Bab Satu : Mitarashi dango, Sandara, dan masa lalu

Hanami ( Based of Novel By Fenny Wong )

Soondubu Jiggae yang di siapkan oleh Kris Wu untuk makan malam kini telah dingin. Ia terduduk di sofa ruang tamu, kedua lengan bajunya digulung hingga atas, memperlihatkan ujung tatonya. Satu tangannya menggenggam ponsel, mencari nama Do Kyungsoo di layarnya. Malam sudah larut, adik lelakinya belum pulang.

Akhir-akhir ini Kyungsoo berlaku seenaknya. Gejolak remaja? Atau cinta di sekolah? Sudah seminggu Kyungsoo sering pulang larut tanpa kabar. Namun kali ini, Kris bertekad menegurnya tegas.

Menegur Kyungsoo... itulah tantangan Kris yang sebenarnya. Kata-kata macam apa pun yang ia rancang dalam otaknya, yang keluar dari bibirnya selalu berbeda. Kris menarik napas panjang. Ia harus bisa. Ketidakmampuannya menegur Kyungsoo adalah kelemahannya. Catat! Kelemahannya!

To : Do Kyungsoo

Berapa kali aku meneleponmu? Mengapa tak pernah diangkat? Sengaja? Apa yang sedang kau lakukan sampai teleponku pun tidak bisa kau angkat? Pulang malam begini, kau masih sekolah, sendirian, tanpa kabar... Untuk keberapa kali minggu ini? Kyungie, ini sudah keterlaluan..

Kris memejamkan matanya. Hanya suara denting jam yang memenuhi rumah sunyi itu. Ceklikan pelan menyisip masuk, cukup untuk membuat Kris berdiri waspada. Ia memperhatikan pintu depan rumahnya yang terayun terbuka.

Pemuda yang keluar dari balik pintu itu mendongak, mata bulatnya seakan berkata bahwa ia terkejut dengan sambutan siaga Kris.

" Aku pulang."

Kris mendesah panjang, campuran antara kesal dan lega. Ia duduk di meja makan, membalas setengah hati.

" Selamat datang, kemana saja kau hingga larut begini?"

" Kris, maafkan aku. Aku mengaktifkan mode silent pada ponselku saat di kelas. Sepertinya aku lupa mengembalikannya pada mode normal sepulang sekolah, dan kelamaan main dengan teman-teman klub tenis."

Kyungsoo berkata seraya menempatkan dirinya duduk di samping Kris di meja makan. Suaranya takut-takut, diiringi senyum tanpa dosa.

" Maafkan aku ya. Jangan khawatir, jika aku pulang telat lain kali, aku pasti menghubungimu lewat ponsel."

Kris mati-matian memaksakan dirinya untuk marah dan menegur Kyungsoo. Namun, ketika tangannya terangkat mengangkat piring berisi ayam goreng dan mangkuk Soondubu Jiggae, membawanya ke arah microwave, Kris berkata,

" ... Kau lapar? Sudah makan malam? Aku panaskan dulu."

Kyungsoo merengut. Kris bisa tahu akan hal itu, walapun ia sedang membuka microwave memunggungi Kyungsoo.

" Kris marah, ya?

Tegur ia sekarang, bodoh!

" Tidak..." Kris berkata seraya menekan tombol microwave. " Aku ...hanya lelah."

Kyungsoo berdiri dari tempat duduknya dengan ceria meraih pundak Kris, memberikan tenaga ketika menekan otot-ototnya, merenggangkannya.

" Sini aku pijat! Kerjaan di kantor pasti bikin capek ya? Duduk di sofa, nanti aku cerita soal sekolah, dan rencana pertandingan persahabatan ke daerah Daejeon. Aku akan menceritakan mengapa pulang jam segini. Jangan ngambek lagi, gimana?"

Kris mendesah dan akhirnya mengalah pada tarikan di lengannya yang menggiring ia ke sofa. Ia harus mengakui pijatan Kyungsoo memang menenangkan meski hatinya masih tidak tenang. Namun, ketika Kyungsoo mulai menceritakan harinya dengan nada ceria yang selalu digunakannya, Kris mau tidak mau harus menelan kata-kata tegurannya.

Karena tampaknya, kali ini pun, Kyungsoo menang lagi.


 

 

Kyungsoo tertegun menatap langit. Ia duduk meringkuk di pojokan, di samping jendela yang tinggi memperlihatkan langit malam. Dari kesunyian rumahnya, ia tahu Kris telah terlelap.

Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat bingkai berisi foto dirinya dan Kris, diterangi remang lampu mejanya. Entah sudah berapa lama sejak foto itu diambil. Ketika mereka pindah ke rumah ini, mungkin itu sekitar 10 tahun yang lalu, atau lebih. Di dalam foto, Kyungsoo kecil tersenyum bahagia. Kris berkali-kali berkata kepadanya agar jangan pernah kehilangan senyum seperti itu.

Bukan tidak pernah Kyungsoo bertanya-tanya di mana mereka tinggal sebelumnya. Kyungsoo sendiri terlalu kecil untuk mengingatnya, maka ia bertanya pada Kris. Kris memberikan jawaban yang tidak jelas,

" Di rumah Appa."

" Appa-nya Kris? Atau Appa-ku?"

" Di rumah Appa. Saat ini pun, rumah ini adalah milik Aboeji."

Kris membalas tanpa menjawab pertanyaan Kyungsoo, dan ia pun berlalu.

Banyak sekali rahasia yang Kris simpan, mungkin hampir sebanyak jumlah pertanyaan Kyungsoo yang tidak pernah terungkapkan. Di antara semua itu, ada satu tanda tanya besar; mengapa Kyungsoo dan Kris yang tidak ada hubungan darah, bertaut umur 9 tahun, bisa hidup bersama sejak mereka kecil? Ke mana orang tua mereka?

Kyungsoo pun sering bertanya tentang hal itu kepada Kris. Ada saat-saat Kyungsoo begitu frustasi menangis sejadi-jadinya, memohon pada Kris untuk memberi tahu keadaan atau identitas orangtuanya. Setiap kali, Kris hanya mendekapnya erat. Hyung-nya itu hanya diam, atau berbisik pelan menenangkan. Kyungsoo tidak pernah mendapat jawaban, tetapi suatu kali, Kris memberinya secarik foto.

Permukaan fotonya telah menguning karena diambil puluhan tahun lalu. Warnanya telah memudar, menyamarkan detail yang termakan waktu. Foto itu adalah harta Kyungsoo yang paling berharga.

Malam ini foto itu digenggam Kyungsoo dengan hati-hati. Jari-jari lentiknya menyusuri garis wajah anggun yang amat mirip dengan milik Kyungsoo. Figur mungil, tapi tidak tinggi diturunkannya kepada Kyungsoo. Mata bulatnya yang berbinar sama persis dengan Kyungsoo, wajahnya terbingkai poni dengan surai coklat tembaga bergelombang.

Kyungsoo tersenyum melihat bagaimana ibunya begitu gembira di foto itu. Senyumnya yang lebar dan sosoknya yang berbalut gaun biru muda membuatnya terlihat muda dan cerah. Jemarinya menggenggam setusuk kue dango yang biasa dimakan ketika acara melihat bunga sakura ketika musim semi. Namun, pemandangan di belakangnya sama sekali bukan musim semi, dan tidak ada pohon sakura. Jalanan di belakangnya lenggang, hanya rumah-rumah yang berjejer dan sebuah toko kue dango yang sepi pengunjung.

Kyungsoo memanjat ke tempat tidurnya, menyelipkan foto ibunya ke bawah bantal. Sisi belakang foto menghadap ke atas. Nama ibunya tertulis dalam huruf hangul yang kecil dan rapi, entah tulisan siapa.

Sandara.


 

" Enak ya jadi Kyungsoo," celetuk Luhan. " Pulang pergi diantar jemput mobil bagus, Hyung-nya cakep banget, baik lagi.... Makanya Kyungsoo bisa jadi idola sekolah!" 

Kyungsoo hanya tertawa mendengarnya. Ia berjalan dengan raket-raket di tangan, mengikuti kerumunan anggota tim yang lain. Di jajaran terdepan ada Choi Seonsaengnim dari Daejeon yang membawa murid-murid dari sekolah Kyungsoo, Busan High school, ke lapangan.

" Idola apanya? Lihat aku sedang apa? Aku membawakan raket-raket kalian kan? Idola mana yang begini?"

Luhan balas tertawa. Di tangannya, juga tertumpuk beberapa raket tenis. Jalannya sepelan Kyungsoo. Ada serekah perasaan hangat di hati Kyungsoo ketika menyadari Luhan memang sengaja menyamai kecepatan langkahnya.

" Suasananya sepi ya... " Kyungsoo berkata, berhenti sejenak memperhatikan teman-temannya dari kejauhan. Mereka kini sibuk berjabat tangan dan berkenalan dengan tim tenis Daejeon.

" Tentu saja, inikan pinggiran. Kau kira ini di mana? Busan?" Luhan tertawa lepas. " Eh ngomong-ngomong, kau akan ikutan kumpul-kumpul dengan anak Daejeon setelah pertandingan?"

" Kumpul-kumpul?" Kyungsoo menatap Luhan bingung.

" Pasti seru, kau harus ikut! Eh, lihat, yang lain sudah memanggil. Ayo?"

Punggung Luhan menjauh seiring langkah kakinya yang dipercepat. Kyungsoo tersenyum. Ia sudah melewati banyak hal  sejak menjadi manajer klub tenis saat ia kelas satu. Ada banyak pertandingan persahabatan yang sudah mereka lalui, tetapi ini yang pertama dengan tim Daejeon. Ia mungkin hanya manajer--tapi duduk di samping lapangan, melihat teman-temannya bekerja keras memenangi pertandingan memberinya kepuasan sendiri.

Kyungsoomendapat banyak teman sejak ia menjadi manajer. Luhan salah satunya. Hubungan anggota tim sangat dekat, mereka sering bermain ke luar sampai larut. Seberapa pun Kyungsoo ingin ikut serta pada setiap acara kumpul-kumpulnya, ia tetap tidak tahan jika harus mendapat sederetan missed calls dari Kris.

" Tidak, kali ini Kyungsoo harus ikut!" protes Baekhyun seusai pertandingan ketika Kyungsoo menolak untuk ikut.

" Ayolah Kyungsoo.. nanti aku dan Luhan mengantarmu ke rumah. Kita main dulu di daerah sini. Cuma jalan-jalan dan karaoke dengan kenalan-kenalan baru dari Daejeon, pasti menyenangkan!"

" Aaah.." Kyungsoo hanya tersenyum menjinjing tasnya. Anggota tim lain sudah mulai berjalan ke arah gerbang, membuat lapangan perlahan-lahan sepi.

" Aku tidak bisa Baekhyun.. Aku akan pulang dengan para sunbae. Mereka juga tidak ikut kan?"

" Tentu saja, mereka kan harus ikut persiapan masuk unibersitas! kau kan tidak perlu!"

Baekhyun, Luhan, dan Xiumin berebut bicara, membuat telinga Kyungsoo sakit. Kyungsoo tertawa melihat mereka dan akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sebelum sempat mengetik pesanuntuk Kris, ia baru sadar ponselnya habis baterai. Kyungsoo mendesah kecewa, kemudian tersenyum tipis. Kali ini pulang malam, tidak apa-apa, kan, ya?

Ia merenggangkan otot tubuhnya yang kaku karena seharian mencatat skor dan mempelajari gerakan anggota tim dari Daejeon. Baekhyun, Luhan, dan Xiumin telah berjalan agak jauh di depan, kini membaur denga anggota tim lain, tawa menggema di antara cahaya sore.


 

" Luhan, ayo, keluar sebentar denganku!"

Kyungsoo keluar dari ruangan karaoke yang gaduh sambil menarik Luhan. Luhan memasang wajah tidak bersalah, dengan santai membetulkan kerutan di kaus trainingnya. Di dalam ruang karaoke sederetan anak laki-laki yang duduk berbaur di bawah lampu yang berkilat.  Di koridor tempatnya berdiri sekarang, Kyungsoo bisa mendengar sayup-sayup nyanyian dari ruangan lain.

" Kau tidak bilang bahwa ini... kencan grup?"

Kyungsoo menggeram gemas pada sahabatnya itu.

Luhan terkikik melihsat Kyungsoo. " Tentu saja, apa yang kau pikirkan waktu kita bilang 'kumpul-kumpul'? Ada Baekhyun dan Xiumin juga, sudah jelas akan jadi seperti ini."

Kyungsoo mendesah, ia melirik jamnya, lalu berkata kepada Luhan, " Aku keluar sebentar."

" Keluar? nanti jumlah orangnya tidak genap." Luhan menahan Kyungsoo, " Ayolah Kyungie. Kau juga tahu hampir setengah namja di dalam tertarik padamu, kalau kau pergi, apa yang akan terjadi?"

" Aku cuma telepon Kris sebentar. Tampaknya, kita akan pulang agak malam, kan?"

" Ooh, yasudah, cepat kembali, oke?"

Kyungsoo merasa bisa menarik napas lega ketika keluar dari tempat karaoke itu. Kyungsoo berjalan perlahan mengambil belokan, mencari boks telepon yang ia lihat sebelumnya.

Ia hampir masuk ke dalam boks. tetapi langkahnya tiba-tiba berhenti. Melihat sekelilingnya, ia merasakan ada sesuatu yang ganjil. Atau ada sesuatu yang ia lupakan, yang terlewatkan. Beberapa saat terlewati, hanya suara sapu seorang nenek yang memenuhi jalan kecil itu. Seketika nenek itu bertukar pandang dengan Kyungsoo, nenek itu menghentikan gerakan menyapunya.

Kyungsoo hanya tersenyum tipis lalu berbalik, masuk ke dalam boks telepon. Dengan hati-hati ia memasukan kartu telepon, menekan tombol-tombolnya. Ia mengangkat gagangnya tapi tak ada nada sambung.

" Nak,"

Sapaan itu membuat Kyungsoo terperanjat dan melihat ke belakang. Si nenek membuka boks telepon itu, memperhatikan Kyungsoo seksama.

" Boks telepon ini sedang rusak, jika kau ingin memakai telepon, kau bisa menggunakan yang di dalam rumah nenek."

Kyungsoo tertegun mendengar tawaran ramah dari nenek itu. Namun, entah apa yang membuat dirinya setuju, berjalan masuk ke dalam rumah nenek itu. Jemari keriput si nenek menunjukan letak teleponnya pada Kyungsoo, membiarkan Kyungsoo memakainya, sementara sang nenek duduk di sampingnya sambil mengamatinya.

Sewaktu nada sambung ke telepon Kris masih berlanjut, Kyungsoo memperhatikan rumah itu. Rumah yang bagus... dan agak terlalu besar untuk hanya ditinggali seorang nenek. Tidak ada tanda-tanda kehadiran anggota keluarga lain, di depan pintu pun hanya ada tiga pasang alas kaki yang sepertinya semua milik si nenek. Nada sambung di telepon Kyungsoo terputus berganti dengan suara ceklikan.

" Halo?"

Kyungsoo masih memperhatikan sekelilingnya. Interiornya sudah tua, tetapi masih terawat. Di beberapa sisi, terlihat bekas lemari yang dipindahkan. Mungkin dulunya tempat ini semacam toko, tetapi sudah lama tutup.

" Halo? ini siapa?"

Kyungsoo sadar, tersentak mendengar suara Kris yang menunggu dari ujung telepon. " Kris, ini aku."

" Kyungie? ada apa? mengapa teleponmu mati? aku berusaha menghubungimu sejak tadi...."

" Baterainya habis, Kris, tampaknya aku akan pulang telat. Luhan dan Baekhyun akan mengantarku ke rumah nanti malam, jadi kau tak perlu khawatir.."

Suara Kris terdengar tidak senang, " Pulang telat? kenapa?"

" Ehm.. karaoke dulu dengan yang lain, iya masih dekat dari Daejeon High School, ... Tentu saja aku takkan minum... Iya. ... Ehm, iya, aku tutup dulu."

Si nenek masih menghujani Kyungsoo dengan tatapan yang sama. Tatapan yang membuat Kyungsoo tidak nyaman, tetapi ada sedikit kelembutan di balik tatapan itu. Kyungsoo berpaling kepadanya dan berterima kasih.

" Anak muda, apa kau suka dango?"

Nenek itu bertanya, senyumnya membuat keriput di sekitar matanya bertambah ketara. " Aku baru membuat beberapa kue dango manis. Apa kau suka?"

" Kue dango? yang dari Jepang itu ya?"

Tiba-tiba Kyungsoo mengerti keganjilan yang ia rasakan. Jika tas ranselnya ia bawa kemari, maka ia akan mengeluarkan foto ibunya, membandingkan pemandangan dengan pemandangan keseluruhan jalan di luar. Segalanya terasa mirip, hanya beberapa perbedaan waktu. Penambahan boks telepon, dan ...

" Dulu di sini adalah toko kue dango." si nenek bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah dapur yang tak jauh dari tempat Kyungsoo duduk. " Tapi sudah lama kututup, Aku bertambah tua, daerah sini memang sepi. Anak muda sepertimu lebih menyukai karaoke daripada dango."

Kyungsoo tidak berkata apa-apa, ia masih terpana menatap si nenek membawa kue dari tepung beras, berbentuk bulat-bulat yang ditusuk bambu. Nenek itu menuangkan saus di atasnya, juga menyajikan secangkir teh untuk dirinya dan Kyungsoo. Kyungsoo duduk sopan dengan suasana yang sedikit lebih menenangkan di sekelilingnya.

" Mitarashi dango, dengan saus yang kubuat sedikit lebih manis dari pada yang biasanya. Sandara sangat menyukainya. Ia suka makanan manis."

Nenek itu tersenyum. Ada suatu di dalam senyuman itu yang terasa sedang bernostalgia. " Kau mirip sekali dengan Sandara. Membuatku rindu akan gadis itu."

Kyungsoo tidak membiarkan dirinya menggantungkan harapan terlalu tinggi. Mungkin semua ini hanya kebetulan sehingga nenek di hadapannya, yang tiba-tiba menawarkannya untuk memakai telepon di dalam rumah, menyebut nama Sandara. Jika ia bertanya sekarang, mencerca nenek itu dengan pertanyaan yang selama ini mengahantuinya, mungkin ia takkan mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Ia akan mengecewakan.

" Maaf, aku membuatmu mendengarkan ocehan nenek tua sepertiku." Nenek itu tertawa lembut. " Aku hanya terpana melihat kau sangat mirip dengan Sandara. Kusangka, aku melihatnya hidup kembali sebagai namja."

Kusangka, aku melihatnya hidup kembali sebagai namja, ulang Kyungsoo dalam hati. Ternyata benar... ia sudah meninggal. Apa kami memikirkan Sandara yang sama?

Bertanya dan dikecewakan pun tak apa-apa. Setidaknya untuk pertama kali, Kyungsoo merasa ia mendapatkan sedikit kejelasan dari masa lalunya yang tidak teraba. Jalan itu, toko dango ini.. mungkin ia memang telah ditakdirkan untuk bertemu dengan nenek ini.

" Apakah... Nenek adalah ibu dari gadis yang nenek bicarakan?"

Nenek itu menggeleng, meminum tehnya. Kyungsoo menggigit dango yang di suguhkan untuknya, merasakan manis dan asinnya bercampur menjadi rasa menyenangkan di lidahnya. Satu gigit dari dango yang enak itu membuat Kyungsoo lebih tenang menghadapi jawaban si nenek.

“ Bukan.. tapi, karena aku tidak punya suami atau anak, aku menganggapnya seperti anakku sendiri. Ia bekerja paruh waktu di toko dango iniuntuk waktu yang agak lama... hingga ia mengandung dan pindah ke pusat Seoul.”

Tangan Kyungsoo agak gemetar ketika berusaha mengangkat cangkir tehnya. “ Aku mungkin adalah anaknya.”
Setelah Kyungsoo mengatakan hal itu, mereka masuk ke dalam kesunyian yang panjang. Kyungsoo tidak bisa membuat dirinya mendongak dan menangkap ekspresi macam apa yang nenek itu pasang di wajahnya.

“ Aah,” si nenek memecah kesunyian, “ Betulkah itu?”

“ Hyung-ku –maksudku, pengurusku—mengatakan Eommonim meninggal tidak lama setelah melahirkanku. Namun, ia berkata Aboeji masih hidup... hanya tinggal di tempat yang jauh. Ia tidak pernah membiarkanku bertemu dengannya. Nama keluargaku Do, pengurusku berkata aku mendapatkan nama keluarga itu dari Aboeji karena Eommonim yang memintanya.”

“ ... Aku tidak percaya ada kebetulan semacam ini. Aku mengajakmu masuk ke dalam dan membiarkanmu memakai teleponku karena kau mirip sekali dengan Sandara. Ternyata, kau memang benar-benar anaknya ...”
Si nenek berkata, suaranya hilang dalam bisikan. Ia memperhatikan Kyungsoo, kini dengan tatapan iba, “ Tapi jika kau mengatakan begitu, berarti kau tidak pernah bertemu dengan Aboeji-mu... Apa kau juga tidak pernah bertemu dengan Hyung-mu?

“ Hyungnim?” Kyungsoo mengulang tidak percaya. “ Aku punya Hyung?”

Nenek itu membalikkan badannya , berdiri membokar isi laci di belakangnya. Tampaknya, ia tidak mendengar pertanyaan Kyungsoo.

“ Tapi tidak aneh kalian tidak bertemu... Aku tidak tahu apa yang membuat Sandara pergi meninggalkan suami dan anaknya ketika ia hamil. Padahal, sebelumnya mereka sangat dekat dan hampir menikah... Sandara juga sangat dekat dengan si mungil Jongin, menyayanginya seperti anak sendiri walaupun ia tak melahirkannya. Ah, ini dia, untunglah aku masih menyimpan fotonya.”

Nenek itu menyodorkan selembar foto yang telah dimakan usia. Latar belakang yang sama, menggenggam tusukan dango yang sama. Yang berbeda hanya jumlah orang yang tertangkap kamera. Namja yang di sampingnya memiliki senyuman seperti malaikat, tidak terlalu tinggi namun tetap terlihat tampan dan berwibawa. Pertautan jari antara namja itu dengan ibunya menjelaskan segalanya. Namun, tanpa melihat hal itupun, Kyungsoo sudah tahu hubungan istimewa yang berlangsung di antara keduanya; senyum mereka berbicara.

Di samping namja yang menggenggam tangan ibunya, ada seorang anak lelaki mungil di samping namja itu. Satu tangan menggenggam tangan ayahnya, tangan lainnya menggendong seekor anak anjing dalam dekapannya. Ia menatap lensa dengan malu-malu

Menyayanginya seperti anak sendiri walaupun ia tak melahirkannya. Ulang Kyungsoo dalam hati. Matanya menelusuri garis wajah kakak tirinya. Anak lelaki itu memiliki kulit yang lebih gelap ketimbang ayahnya, namun masih terlihat mirip dalam aura senyumannya. Foto itu mungkin diambil saat Jongin masih SD, tetapi Kyungsoo yakin kakak tirinya itu akan tumbuh menjadi lelaki yang menawan.
Kyungsoo membalikkan foto itu. Bubuhan tinta yang ia kenal dengan huruf-huruf hangul yang kecil dan rapi; Sandara, Kim Junmyun, Kim Jongin

“ Namun, jika benar apa yang pengurus mukatakan tentang ayahmu, Nak, maka syukurlah... ketika meninggalkan tempat ini Kim Junmyun terlihat dalam kondisi yang kurang sehat.” Si nenek terus berkata, “ Ketika Sandara masih bersamanya, Junmyun menolak tawaran pindah ke kampung halaman ibunya di Bali. Setelah Sandara pergi, ia dan Jongin pindah entah kemana... Apa mungkin ke Bali? Mungkin itu alasan mengapa Junmyun tidak pernah menemuimu di sini... Karena jarak memisahkan kalian.”

Kyungsoo mendongak mendengar hal itu. Pikirannya terasa kosong karena tiba-tiba dimasukkan informasi mengejutkan. Menyelipkan foto itu ke dalam blazernya, Kyungsoo menyelesaikan suguhan dangonya dengan perasaan campur aduk. Sungguh ia ingin sekali menangis kali ini, tapi ia tahan,karena ia namja, ia tidak ingin terlihat lemah di depan si nenek yang sudah menceritakan tentang masa lalunya.

Kyungsoo akhirnya pamit, ia berkata bahwa ia harus pergi sebelum teman-temannya khawatir mencarinya. Setelah berdiri di ambang pintu, Kyungsoo kembali menoleh membungkuk serta merta mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

“ Siapa namamu nak?” Nenek itu tersenyum hangat.

“ Kyungsoo, nek. Do Kyungsoo.”

“ Mengapa bukan Kim? Ah, mungkin itu nama keluarga dari Sandara. Jika benar kau anak dari Sandara, maka kau ku anggap cucuku.”
Kyungsoo tertegun. Tiba-tiba saja, ia mendapatkan seorang anggota keluarga baru. Hal yang selalu ia inginkan.

Kerutan di samping bibir nenek tertarik dan membentuk sebuah senyuman lain, “ Jika kau senggang, mampirlah kemari, aku akan menyediakan dango dan teh untukmu.”



 

 

Tujuh belas tahun yang lalu.

Sandara berdiri di depan toko dango itu, ragu-ragu untuk mengambil langkah masuk. Rok selututnya berkibar ditiup angin musim gugur. sebuah koper besar berdiri diam di sampingnya, menunggu tangan Sandara untuk membawanya pergi.dari luar, terlihat Nenek Minah sedang membereskan pajangan-pajangan yang menghiasi etalase toko. Sedikit gejolak di dalam hati Sandara yang membuatnya ragu-ragu untuk masuk, ia tahu perasaan apa itu; rasa bersalah.

Sandara mengelus perutnya yang sedikit membuncit, seakan meminta sedikit keberanian pada bayi dalam kandungannya.

" Sandara? apa .. kau benar-benar akan pergi?" Raut wajah nenek Minah terlihat bingung ketika melihat koper besar di samping kaki Sandara. " Apa yang Junmyun lakukan padamu? cicin pertunangan kalian? apa yang terjadi?"

Sandara hanya menggeleng lemah, jemari lentiknya gemetar mengusap perut buncitnya. Tidak ada cicin yang melingkar di jari manisnya. Saat menjawab pertanyaan nenek Minah, suaranya penuh dengan ketegaran.

" Aku harus pergi nek, ini, keputusanku... terima kasih atas segalanya selama ini."

" Perutmu... Kim Junmyun itu, membuangmu setelah semua ini?"

Sandara hampir menangis ketika ia meraih tangan nenek, " Tidak, tidak... semua salahku. Aku harus pergi, pergi jauh. Aku harus ke pusat Seoul. Junmyun maupun Jongin tidak bersalah, hanya aku yang salah."

" Kau masih melindungi mereka seperti ini?" Nenek berkata pilu, " Betapa kasihannya dirimu Sandara, apa kau benar-benar harus pergi?... kau bisa tinggal di sini jika kau mau, aku sudah mengatakan berkali-kali, ini adalah rumahmu."

Mereka berdua bertukar peluk, tetesan air mata membasahi pipi Sandara. Mereka terdiam, tetapi nenek Minah tahu, Sandara tidak mengganti keputusannya.

“ Jika kau senggang, mampirlah kemari, aku akan menyediakan dango dan teh untukmu.”



 

 

 

kicauan Author :

dan inilah bab satunya, masih bingung sama cast yang jadi Tsubaki-nya, kepikirannya Sandara Park, yasudahlah jadi dia aja.. hehe?

gimana? mungkin aku cuma mengubah latar ceritanya jadi agak Korea, karena di sana juga ada acara hanami, piknik sambil menikmati bunga sakura bermekaran.

kalau di sini, Jongin umurnya jadi lebih tua dari Kyungsoo, harap maklum ya, aku cuma ngikutin alur novelnya.

Cerita asli di sini bukan milik aku, aku cuma mengubah cast, latar, genre ( jadi ), dan sedikit ratingnya. Cerita asli "Hanami" ini 100 persen milik Tante Fenny Wong penulis novel yang aku suka ini.

at last, komen lagi yuk, biar tambah seru ceritanya, saran, kritik juga boleh..

*bow*

-Pansy-

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
Pandananaa
Hey?! Bab tiga udah di post lohh... mau baca?? #kedipkedip :3

Comments

You must be logged in to comment
hyun-an #1
Chapter 3: Kapan lanjutan ceritanya author????
woobinsgirl #2
Chapter 3: kapan update, author?? ;_;
lovedio #3
Chapter 3: keren keren keren, tapi lebih baik pakai kata pemuda atau lelaki daripada namja, lebih enak dibaca
dyofanz #4
Chapter 3: this is so cool! intereating. I'll wait for next chap
Eunhyeshi #5
Chapter 3: GREAT! saya sangat menanti bab selanjutnya.
Changchang #6
Chapter 3: LANJUUTTT ini kereeennn!!! >.<
suka pairing Krisoo omaigaattt >.<
aku suka karakter Kris yg sayang bgt sama Kyungsoo disini.
Jga sikap Kyungsoo yg sok kuat tp aslinya rapuh bgt :/
astagaaa selalu lanjutkan ff ini thor~~
sayang dianggurin...
semangat!!!
aprilliyahernaaa #7
Chapter 3: ahhh akhirnya dilanjut jugaa thor aku sudah lama menunggu hehe
makiin kereen thor tapi penasaran banget sama masa lalunya kris thor trus penasaran juga masalalunya kyungsoo trus kris siapanya kyungsoo? aahhh aku penasaran sangat thor cepetan dilanjuut ya jangan lamalama hehe
iphe_chocoluph
#8
Chapter 3: suwer deh..aq nunggu ini ff lamaaa bgt..
haha welcome back dahh..
update soon ya authornim.. :)
chispring #9
Chapter 1: Aa, chap 1nya baguss.
Sandara jadi ibunya kyungsoo? Hmm... /membandingkan wajahnya/
permisi baca chappie selanjutnya~