Beside You

Monochrome

*pic is not mine

Word : 1137

Summary : Satoshi suka duduk di samping Kazunari.

Author’s note : school!AU, menggunakan nama asli—Nino as Kazunari, Ohno as Satoshi, Aiba as Masaki, Matsumoto as Jun, Sakurai as Sho.

>>>

Jam makan siang.

 

Seperti siswa lain pada normalnya di sekolah itu, Kazunari menganggap waktu sejumlah 15 menit ini berharga bagaikan emas. Masa rehat—dan menarik napas—dari suntuknya memforsir otak untuk menyimpan materi pelajaran yang disampaikan sensei sejak pukul 8 pagi tadi. Hari ini, ia memperkaya pengetahuan tentang teori Fisika yang sulit dilafalkan dan rumus kimia entah apa tadi. Selain karena rumit, konsentrasinya kebanyakan dicuri keasyikan memata-matai lapangan sekolah, di mana kelas sebelah memraktekkan lompat jauh. Nanti malam, ia berjanji menyediakan waktu menulis ulang catatan cakar ayamnya atau ujian semester yang tinggal menghitung hari akan menjadi neraka lapis ke-sembilan. Menjadi murid berotak sedang-sedang, polanya menjelang hari-H hanyalah giat belajar sungguh-sungguh, termasuk bersikap anti pada set PlayStation.

 

Membawa kotak bekalnya—berisi onigiri dan cah sayuran, bahan sisa makan tadi malam yang diberi nilai tambah sentuhan kreativitas ibunya. Setidaknya, itu membuatnya dapat sedikit berbangga saat membuka tutupnya nanti.—ia pergi ke kafetaria. Makan di kelas bukan pilihan bijak sejak Nishikido, yang duduk di belakangnya, siap menyambar bagai piranha kelaparan.

 

Tiba di kafetaria, ia menyesali pilihannya membuang pandangan ke kanan lebih dulu. Namanya langsung diserukan seseorang, bersama lambaian penuh semangat. Berusaha pura-pura tidak melihat, justru rencana kaburnya diendus Jun, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.

 

“Salah jalan, Nino-san.” Lengan si jangkung melingkar di bahu Kazunari. Menyeretnya menuju meja yang paling dihindari siswa itu. “Kau tahu, Oh-chan sudah susah payah menyisakan tempat itu untukmu.”

 

“Aku bebas duduk di mana saja!” erang Kazunari, memberontak. Penolakan yang tidak pada tempatnya. Di jam-jam seperti ini, mustahil mengharap bangku kosong. Apalagi kesempatan bisa duduk bersama rekan yang dikenal pula. Ironis memang, ia bisa dibilang mengenal orang-orang yang duduk di meja di depan sana meski ia enggan mengakrabkan diri.

 

Tanpa bisa mengelak lagi, tubuh Kazunari sudah jatuh di kursi. Tulang keringnya sukses menjadi korban sisi tajam kaki meja. Berteriak tertahan, ia memegangi bagian yang sakit.

 

Sementara itu, tanpa rasa bersalah, tersangka utama melenggang duduk dengan menarik kursi lain dari meja sebelah, diposisikan di samping Masaki. Dicomotnya sepotong sosis goreng dari kotak bekal Sho yang diprotes pemiliknya gusar. Tinggal tersisa dua sosisnya sekarang.

 

“Kazu-chan, daijoubu ka?” pertanyaan itu datang dari Satoshi. Sa. To. Shi. Orang yang paling ingin diabaikannya.

 

Benar-benar mengabaikannya, Kazunari menolak perhatian Satoshi dengan membetulkan posisi duduk. Siapa yang mengharap simpati darinya?

 

Sebelum ia membuka tutup bekal, sebutir buah persik lebih dulu diletakkan di atas kotak makan miliknya. Juga dari Satoshi.

 

“Pamanku di Osaka mengirim cukup banyak,” akunya.

 

Kazunari menatap bulatan menyerupai hati berwarna peach merah muda itu seakan ia baru kembali dari luar angkasa dan ini kali pertamanya melihat buah tersebut. Dari sudut mata ia tahu Satoshi sedang menunggu reaksinya.

 

Mengingat betapa tidak inginnya ia berada di sini, Kazunari menyimpan kalimat yang seharusnya diperdengarkan oleh siapa pun yang diberi sesuatu. Buah persik disingkirkan ke samping, sementara ia mulai memakan isi kotak bekal. Tsk, onigiri dan cah sayuran yang tidak seberapa dibanding semua makanan penghuni meja.

 

Kroket yang besar mendarat di atas bulatan onigirinya. “Punyaku berlebih. Makanlah,” kata Satoshi sambil tersenyum. Memamerkan gigi kelincinya. Sekilas, Kazunari melihat ujung kuku Satoshi yang berwarna kuning. Ternoda cat minyak. Tak perlu bertanya dari mana sumbernya. Satoshi tergabung dalam klub seni.

 

Kemampuan menggambarnya mengagumkan, Kazunari mengakui hal itu. Tugas sketsanya terbantu betul atas peran Satoshi—satu-satunya momen di mana ia berterimakasih mengenal nama itu.

 

Sangat-sangat berterimakasih.

 

Kazunari merunut-runut kembali bagaimana dirinya bisa bersinggungan dengan Satoshi.  

 

Satoshi adalah teman SMP Masaki, yang sebenarnya adalah teman sekelas Jun, yang berteman dengan Sho semenjak SD. Sho pun aslinya bukan anggota lingkaran pertemanan Kazunari—yang nahasnya hanya Nishikido seorang. Hanya karena Sho pernah satu tim di kelas olahraga, maka si ikal itu semena-mena menanggalkan kesopanan dan menyingkat panggilannya pada Kazunari menjadi Kazu-chan.

 

Mengingat jalinan pertemanan yang begitu rumit, ditambah pengakuan bila Kazunari sendiri tidak begitu familiar dengan Satoshi, agak aneh mendapati kebiasaan si legam itu duduk di sampingnya terus-menerus. Hampir pasti, Oh-chan—bagaimana ia dipanggil—menempati sebelah kanan Kazunari. Apa istimewanya posisi itu? Terlebih, Jun, yang selalu mengalah dan tersisih di kursi tambahan—semenjak meja hanya berkapasitas 4 orang—pernah berceletuk jika sisi Kazu-chan abadi milik Oh-chan. Jika dipikir secara mendalam, plus otak yang tercemar bacaan milik kakak perempuannya, Kazunari berpikir bila Satoshi mengistimewakan dirinya. Sudah, cukup sampai situ saja ide itu sudah membuat bulu kuduk merinding. Ini mungkin alasan utama mengapa Kazunari enggan mengenal Satoshi lebih jauh lagi.

 

“Kroketnya dimakan tidak?” tagih Jun, menunjuk sajian berbahan kentang yang masih utuh. Kelaparan. Hanya sekotak susu kedelai rasa cappucino yang dibawanya tadi, yang sudah tergeletak kosong di atas meja. Cepat-cepat, Kazunari menusukkan sumpitnya, membelah kroket menjadi beberapa bagian, menandai teritori. Atas perlawanan itu, Jun terkekeh. “Whoa, aku cuma bercanda!”

 

Merasa malu atas kespontanannya, Kazunari menyumpal mulutnya penuh-penuh, sambil memerhatikan meja lain. Terlalu malu mengecek reaksi pemberi.

 

“Oi, cotto...” Sho tiba-tiba berteriak. “Aiba-kun!”

 

“Ah, gomen ne...” Masaki—disebut si pelawak karena gerak-gerik kikuknya sering mengundang tawa—mengambil tisu, mengelap cipratan hitam saus teriyaki yang tampak menodai seragam Sho. Hasil perbuatannya. Tidak sengaja, sikunya menyenggol tangan Sho, membuat potongan ayam yang disumpit terjatuh kembali ke genangan saus. “Sudah tidak apa-apa. Sudah tidak apa-apa.” Mantra itu diharapkan menghalau kekesalan Sho yang tampak jelas di alis.

 

Ne, bukankah ini keterlaluan? Kenapa aku harus duduk di sampingmu?” omel Sho. Sebab ini bukan kali pertama kecerobohan Masaki mengangkat lengan berbuah petaka. Sepertinya melupakan jarak terbatas antar duduk—mengingat ruang minim kafetaria dipaksa menampung melebihi kapasitas—sehingga harus berhati-hati agar tidak bersenggolan satu sama lain. “Lain kali aku harus duduk di samping Kazu-chan, kan?”

 

“Eh, nande?” tanya Kazunari, heran namanya dibawa-bawa dalam percekcokan harian Shoba—gabungan nama mereka yang dipopulerkan Jun.

 

Sho menoleh pada Satoshi. “Begitu, kan, Oh-chan?” Yang ditanya menjawab ‘na-nani?’ terbata-bata. Sengiran Sho bertambah lebar. Ada maksud tertentu di baliknya. “Tempat itu spesial, kan?” tanyanya.

 

Jun menengahi. “Dame-dame-dame!” Diulanginya bagian tempat duduk di samping Nino mutlak milik Oh-chan. Pintu negosiasi tidak pernah dibuka. “Ini sudah diputuskan sejak awal. Oh-chan memang pantas disebut jenius di antara kita, kan? Pandangannya jauh ke depan. Sudah memprediksi hal ini sejak lama.”

 

Hanya muka bodoh yang bisa Nino pasang. Apa inti percakapan ini? Ia bersumpah dirinya salah lihat mendapati Satoshi salah tingkah. Jadi, terbukti sudah dugaan bahwa Satoshi selama ini menspesialkannya di antara yang lain. Huff, tidak. Di mana toilet?, pikir Kazunari panik. Isi perutnya berasa mendesak ingin dikeluarkan. 

 

“Apanya yang spesial?” sela Masaki polos. “Hanya karena Kazunari bertangan kidal, kan?“

 

Ah...

 

“Ah...” Kazunari terkesiap. Jawaban itu datangnya begitu tiba-tiba menghenyakkan benak. Sebelum sadar, ia telah berseru “AH!” sekali lagi, dalam volume yang lebih keras. Akibatnya, semua mata mengarah padanya, seperti halnya kedelapan pasang mata penghuni meja. Reaksinya pasti epik sekali sehingga bisa mendiamkan suasana sarang lebah khas kafetaria seperti sekarang.

 

“Ada apa dengan reaksimu itu?” kata Sho bingung.

 

Kazunari membereskan kotak makannya. Terburu-buru. Meski masih tersisa lebih dari setengahnya. Meski jam istirahat masih cukup lama. Buah persik tidak ketinggalan dibawa. Tanpa mengatakan apa pun, ia meninggalkan meja. Hampir bertabrakan dengan siswa lain, yang hanya bisa mengumpat serapah karena kaki yang terinjak, Kazunari menandai kepergiannya.

 

Baka, baka. Harusnya sejak lama ini diketahui. Satoshi selalu duduk di sampingnya karena hanya dengan posisi begitu, ia tidak perlu takut bersenggolan seperti Sho dan Masaki saat makan.

 

Hanya karena itu? Hanya karena itu.

 

Kenapa rasa kecewa membuncah?

 

Nino, oh, Nino...

 

*Nino itu kidal. (Mungkin) bakal ada sequel untuk menjelaskan semua yang begitu nggak di sini XD

 

END

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amusuk
#1
yihaaa, ada di sini juga aku senang~~~ :D
gara-gara ini aku jadi bertanya, fans arashi indonesia itu biasanya gather di mana sih? *turut penasaran* habis yg kulihat cuman kpop doang. jpop, dan cpop kayaknya butuh dibudidayain yah di sini, keke.