Part 3

Cinta Tak Pernah Berhutang

Ada 4 bagian besar di rumah sakit, dimana mereka di tempatkan. Penyakit dalam, penyakit anak, bedah, dan kebidanan. Mereka di bagi dalam 4 regu. 3 orang dalam tiap rombongan. Setiap 3 bulan mereka pindah bagian.

Seharusnya Krystal bersyukur tidak ditempatkan satu regu dengan Luhan. Bertengkar tiap hari rasanya tidak enak juga. Lebih enak seregu dengan Sehun dan L. mereka bisa disuruh-suruh seenaknya. Itu untungnya jadi perempuan, kan?

Dan kedua pemuda itu tidak pernah membantah. Ambil alat-alat untuk periksa darah dari laboratorium. Minta jarum punksi pada perawat. Kadang-kadang Krystal sendiri heran, mengapa mereka jadi begitu penurut. Kalau Sehun, okelah. Sudah lama Krystal tau, Sehun naksir dia. Cuma dia pura-pura tidak tau aja. Tapi L? Mereka kan baru kenal. Hmm..

Ah, mereka memang baik. Pria yang tau menghargai wanita, tidak seperti Luhan! Hhhh.. menyebalkan!

Krystal tidak pernah berhasil menyuruhnya sebelum melalui suatu pertengkaran. Pemuda itu memang kepala batu. Sok jago. Kasar. Kurang ajar. Dan seabrek sifat negatif lainnya.

Dia selalu mengambil apa yang diingini Krystal. Selalu merebut apa yang dimilikinya. Dan dia punya kekuatan untuk itu.

Seperti mala mini. Mereka dapat giliran jaga bersama. Krystal dibagian anak. Luhan di bagian penyakit dalam.

Sejak sore Krystal sudah repot. Entah dosa apa yang dibuatnya, pasien dating seperti ada wabah setiap kali dia jaga.

Di bagian Anak, semua pasien yang masuk harus diperiksa sendiri darah,urine,dan faecesnya. Kalau ditunggu sampai besok pagi, dia pasti dimarahi.

Dokter pembimbingnya tidak pernah lupa membaca laporan jaga setiap pagi. Dan laporan itu mesti lengkap. Untung Eunjung dan Junho tidak segan-segan membantunya. Tentu aja kalau di bagian mereka tidak banyak pasien.

“Repot, Tal?” Tanya Junho dari pintu laboratorium.

Krystal mendengus jengkel. Tanpa memindahkan matanya dari lubang mikroskop.

“Masih nanya lagi! Sudah hampir copot bola mataku!”

“Banyak pasien?” Junho menghampiri dengan santai.

“Bukan banyak lagi. Rasanya semua anak di kota ini jadi sakit kalau aku yang jaga.”

Junho tertawa geli.

“Ada kasus bagus?”

“Mana ada yang bagus kalau mata sudah pegal begini!”

“Perlu bantuan,Non?”

Nah, itu pertanyaan yang ditunggu-tunggu. Tapi nanti dulu. Krystal harus jual mahal dikit. Dia tidak bisa menggantungkan diri pada orang lain. Biarpun pada teman sendiri.

Hhh.. laku-laki! Kalau menawarkan jasa, pasti ada maunya! Tentu saja itu pendapat Krystal.

“Gak usah deh, aku mau nembak aja.”

“Rasanya nembak juga gak keburu lagi, Tal.” Junho tersenyum lebar. “Tuh, suster Tiffany lagi lari-lari kemari!”

Krystal mengangkat mukanya degan marah. Tidak tau harus marah kepada siapa. Tapi dia benar-benar kesal.

“Pasien lagi ,Sus?” sergah Krystal sebelum Suster Tiffany sempat membuka mulutnya.

“Tidak ada, Dok.”

Bagus, piker Krystal lega, mudah-mudahan jangan ada pasien dulu sampai dia berhasil menyelesaikan semua kasus ini. Kalau tidak, kapan beresnya? Dia toh mau jadi dokter, bukan laboran! Tapi itulah seninya tugas di daerah. Semua pekerjaan harus diborongnya. Kata Dokter Siwon, justru hal itu yang membuat mereka belajar lebih banyak. Enak aja!

“Tapi pasien Jeno,Dok..”

Jeno. Berputar otak Krystal mengingat-ingat nama pasiennya. Dia memang harus berpikir cepat, bertindak cepat. Untuk itu dia dilatih menjadi dokter.

Jeno. Jeno. Pasien yang mana? Apa bukan anak kecil yang menderita paru-paru basah yang cukup berat  itu?

“Jeno, pasien bronkopneumonia duplex yang sedang diberi oksigen itu, Sus?”

“Betul, Dok.”

“Kenapa? Oksigennya habis?”

“Bukan, Dok. Di Interna ada pasien asma..”

Interna, piker Krystal sengit. Tapi itu bukan urusanku!

“Panggil aja Luhan.” Katanya sambil menunduk kembali. Bersiap-siap mengintai lagi melalui mikroskopnya. “Dia tidak ada ditempatnya? Ke mana dia? Lagi godain suster baru di Bagian Bedah? Katanya ada perawat cantik di sana…”

“Dok Luhan justru ada di bangsal kita, Dok…”

Krystal tersentak kaget. Dia mengangkat kepalanya begitu cepatnya sampai dia sendiri heran mengapa tidak ada persendian yang lepas.

“Di bangsal kita? Ngapain dia di sana?”

“Mau pinjam oksigen, Dok..”

“Pinjam oksigen? Enak aja! Oksigen mereka ke mana?!”

“Manometernya macet, Dok. Yang satu lagi rusak. Jadi Dok Luhan mau ambil oksigennya si Jeno…”

“Eh, tunggu dulu!” Teriak Krystal marah. “Dia harus melewati mayatku dulu!”

------------------------***************************************----------------------

Krystal dating ke bangsal Bagian Anak. Luhan memang ada di sana. Sedang berkacak pinggang memperhatikan pasiennya. Kalau Krystal tidak sedang marah, dia pasti mengaggumi sosok pria di hadapannya . Dia tampak begitu gagah, keren, dan macho…

Luhan sudah mendengar langkah-langkah Krystal dari jarak 20 meter. Dan dia tau sekali siapa yang datang.. Tetapi ketika dia memutar tubuh untuk menyambut kedatangan gadis itu, mau tak mau semua kata-kata yang telah disiapkannya terbang seketika dari ujung lidahnya.

Sejak pertama kali bertemu, Krystal memang selalu dilihatnya dalam keadaan marah. Tetapi kemarahan yang dilihatnya kali ini benar-benar kemarahan seorang dewi!

Dia tegak dengan anggunnya di sana. Tinggi. Ramping. Dan perkasa.

Sekujur wajahnya dibakar oleh api kemarahan. Merah. Bengis, dan… cantik.

Bola matanya tenggelam dalam neraka panas yang diciptakannya sendiri. Dan Luhan dapat merasakan panasnya api itu sampai ke ubun-ubun kepalanya. Tetapi, di situlah anehnya. Semakin dia marah, dia malah terlihat semakin menarik! Semakin menantang untuk ditaklukan!

“Ada pasian status asthmaticus  di bangsal.” Cetus Luhan sedingin mungkin. Dikosongkan kembali tatapannya. Dia tidak boleh memperlihatkan kekagumannya. Tidak boleh!

“Aku perlu manometer ini.”

“Pasienku juga memerlukannya.”

“Pinjam sebentar.”

“Tidak.”

Menyipit mata pemuda itu.

“Tidak katamu?”

“Tidak.”

“Siapa bilang manometer ini milikmu?”

“Bukan milikmu juga.”

“Dengar!” ambang kesabaran Luhan terlewati sudah. Oh, kalau saja bukan seorang gadis yang tegak menantang di hadapannya ini… “Aku perlu manometer ini! Pasienku bisa mati sesak! Dia perlu oksigen!”

“Aku juga tidak mau membunuh pasienku. Kalau kamu ambil oksigennya, dia mati.”

Luhan mengepalkan tangannya erat-erat. Kalau ada apel dalam genggamannya, pasti apel itu sudah remuk sejak tadi.

Krystal bukannya tidak melihat kebuasan yang berpendar-pendar di mata pemuda itu. Tetapi dia tidak takut. Dia memang tidak pernah takut. Apalagi untuk membela miliknya. Pasien ini harus diselamatkan. Pasiennya. Tanggung jawabnya.

Dan Suster Tiffany muncul sebagai penengah. Dia menyelinap di antara kedua anak muda yang sedang berdiri berhadapan dengan wajah tegang itu.

“Begini aja, Dok.” Katanya sabar. “Kita pakai manometer ini bergantian.”

“Saya akan tetap mengambilnya, Suster.” Kata Luhan dingin. “Biarpun dilarang.” Kata-katanya setegas sikapnya. Segarang tatapannya.

Suster Tiffany yakin sekali, Luhan akan melaksanaka niatnya. Dia tipe pria yang tak pernah bisa dicegah. Dan dia akan mengambil apa saja yang diinginkannya.

“Dan saya akan mempertahankannya, Suster.” Balas Krystal sama mantapnya. “Dia boleh coba.”

Sekali lagi Suster Tiffany yakin, Krystal juga bersungguh-sungguh. Gadis yang satu ini luar biasa beraninya. Untuk mempertahankan haknya, dia tidak takut biar mesti babak belur sekalipun.

“Kalau begitu kita lapor aja pada dokter jaga,” pinta Suster Tiffany kewalahan. “Dan demi Tuhan, jangan bertengkar lagi. Saya percaya dokter-dokter bertindak demi keselamatan pasien masing-masing. Tapi kita tidak perlu berkelahi untuk menolong pasien.”

Lalu keputusan dokter jaga datang sebagai vonis. Manometer oksigen itu harus dipakai secara bergantian. Dan sepanjang malam, kedua dokter muda itu duduk menjagai pasiennya masing-masing seperti dua ekor harimau yang siap saling terkam.

--------------***************************************---------------

Krystal benar-benar bingung. Sudah tiga minggu tidak ada surat dari ibunya. Tidak ada telepon juga. Mengapa? Apa Mama sakit? Atau… keadaan ekonominya semakin memburuk?

Sudah dua bulan dia tidak mendapat kiriman uang. Krystal betul-betul gelisah. Dan mungkin masih bertahan sebulan lagi. Sebulan. Sesudah itu, dia tidak tau lagi harus minta uang  ke mana.

Dulu ibunya kaya. Biarpun janda, ibunya yang ulet, sukses dalam bisnis konfeksinya. Teman-temannya sampai sekarang masih menganggap Krystal anak orang kaya. Dia punya rumah bagus di Seoul. Punya mobil. Punya segalanya. Sampai ibunya terlibat utang. Dan satu per satu mobil mereka tidak kembali ke garasi.

Belakangan rumah mereka pun ikut hilang. Ibunya terpaksa mengontrak rumah kecil. Waktu itu lokasi kontrakannya masih baru. Saluran telfon pun belum masuk. Jadi agak sulit menghubungi ibunya, kecuali melalui surat.

“Nonton yuk, Tal.” Cetus Hyuna sambil bersiul-siul. Entah siapa yang mengajarinya. Akhir-akhir ini dia jadi pandai bersiul. “Bosan di asrama terus.”

Nonton. Fika tertegun mengawasi lembaran bukunya. Itu berarti 500¥, 250 ¥ untuk naik kendaraan umum. Sulli doyan makan takoyaki. Dan Hyuna pasti tidak menolak untuk makan sushi. Belum lagi kalau pulangnya dia mengajak teman-temannya menikmati ayam teriyaki. Hhh… selembar ratusan yen lagi pasti melayang.

Tidak. Krystal lebih baik makan telur goreng dan nasi aja di asrama. Dia tidak mau pergi. Tetapi tidak mau mengatakan alas an yang sebenarnya. Malu.

“Pergi aja bareng Sulli, Hyun.” Katanya sambil menguap. Tentu aja pura-pura. Dia baru bangun tidur sejam yang lalu.

“Makanannya malam ini gak enak, Tal. Mending kita jajan di luar.”

“Segan, ah.”

Hyuna berhenti  menyisir rambutnya. Dia menatap temannya melalui cermin.

“Kenapa sih, Tal? Kok loyo banget.”

“Cuma capek.”

Sekarang Hyuna berbalik. Dan langsung mengawasinya dengan cermat.

“Hyunseung ya? Dia gak nulis surat lagi?”

“Dia gak wajib nulis kok.”

Ada pendar-pendar harapan berkelebat di mata Hyuna. Tapi melihat ketidakacuhan Krystal, sinar itu meredup lagi dengan sendirinya.

“Kasihan ya, Hyungseung,” Hyuna berusaha agar suaranya tidak mengkhianatinya. “Dia betul-betul naksir kamu, Tal.”

Hyunseung memang mengharapkannya. Mengharapkan jadi pacarnya. Mengharapkan Krystal tidak usah pergi ke Sagamihara. Hyunseung sendiri tidak bisa ikut. Dia belum lulus ujian saringan. Padahal dia tidak mau berpisah dengan Krystal.

Dia sudah berusaha memohon agar Krystal membatalkan kepergiannya ke Sagamihara. Tapi Krystal berkeras ingin pergi. Karena dia ingin maju ujian lebih cepat. Ingin lulus lebih cepat. Ingin jadi dokter lebih cepat. Untuk membantu ibunya.

Menurut peraturan baru itu, kalau mereka koskap ke daerah Sagamihara, mereka bisa maju ujian Negara lebih cepat. Jadi Krystal tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia rela meninggalkan Seoul. Meninggalkan rumahnya. Ibunya. Rela mengasingkan diri di daerah asal bisa maju ujian lebih dulu.

Krystal yakin, kalau diberi kesempatan, dia dapat lulus ujian tepat pada waktunya. Tidak membuang-buang waktu seperti sekarang. Menunggu ujian Negara yang tak kunjung  tiba.

Kasihan Mama. Dia sudah lelah bekerja. Sudah saatnya mama istirahat. Menikmati hari tuanya dengan tenang. Tidak usah memikirkan pekerjaannya lagi. Tender. Order. Utang. Semua yang serba memusingkan kepala.

Krystal yang akan mengambil alih bebannya. Dia yang akan memikul semua biaya rumah tangga mereka.

Dengan tekad itu dia berangkat dengan mantap ke daerah. Meninggalkan Hyunseung dalam
“Loh, diajak pergi malah melamun!” cetus Hyuna heran. “Mau ikut gak?”

Hyuna masih berputar-putar di depan cermin. Cermin satu-satunya di kamar itu. Cermin seharga 10 ¥ yang mereka beli di pasar. Dan bayangan Hyunseung terbang seketika dari kepala Krystal. Dia melongo melihat penampilan Hyuna.

 Belum pernah dilihatnya Hyuna berdandan secantik mala mini. Selama di daerah tentu saja. Di Seoul, itu soal lain.

Hyuna mengenakan gaun hitam yang sangat indah, serasi sekali dengan kalung dan bros bermata zamrud yang terselip di gaun atas sebelah kirinya.

“Hyun..” desis Krystal keheran-heranan. Seolah-olah baru tersadar dari mimpinuya. “Kamu mau ke mana?”

“Mau ke mana?” sekarang giliran Hyuna yang heran. Ditatapnya temannya yang sedang memandangnya seperti orang hilang ingatan.

“Ya ampun! Kan dari tadi aku uda bilang, mau nonton! Semua teman kita yang gak dapet giliran jaga mau ikut!”

“Tapi kamu kan gak perlu dandan kayak gini kalau cuma mau pergi nonton!”

Tentu saja Krystal tidak jadi mengucapkan kata-kata itu. Bukan haknya melarang Hyuna mengenakan semua perhiasannya, sekalipun dia akan tampak seperti etalase toko perhiasan!

Lebih baik dia lekas-lekas menyingkir saja. Dan ketika di kamar makan dia bertemu dengan Luhan, tiba-tiba aja dia mengerti mengapa Hyuna berdandan sehebat itu.

Dalam kemeja tipis berwarna merah muda, yang lengannya digulung sampai ke siku, Luhan tampak amat menawan.

Dia masih tetap dalam penampilannya yang biasa. Sikap acuh tak acuh yang menggemaskan. Cara duduk yang tidak sopan. Tatapan yang meremehkan. Dan dua buah kancing kemeja paling atas yang terbuka. Tanpa kaus dalam. Seperti biasa. Seolah-olah dengan cara itu dia ingin menampilkan dadanya yang bidang. Bulu dadanya tipis yang seksi. Dan kejantanannya yang tak terbantah.

Tentu saja Krystal agak terperangah. Secercah kekaguman yang merayap di matanya cepat-cepat digebahnya kembali. Sambil mengosongkan tatapannya,  dia duduk dengan sikap sesantai mungkin di depan meja makan.

Hyuna benar. Yang terhidang di sana Cuma telur goreng dan nasi putih. Sungguh membosankan. Tidak memancing selera. Tapi apa boleh buat. Krystal membalik piringnya. Bersiap untuk menyendok nasi. Pura-pura tidak tau Luhan sedang memperhatikannya.

“Hyuna belum siap?”

Tak tau Krystal mengapa tiba-tiba dia merasa dadanya sakit. Dan dia harus mencegah agar kesakitan itu tidak terbayang di matanya.

“Kalau udah siap, pasti dia keluar.” Sahutnya tawar.

“Kamu gak pergi?”

Di telinga Krystal, pertanyaan itu malah mirip ejekan.

“Aku ada janji.” Tak tau Krystal mengapa dia harus berbohong. Untuk apa?

“Sama Sehun?”

Krystal menoleh. Tidak pasti memang. Tapi dia seperti mendengar nada cemburu dalam suara Luhan. Dan aneh. Dia merasa sakit hati ketika melihat ketidakacuhan di mata pemuda itu.

“Kalau sama Sehun, emang kenapa?” suaranya bernada sengit.

“Gak papa, kamu kan ceweknya.”

“Aku bukan cewek siapa-siapa!” bentak Krystal panas. “Lancang banget sih mulutmu!”

“Kamu emang ceweknya!” balas Luhan sama marahnya. “Suster-suster bilang, kalian sering pacaran di kamar jaga!”

Krystal sudah bangkit dengan marah. Luhan pun sudah berdiri, tiba-tiba kesadaran itu memaksa mereka duduk kembali.

Mengapa harus marah? Mengapa harus selalu bertengkar setiap kali bertemu? Dan apa pula yang mereka pertengkarkan kali ini?

“Hei!” tegur Hyuna.

“Ada apa sih?” matanya menyapu bolak balik dengan curiga kepada Krystal dan Luhan.

“Jangan lewat jam 12!” tukas Krystal sengit sambil bangkit dari meja makan.

“Lewat dari jam 12, gak usah pulang! Gak ada yang bukain pintu!”

Ditinggalkannya kamar makan dengan kesal. Hyuna sampai memutar kepalanya dengan bingung.

Premenstrual sindrom ya?” gumamnya kesal. “Kok dia jadi marah-marah gitu?”

“Mau pergi sekarang atau besok?” gerutu Luhan sama jengkelnya.

“Lama banget sih!”

Sekarang Hyuna berpaling kepada Luhan. Dan melihat kekesalan yang terlukis di paras pemuda itu. Tiba-tiba saja dia mengerti.

--------------**********************-------------

“Betul kamu gak mau pergi ,Tal?” Tanya Sehun yang sedang latihan dance di lapangan asrama.

“Makanannya gak enak.”

“Pergi aja sendiri,” sahut Krystal malas-malasan.

Sehun tersenyum dan berhenti dance. Lalu duduk di sebuah kursi.

“Kalo kamu gak pergi, aku juga gak deh.”

“Kenapa?”

“Gak tega.”

“Gak tega?”

“Kamu kan sendirian.”

“Aku gak takut hantu.”

“Aku tau. Tapi bukan cuma itu alasannya.”

Krystal duduk di samping Sehun sambil menghela napas panjang. Dengan sudut matanya dia melihat teman-temannya sedang menunggu kendaraan umum yang lewat di depan asrama.

“Kenapa kamu ribut sama Luhan?”

“Ah, gak ribut kok.”

“Cuma bertengkar?”

“Sudah biasa. Dia memang menyebalkan.”

“Salah-salah benci bisa jadi cinta loh!”

“Ngaco! Kalau udah gak ada cowok di jagat, barangkali aku baru milih dia!”

“Tapi dia sering menanyakanmu.”

Betul? Luhan sering menanyakannya? Ah.. Nanya apa?

Hampir melompat pertanyaan itu dari mulut Krystal. Tapi cepat-cepat ditelannya kembali. Sehun diam-diam memperhatikannya. Dia melihat perubahan muka Krystal. Melihat bibirnya yang bergerak-gerak. Tapi tidak ada suara yang keluar. Dan seandainya ada yang di ucapkannya, Sehun sudah bisa menerka apa isi pertanyaannya. Karena itu dia merasa sedih.

“Hyunseung masih ngirim surat?”

“Ngapain nanya begitu?”

“Cuma pengen tau aja.”

“Kepo. Gak ada kena-mengenanya sama kamu kan?”

“Kamu serius ama dia, Tal?”

“Sama siapa?”

“Hyunseung. Siapa lagi? Kita lagi ngomongin dia, kan?”

“Ah, cuma teman biasa kok.”

“Betul?” sergah Sehun penuh harap.

“Kalian belum serius pacaran?”

Tapi aku tidak ingin member harapan padamu, keluh Krystal dalam hati. Karena aku sudah milik orang lain!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet