. ia melihat wajah rose yang memerah akbiat alcohol. Tidak biasanya wajahnya memerah karena alcohol.

“apa yang terjadi?”

Rose menatap tajam manik mata jun ho.

“3 hari lagi… 3 hari lagi..”

Jun ho mengernyitkan dahinya, 3 hari lagi adalah hari dimana hukuman buronanbesar di seoul.

“dia yang membuatku merasakan terbang, apa dia akan meninggalkanku membiarkanku jatuh di semak-semak lagi? Apa aku Cuma waktu 1 minggu bersamanya. Itu terlalu singkat.”

“apa maksudmu roseeve lee..”

Airmata rose membasahi pipinya.

“tolong aku lee jun ho.. selamatkan aku.. selamatkan dia..”

Junho makin tidak mengerti yang diucapkan gasis mabuk dihadapannya.

“dia siapa?”

“kim jong in..”

Nafasnya tercekat mendengar sebuah nama yang terlontar dari bibir rose. harusnya dia tau rose menyukainya. Junho tau jong in berada di tempat rose tepat setelah berita bebasnya do kyungsoo. Hanya saja ia menahan semuanya dan hanya mengamati, toh kim jong in akan segera dihukum mati. Tapi lagi, tindakan junho salah besar. Sama seperti meninggalkan 2 sahabatnya yang melarikan diri ke daerah gangnam.

Junho menegakan tubuhnya membopong rose yang sudah mabuk. Membawanya kembali menuju apartementnya.

“kau mau membawaku kemana?”

Junho hanya tersenyum sama sekali tidak menjawab ocehan-ocehan rose. savebelt dipasangkannya. Helaan nafas berat terdengar.

Sosok jangkung temannya datang menghampirinya.

“rose? ada apa sebenanrnya?” ia mengernyitkan dahinya, iba melihat rekan kerjanya yang semakin tidak sehat semenjak ia memberinya kasus 4juta won.

“kau bisa membantuku? Bukankah kau pernah mengikuti kelas hukum? Mau menjadi sukarelawan?”

“hei, apa yang sedang kau bicarakan lee jun ho..”

“menolong nyawa seseorang..”

 

--

 

Jongin berjalan hilir mudik sesekali melihat jam yang tergantung di dekat pantry. Tidak sewajarnya rose pulang larut, mengingat izin wawancaranya sedang dalam tahap penyitaan. Seharusnya dia akan kembali tepat pukul 7 atau kurang.

Bel yang ia tunggu akhirnya datang. Tanpa keraguan ia buka pintu tersebut, sayangnya bukan sosok yang ia harapkan yang muncul di depan pintu. Laki-laki dengan rambut coklat caramel dengan setelan jas marun.

“tuan kim jongin..”

Jong in diam membatu. Tindakan sembrononya membuat dirinya tidak bergerak. Sudah seharusnya ia mengenakan pakaian samaran sebagai buronan seoul.

“tenang aku kesini hanya mengantar temanku, roseeve lee. Dia mabuk dimobilku..” mata jongin membulat mendengar rose kembali mabuk.

“tapi sebelumnya, bisa kita bicara sebentar..”

Jun ho, laki-laki dihadapan jongin berjalan memasuki apartement tanpa dipersilahkan. Jong in menutup pintu rapat-rapat, merogoh sakunya memastikan belati senjatanya hadir. Taut takut kejadian yang tidak ia inginkan terjadi.

“sebelumnya, aku lee jun ho. Aku detective dari kepolisian seoul. Senang bertemu anda kim jong in..” junho menatap tajam jongin dengan mata kecilnya.

“langsung saja apa maumu? Menangkapku?”

Junho menghela nafas berat.

“tadinya.. aku mengetahui rose menyembunyikan mu disini sejak kyungsoo dibebaskan dan young guk sunbaenim memintaku mengawasi rose. aku sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Aku tau rose menginginkanmu lebih dari sejuta kebenaran, tapi lebih sebagai orang yang membantunya menjadi lebih baik.”

Jongin menyunggingkan senyumannya. Ia tau siapa sebenarnya laki-laki dihadapannya.

“jadi kau teman dari Jason dan joe hyung?”

Junho mengangguk dan tersenyum.

“lalu aku kesini utnuk memberimu penawaran.. sejak rose menangis memohon bantuan padaku, entah kenapa jabatan kepolisian yang sudah payah aku raih bisa saja aku biarkan pergi. Rose menginginkanmu bebas dari hukuman eksekusi. Aku tau ni permohonan yang berat, tapi sebagai pengganti kakaknya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi kuputuskan aku dan temanku lee gwang suu akan membantumu bebas.”

Pikiran jong in melayang. Mendengar rose menangis dan memohon itu bukan dirinya yang ia kenal. Jongin telah berbuat berbagai kesalahan yang tidak ia inginkan. Membuat rose jatuh cinta padanya. Dilemma memang, karena disisi lain jongin juga mencintai rose.

“aku tau Jason dan joe memintamu menjaga rose kim jong in, jadi apakah benar jika kau membawanya pergi dari lubang kesedihannya lalu kau meninggalkannya sendiri lagi? Tolong pikirkan baik-baik kim jong in.”

Jongin merengkuh kepalan tangannya. Apa yang dibicarkan junho membuatnya tidak bisa melihat jalan yang benar.

Sesaat setelah itu pintu apartement terbuka. Rose dan seorang laki-laki jangkung dengan nafas tersengal akibat berlari muncul. Junho dan jongin menatapnya bersamaan.

“kkiim.. kiim joong iinn??” suara terkejut gwangsu di belakang rose membuat rose harus mengernyitkan dahinya.

“lee junho apa yang kau lakukan?” rose menariknya dengan kesal.

“aku hanya menyapa teman baruku.” Junho tersenyum mengelus puncak kepala rose. “kau bereskan jong in, biar aku bereskan sibodoh itu.. aku pergi dulu rose..”

Junho menarik gwangsu keluar dari apartemen. Meninggalkan rose dan jongin sendiri.

 

--

 

Rose memberikan kopi hangat sesaat setelah ia berganti pakaian kantornya.

“apa lee jun ho mengancammu? Apa dia berbuat jahat padamu?”

Rose menatapnya dengan penuh khawatir, pasalnya jongin kembali diam sejak junho datang tadi.

“ya kim jong in, apa kau tidak memiliki mulut? Jawablah pertanyaanku, taukah kau aku menghawatirkanmu..” keluh rose.

Rose meraih pipi jongin membiarkan matanya menatap hitamnya mata jongin.

“berlebihan..” bisiknya.

Rose mengerutkan dahinya. “apa yang kau katakan?”

“berlebihan, kau menangis dan memohon hanya untukku di depan junho? Apa aku terlihat meminta pertolongan? Kenapa kau melakukannya roseevelee.. kau mau mempermalukanku dihadapannya?”

Tatapan rose berubah tidak percaya.

“kim jong in..”

“kenapa? Kau ingin mengembalikaknku ke jeruji besi itu? Tanpa kau usir aku juga akan kembali kesana rose. mendatangkan detective kepolisian. Apa itu maumu selama ini heung?”

“KIM JONG IN DENGARKAN AKU.. berlebihan? Apa aku tidak boleh menangis dan memohon untuk menyelamatkan orang yang aku cintai? Membawamu ke jeruji besi? Lalu membiarkan aku mati sendiri di apartement ini? Ada apa sebenarnya kim jong in? aku hanya berupaya untuk orang yang aku cintai, aku hanya ingin tidak terus sendiri menerima kenyataan yang terjadi ataupun akan datang nanti. Aku tidak bisa hidup tanpamu”

Jong in meraih tubuh rose memeluknya dengan erat. Waktunya hanya sedikit. Ia terlalu takut. Takut tidak bisa merasakan hangatnya tubuh rose nanti. Tidak bisa melihat wajahnya lagi. Tapi tindakan masa lalunya berkonsekuensi. Itu yang diajarkan mendiang ibutersayangnya.

“aku mohon, jangan halangi aku menerima konsekuensi ini..” bisik jongin dengan tangisnya.

Mata rose membulat ia terlalu sedih mendengar kata-kata jongin. Ia berusaha melepaskan rangkulan jongin tapi apa daya. Jongin terlalu kuat memeluknya.

“jangan pergi.. tetaplah begini..” uajranya membuat airmata rose mengalir deras.

.

.

.

Jongin mengelus puncak kepala rose yang tertidur di dadanya. Sesekali mengecup sayang puncak kepalanya. Malam itu ia tidak bisa terlelap tidur. Ia terus memikirkan pernyataan rose dan kata-kata junho. Bohong memang jika ia tidak mau lari dari hukuman mati itu. Ia masih ingin hidup.

Jongin membaringkan rose. ia berjalan mengenakan  pakaian samarannya. Keluar menikmati udara malam yang sebentar lagi tidak bisa ia rasakan. Ia berjalan hingga tempat tujuannya, starway apartement.

 

--

 

Mata kecil junho membulat melihat jongin hadir di depan pintu apartemennya. Jam menunjukan pukul 2 pagi. Beruntung junho belum tidur dan masih berkutat dengan tumpukan map-map dan laptop yang masih menyala.

“apa aku mengganggumu?” suara jongin terdengar ragu.

“ah tidak.. aku memang sedang bekerja, masuklah..”

Jongin melepaskan syal tebal yang menutupi hampir sebagian wajahnya. Saat ia sadari tumpukan map itu adalah tulisan laporan mengenai kasusnya, dan beberapa foto dirinya dan seoyeon, ia memalingkan wajahnya menatap junho.

“jangan salah paham. Aku hanya mengerjakan tugas lebih awal sebelum kau memutuskan setuju atau tidak. Toh pekerjaanku memang menyelidiki kasusmu.” Junho tersenyum hangat.

Kaos vneck putih yang dikenakan junho mengingatkan jongin pada sosok joe lee, yang sangat suka mengenakan kaos persis yang digunakan junho. Mengingat tinggi joe dan junho tidak berbeda jauh.

Jong in duduk bersebrangan dari junho yang memberikan cangkir berisikan the padanya.

“jadi bagaimana? Kau menyetujuinya? Atau tidak? Masih belum terlambat kim jong in..”

Jong in menghela nafas berat. Apa yang ia putuskan adalah hasil pemiiran dan perasaannya yang terdalam.

“aku menyutujuinya.”

Terlihat senyuman lega dari bibir junho. Ia menyesap the hangat di tangannya. Diam diam junho menyalakan recorder di saku kiri celananya.

“yang bisa menyelamatkanku hanya seoyeon noona. Karena dia satu-satunya saksi mata kejadian itu. Aku tidak membunuh laki-laki berengsek itu secara langsung. Laki-laki itu terkena serangan jantung tepat sebelum aku menusukan pisau kecil di dadanya. Saat itu aku bersama seoyeon noona, dan aku yang menyelamatkannya, menyembunyikannya di brankas besar milik laki-laki berengsek itu.”

Terlihat kerutan di dahi junho.

“seoyeon noona?

Jongin memicingkan senyumannya.

“aku adalah anak hubungan gelap dari laki-laki berengsek itu. Jung woo sung. Aku dan noona berbeda ibu. Dan woosung membunuh ibuku.”

Rahang jongin mengeras. Amarahnya selalu memuncak saat menceritakan kematian ibunya.

“aku tidak berharap banyak lee jun ho -sshi. Aku tau kasusuku tidak akan mudah diselesaikan dalam waktu semalam. Mengingat lusa hari eksekusiku.”

“kau tenang saja kim jong in. aku, rose dan gwangsu pasti bisa menyelamatkanmu. Kau tidak tau cerdasnya gwangsu dan beraninya rose bukan?”

Jongin menunjukan senyum tulusnya.

“kalau begitu jaga rose untukku.” Jongin berdiri dan kembali mengenakan syal tebalnya.

“kau mau kemana?”

“karena aku sudah menyetujuinya. Aku akan menunggu kalian di balik jeruji itu.”

Mata junho terbelalak. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang diinginkan dan dipikirkan jongin saat itu.

“jangan biarkan rose menemuiku. Sampai saat menjelang sidang nanti. Dan untuk seoyeon noona, jangan paksa dia kalau tidak ingin bersaksi untuk kasusku. Aku sudah meminta banyak padanya.”

Jong in pergi meninggalkan junho. Kembali merasakan dinginnya udara kebebasan di seoul.

 

--

 

 Rose mengerjapkan matanya. Tangannya meraba sebelah ranjangnya, terkejut begitu sosok yang ia inginlihat setiap ia bangun dari tidurnya tidak ada. Rose beranjak meninggalkan kamarnya, mencari jong in. sayangnya kamarmandi, pantry, balkon, bahkan di luar apartement tidak terlihat sosok jongin. Kaki rose melemah. Ia tidak bisa menemukannya di sekitar lotus apartement. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri, tidak bisa ia bayangkan kalau jongin pergi ke tempat itu lagi. Rumah tahanan.

Rose membuka pintu apartement dengan tenaga yang tersisa. Matanya terperanjat begitu melihta rekankerjanya gwangsu dan junho sudah duduk manis di sofa tempat jongin biasa tidur dulu.

“pagi rose..” sapa gwangsu.

Rose berjalan cepat menghampiri junho, menarik kerah kemeja junho hingga ia harus berdiri sepantaran rose. membuatnya harus membungkuk.

“apa yang kau katakana pada jong in kemarin heung? Kau mengusirnya?” mata amarah rose menjurus mata junho.

“wow.. wow.. tenang rose.. lee jun ho datang kesini untuk membantumu..” protes gwangsu yang berusaha melerai rose dan junho.

“aku jelaskan semuanya, tapi tolong biarkan aku berdiri tegak.”

Rose melepaskan cengkraman tangannya perlahan. Dan junho merapihkan kemeja yang tidak rapi lagi ulah rose.

“jongin datang ke apartementku semalam. Ia menyetujui permohonanku, membantunya bebas dari hukuman itu. Tapi dengan syarat, ia kembali ke penjara saat itu juga.”

Rose mengerutkan dahinya, disatu sisi ia bisa bernafas lega karena jongin menyetujuinya tapi disisi lai ia terlalu khawatir karena jongin kembali ke rumah tahanan itu.

“dia bilang hanya kesaksian jung so yeon yang dapat membebaskannya. Terlalu susah karena siding dimulai besok pagi sebelum eksekusi dan kita belum mempersiapkan apapun, jadi satu-satunya cara hanya membawa seoyeon untuk bersaksi.”

Rose meraih keningnya, jatuh duduk di sofa membiarkan tubuhnya beristirahat setelah berlari mencari jong in.

“kalau begitu hubungi seo yeon”

Rose menatap gwangsu.

“tidak, aku pernah berbicara padanya, dan dia menolak menolong jongin.”

Junho dan gwangsu duduk bersamaan. Terlalu sulit memang membebaskan jongin diwaktu yang singkat.

“aku akan menemui jong in..” rose beranjak dari duduknya.

Sayangnya langkahnya terhenti. Junho menghalangi rose.

“kau tidak bisa menemuinya. Temui dia satu jam sebelum siding. Kita harus pikirkan kasus ini.”

“apa? Kau mau melarangku lee jun ho?” rose melepaskan gengaman tangan junho.

“bisakah kau memanggilku oppa aku lebih tua dari mu roseeve lee. Turuti perkataanku, karena itu perintah jong in.”

Pandangan rose luluh. Ia tau dirinya dalam ketakutan yang besar, ia takut kehilangan orang yang dia cintai lagi. Oranguta dan kedua kakaknya sudah cukup membuatnya selalu kontra dengan kenyataan yang nyatanya selalu pahit. Gwangsu merangkul rose membantunya kembali duduk di sofa.

“percayakan pada kami rose..” gwangsu berusaha menenangkan rekan kerjanya itu.

“biar aku yang menghubungi seoyeon.” Junho merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel dan satu recorder kecil.

Ia terub berjalan mondar-mandir menunggu suara seoyeon terdengar disana. Hingga rautnya berubah cerah. Ia mendengar suara seoyeon.

“halo? Jung seo yeon?”

“ya?”

“saya lee jun ho, teman kim jong in, bisa kita bertemu sebetar, ada yang saya ingin bicarakan.”

.

.

.

Junho mengerutkan dahinya, ia tidak mendengar jawaban dari seoyeon, hanya suara gemercik air yang ia dengar.

“maaf, saya tidak bisa, mungkin lain kali.”

Kemudian terputus, belum sempat junho menjawabnya, sambungat komunikasi mereka terputus.

Rose menitihkan airmatanya lagi, menangis di punggung lee gwangsu begitu melihat raut wajah junho.

 

--

 

Seoyeon meletakan ponsel mahalnya di gelas berisikan wine. Tangisnya meluap begitu mendengar nama jong in lagi. Ia masih sedih karena keberaniannya belum juga muncul. Ia terlalu sedih membiarkan konflik yang terus mengggeluti pikirannya. Seoyeon bukanlah gadis tangguh seperti rose. ia terlalu rapuh untuk hal kecil apa lagi tanggungjawab besar dan kenyataan pahit.

Seoyeon memecahkan gelas di sebelahnya, memungut pecahan beling dan menyileti pergelangan tangannya. Pandangannya kosong, ia tau ia tidak sedang berfikir jernih. Seoyeon memejamkan matanya. Membiarkan airmatanya jatuh di air endamannya yang hampir memerah karena darah.

 

--

 

Rose dan gwangsu terus menatap layar laptop masing-masing. Sudah hampir 4 jam mereka terus meneliti kasus jongin dan mencari bukti-bukti lain. Sementara junho berusaha menelfon rekannya, kyungsoo bahkan teman-teman jongin yang ia ketahui dari kyungsoo dan berpergian menemui mereka masing-masing.

Junho beranjak menuju pantry kecil apartement rose, membuatkan 2 cangkir kopi hangat untuk kedua rekannya yang sedang berusaha keras. Mata junho mengarah pada rose. jauh di lubuhk hatinya ia pun merasa takut kalau tidak bisa membebaskan jongin dan mengecewakan rose. terlalu mustahil diwaktu yang sangat singkat membebaskan jongin.

Ponsel di saku junho bordering. Kerutan keningnya muncul begitu mengetahui yang menelfon adalah sunbaenya di kantor.

“ya sunbae

Rahang junho mengeras, sorot matanya berubah tidak percaya mendengar penjelasan di ponselnya. Rose dan gwangsu yang memperhatikannya pun langsung mengetahui kalau kabar yang junho dengar bukan kabar baik.

Junho berjalan lemas menghampiri 2 temannya.

“seoyeon ditemukan tidak sadarkan diri di kamar mandinya, ia mencoba bunuh diri. Kondisinya kritis dan belum sadarkan diri sampai sekarang.” Tatapan junho penuh rasa maaf pada rose. ia tidak tau kondisinya makin sulit.

Rose menggigit bibir bawahnya. Kali ini bukan tangis dan raut sedih di wajahnya, junho melihat rose berbeda, seperti anak kecil yang terus memperjuangkan benda yang ia inginkan. Rose tersenyum datar. Ia kembali melanjutkan kegiatannya mencari bukti-bukti tidak bersalahnya jongin.

“rose?” panggil gwangsu pernuh khawatir.

Rose tetap menatap layar laptopnya. “kau mau membantuku tidak? Cepat kembali bekerja..” keluh rose.

Junho dan gwangsu saling bertatapan. Ia sangat menghawatirkan kondisi rose saat ini.

.

.

.

Waktu cepat berjalan. Rose tetap menatap laptopnya, ia bahkan tidak bergerak hampir seharian, hanya pergi ke kamarmandi atau mengambil air. Makanan yang dibelipun sama sekali tidak ia sentuh. Ia tau memaksakan kondisi seperti itu sangat tidak efektif. Ia hanya berputar-putar dalam rentetan bacaan dan tidak menemukan hasil. Hanya saja hatinya terlalu sedih jika sampai hal yang tidak ia inginkan terjadi, kenyataan bahwa ia harus kehilangan jongin.

“rose, tidurlah, biar aku yang lanjutkan..”  junho terus memperhatikan gadis dihadapannya.

“kalau tidak mau tidur, makanlah, apa tidak kasihan dengan perut kelaparan mu?” tambahnya lagi dengan ekspresi wajah iba.

Rose tidak menjawab, ia diam dan terus membaca barangkali menemukan bukti.

“roseeve lee..” nada junho sedikit meninggi.

Helaan nafas berat rose terdengar melebihi dengkuran gwangsu yang sudah tertidur di sebelahnya.

“kau saja yang tidur, bukti yang kutemukan masih kurang.” Rose mengambil beberapa artikel Koran di adapannya.

“rose, percayakan padaku, tidurlah, besok pagi temui jong in”

Gerakan tangan rose berhenti. Sorot matanya terlihat suram. Sungguh ia ingin menangis saat mengetahui sulitnya membebaskan jongin. Lubukhatinya ingin menyerah, lalu mati bersamanya. Tapi perasaan rose berbeda. Ia ingin terus berjuang untuk jong in.

“aku percaya padamu lee junho. Bahkan sangat. Mungkin ucapan terimakasih saja tidak cukup.” Rose tersenyum canggung.

“kalau begitu tidurlah, apa kau ingin besok saat bertemu jongin, matamu menghitam dan sembab karena tangis dan kerja semalam suntuk. Besok berpakaianlah dengan cantik. Buat jongin tersenyum.”

 

--

 

Rose melangkahkan kakinya menuju kursi yang tersedia, dengan meja dibatasi kaca berlubang, seseorang duduk di sebrangnya. Laki-laki yang terus berkutat dipikirannya. Kim jong in.

Senyumnya terpancar, sama seperti biasanya saat rose memberikan morning kiss. Ia sedikit canggung karena harus mengenakan pakaian yang menurutnya akan memikat jongin. Dengan anting-anting mutiara yang belum pernah ia pakai pemberian ibunya.

“pagi.” Sapa rose dengan canggung. Ia menggigit bibir bawahnya takut takut airmatanya kembali keluar. Hari ini ia tidak ingin menangis, ia ingin jongin melihatnya tersenyum.

“pagi, tidurmu nyenyak?” jawab jongin dengan nada datar.

“tidak senyenyak saat kau berada disamping ku.” Rose tersenyum manis. “kau? Nyenyak?” ujarnya melemparkan pertanyaan yang sama.

“tidak senyenyak saat aku memelukmu.”

Jongin dan rose saling bertatapan. Kondisinya berbeda sekarang. Saat rose akan mewawancarainya dulu, meja yang dipakai tidak berbataskan kaca, sehingga dengan mudah rose melakukan kontak, entah itu berjabat tangan atau memberikan sesuatu. Sekarang, memegang tangan jongin pun ia tidak bisa. Apalagi dengan 2 pengawal di samping jongin.

“hei, kau terlihat cantik tidak biasanya? Apa kau mengenakan makeup?”

Rose tersenyum malu. Ia yakin pipinya memerah saat itu.

“lee junho yang mendatangkan temannya untuk mendandaniku, kau taukan aku tidak bisa berdandan.”

“apa itu semua untukku?” Tanya jongin canggung.

“well..” rose mengagguk malu.

“tapi kau terlihat cantik saat mengenakan kemeja kebesaran dengan hotpantsmu..”

Rose tersipu malu.

“apa aku harus berganti pakaian sekarang?”

Raut wajah jong in berubah sendu. Ia brusaha mengingat saat-saat dimana rose bersandar di punggungnya, di dadanya, mengecup birbirnya atau sekedar memeluknya disaat rindu.

“tidak, waktuku tidak banyak.” Jongin tersenyum. Berusaha menyembunyikan rasa khawatir dan sedihnya.

“waktumu masih banyak kim jong in.” rose menenangkannya.

Ia menghela nafas panjang, mengatur emosinya yang bergejolak. Sekali lagi, ia tidak ingin memnangis di depan jongin. Itu seudah menjadi tekadnya sebelum menginjakkan kaki di rumah tahanan tempat jongin bernaung.

Rose mengeluarkan 2 benda dari clutch bagnya. Coklat dan polaroid camera.

“aku lupa, kita tidak pernah berfoto sebelumnya.” Rose meminta izin kepada 2 pengawal di sebelah jongin untuk berfoto. Beruntung pengawal itu mengiyakan saja permintaan rose.

Jongin melingkarkan tangannya di perut rose, menyandarkan kepalanya pada bahu yang lebih pendek darinya. Tersenyum dan mengecup ppi rose. dan saat itu jong in berbisik.

“aku mencintai mu roseeve lee.”

Dan saat jongin membisikan kata-kata yang tidak diharapkannya, kuncian matanya luntur, airmatanya tumpah saat itu juga. Terlalu sulit baginya untuk tidak menangis melihat jongin.

.

.

.

Mereka duduk di tempat semula. Jong in dan rose sama-sama mengeluarkan airmatanya saat foto mereka diambil. Pertama kalinya bagi jongin menangis untuk seorang gadis. Berbeda dengan rose yang selalu menangis mengingat jongin di detiap detiknya.

Rose melihat foto-foto hasil polaroid cameranya. Sesekali tersenyum melihat mimic jongin dengan senyum canggungnya.

“kau tidak berbakat berfoto kim jongin.” Rose tertawa lepas.

Ia mengambil beberapa foto, 3 foto lebih tepatnya. Dan memberikan nya pada jongin bersamaan dengan coklat yang ia bawa.

“penghilang stress dan gugup?” rose tersenyum.

Jongin menerimanya dengan senang hati.  Senyumnya melebar saat melihat hasil foto mereka berdua. Cukup singkat rasanya ia melepas rindu dengan rose. walaupun tidak seistimewa saat ia melepas rindu saat tidur dengan rose. memeluknya tanpa ada batasan waktu. Namun itu semua cukup bagi jongin, melihat senyumannya. Wajah tercantiknya.

“rose, bolehkah aku meminta permintaan?”

“katakan”

Sesaat jongin terdiam, menatap manik mata rose lama.

“jangan sakit, jaga kesehatan, jangan merokok dan minum alcohol lagi, itu tidak bagus untuk mu, ah jangan terlalu sering makan ramyeon. Banyak-banyaklah makan buah.”

Nafasnya tercekat. Kata-kata jongin seakan dia ingin meninggalkannya. Memang hasil siding tidak bisa diandalkan mengingat rose, gwangsu dan junho yang hanya sedikit bukti untuk jongin, belum lagi saksi kunci kejadian itu, jung seo yeon masih belum sadarkan diri akibat tindakan percobaan bunuh dirinya kemarin sore.

“kau tau jongin-ah, kata kata mu sama seperti saat joe sebelum meninggalkanku. Hanya tambahannya ia meminta ku berprestasi saat bersekolah di paris.”

“kalau begitu kau adik keras kepala karena tetap merokok dan meminum alcohol biarpun kakakmu sudah melarangnya.”

Rose menyunggingkan senyumannya. Ia menundukan kepala seraya menangis, lagi. Hatinya terlalu rapuh di depan jongin, biarpun ia gadis kuat.

Rose menghapus iarmatanya. Mengumpulkan mood baiknya untuk tersenyum.

“jongin-ah, berjanjilah ini bukan pertemuan terakhir kita eoh?” sulit, permintaan rose membuat nya ingin berkata ya, tapi itu semua tidak bisa dipastikan.

“kalau begitu bisakah kau juga berjanji tidak mengikuti proses sidangku. Tunggulah diluar pintu siding, dan aku akan menemuimu disana.”

 

--

 

Aku memeluk lee junho erat. Hanya laki-laki itu yang sangat diharapkan rose saat ini. Ia berharap besar pada junho. Ia tahu junho tidak akan mengecewakannya.

“selamatkan dia junho oppa” untuk pertamakalinya rose memanggil junho dengan sebutan oppa. Itu karena junho memberikannya sosok kakak saat rose seang kesulitan.

Junho membalas pelukan rose, mengelus lembut punggung rose menenangkannya.

“akan kucoba semampuku.” Junho memperlihatkan eyesmilenya dan tersenyum.

Bersama dengan gwangsu, lee junho memasuki ruangan dimana rose tidak akan memasukinya. Ruang siding jongin. Benar kata jongin, tidak seharusnya ia mengikuti prose siding. Rose lebih memilih menunggu diluar sambil membayangkan jongin muncul dengan raut sumringah di depan pintu itu.

Menunggu dan menbunggu, sesekali memperhatikan arlojinya yang bergerak sangat lambat bagi rose. rose bukanlah tipe gadis penunggu. Tapi kali ini ia tidak lelah menunggu, melainkan cemas. Sebagian benaknya menagatakn bahwa ia pengecut karena tidak pergi kedalam, tapi idain pihak kata-kata jongin terngiang dipikirannya.

Rose berusaha memejamkan matanya. Mengingat kembali awal pertemuannya bersama jongin, dan dimana saat jongin selalu tersenyum mengejek saat ia memintanya untuk menjawab pertanaayn saat wawancara berlangsung, wawancara bernilai 4 jyta won. Pagi dimana jongin datang ke apartementnya membuat tubuhnya bergetar ketakutan. Menyembunyikan buronan tidaklah sulit, butuh keberanian untuk mempertanggungjawabkan hal-hal besar. Jongin membuat dirinya menjauh dari dunia kelam nikotin, vodka, whiskey atau benda memabukan lainnya. Menggantinya dengan aroma tubuhnya yang membiaus rose sekaligus menjadi sesuatu yang memabukanlainnya.

Saat dimana jongin duduk manis di depan televisi dengan makanan seadanya, menunggu jam kembalinya rose dari kantor. Bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing dengan secangkir kopi hitam atau the hangat. Jika malam sudah datang, mereka akan saling berpelukan, merasakan tiap sentuhan yang mereka berikan amasing-masing. Merasakan dinginnya bibir jongin, dan memeluk tubuhnya yang tidak terlalu berisi.

Itu semua tidak akan mudak dilupakan rose walau hanya 2 minggu mereka bersama, dan 1 minggu saling mengungkapkan perasaan cinta. Jongin meraih rose dari kelamnya dunia lamanya. Dan rose membuat jongin membuka kembali hatinya, mengubur dendamnya.

.

.

.

Hingga 3 jam berlalu. Terdengar suara ketukan palu samar-samar. Airmatanya kembali mengalir tanpa ia perintah. Papun hasilnya nanti, rose sudah pasrakan semuanya. Ia hanya ingin melihat wajah jongin, saat itu juga.

Belasan wartawan keluar disertai orang-orang yang rose tidak terlalu kenal. Telinganya tertutup untuk mendengar olokan, hasil, pujian atau cemooh siding barusan. Ia lebih memilih mengabaikannya dan mencari sosok jongin.

Jongin, junho bahkan gwangsu sama sekali tidak ditemukannya. Ia terlalu gugup dan cemas tentang kenyataan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dan disana ia, berjalan dengan dua pengawal di samping kiri dan kananya. Tangannya berhiaskan hiasan besi sama seperti saat rose bertemu pertama kali. Rautnya datar, rose tidak bisa membedakan hasilnya bahagia atau menyedihkan, tanpa berfikir panjang rose memeluknya. Memeluk erat kim jong in. membiarkan rindunya hilang, begitu juga jongin yang hanya bisa menyandarkan kepalanya pada bahu kecil rose. membiarkan peluh tangisnya mengalir di bahu rose.

Rose tidak pernah tau ada sesuatu yang rapuh dalam diri jongin yang selalu ia sembunyikan. Menutupinya dengan sifat angkuh dan diam. Sungguh jong in sangat ringkih saat itu.

“aku menyayangimu kim jong in.”

“terimakasih untuk semuanya roseeve lee.” Dengan nada sedikit terisak.

 

--

 

Hampir Satu tahun berlalu. Rose membiarkan rambutnya yang tergerai diterbangkan angina pagi saat itu. Menatap mata hari terbit di hamparan luas pantai. Menghirup segarnya udara pagi pantai. Kondisinya lebih baik sekarang. Dengan udara segar dan sebuah kehidupan dalam dirinya yang sudah berjalan 20 minggu.

Hari itu hari dimana rose bertemu dengan jongin di sebuah rumah tahanan. Rose berusaha mengingat wajah jongin. Setiap mimiknya yang berbeda, hampir terngiang di pikirannya. Tersenyum saat ia memberikan morning kiss, tertawa saat meminum kopi bersama, marah saat rose merokok diam-diam, datar saat rose menangis. semua terlalu indah bagi rose.

Lalu sebuah tangan meneglus lembut perutnya yang sudah sedikit membesar. Tersenyum bersama memandang matahari terbit.

 

-fin-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet