Chapter 3

Innocent Bride
Please log in to read the full chapter

Sebulan telah berlalu sejak pernikahan itu. Luhan maupun Sehun mulai terbiasa dengan hubungan mereka, malah seperti kakak-adik mereka menjalani kehidupannya sekarang ini. Sesekali orang tua mereka menjenguk dan sekadar berbasa-basi untuk melihat apakah mereka baik-baik saja atau ada sesuatu(?).

"Eomma, aku tidak apa-apa. Sungguh," kata Luhan ketika ibunya menangis saat berkunjung siang itu ke rumahnya. "Sehun menjagaku dengan baik, Eomma," lanjutnya. Namun, ibunya malah semakin keras menangis. Menenggelamkan kepalanya kepada dada sang putra kesayangan satu-satunya. Perempuan itu terisak.

"Hannie, seandainya dulu ibu terlahir sebagai seorang laki-laki, kau tak akan seperti ini. Ya, Tuhan.. aku tidak tahu bagaimana nasibmu kelak! Bagaimana caranya kau memenuhi hasrat lelakimu jika seperti ini..," kata perempuan itu disela isak tangisnya.

Luhan hanya bisa mengerutkan dahinya, kurang mengerti ke mana arah pembicaraan ibunya itu kali ini.

"Ah! Eomma tahu!" Seruan dari ibunya yang tiba-tiba itu tak ayal membuat Luhan sedikit kaget. Yah, umumnya seorang perempuan akan betah berlama-lama menangis hingga mukanya seperti baru disengat lebah, tapi ibunya ini tidak. Luhan memandang perempuan yang telah memasuki umur 40-an itu dengan sedikit bingung dan penasaran.

"Bagaimana kalau kau selingkuh saja, Hannie? Atau kau ikut program cari jodoh wanita, atau kau bisa menyewa seseorang untuk memberimu keturunan, atau kalau perlu kau menikah lagi?" tawar ibunya dengan semangat menggebu.

"Eomma!"

"Wae?"

"Aku tidak akan seperti itu. Aku sudah menikah."

"Dan kau menikah dengan seorang namja, Hannie. Bagaimana kau akan menuntaskan hasratmu itu?"

"Maksud Eomma?"

"Kebutuhan biologis setiap makhluk hidup, Hannie. ," dan jawaban itu cukup membuat Luhan membulatkan matanya sebentar. Rona merah samar terlihat di kedua pipinya. Bagaimana ibunya bisa terang-terangan mengatakan hal seperti itu kepada anaknya? Yah walau memang mereka berhubungan darah, tapi Luhan adalah namja, tak apa jika ibunya mengatakan seperti itu kepada putrinya, tapi dia namja! Ini lain cerita.

Luhan memundurkan tubuhnya sedikit. Mengambil jarak dari ibunya yang kini seperti tengah menyunggingkan seringai di wajahnya yang cantik itu. Meski ibunda Luhan telah memasuki usia yang cukup tua, tapi wanita itu tetap cantik meski ada beberapa kerut terlihat samar di bawah matanya.

"Kau sudah besar. Sudah saatnya hasratmu itu perlu dituntaskan, Hannie."

"Tapi, Eomma…"

"Aku tahu, Hannie. Aku tahu. Mungkin memang aku terlalu khawatir padamu. Tapi, ini semua kulakukan karena hanya kau lah anakku satu-satunya. Aku tidak bisa diam saja melihat anakku seperti ini—"

"Tunggu, Eomma. Maksud Eomma dengan 'seperti ini' apa?"

"Oh, Hannie-ku sayang. Kau tidak perlu menutupinya dari Eomma. Eomma tahu dan paham, Nak, kalau kau sering melakukan masturbasi sendirian di kamar mandi," jawab Eommanya dan itu sontak membuat Luhan melebarkan mata untuk kedua kalinya. Dengan amat segera, ia mengelak jawaban itu.

"Eomma, aku tidak pernah melakukan itu!" katanya—sedikit meninggikan nada bicaranya. Ia memandang wajah perempuan yang melahirkannya itu dengan raut wajah yang tak terbaca(?). Ibu Luhan hanya tersenyum maklum pada putranya. Ia memajukan tubuhnya, mendekati sang anak lalu mengelus surai coklat itu.

"Hannie, tenanglah. Tidak apa-apa. Eomma tahu."

"Tapi aku benar-benar tidak pernah melakukan itu, Eomma," sebisa mungkin Luhan meyakinkan Eommanya. Hey, dia memang telah bersuami dan dia telah dewasa. Meskipun ia juga telah mengetahui hal-hal seperti itu, tapi sungguh, ia tidak pernah melakukan hal yang ibunya itu tuduhkan padanya. Bahkan pikiran itu tak pernah terlintas di otaknya selama ini. Bagaimana bisa ibunya menuduhnya seperti itu? Ini sungguh menyebabkan kesalahpahaman jika ada yang mendengarnya. Poor Luhan… #authordibantai.

Luhan dan Ibunya masih berperang argumen di dalam sana, meninggalkan Sehun dan Ayah Luhan yang tengah mendiskusikan bisnis perusahaan mereka di ruang keluarga.

=== S Y E ===

Luhan keluar kamar mandi ketika kemudian ia melihat Sehun duduk di tepian kasur tengah serius mengamati buku yang dipegang. Mendekati namja yang lebih muda empat tahun darinya itu, ia kemudian mengambil posisi duduk di samping namja tersebut. Ia ikut menilik apa yang tengah disimak namja itu.

"Apa itu?" tanya Luhan yang bingung hanya mendapati gambar-gambar grafik dengan warna-warna berbeda yang diikuti keterangan-keterangan kecil dari gambar tersebut. Sehun memalingkan wajahnya.

"Ini perkembangan perusahaan ayahmu, Hyung. Appa menyuruhku mempelajarinya karena kata ayahmu aku harus mulai memahami kondisi perusahaan untuk bisa menjadi penerusnya," jawabnya.

"Eh?! Mengapa kau? Mengapa bukan aku saja? Lalu bagaimana dengan perusahaanmu jika kau mengurusi perusahaanku?" tanya Luhan. Memandang penuh tanya pada suaminya itu.

Mereka berdua adalah putra tunggal dan satu-satunya penerus generasi mereka. Jadi, jika Sehun mengurusi perusahaan milik keluarga Luhan, bagaimana dengan nasib perusahaannya sendiri? Lalu, meskipun Luhan tidak terlalu pandai mengurusi bisnis seperti ini—bahkan ia sangatlah jauh tertinggal dari Sehun untuk urusan ini—ia bisa belajar, bukan? Mengapa harus membebankan sesuatu kepada orang lain? Yah, walaupun memang orang lain itu telah menjadi bagian dari keluarga, sih. Begitu pikir Luhan.

"Appa akan menutupnya, Hyung," kata Sehun singkat. "Eeeh?!" Luhan di sana menunjukkan wajah terkejut dan bingungnya yang lucu.

"Wae? Apa ada masalah pada perusahaanmu?" tanya Luhan cepat. Benar ia ingin tahu. Meski sebenarnya ia tidak tertarik dengan urusan seperti ini dan sesungguhnya ini bukan urusannya, tapi kali ini entah mengapa ia sangat ingin tahu dan sangat tertarik.

Sehun tertawa ringan melihatnya seperti itu. Ditutupnya buku tersebut lalu meletakkannya di meja samping ranjang mereka. "Tidak, Hyung. Perusahaan kami baik-baik saja. Itu hanya Appa yang telah merencanakan semua ini saat aku lahir," katanya. Luhan mengerutkan dahinya, bingung melanda pikirannya. Sehun tahu bahwa Luhan tidak menyukai hal-hal seperti ini—urusan bisnis, menurut Luhan itu hanya membuatmu pusing kepala saja memikirkan siasat-siasat licik atau entah apa untuk berlomba-lomba menarik klien dan menanamkan saham agar mendapat modal besar—, maka ia memutuskan untuk menjelaskan secara singkat.

"Jadi, saat kau lahir, Eomma berharap bahwa aku adalah perempuan sehingga saat kita menikah nanti perusahaan yang Appa bangun bisa kau teruskan dan Appa menyetujui untuk menggabungkan perusahaanku dengan perusahaanmu. Tapi, ketika aku lahir sebagai seorang namja, Appa tidak jadi menggabungkan perusahaan kita. Seiring berjalannya waktu, Appa mendengar kabar-kabar tidak baik tentang perusahaanmu dan yang terakhir tentang sabotase itu—" Sehun memotong pembicaraannya untuk menatap Luhan yang tampak serius menyimaknya dan Luhan mengangguk membenarkan. "Appa ingin membantu, terlebih bahwa akhirnya nanti keluarga kita akan menjadi satu, maka dengan persetujuan Eomma dan seluruh keluarga, perusahaan Appa akan ditutup. Appa akan menyerahkan asset dan saham-sahamnya pada perusahaanmu setelah kita menikah," Sehun berhenti menjelaskan.

Sekali lagi memandang Luhan yang sekarang tengah menggangguk-angguk. Ada sedikit pancaran bingung di mata namja itu yang membuat Sehun mengangkat sudut-sudut bibirnya untuk tersenyum maklum.

"Katakan apa yang tidak kau pahami dari penjelasanku barusan," tawar Sehun. Ditanya seperti itu Luhan langsung mengeluarkan apa-apa saja pertanyaan yang ada dalam otaknya sejak tadi.

"Mengapa ayahmu mau melakukan sejauh itu?" pertanyaan pertama. "Lalu bagaimana seluruh keluargamu bisa dengan mudahnya menerima itu semua?" pertanyaan kedua. "Bukankah seharusnya perusahaanku lebih baik kau beli? Mengapa malah perusahaanmu yang kau tutup? Bukankah itu sama saja dengan membatalkan kontrak-kontrak perusahanmu dengan perusahaan-perusahaan lain? Mereka pasti akan mencabut saham-saham yang mereka tanamkan setelah mengetahui bahwa perusahaanmu akan ditutup dan diserahkan pada perusahaanku yang tengah dalam masa krisis ini, bukan?" pertanyaan ketiga yang bertubi-tubi menyebabkan Sehun kehilangan kontrolnya untuk tidak tertawa.

"Tidak seperti itu cara kerjanya, Hyung," jawab Sehun singkat. Lagi-lagi ini membuat kerutan di dahi Luhan dan ini entah mengapa membuatnya merasa begitu tertarik. Sungguh, ini adalah kali pertama Luhan merasakan rasa ketertairkan terhadap hal-hal bisnis perusahaannya. Dan semalaman itu, Sehun menjelaskan urusan perusahaan yang menurut Luhan membuatnya bingung. Namun, di malam itu, ia entah mengapa sangat antusias menyimak penuturan yang Sehun berikan padanya.

Luhan tengah duduk di sofa sambil memakan camilan. Menghadap layar 24 inchi yang bertengger indah di atas dipan di depannya. Sesekali tertawa melihat tingkah konyol tokoh film kartun yang tengah ditontonnya itu. Hingga kemudian kegiatannya terhenti sebentar saat ia mendengar pintu terbuka dan menampilkan sosok suaminya di sana.

"Aku pulang," ucap Sehun sambil berjalan ke arah tangga menuju kamar mereka.

Luhan bangkit dari sofa dan menghampiri Sehun. Tersenyum pada pemuda itu, menyambutnya. "Kau mau mandi atau makan dahulu?" tanya Luhan.

"Aku mandi dulu, Hyung," jawab Sehun yang diikuti anggukan dari Luhan, "Baiklah." Kemudian Luhan kembali ke sofanya, menonton kartun itu lagi. Sedang Sehun menuju kamar mereka dan membersihkan diri.

.

Luhan dan Sehun duduk berhadapan. Suara sendok yang beradu dengan piring menjadi pengisi keterdiaman di sana. Mereka sedang makan siang, meski hanya ramen karena Luhan tak pandai memasak.

"Sehunna, apakah kau ada jadwal lagi setelah ini?" tanya Luhan memecah keterdiaman. Sehun menghentikan acara makannya sejenak, ia menggeleng, "Tidak. Kenapa?"

"Bisakah kita pergi belanja setelah ini? Persediaan makanan di kulkas sudah menipis. Eomma juga kemarin lupa membawakannya," kata Luhan. Ya, saat ia akan membuatkan makan siang untuk suaminya itu, ia mengecek kulkas mereka dan mendapati hanya tersisa sedikit sayuran dan buah-buahan. Bahkan daging pun tidak ada. Dan ramen yang tengah mereka makan saat ini adalah ramen terakhir yang mereka miliki.

Please log in to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
shii_xun
i'm still continuing this fic, dont worry, i ll keep my promises *smacked* anyway, thanks for ur support all these times and please wait a bit more, im so sowwy

Comments

You must be logged in to comment
Exoxosts #1
huaaa aku masih menanti ff ini banget kaak??
OliviaPopeye #2
Chapter 9: Ini akun lama yg passwordnya diingat shii sepanjanghidup nya kah?? ?
femroxanne #3
Chapter 8: Kok gak dilanjut kak, jangan bosen bikin ff dong ayo lanjutin lagi. Ditungguin yw
kaihunhandyo #4
Chapter 8: Waaaaaaa akhirnya di update juga *sujud syukur*
Sumpah ini aku sampe baca ulang dari chapter satu, kangeeen banget sm hunhan {} apalagi di ff ini mereka so sweet bngeet
Exoxosts #5
Chapter 8: Woaaaaaaa ayo dilanjut lagi author! Tapi jangan konflik ya hunhannya, kasiaaan:( aku mau hunhan terus bersatu thor! Jauhkan donghaee huweeee
KikiPurnamaSari #6
Chapter 1: next chapnya kapan jih thor... jngan lama" ya nanti aku lumutan lagi hehehe...
luhan dah mulai suka thu ma sehun... gimna sehunnya ya... kyanya sehun juga dah suka ma luhan
Elfriyoung #7
Chapter 7: Aaah ga apdet apdet yaaa penasaran banget udahan ini :( dari berbulan bulan yg lalu duh :(
kaihunhandyo #8
author nim... aku nunggu update an mu nihhhh :(
kyuminfinite #9
Chapter 7: authorrr~ aku nungguin ff ini update sampe jamuran nih -,- fast update dongggg
xohunkaiywra
#10
kapan up lagi wehhh lama nunggu masaa-,-"
gua missing hunhan angst moment/?
cepet update pls:(
asapa yo