Best of You

Monochrome

 

 

Word : 1623

Summary : Riida ingin tahu, di antara member, siapa yang paling mengenalnya.

Author’s note : blank Ohno

>>>

Di salah satu episode dorama adaptasi dari komik dan anime Kaibutsu-kun yang dibintangi Ohno, disebutkan sebuah quote yang menyebutkan bahwa sebuah celaan adalah pertanda sejauh mana seseorang mengenali diri kita. Persamaan matematikanya : semakin sadis celaan, semakin dalamlah orang tersebut mengetahui siapa kita. Pikiran positif semacam itu yang coba ditekankan pada anak-anak atau siapa pun yang merasa jengah karena sering diolok-olok.

 

Sebagian diri Ohno dapat menerima namun sebagiannya lagi tidak. Baik, memang, hanya orang-orang yang mengenal diri kita luar dalam yang tahu kejelekan sampai yang tersembunyi sekali pun. Namun, kapan kita tahu batasan itu dilanggar? Sampai kapan diam adalah emas? Sampai kapan membiarkan diri diinjak-injak sambil memandang pelakunya dengan senyum, menerima perlakuan buruk itu? Kapan harga diri harus dibela?

 

Meski begitu, Ohno mencoba membuktikan teori itu.

 

Pada Matsujun pertama kali ia pergi. “Matsujun...” Mereka ada di set Arashi ni Shiyagare yang baru akan mulai syuting setengah jam ke depan. Nino tidak terlihat di mana pun. Tampaknya sedang ke kafetaria membeli minuman. “Ne, tolong cela aku...”

 

Pandangan Jun langsung terangkat dari lembaran naskah episode hari ini. “Eh?”

 

“Setidaknya mungkin ada satu uneg-uneg yang kau simpan mengenai aku, kan? ‘Kan?”

 

“Eh?” seru Jun lebih keheranan. “Apa maksud riida?”

 

Jangan pura-pura bodoh!, maki Ohno. Hanya dengan begitu aku bisa tahu seberapa besar kau mengenalku, Matsujun...

 

Aiba ikut bergabung. Sudah tampil rapi mengenakan kemeja abu-abu ber-vest coklat muda dan celana selutut. Bau hairspray pekat tercium dari rambutnya yang telah dirias. “Ne, nani, nani? Ada apa ini?” tanyanya, langsung duduk di samping Ohno.

 

“Aiba-kun, tolong cela aku.” Ohno langsung membungkukkan kepala. “Tolong katakan hal-hal mengerikan yang selama ini kau simpan...”

 

Reaksi yang sama ditunjukkan Aiba. Bingung, mengapa tiba-tiba pertanyaan pribadi ini ditanyakan tanpa asal-usul atau kalimat pengantar, dengan penuh kesopanan—dua kata ‘tolong’ dan bungkukkan kepala. Benar-benar permintaan yang ganjil.

 

Tapi Aiba cepat pulih dan mendapatkan jawaban yang diinginkan. “Ah, wakatta-wakatta!” Ia menjentikkan jari dua kali dengan riang, membuat dua orang pendengar tanpa sadar terlihat menantikan. “Ne, bukankah Ohno-kun sering terlihat blank saat syuting dan bersikap masa bodoh pada sekeliling. Ne, ne? Kenapa tidak berinteraksi lebih aktif? Seperti di Kaibutsu-kun misalnya. Reaksi semacam ‘NANI SORE?’ dengan suara murka khas orang tua?”

 

Suara murka khas orang tua? Begitukah cara bicara ‘Kaibutsu-kun’ yang Aiba tangkap?

 

Mustahil. Itu hanya akting. Dan Satoshi Ohno tidak berakting dalam kehidupan nyata.

 

“Ah, kalau dipikir-pikir lagi, aku mungkin merasa gatal ingin merubah satu sikap dari riida.” Jun menyambung. “Riida sangat bersemangat dengan hobi memancing, kan? Riida bahkan tidak keberatan kulit wajahnya terbakar. Aku hanya ingin riida memperhatikan penampilan. Sedikit saja. Bukan maksudku mengkritik hobi seseorang tapi—”

 

Ohno menyela penyesalan Jun. Paham betul maksudnya. Ini bukan saatnya merasa sentimen pada perkataan diva di Arashi tersebut. Yang tidak butuh seorang fans untuk mengetahui siapa yang punya barisan fans paling panjang. Pernyataan tadi merupakan bukti betapa Matsujun memperhatikan Arashi. Lima pria idola yang jadi pusat perhatian wanita dan pria sama banyaknya sehingga mutlak artinya mereka menjaga penampilan agar selalu terlihat memesona. Meski beberapa mengakui kulit terbakar sinar matahari menambah daya tarik, kira-kira ada berapa yang lebih suka sebaliknya?

 

Memang, selain berkecimpung di dunia seni—menggambar dan pahat tanah liat, Ohno juga menggilai kegiatan pergi ke laut dengan alat pancing. Hobi yang menyebabkan kulitnya menghitam. Sama sekali tidak peduli matahari garang bersinar di puncak musim panas, yang bertepatan dengan musim memancing. Jika sudah begini, coordi terpaksa menebalkan make up Ohno agar tidak kalah bersaing dengan empat orang lainnya. Hal ini begitu kontras dibandingkan dengan Nino yang semakin hari semakin putih karena lebih suka berdiam di rumah, mengulik game terbaru, menantang diri memecahkan rekor skor pribadi. Jika Ohno adalah maniak kail, begitu pula Nino dengan konsol game. Dua hobi berseberangan yang sulit menyatukan mereka.

 

“Aku tahu!” seru Aiba lagi. Terdengar seperti permulaan sesuatu yang jenius. Situasi ini mulai membuat Ohno khawatir. “Riida suka pilih-pilih makanan...” ia mulai mengangkat jari, menggunakannya sebagai patokan bantu hitung, “Riida tidak suka jusnya disajikan tanpa es batu, Riida mengorek-korek takkoyaki untuk menemukan potongan gurita terbesar, Riida suka menyembunyikan ujung dorama-nya agar semua orang penasaran dan menonton sampai habis. Riida... ah, Riida sering pergi belanja sendiri!”

 

Riida ini, riida itu. Tanpa terasa Aiba sudah sampai pada hitungan ke-10.

 

Riida...”

 

Mou iiyo!” Ohno akhirnya buka suara dikritik habis-habisan. Sudah saatnya ia membela harga diri. Matsujun saja sampai terperangah tidak percaya. Baru menyadari begitu banyak hal kecil dari riida yang ternyata menjadi masalah bagi Aiba. Atau, mungkin yang lebih mengejutkan adalah bagian betapa Aiba memerhatikan detail-detail yang terlewat.

 

Jadi, kesimpulannya, yang paling memerhatikan Satoshi Ohno adalah... Aiba?

 

Mungkinkah, Aiba seorang... fans?

 

“Oh, sedang kuis?” sahut seseorang di belakang Aiba. Pemilik suara sengau di Arashi hanya ada satu nama. Nino. Ia menggelayut di bahu Aiba yang lebih tinggi. “Pertanyaannya? Biar kubantu jawab...”

 

Aiba mengangguk. “Ini berkaitan dengan Riida. Silakan sebutkan sebanyak mungkin cela yang dimiliki olehnya! Haik, Ninomiya-kun, do~zo. Sen~ no!”

 

Nino bergumam sejenak, mengelus dagu mulusnya. “Kekurangan... um, apa, ya?”

 

Maji de? Sampai perlu berpikir sekeras itu?” Aiba berseru kagum. Nino yang terkenal dengan mulut pedas yang menyasar siapa saja, yang sanggup berkata sh*t di layar kaca tanpa takut diprotes penonton, yang masa bodoh dengan kekecewaan lawan bicara mengenai impresi seorang Nino setelah bertemu, kali ini bersikap ‘berbudi’? “Uso! Ingat baik-baik, Nino-kun. Pasti setidaknya ada satu...”

 

Ohno dan Jun menantikan Nino membuka mulut. Pada akhirnya, Nino menjawab, “Gomen, sepertinya aku mengambil pass.”

 

“Ah, kau bermain terlalu aman, Nino-san...” kata Jun. Kecewa. Ia ingin mematahkan kedudukan sementara Aiba sebagai fans berdedikasi. Mengingat dengan siapa selama ini Ohno dipasangkan, ia berharap hanya Nino seorang yang tahu betul seluk-beluk ‘pasangan’-nya. Siapa sangka ia termasuk shipper dari OhMiya. “Dari belasan tahun yang kita lewati, tidak sekali pun kau melihat kekurangan riida?”

 

Iyak. Bagiku... riida sudah... sempurna.”

 

Tidak. Ohno memilih tutup telinga. Tidak merasa tersanjung dilabeli ‘sempurna’. Tidak sama sekali. Simak logika berikut : bedakan dua orang yang melihat dan memperhatikan. Yang melihat, akan berkata pemandangan gunung Fuji indah. Sementara seorang pemerhati sanggup menggambarkan lebih jauh bagaimana sebetulnya bentuk gunung Fuji. Dari mulai putih salju yang menutupi puncaknya, lekukan lereng berhutan membentuk kekokohannya, dan masih banyak lainnya. Dari kedua golongan tersebut, mana yang lebih kau percaya sebagai pemandu wisata? Abaikan bagian ‘pemandu wisata’, mana yang lebih kau percaya?

 

Memperhatikan memerlukan waktu dan niat. Niat untuk mau melihat lebih seksama dan untuk menyimpannya dalam memori. Mudahnya begini : pertama kali melihat, kau akan dibuat terpesona pada Arashi karena ketampanan pemeran Tsukasa Doumyouji alias Matsujun—yang sepertinya merupakan tipe ideal seluruh wanita di dunia. Tapi jika kau memerhatikan lebih jauh ke dalam, mungkin justru kekonyolan Aiba yang jauh lebih membuatmu jatuh cinta pada Arashi.

 

“Bohong, kan?” ujar Ohno. “Siapa aku? Tuhan?”

 

Ja, kalau begitu ingatkan aku, riida. Kira-kira bagian mana yang harus kucela.”

 

“Banyak, kan?” tanya Ohno pada Aiba dan Jun yang mengangguk kompak.

 

Nino bertanya balik, “Misalnya?”

 

“Mi-misalnya...” Ohno berpikir, “kulitku yang gelap ini?”

 

“Itu membuatku jadi seorang yang rasis.”

 

“Hee, jadi aku rasis?” teriak Jun sambil menunjuk dirinya, ingat tadi mengkritisi kelamnya kulit Ohno. Tidak seorang pun bersimpati pada kekhawatirannya dicap sebagai penentang keragaman. Nino dan Aiba masih fokus pada keteguhan Ohno merubah pandangan Nino mengenai kesempurnaannya. “Aku bukan rasis!“ Jun menegaskan pada dirinya.

 

“Bagaimana dengan kebungkaman mengesalkanku di depan kamera?” Ohno mencoba.

 

Nai, nai. Apa kau lupa? Di layar kaca, Sho-kun adalah highlight-nya. Jika riida buka mulut, Sho-kun akan kehilangan panggung. Sekali membuka mulut, kau itu bisa mengatakan sesuatu sebrilian perkataan Einstein.”

 

Di sini, Aiba mengangguk-angguk setuju. Juga Jun. Jika mereka kompak berpikir demikian, tidak ada gunanya membantah lebih jauh.

 

“Lalu... hobiku yang diletakkan setara dengan Arashi?”

 

Nino menggeleng. Ia meralat, semua orang berhak memiliki hobi. Sho bahkan iri mati-matian mengenai satu itu sebab rapper di Arashi itu di usia menjelang 30 tahun masih bingung jika diminta menyibukkan diri dengan sesuatu di waktu senggang. Dibanding mengatakan terlalu banyak sampai sulit menentukan satu di antaranya, Sho sama sekali tidak punya kandidat.

 

Dibantah berulang kali, Ohno belum kehabisan amunisi. Ini, satu cela yang paling besar yang diakui banyak orang. “Aku yang tidak menjadi seorang pemimpin panutan?”

 

Alis Nino naik. Reaksi normal saat tidak menyetujui sesuatu. “Eh? Oh-chan, kau betul-betul mengakui bagian itu?”

 

Ohno menjadi leader karena kesalahan. Bukan?

 

“Ah...” celetuk Nino tiba-tiba. Terlalu mendadak hingga napas Ohno berhenti satu ketukan, berpikir apa pun yang baru saja berkelebat di benak Nino adalah sesuatu yang sangat penting karena dikorek dari ingatan yang tertimbun jauh di bawah sereblum otak.

 

Na-nani?” tanya Ohno takut-takut.

 

Nino tertawa. “Oh-chan itu...” bibir tipisnya menyungging senyum, “berakting dengan baik, menyanyi dengan merdu, menari lebih bagus dari siapa pun di Arashi. Jangan lupa, Oh-chan pernah menyelenggarakan pameran seni yang ditonton ribuan orang. Tangan jenius itu pun sampai sekarang masih terus berkarya mencipta masterpiece. Di panggung, Oh-chan memimpin grup ini dengan ketidaktegasannya—kadang malah lebih buruk lagi—tapi, percayalah, tim ini menjadi sebesar ini sebab Oh-chan adalah riida, leader kami. Ya, kan? Namun, sayangnya, kau masih selalu merasa tertinggal jauh di belakang. Bahkan, hari ini, minta cela yang bukan cela itu diamini mentah-mentah. Itu yang tidak kusukai darimu, Oh-chan.”

 

“Eh? A-aku...”

 

“Semua orang demikian—tidak sempurna. Bukankah bagian terpentingnya adalah... memaklumi semua kekurangan itu sebagai sebuah kewajaran? Menerima seseorang apa adanya, sebagaimana dirinya seutuhnya?”

 

“Owaah, Nino-kun, rupanya mulutmu itu ada gunanya juga.” Aiba menyenggol bahu Jun. “Ne, Jun-kun?”

 

Jun tertawa. “Aneh juga tapi mendengarnya.”

 

Omae!” Nino kembali berubah menjadi Nino—si mungil bermulut besar yang selalu berhasil memerahkan telinga sasaran kata-kata. Ia mengomentari kepayahan Jun di episode vs Arashi baru-baru ini dan menyebut Aiba sepertinya perlu memakai make up lebih tebal sejak kerutan di wajahnya itu semakin kentara menambah tua usia. Keduanya dibuat mencak-mencak dan membuat kegaduhan di ruang ganti.

 

Ohno memilih pergi dari kerumunan yang sibuk beragumen itu sambil menutup mulut rapat-rapat menggunakan kedua tangan. Takut alat bicara mengkhianati dirinya tanpa bisa ditahan nalar seperti melontarkan keinginan untuk memeluk Nino seperti boneka beruang dan enggan melepas hingga terpuaskan hasratnya. Gagasan yang akan merusak mood yang terbangun barusan.

 

Nino, oh, Nino...

 

END

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amusuk
#1
yihaaa, ada di sini juga aku senang~~~ :D
gara-gara ini aku jadi bertanya, fans arashi indonesia itu biasanya gather di mana sih? *turut penasaran* habis yg kulihat cuman kpop doang. jpop, dan cpop kayaknya butuh dibudidayain yah di sini, keke.