Part 1

Moment in Pers

Sebuah pena dan note biru dikeluarkannya, kemudian tangannya akan menulis ratusan, bukan ribuan kata yang selanjutnya diserahkan pada sang editor. Disana ia sekarang, didepan seorang laki-laki dengan postur sedikit bungkuk dan hiasan besi terikat ditangannya. Untuk kurun waktu yang lumayan lama-laki-laki itu hanya diam. Menatap seseorang dihadapannya tanpa ada satu patah kata yang keluar dari bibirnya yang membiru.

Sayangnya ratusan atau ribuan kata yang diharapkan sang penulis sirna. Notenya biru polos tanpa ada sebuah coretan. Tangannya terus mengetuk-ngetukan pena dengan kesal. Sudah kesekian kalinya pertanyaan yang dilontarkan untuk sang lak-laki tidak sama sekali di hiraukannya.dan sang penulispun mulai lelah dan bosan untuk memenuhi tugas barunya yang satu ini.

“aku rasa ini akan menjadi waktu yang sangat lama, sampai mulutmu mengeluarkan satu kata saja.”

Sang penulis menutup note dan kembali meletakkan benda sakral tersebut pada tas oblongnya. Ia berdiri kemudian memberi hormat pada sang laki-laki. Langkahnya kesal menuju satu-satunya mobil yang baru saja ia bayar lunas.

Laki-laki itu tetap diam menunggu hingga si penulis pergi dari hadapannya.

 

--

 

Politik, ekonomi, perang saudara, atau tindakan kriminal lainnya bisa dengan mudah terselesaikan. Bahkan karena tulisannya beberapakali ia mendapat reward dan bayaran yang cukup tinggi hingga ia berhasil menyewa satu kamar yang cukup luas dan melunasi mobil bututnya. Tapi kali ini, untuk kasus pembunuhan sang penulis harus merelakan 5 hari terbuang sia-sia menatap laki-laki tersangka pembunuhan.

Rose, panggilan sang penulis menelusuri lorong tempat nya bekerja di rubrik media yang lumayan besar. Meja kayu dengan sampah-sampah puntung rokok menjadi tujuannya. Tempat diamana otak dan tangannya bekerja secara sinkron untuk menghidupi dirinya sendiri yang sudah sebatang kara sejak 3 tahun lalu. Kecelakaan besar merenggut dua kakaknya yang tersisa, setelah orangtuanya yang pergi terlebih dulu karena serangan pembunuhan yang ia belum mengerti.

Sayangnya sebelum si penulis menuju mejanya. Sudah berdiri seorang jangkung dengan kumis tipis, memegang map map yang ia perkirakan tumpukan kerjaan terbengkalai karena kasus yang menyita waktunya. Kalau saja kasus 5hari terakhir itu tidak harus dihargai 4juta won, mungkin ia akan lepas tangan. Didunia ini siapa yang tidak tergiur mendengar 4juta won.

“lupakan kasus pembunuhan itu..” seorang jangkung itu menyerahkan tumpukan map pada sang penulis.

“lalu 4juta wonku menghilang?”

“sudah 2 wartawan yang angkat tangan dengan kasus itu.”

“kalau begitu aku tidak akan angkat tangan gwang su sayang.. bukan rose lee kalau tidak bisa menyelesaikan itu semua.” Gadis itu menyulut rokoknya dan menyungingkan sedikit senyuman

“terserah kau saja.”

 

--

 

Untuk kali ini, si penulis hanya menatap layar laptopnya dan jenuh. Hal yang tidak biasanya. Berulang kali ia memikirkan wajah sang tahanan. Lumayan tampan untuk seorang pembunuh, mengingat dia bukan seorang psyco. Yang sangat mengherankan ia bisa dengan mudahnya membunuh seorang mentri yang notabennya dijaga puluhan pengawal.

Rose kembali menyulut rokoknya yang baru saja habis 15 menit lalu. Ia kembali membuka jurnal-jurnal lama. Belum pernah ada kasus tentang pembunuhan di agenda terdahulunya, atau karena itu ia sulit dalam menangani kasus kali ini.

8.15, malam ini ia terlalu jenuh memikirkan hal yang selalu sia-sia. Hanya satu yang membuatnya kembali berfikir jernih. Sebotol wine. Langkahnya malas menuju lemari pendingin, tanpa benda bening glamour, iya meneguknya langsung dari botol. Ia melepas kemejanya, menyisakan satu helai kain di tubuhnya. Menghembuskan gumpalan asap beraroma nikotin, kemudian meneguk botol winenya.

Kondisinya memang berbeda. Rose adalah perempuan yang besar dengan kedua kakak laki-laki, kelakuannya pun mencontoh kedua kakaknya. Merokok dan meneguk minuman beralkohol. Hanya itu yang membuatnya tidak kesepian, lalu aroma nikotin serta wine akan merangsang saraf di otaknya yang menegang dan ia kembali bisa berfikir normal.

Rose mengambil salah satu surat kabar lama. Berita kematian orangtuanya yang tragis. Bahkan kedua kakaknya yang telah tiada sama sekali tidak memberi tau penyebab kematian orangtuanya.

 

--

 

Si penulis mengeluarkan kartu namanya. Manik matanya memandang mata tajam si tahanan. Hari ke enam, ia berharap identitasnya mebuat sedikit keberuntungan. Ya, rose si penulis tidak pernah memberitau identitas siapa dia sebenarnya kepada narasumber-narasumber pemberi emas. Rose, hanya rose andalan identitasnya.

Si tahanan menatap rose dengan pandangan remeh. Hanya hitam bolamatanya yang bergerak, sisanya tidak sama sekali.

“roseeva lee, junior jurnalis, hong media pers. Lotus seoul apartement. 707-8863-xxx.”

Sebuah sunginggan bibir menjadi hadiah untuk rose yang telah memberitau tempat tinggal dan nomor ponsel pribadinya.

“paris-korea, tidak memiliki orangtua, single,  dan aku membutuhkan data-datamu tuan.”

Aliran darah rose sedikit memuncak di saraf otaknya. Ia bukan tipikal perempuan yang sabar, melainkan lelah menunggu. Namun bayang-bayang 4juta won terus di pikirannya.

“baik, ini yang terakhir, kalau saja kau memiliki pengacara, aku tidak perlu susah payah mencarimu.” Rose menunduk membisikan sesuatu.

“aku butuh 4juta won”

 

--

 

Aroma tanah basah, kepalanya menengadah menatap hamparan langit luas. Untuk kesekian kalinya rose tidak bisa mendapatkan data emas. Note jurnalnya kembali kosong. 4juta won, entah kenapa rose begitu terobsesi dengan nominal yang tidak terlalu setimpal dengan apa yang sudah ia kerjakan hampir seminggu ini. Tidak dipungkiri memang, nominal itu sangat besar untuk ukuran sebuah tulisan berita yang biasanya hanya berkisar 400ribu won sampai 700ribu won.

Rose meneguk segelas whiskey di salah satu bar. Ia terus teringat mimik si tahanan yang selalu melihatnya dengan tatapan rendah. Jka sudah teringat segelas whiskey lah yang dapat membuyarkan ingatan memalukan.

“menghabiskan uang untuk alcohol lagi, ms.rose.”

Seorang laki-laki dengan rambut coklat caramel duduk bersebelahan dengan rose. Kulitnya putih bersih dan memiliki mata mematikan untuk para gadis. Eye-smile.

“lee jun ho?”

Lee jun ho, seseorang yang seharusnya dipanggil oppa oleh rose. Teman dekat bisa dibilang sangat, dari 2 mendiang kakaknya. Dulu hampir setiap minggu rose bertemu dengan laki-laki bernama lee jun ho, hanya karena sekarang rose sibuk dengan berbagai tugasnya sebagai jurnalis, dan junho yang sibuk menyelesaikan kasus-kasus karena dia seorang detective terkenal di seoul, mereka jarang bertemu.

“aku yang traktir..” lee jun ho mengeluarkan 2 lembar uang kertas dari dompet klasik miliknya.

Rose hanya tersenyum sekilas melihat kelakuan junho yang sama sekali tidak berubah. Ia selalu bertingkah baik dengan rose dan rose akan muak melihat kelakuan baiknya. Tidak ada laki-laki yang menurutnya benar-benar baik selain ayah dan kedua kakaknya tentunya.

“tenang saja lee jun ho, aku akan mendapatkan uang jutaan won, kau tidak perlu membayarnya.”

Junho terkikik melihat adik dari sahabatnya itu. Gaya bicaranya sudah sedikit melantur karena pengaruh 2 botol alcohol, walaupun sebenarnya otak rose masih dapat berfikir. Rose bukanlah seseorang yang mudah mabuk seingatnya. Ia pernah menghabiskan 7 botol vodka tanpa mabuk dan bisa menyetir dengan tenang.

“kudengar dari gwang su kau masih mengejar kasus pembunuhan jung woo sung sang mentri itu?”

Rose mengernyit, ia tidak heran kalau karyawan jangkung nan bodoh itu yang memberitau lee jun ho.

“si bodoh itu menyuruhku berhenti?”

Gema tawa junho terdengar di sudut bar tempatnya duduk dengan memegang gelas whiskey.

“itu alasan kedua mungkin, kau tau aku juga sedang menyelidiki kasus itu. Kudengar si pembunuh tidak menyewa pengacara. Bukankah itu berarti hukuman mati akan berlangsung cepat.”

“kuharap tidak sampai aku berhasil mendapatkan data emas dari uang jutaan won ku.”

 

--

 

Seorang laki-laki terus memperhatikan sepucuk kertas kecil bertuliskan roseeva lee. Dia, kim jong in yang sudah hampir setengah tahun duduk kedinginan dibalik jeruji besi, memejamkan matanya sejenak. Membiarkan kepalanya ditopang dinding tebal.

Rahangnya mengeras, tangannya mengepal meremas kertas tadi. Ia terus teringat teriakan seorang wanita yang ia sayangi. Ibunya, kim shin young. Wanita yang selalu menghormati, melayani, dan mengabdi untuk pria berengsek bernama jung woo sung.

Jam 01.00 a.m.

 Kim jong in memainkan gumpalan kertas kecil tadi. Sesekali melemparkan ke arah kamera pengawas yang tepat berada dihadapan wajahnya, lalu kertas itu akan ia tangkap kembali. Sebuah sunggingan senyuman tergambar di mimiknya yang dingin. Bukankah sudah sangat terlambat untuk seorang pengawas dengan senjata berjalan mengawasinya.

“psst, kim jong in..”

Sosok perempuan dengan mimik sedingin jongin menampakan diri dari lubang ventilasi yang tertutupi ranjang jongin. Perempuan yang ia tunggu sebulan terakhir ini. Jongin melangkahkan kakinya menuju kamera pengawas. Tangannya menyusup diantara kaus kaki lusuh miliknya. Hingga belati kecil merusak lensa kamera pengawas.

Jongin dan perempuan itu menyusuri lubang ventilasi yang akan berujung pada lubang pembuangan di belakang rumah tahanan.

“kau berhutang padaku kim jong in, aku sudah membereskan 3 pengawas kamarmu.”

Ujar sang perempuan dengan bangga. Tidak ada jawaban dari jongin. Dia selalu diam seperti basanya, terlalu lelah berbicara dengan perempuan yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri, berbicara sepatah kata saja akan membuatnya berdebat berminggu-minggu.

Besi penutup lubang pembuangan ditendangnya. Udara malam mendesir menggoyangkan rambut jongin, udara kebebasan lebih tepatnya. Ia membuang pakaian tahanan di sela-sela lubang pembuangan, menggantinya dengan pakaian yang dibawa perempuan dingin tersebut. Topi hitam dan sebuah kacamata akan sedikit menyamarkannya selama perjalanan.

“pergi cari tempat tinggal yang layak, keluar kota kalau bisa.” Perempuan itu memberikan selembar kertas cek bertuliskan 10juta won.

“ini terakhir kalinya aku meminta pertolongan, selanjutnya tidak.” Jongin mengembalikan selembar kertas yang menurutnya sama sekali tidak berharga.

“ini memang terakhir kalinya juga aku membantumu bodoh, ambil atau aku akan melapormu ke polisi.”

Jongin hanya tersenyum kecut, ia mengabaikan kata-kata perempuan tersebut. Berjalan menyusuri udara kebebasan. Dan mengendalikan kakinya untuk berjalan menuju sebuah tempat. Lotus apartement.

 

--

 

Kepalanya sedikit pening setelah 5 botol whiskey ia teguk semalaman. Setelah jun ho mengantarnya hingga ia terlelap tidur, lupa. Ia lupa segalanya. Ia berjalan menuju pantry dan tangannya langsung mengotak-atik tombol coffe maker. Aroma kopi  hangat menyeruak di seluruh sudut ruangan apartementnya yang biasanya beraroma nikotin.

Cangkir porcelain merah marun dengan isi cairan hitam pekat menarik mulutnya. Dahaga akibat whiskey semalam terbayar sudah. Tangan kananya meraih remote televisi. Matanya membulat drastis begitu mendengar tahanan pemegang data emasnya melarikan diri semalam oleh. Aroma kopi hitam mendadak membuatnya mual. 6hari waktu yang ia habiskan untuk menjaring data emas sia-sia. Kakinya melangkah menuju kamar mandi yang bisa dibilang cukup berantakan untuk seorang gadis. Ia memuntahkan seisi perutnya.

Stress, jika sudah otaknya lelah berfikir, ia akan mengeluarkan asupan-supan diperutnya. Entah kebiasaan atau sifat turunan. Yang pasti ia tidak dapat mengharapkan 4juta won lagi. Suara bel apartement mengusik kegiatan lambungnya saat berkontraksi dengan saraf stress di otak. Mustahil ada tamu sepagi ini di apartementnya. Hampir tidak ada yang tau keberadaannya tinggal selain lee jun ho, pelayan jasa antar laundry, pengantar restorasnt china cepat saji dan karyawan bodoh temannya gwang su. Selain itu sangat dipastikan tidak ada yang tau keberadaannya.

Dan saat ia membuka pintu apartementnya, seorang laki-laki dengan kaus hitam dan topi hitam yang menutupi sebagian wajahnya hadir. Ia tidak melihat jelas wajah sang laki-laki, itu karena laki-laki itu sedikit membungkuk.

“memesan layanan kamar, nona roseeve lee?”

Suaranya sangat asing, hingga sang laki-laki membuka topinya. Wajah rupawan namun sedikit dihiasi lumpur disekitar dagu dan dahinya membuat dia yang melihatnya diam membatu. Aliran darah yang semula mengontraksi rasa mual berkumpul di si pemompa darah hingga seseorang didekatnya dapat merasakan suara degub jantung. Seseorang yang seharusnya akan di eksekusi 1 bulan lagi, yang seharusnya berada di dalam jeruji besi nan dingin, yang muncul di televisi dan membuatnya mual dan si pemegang data emas, berdiri di hadapan si penulis.

“polisi akan menangkapmu..”

Rose merogoh saku hotpants nya yang dipastikan ada benda tersier pendukungnya sebagai jurnalis. Tangannya gemetar menekan layar touch screen. Sayangnya disaat itu juga laki-laki itu menghantam tubuh rose, menutup pintu apartement dengan kaki jenjangnya dan mengunci tubuh rose di dinding dekat pintu hingga tangannya tidak bisa bergerak.

“mau apa kau?” mata rose benar-benar bulat menatap laki laki yang diketahui bernama kim jong in.

Kesalahan terbesarnya adalah memberikan identitas nya untuk seorang pembunuh yang sejak dini hari tadi menjadi buronan seluruh korea selatan.

“bernegosiasi..” jong in menyungingkan senyuamnnya yang membuat rose muak.

Jongin mendekatkan wajahnya kearah rose, tepatnya di telinga kanan.

“dan berbagi keuntungan..” ujarnya berbisik.

Nafas jongin seratus persen bisa dirasakan rose, menggelitik kulit lehernya membuat bulu kuduknya meremang. Jongin mendekatkan bibir dinginnya dan menciumi leher jenjang rose. Sementara rose tidak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya dikunci.

“damn it, lepaskan aku bodoh..” gertak rose.

 

--

 

Sebuah meja kaca memisahkan ruang diantara mereka. Yang satu menatap tajam ke arah manik mata coklat tua, sementara yang lainnya duduk dengan santainya di sofa yang lumayan nyaman.

Rose memegang erat ponselnya, takut-takut jongin membunuhnya juga.

“kau  bilang menginginkan 4 juta won.” Rentetan gigi putihnya terlihat seiringan jongin menyeringai.

“tidak lagi, setelah berita buronan muncul di televisi.”

Jongin menganggukan kepalanya, tubuh yang tadinya menyadar di sofa kembali tegak. Rahangnya mengeras dan mata tajamnya menangkap mata rose di depannya.

“telponlah polisi, biarkan mereka menangkap ku nona roseeve lee..”

Tangan gemetar rose menekan layar sentuh. Dilemma, polisi atau data emas. Polisi atau dia serahkan pada lee jun ho sebagai detective penyelidik kasusnya.

“tapi sebelumnya aku ingin kau mengetahui. Aku kim jongin, sudah mengetahui latar belakang keluarga mu jauh sebelum kau mencariku.”

Diam membatu. Kata-kata jongin seperti menyihir rose yang semual gemetar menjadi diam. Sebelumnya belum ada yang pernah mengetahui keluarganya selain lee jun ho. Bahkan gwang su tidak tau kalau ia memiliki dua kakak.

“kau menagncamku?” tatapan amarah rose membuat jongin terkikik.

“bukti? Tuan Anthony adams lee dan nyonya ban nam gyu yang tragis dibunuh di kamar mewahnyab5 tahun yang lalu, atau Jason dan joe lee? Si kembar yang mati karena kecelakaan, kau tidak mencari tau mereka sengaja diunuh atau memang kecelakaan?”

“apa maksudmu kim jong in?” mata kecil yang sejak 3 tahun lalu tidak berfungsi dengan baik dalam mengeluarkan airmata, kembali berfungsi.

“siapa kau?” rahang rose mengeras.

Jongin kembali ke posisi dimana ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia menatap mata rose yang sudah hampir sepenuhnya berwarna merah.

“kau tidak tau jung woo sung memiliki seorang anak laki-laki bukan?”

Rose memicingkan matanya. Ia tidak tau banyak tentang si mentri jung woo sung, yang ia ingat tentang keluarganya hanyalah istrinya baek ji yeong, dan anak semata wayangnya jung so yeon.

“jung woo sung, memiliki gadis simpanan, dan dia adalah ibuku, kim shin yeong.” Mendadak pandangan jongin diselimuti amarah. Setiap ia membicarakan ibunya, darahnya akan bergejolak membuyarkan otaknya.

“dan aku terlahir dari hubungan gelap mereka.”

Mata rose meluluh mendengar perkataan terakhir jongin. Ia meletakan ponselnya perlahan, saat ia sadari dimana sebuah data emas, akan menjadi data berlian bagi dirinya, bukan hanya uang, melainkan membuka tragedy pembunuhan orangtuanya yangia sama sekali tidak mengerti. Jongin jung woo sung dan nama asing lainnya mereka ada dibalik data berliannya.

 

--

 

“Rose lee..” ia menghiraukan panggilan kepala department rubrik tempat ia bekerja. Bahkan disaat rapat direksi pun pikiran rose dirasuki jongin. Ia selalu teringat pembicaraan singkatnya tadi pagi. Saat ia berkata kematian keluarganya dan darimana ia berasal, namun disisi lain rose juga memikirkan konsekuensi yang berat. Ia menyembunyikan seorang buronan.

Rose keluar dari ruangan yang tertutupi kaca es dengan gontai. Pikirannya tidak berjalan baik hari ini. Rasanya ia ingin sekali memutar waktu, secepatnya pulang dan menanyakan semua pada jong in.

“kau sakit?” karyawan jangkung, gwang su membuyarkan lamunan rose.

Rose menggelengkan kepalanya disertai helaan nafas frustasi.

“ini soal, uang 4juta won mu yang menghilang atau karena lee jun ho yang menemanimu semalaman?” gwangsu tersenyum meledek rose. Membuat rose kesal dan melayangkan tatapan tajam.

“kenapa kau memberitau lee jun ho, dasar bodoh..”

“lee jun ho yang mencarimu, jadi kenapa tidak sekalian aku beritau kondisimu, apa kau tidak bisa mengucapkan terimakasih..” gwangsu mendengus kesal, meninggalkan rose.

Rose terkikik melihat rekan kerjanya yang bodoh melakukan hal kekanak-kanakan.

“hei lee gwang su, kau meninggalkan map kerjamu di mejaku.” Dan rekan kerjanya itu akan berlaku kekanak-kanakan lagi, mengambil map dengan akting yang berlebihan, membuang muka.

Rose membuka kembali jurnal agenda kasus baru. Tidak ada yang membuatnya sesemangat kasus kematian mentri, atau bisa dibilang kasus kim jong in. kasus penggelapan dana universitas, bangkrutnya salahsatu perusahaan besar di seoul, dan pernikahan putra presiden. Rose mencibir. 3 kasus itu dapat ia selesaikan dengan mudah, sangat mudah, kecuali kasus kim jong in. kim jong in, nama yang sekarang terus bersarang dipikirannya. Bukan karena takut meninggalkan apartement satu-satunya yang sekarang di tempati buronan besar, tapi segudang data berharga pada jong in.

“butuh sedikit pencerahan? Nona lee?” eyesmile yang digilai wanita terpampang dalam pandangan rose. Membuyarkan lamunan tentang jongin. Lee jun ho.

“jun ho?” manik mata rose menangkap pandangan junho dengan terkejut.

“kenapa kau tidak bisa memanggilku dengan sebutan oppa-sih, aku lebih tua dari mu..” junho menjatuhkan tubuhnya di kursi melamin tempat dimana tamu rose duduk.

“mau apa kau datang kesini? Tidak ada pekerjaan?”

Jun ho mengernyit sebal. Lantas ia melemparkan Koran pagi ini, dimana judul berita besar membuat mata rose sedikit gugup, ‘tersangka pembunuhan mentri, jung woo sung, melarikan diri dini hari.’

“ponsel mu tidak aktif, jadi aku telfon dia saja..” jun ho melirik kea rah si bodoh jangkung gwang su.

“ah tadi aku ada rapat direksi.”

Jun ho menegakan posisi duduknya, mimik wajahnya berdecak kesal melihat berita di Koran tersebut.

“bagaimana? kau masih mau mencari datanya? Uang jutaan won mu?”

Rose mengerjapkan matanya berulang kali. Mulutnya harus terkunci rapat tentang keberadaan jongin yang sekarang mungkin sedang tidur di apartementnya. Tidak ada yang boleh tau keberadaan kim jong in, kata-kata it uterus dipegangnya.

“menurutmu saja, dia kabur, mana mungkin aku bisa mendapatkan uang jutaan won ku.”

“begitu? Kau tau, aku ditawari salah seorang kepala polisi bernama do young guk untuk menemukannya, 20juta won katanya.”

Gwangsu yang dari tadi memasang telinga di ruangan sebelah rose, melunjak. Seandainya ruangan mereka di pisahkan dinding massive dan bukan sebuah papan plastik mungkin gwang su tidak akan berhasil menguping segala sesuatu tentang rose.

“du..dua puluh.. juta won?” gwangsu dengan cepat menghampiri rose dan junho.

 “hey, ada apa dengannya.” Jun ho melihatnya risih.

Rose hanya memutar bolamatanya melihat dua laki-laki yang aneh. Yang satu kekanak-kanakan dan yang satu selalu bersikap sok-baik.

Rose merasa tidak asing dengan nama do young guk, ia kembali membuka jurnal-jurnal lamanya. Sekitar satu tahun yang lalu, do kyung soo mengaku anak dari kepala polisi bernama do young guk. Kasus pengedar obat terlarang rupanya.

“do young guk ayah dari do kyung soo itu?”

Junho menganggukan kepalanya dengan tersenyum. Lee jun ho selalu tepat jika menanyakan orang yang tidak terlalu ia kenal pada rose. Rose selalu menguak suatu kasus hingga sedalam-dalamnya. mungkin ia akan menjabarkan keluarga sang korban atau tersangka hingga tujuh turunan.

 

--

 

Rose mendesis melihat jongin yang masih terlelap tidur di ujung sofa dengan pakaian milik kakaknya. Beruntung rose masih menyimpan beberapa pakaian Jason dan joe di lemari kayu kamarnya

Entah gerakan apa, sepulang dari gedung belasan lantai tempatnya bekerja, ia membawa kertas berisikan makanan untuk persediaan di kulkas nya yang hanya berisikan botol whine, dan sedikit camilan pendukung.

Ramen, sayuran dan kimchi. Hanya itu yang ia bawa untuk kim jong in. ia tidak biasa memegang panci atau menyalakan kompor, ia lebih senang memesan masakan cepat saji dan meminum whine dari pada menghabiskan waktu utnuk dunia masak memasak.

Untuk kali ini rose tidak bisa bebas melepaskan pakaiannya. Ia memilih tidak berganti pakaian dan langsung menyulut rokoknya. Remote tv menjadi sasaran kedua setelah mesin korek api. Kebulan asap dari mulutnya menyeruak. Apartementnya kembali beraroma nikotin.

Dan karena itu, jongin membuka matanya.

“sudah bangun? Makan, tapi disini hanya ada ramen dan kimchi. Sebaiknya kau tidak mempermasalahkan hal itu.” Ujar rose tanpa menatap jongin sedikit pun.

Laki-laki itu menghela nafas malas, berjalan menuju kamar mandi dan dilanjutkan menuju dapur. Sejak pagi ia ketempat itu perutnya sama sekali tidak dimasuki auspan. Walaupun sudah terbiasa tapi tetap saja suara gemuruh perutnya tetap akan complain. Jongin menyalakan kompor listrik dan memasak ramen seadanya.

“selesaikan makanmu, baru saat itu sesi  pertama wawancara dimulai. Aku tidak ingin tidur malam”

Jongin menatap tajam rose yang berbicara tanpa melihatnya. Mengaduk-aduk panci ramen kurang lebih selama 5 menit.

Jongin yang membawa panci panas berisikan ramyun, menaruh di meja depan rose sedikit kasar. Ia mengambil paksa rokok di mulut rose, membuangnya ke lantai dan menginjaknya hingga tidak tersisa.

“apa yang kau lakukan huh?” rose beranjak dari duduknya menghadap jongin dengan penuh amarah. Sebelumnya tidak ada yang pernah menghalanginya menghisap nikotin.

“berhenti merokok, makan ramyun itu..”

Rose menatap manik mata jongin penuh kesal. Rose kembali mengambil puntung rokok baru dan menyulutnya dengan korek api mesin.

“tidak akan pernah bisa berhenti.” Dan dia kembali menghisap batang nikotin tersebut, melepaskan asap tepat di hadapan wajah jongin.

Lagi, jongin mengambilnya secara paksa, melakukan hal yang sama, membuang dan menginjaknya.

Hal yang berbeda adalah disaat ia menginjak puntung rokok tersebut, jongin menarik dagu rose hingga bibirnya menyentuh miliknya. ia berusaha membersihkan aroma nikotin yang manis di mulut rose. Gengaman tangan jongin pada lengan rose sukses membuat rose tidak bisa berkutik, ia benar-benar terkunci dan secara gamblang membiarkan jongin menghabisi seluruh isi mulutnya. Sayangnya pikiran rose ikut terbuai dengan gerakan cumbuan jongin.

.

.

.

Gerakan jongin berhenti, saat dimana rose berusaha menormal kan kembali pikirannya yang sudah terbuai akibat tindakan seduktif. Ia membisikan sesuatu tepat di telinga rose. Hembusan nafasnya terasa menggelitik, namun rose tetap diam, membiarkan jongin melakukan apapun.

“ayo kita mulai negoosiasinya.”

Kim jong in, entah kenapa rose seperti menemukan obat bius baru. Setiap perkataan, tatapan mata jong in, dan gerakan nya, membuat rose diam membatu. Membiarkan apa yang dilakukan jongin tanpa menyelanya.

 

--

 

Tidak pena, tidak note atau recorder, tapi telinga dan mata yang akan merekam permulaan negosiasi untuk data berharga. Jong in sendiri yang meminta rose untuk tidak bertanya peraturan negosiasinya.

“aku akan membantumu mendapatkan 4 juta won itu, tapi setelah aku menerima hukuman eksekusi. Satu hari sebelumnya aku akan menceritakan segalanya, kemudian setelah kematian ku, baru data itu boleh kau sebar luaskan.”

Rose mengernyitkan dahinya, hukuman eksekusi jongin berjalan 1 bulan lagi dihitung sejak 1 minggu sebelum ia mewawancarainya, itu berarti hanya tersisa 2 minggu untuknya.

“masih ada sesuatu yang belum ku urus sampai hukuman ku nanti, dan selama aku mengurus hal tersebut, kau tidak perlu ikut campur.”

“itu berarti kau tinggal di apartemen ku sampai..”

“sampai semua urusanku selesai.”

Rose bukanlah seorang yang ingin bergulat dengan suatu resiko besar, maksudnya adalah jong in tinggal di apartemen nya saja sudah memunculkan bau resiko, apa lagi setelah dieksekusi nanti mungkin namanya akan terbawa pihak yang berwenang. Rose menelan salivanya dengan susah payah. Takut, bohong jika tidak, apa lagi menyangkut masalah yang amat besar.

Jongin menyunggikan bibirnya, ia tau ada sedikit keraguan pada mata seorang dihadapannya.

“saat pengesekusian, aku tidak akan menyeret namamu, dan aku akan pergi sendiri ke tempat dimana aku akan mati, jadi kau tenang saja.”

“kau berhasil lari, kenapa mau kembali ketempat itu lagi? Maksudku, kenapa tidak menyelesaikan masalah dan pergi jauh-jauh dari seoul.”

Pandangan mata jongin yang semula biasa berubah tajam, rahangnya mengeras.

“biar bagaimanapun aku tetap pembunuh, nona roseeve lee.”

Mendengar pembunuh, rose membelalakan matanya, seolah nyawanya juga berada di tangan jongin.  Suasana mendadak sunyi. Tidak ada kata dari kedua belah pihak yang saling berhadapan dan bertatap-tatapan.

“ehm.. baiklah aku menyetujuinya, tapi apa boleh aku bertanya sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasusmu, seperti mengenal seseorang, atau tentang keluargaku mungkin.”

Mata rose penuh harap menatapnya, taktik ini sering ia lontarkan untuk sebagian kasusnya, berharap jongin akan terperangkap dalam permaianan taktiknya.

Jongin tersenyum sinis.

“keluargamu masuk daftar kasusku, kau tau..”

Diam. Ayahnya memang seorang yang penting dalam kedutaan perancis di seoul, dan ibunya salah satu sekertaris pimpinan di kedutaan tersebut. Tapi ia tidak mengerti kenapa jabatan orangtuanya berkaitan dengan sang mendiang mentri jung woo sung, ayah dari jogin.

“ada lagi yang mau kau tanyakan nona lee?”

“emh, apa kau mengenal do young guk? Sepertinya dia terobsesi dengan mu.”

Jong in menghela nafas berat. Do young guk adalah ayah dari teman baiknya do kyungsoo yang sekarang di tahan akibat pengedaran obat terlarang.

Jongin menganggukan kepalanya tanpa suara.

“apa kau juga mengenal do kyung soo?”

Lagi jongin menganggukan kepalanya tanpa menjawab apapun.

“apa ada kaitannya dengan kasus pembunuhan?”

Gerakan kepala jongin menjawab satu lagi pertanyaan. Ia menggelengkan kepalanya.

Setidaknya rose bisa lega kalau keluarga do tidak ada kaitannya dengan keluarga nya ataupun keluarga seseorang yang duduk dihadapannya. Walaupun maksud jongin adalah tidak ada sangkut paut nya dengan pembunuhan jung woo sung, bukan pembunuhan keluarga lee.

“lalu untuk apa kepala polisi itu mencari mu?”

“kau tidak ingat aku buronan.” Jawabnya singkat.

Tidak demikian, rose merasakan ada hal lainj selain buronan. Rose merasakan mereka terkait sesuatu dibalik sejuta rahasia jongin.

 

--

 

Lee jun ho, ia merapatkan matelnya. Dua tangannya membawa Americano. Ia berjalan dengan tersenyum menuju seorang gadis dengan setelan ungu. Untungnya sang gadis mau dibujuk untuk ke café dekat kantornya dibanding pergi ke bar seperti biasanya.

“kau tau, mesin itu belum mengirimkan uangnya, jadi aku tidak bisa mentraktirmu whiskey atau vodka.”

Sang gadis hanya tersenyum miring menerima gelas Americano.

“kata si gwang su, kau sedang menunggu seseorang, siapa?”

Gadis itu menatap jun ho dengan dingin. Ia tau gerak-geriknya di ruangannya memang sedikit mencurigakan, tiap menit bahkan detik mengamati ponsel untuk mengecek keadaan seseorang yang berada di apartementnya. Aneh memang kalau gwangsu si jangkung nan bodoh tidak mengamatinya.

“kau percaya ucapan si bodoh itu?” gadis itu menghelak tanpa menatap wajah junho.

“untuk kali ini, aku rasa ya.. kau sudah jarang menulis artikel di rubrik itu. Setiap hari hanya meneliti kasus tapi tidak menulis, bukankah itu janggal, kau cinta menulis bukan?”

“aku sedang meneliti untuk bahan artikelku nanti.” Singkat, membuat wajah junho sedikit murung.

“ada apa? Kau sedang mencari seuatu?”

Sang gadis diam. Ia tidak mungkin membicarakan rahasia besar yang ada di apartemen nya sekarang.

“bagaimana dengan mu? Apa kepala polisi do itu masih mencari kim jong in?”

Jun ho mengeluarkan selembar foto, memberikannya pada gadis itu. Foto seorang laki-laki yang diketahui bernama do kyung soo.

“kau benar, do kyung soo adalah putranya. Dan alasan kenapa kepala polisi do mencari jong in adalah untuk membantunya membebaskan putra tunggalnya. Karena jong in adalah kunci dari kasus do kyung soo.”

Gadis itu menoleh. Manik matanya penuh keseriusan menatap junho.

“maksud mu?”

“kim jong in, dia memiliki banyak rahasia, yang aku sendiri juga tidak terlalu mengerti.”

Jun ho menyesap americanonya, melepaskan dahaga yang berlebih untuk memikirkan kasus-kasusnya.

“tapi, kenapa aku merasakan kalau kim jong in itu orang baik, well, mungkin dia melakukan pembunuhan itu secara terpaksa, atau kasus do kyung soo itu hanya jebakan dunia politik, kau tau kan bagaimana rendahnya politikus sekarang.”

Junho tersenyum singkat, sebagai seorang detective memang gadis dihadapannya adalah rekan kerja yang menguntungkan. Terlalu banyak ide brilian yang ada di otaknya. Lalu junho kembali mengeluarkan sebuah foto. Dan memberikannya pada gadis disebelahnya.

Dahi gadis itu mengernyit. Ia tidak mengerti maksud junho memberikan foto tersebut.

“anting anting?”

“hanya satu, terbuat dari batu safir asli.”

Sang gadis tertawa seketika.

“kau mau membelikanku anting-anting ini?” ujarnya memecah keseriusan

Sayangnya junho membalas dengan tatapan tajam.

“hanya satu orang yang memilikinya, jung so yeon, putri tunggal mentri jung woo sung, dan itu ditemukan di lubang pembuangan belakang rumah tahanan seoul.”

 

--

 

Pukul 11 siang. Jong in hanya menekan tombol remote televisi tanpa tujuan. Kegiatan sehari-harinya, menonton tv, memasak ramen, dan tidur di sofa. Menghitung tiap hari, jam, menit dan detik menunggu waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya, membebaskan sahabatnya do kyungsoo, dan menjelaskan kematian Jason dan joe.

Suara bel membuyarkan kekosongan pikiran jongin. Sebelumnya belum pernah ada yang mengunjungi apartemen tersebut di jam-jam siang, karena pemilik biasanya datang lewat dari jam 7 malam, lalu jong in akan berpura-pura tidur agar si pemilik tidak terlalu banyak Tanya.

Jongin memasang kacamata dan topi hitamnya, salah satu cara lama mengelabuhi pencarian buronan, belati kecil ia selipkan di saku celananya.

Perlahan jong in membuka pintu apartemen. Syaraf dan aliran darahnya menegang.

“bisa-bisanya kau tinggal di apartemen jelek seperti ini.”

Reflek, tangan jongin menarik sang tamu. Kemudian mengunci apartemennya.

“mau apa kau kesini?” keluhnya.

Jongin melepaskan kacamata dan topi. Duduk di sofa dengan aliran darah yang masih sedikit menegang.

“menjenguk mu bodoh, aku sudah tau kau pasti ke tempat adik si kembar itu.”

Si tamu duduk bersebelahan dengan jongin. Teman sekaligus orang yang diam-diam ia cintai. Tangan gemulai si tamu merabahi leher jenjang jongin. Merapihkan rambut-rambut di sekitar telinga jongin.

“taukah kau aku merindukan mu..” ujarnya dengan nada menggoda.

“masih banyak urusan yang harus ku selesaikan noona.”

“setelah selesai, apa kau mau berjanji kita akan pergi bersama heung?”

Jong in memalingkan kepalanya. Mengacuhkan setiap kata sang tamu.

“kau tidak mau berterimakasih? Aku yang membebaskan mu kau ingat..”

“ok thanks..” ujar jong in singkat.

“kim jong in..” nada si tamu meninggi. Kesal dengan segala cemooh laki-laki di sebelahnya. Ia yang membebaskannya, ia yang selalu menolongnya, dan ia yang juga mencintainya, tidak peduli mereka sedarah tapi si tamu, jung seo yeon, mencintai jong in.

“kau ingat, Jason menitipkan adiknya padaku, ia mempercayaiku seperti adiknya sendiri. Biar bagaimanapun aku harus melindunginya sampai eksekusi nanti.”

Seo yeon melepaskan gengaman tangan jong in. matanya menatapnya penuh kecewa.

“kau tetap mau ikut eksekusi?”

“biar bagaimanapun aku seorang pembunuh.”

Jong in mengepalkan tangannya. Pembunuhan tetap hal keji yang tidak dapat ia maafkan. Lagi pula dendam ibunya sudah terbalaskan, untuk apa dia hidup. Tidak ada orang penting selain ibunya di hidup jong in.

“aku yang membunuhnya.. kau tidak ingat aku yang membunuhnya..” seo yeon mulai berteriak.

Saat dimana seoyeon melihat ayahnya terkapar tidak bernafas bersamaan dengan jong in yang memegang pisau. Tubuh seoyeon saat itu bergetar ketakutan. Dan hanya jong in yang membantunya, menyembunyikannya hingga ia tertangkap sebagai tersangka pembunuhan.

“sssttt..” jong in meraih dagu seo yeon, membiarkan tatapan mereka saling bertemu, dengan begitu seo yeon tidak akan teringat kejadian itu lagi.

“I love you kim jong in..” seo yeon melingkarkan kedua tangannya pada leher jong in, membiarkan bibirnya merasakan rasa cinta. Begitu juga jong in yang mengikuti gerakan cumbuan seo yeon. Walaupun jong in ingin mengelak, karena hubungan darah yang menmgalir diantara mereka berdua, tapi apa boleh buat. Dengan cara ini seo yeon kembali tenang dan melupakan kejadian itu.

Pintu apartement terbuka. Mata rose terbelalak melihat tingkah laku jongin dengan seorang gadis yang ia tidak kenal sama sekali. Mendadak perutnya mual. Americano yang tadi ia teguk sungguh tidak bersahabat. Lagi, jong in membuatnya sesak nafas.

“maaf.. apartement ku bukan kamar sewa..”

Jong in dan seo yeon melepaskan cumbuan mereka.

Tatapan rose memperlihatkan kekecewaan yang amat besar dengan jong in, jong in dapat melihatnya dengan jelas. Mata kecil rose membentuk bayangan kekesalan.

noona sebaiknya kau pulang.” Ujar jong in lembut.

Seo yeon menganggukan kepalanya, mengambil mantelnya dan berjalan keluar melewati rose, tanpa berbicara sepatah katapun.

Rose menutup pintu apartement dengan kasar. Pikirannya sedang tidak waras. Ia tidak bisa membedakan amarah atau cemburu. Syaraf dilambungnya berkontraksi, membuatnya harus berlari menuju kloset dan memuntahkan seluruh isiperutnyanya saat itu, Americano. Peluh di dahinya bercampur dengan tetesan air mata.

 

--

 

Untuk pertama kalinya rose merasakan tangis cemburu. Entah kenapa tapi sangat sakit.

“kau sakit?” jong in menghampiri rose dengan air hangat dan handuk ditangannya.

“tinggalkan aku!” ia mencoba menutup pintu kamarmandi, hanya saja sedetik sebelumnya jong in sudah menyengkanya dengan kaki jenjangnya.

Jong in menyibakan rambut panjang rose, menepuk lembut punggungnya. Sengatan listrik menjulur di punggung rose, menghentikan kontraksi lambungnya. Sengal nafas tedengar dengan sesegukan. Rose menangis.

Ia berjalan keluar menghiraukan jong in. kakinya terlalu gontai untuk sampai di kamar tidurnya. Jemarinya menutup mulutnya rapat-rapat, menghindari suara sesegukan yang berlebih. Bungkus rokok yang tergeletak di nakas menjadi tujuannya. Aroma dan rasa nikotin kembali membuatnya tenang. Walaupun sesekali rose masih mengeluarkan airmatanya.

Ia tidak tau pa yang terjadi dalam tubuhnya. Sakit yang teramat dalam tiba tiba saja memenuhi dadanya melihat jong in dan wanita yang tidak ia kenal. Jong in berjalan menghampiri rose yang duduk di ranjangnya. Wajahnya pucat dan matanya sembab.

“apa aku salah dengan mu?” tanyanya menghampiri rose.

Rose mengebulkan asap nikotinnya, memandang manik mata jong in yang tidak biasanya.

Jong in merebut puntung rokok milik rose, seperti apa yang ia lakukan biasanya.

“kembalikan sekarang.”

Jong in menahan tangan rose. Membiarkan mata mereka bertatapan lama.

“lepaskan tangan ku, kim jong in.”

Sayangnya jong in tipikal orang pembantah. Iya sama sekali tidak mendengarkan apa yang diucapkan rose.

“kau cukup beruntung tuan jong in, aku membiarkan mu tinggal di apartemen ku, coba kau pikirkan, siapa yang mau menampung pembunuh seperti mu heung? PIKIRKAN ITU... Sekarang dengan hormat aku memintamu meninggalkanku sendiri, dan berfikir jernih dengan rokok ku.”

Jong in melepaskan pergelangan tangan rose. Tapi rokok yang ditangannya tetap ia injak, bahkan seluruh isi di bungkusnya ia buang keluar jendela.

Rose menatap jongin penuh amarah, tangannya dilayangkan dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi jong in.

Mata rose berkaca-kaca, ia menatap manik mata jongin penuh arti.

.

.

“bisakah kau mengerti sakitnya perasaan ku, Maaf aku menamparmu.” Rose menggenggam tangannya yang gemetar kuat-kuat.

.

.

Rose terlelap di ranjangnya. 2 jam setelah jongin pergi dari kamarnya, rose tertidur begitu saja. Ia ingin cepat melupakan hari dimana airmatanya berfungsi kembali. Jong in terlalu mendominasi seluruh pikirannya. Ia adalah obat bius bagi rose. Karenanya rose ingin melakukan kebiasaan merokok atau meminum wine.

Jong in menatap wajah rose, si penulis yang kenyataannya adalah adik Jason dan joe. Perkataan terakhirnya membuat aliran listrik di pikiran jongin. Ia kembali mengingat gadis dengan coat bulu mengeluarkan note dan pena. Matanya yang berwarna coklat caramel terus diingatnya.

Jong in mengusap lembut handuk hangat dahi sang gadis. Melihatnya menangis membuatnya kembali merasakan hal keji. Selama bertemu si gadis, jongin tidak pernah melihatnya tersenyum sedikitpun, yang dilihatnya hanya mata kebingungan, ketakutan dan kesedihan.

“maaf Jason, aku tidak bisa melakukan permintaan terakhirmu..”

 

--

 

Tepat tengah malam, jongin mengenakan pakaian samarannya, pergi menuju suatu tempat. Belati kecil tak lupa ia sematkan diantara celana jeansnya. Ia menembus kabut akibat udara dingin. Untungnya letak apartemen yang ia tingali tidak terlalu jauh dari tempat tujuannya.

Rumah bergaya korea lama ia masuki. Satu persatu melewati kamera pengintai. Mengendap-endap dari sang penjaga rumah. Jendela dengan kusen kayu besar menjadi akses masuk menuju runagna yang ia tuju. Jongin sangat lihai, mengingat rumah tersebut sering ia kungjungi sewaktu kecil.

“siapa disana?” suara berat laki-laki tua menghentikan kegiatan jong in.

“selamat malam, tuan do young guk.” Jong in memberi hormat 90 derajat pada sang kepala polisi yang dulu menganggapnya sebagai anak sendiri, sahabat kyung soo.

Jong in dan laki-laki tua itu berjalan menyusuri ruang bawah tanah rumah besar tersebut. Menyusuri lorong-lorong penuh berdebu. Ia ingat benar, sewaktu ada kyungsoo jong in sering menyusuri lorong tersebut.

Laki-laki tua itu penuh dengan ketakutan. Disatu sisi ia senang karena dengan kedatangan jongin out berarti kyungsoo akan segera bebas dan bisa menyemnbuhkan istrinya yang sedang sakit.

“bagaimana?”

Jong in menatapnya dingin. Ia mengeluarkan sebuah memori penyimpan dan satu recorder mini. Ia menempelkan sebuah benda kecil di lehernya. Dan menyalakan benda mini perekam suara.

“kyungsoo, tidak sama sekali menjual obat terlarang itu, obat terlarang itu adalah milik dua orang yang sudah tewas karena kecelakaan mobil 3 tahun lalu, yang disimpan di mobil milik kyungsoo. Dan kyungsoo baru mengetahuinya setahun yang lalu. Dua orang yang tewas itu adalah Jason lee dan joe lee, putra dari tuan antony adams lee dan nyonya ban nam gyu yang ditemukan tewas kurang dari 5 tahun yang lalu di sebuah resort mewah. Di memori penyimpan itu tersimpan bukti bukti obat terlarang yang dibeli oleh Jason dan joe.”

Jong in mematikan recorder tersebut dan melepaskan benda kecil yang menempel di lehernya.

“apa semua itu benar? Jason dan joe lee? Bukankah dia memiliki seorang adik yang bekerja sebagai wartawan? Kenapa dia tidak bertanggung jawab atas ditahannya kyungsoo.”

Laki-laki tua itu dipenuhi amarah. Kyungsoo adalah anak yang dia ketahui anak baik-baik. Dia tidak terima anaknya di tuduh hingga bernaung di dalam jeruji besi.

“tidak semua benar, kyungsoo juga menginginkan benda tersebut, hanya ia belum melakukan transaksinya. Jika saja ayah yang dia cintai tidak terjerumus masuk ke dunia politik yang sangat gelap. Hanya menjadi polisi yang mengabdi untuk Negara dan menjadi pahlawan bagi keluarganya, mungkin istri anda tidak akan menderita sakit parah, dan anak anda tidak mendekam di rumah tahanan. Dan satu lagi, adik dari Jason dan joe, dia tidak tau apa-apa tentang dunia gelap keluarganya, termasuk Jason dan joe. Jangan sangkut pautkan dia.”

Jong in memberi hormat laki-laki di depannya, dan pergi meninggalkan laki-laki tersebut. Satu urusannya terselesaikan.

“kim jong in, kau tetap harus ingat hari eksekusi mu, bersembunyilah dengan baik, para detective dan polisi sedang aktif mencarimu.”

Jong in menyunggingkan senyum singkatnya.

“aku akan ada tepat sebelum matahari terbenam di tempat itu.”

 

--

 

Sinar matahari pagi mengusik mata lelah rose yang sedari tadi terlelap tidur. 2 hal yang membuat ia terkejut. Pertama, handuk basah di dahinya. kedua wajah jong in yang sempurna berada tepat dihadapannya. Tertidur di sebelah rose. Lama sekali rose menatap wajah jong in, menyentuhnya dengan lembut, mengabsen setiap alat indra yang ada di wajah jong in, mata, hidung, bibir, dan yang terakhir pipinya. Rose tidak mengerti kenapa ia sangat suka detik-detik setiap ia melihat jong in. kenyataan bahwa ia adalah seorang buronan lenyap. Bahkan pikiran 4 juta won pun lama sekali ia kubur. Bukankah akan sangat bodoh kalau seorang wartawan yang baru naik daun menyembunyikan seorang buronan, dan terlebih lagi hatinya telah jatuh pada sang buronan.  Hanya seminggu waktu yang dibutuhkan hatinya hingga jatuh pada laki-laki bernama kim jong in.

Jong in mengerjapkan matanya, menampakan bolamaa hitamnya bergerak melihat manik mata rose dihadapannya.

“pagi..” sapa rose hangat dengan posisi sama diam tidak bergerak menghadap jong in.

“dia, perempuan itu, jung seo yeon. Dia putri jung woo sung. Seo yeon tetap kakakku waklau kami dari ibu yang berbeda. Seo yeon dan aku sama-sama berada di tempat kejadian dimana laki-laki itu terbunuh. Dia yang membebau, kau tau kenapa? Karena dia mencintaiku, tidak peduli kami kakak dan adik.”

Rose terdiam. Setiap perkataan jong in terekam dengan baik di otaknya.

“untuk apa kau membicarakan ini?”

“memastikanmu tidak membenciku.”

Jong in merengkuh dagu rose dan merasakan hangatnya bibir rose di pagi hari. Kini aroma jong in terus membuatnya gila. Setiap sentuha jongin membuat otaknya berhenti berfikir. Rose, ia bisa merasakan degup ljantung laki-laki yang sekarng berada di atasnya.

“aku harus pegi bekerja kim jong in..” rose mencoba berbicara diantara sela kegiatan mereka.

Sayangnya jong in tidak melepaskan rose.  Jong in malah mendekatkan jarak mereka berdua. Jong in terbawa nafsu, ia merambahi leher jenjang rose menghirup aromanya dalam-dalam.

“hentikan jong in-ah..

Dan akhirnya jong in menyerah, ia melepaskan rose yang berada di dekapnya. Duduk membungkuk di tepi ranjang rose. Ia tau seharusnya tidak begini. Tapi jong in juga merasakan sesuatu, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang dulu ibunya pernah beri, dan bahkan lebih. Cinta.

Rose mendekati jong in, ia merangkul tubuhnya bungkuknya.

“aku tidak membencimu..” rose mengecup pipi jong in.

 

-tbc-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet