part one: tersesat dan terjebak

Anterograde Tomorrow [Indonesian]

t/n: siapkan kertas, kalau-kalau menemukan typo dan kalimat yang membingungkan biar langsung dicatat. Siap-siap dengan panjangnya. Selamat membaca. :)



part one: tersesat dan terjebak; word count: 6067


 


 

Kyungsoo memiliki sebuah album berisi wajah-wajah dan tanggal. Foto-foto yang tersusun dengan lampiran keterangan singkat di bawahnya. Ini Zitao, orang Cina, pelayan baru yang bekerja tiap Rabu malam (6 Juni 2010); di sini Yifan, seorang model yang memesan Rhapsody in Blue dengan wiski kering setiap hari Minggu (19 Desember 2009); ada Baekhyun di sana, tapi ia sudah pindah (6 Juli 2008). Itu adalah sinopsis Do Kyungsoo seputar tetangga, kenalan, teman lama, dan orang baru. Tersaji dengan sangat presisi.

Mendekati halaman terakhir terdapat sebuah potret sesosok yang membungkuk bersandar di tembok, satu lututnya ditekuk dan satunya lagi menyangga beban badannya. Sebatang rokok bertengger di antara jemari yang panjang dan kurus. Warna kelabu yang monokromatik membayang di sepanjang roman wajahnya. Asap putih menguar dari ujung bibirnya, berdifusi di antara rambut dan rinai hujan menjadi suatu kesan kesunyian yang aneh.

Dua kata tertulis di bawahnya. Tetangga, merokok.

--

Koran itu tertanggal 12 Juli 2012. Tetapi dibanding fakta bahwa Kyungsoo bersumpah bahwa kemarin baru tanggal 24 November 2008, kaosnya menghiasi seperempat bagian foto di halaman depan koran. Kaos favoritnya. Kaos yang dia dapatkan karena telah menjadi karyawan terbaik mingguan, dengan logo Pororo jahitan tangan yang miring, dengan segala kebanggaannya di liputan berita.

Dengan tergesa-gesa memandangi headline berita tentang 'kekacauan besar di pusat kota Seoul yang disebabkan oleh hujan uang', Kyungsoo fokus kembali pada gambar itu. Itu memang benar-benar kaos miliknya, yang sedang ia kenakan saat ini dan saat tidur hingga bangun 20 menit yang lalu. Lebih tepatnya, kaos yang tak pernah ia pakai untuk pergi ke penthouse mahal seingatnya, yang ternyata adalah lokasi foto tersebut diambil.

Menurut artikel itu, "Novelis terkenal, Kim Jongin, baru saja dibebaskan dari penjara atas tuntutan penggangguan ketertiban umum, setelah secara harfiah membuat badai uang berjumlah sekian ratus ribu won dari jendela penthouse-nya dengan kaki tangan yang tidak diketahui namanya. Menamakannya sebagai 'pameran konfeti jutaan won', ia telah menyebabkan kemacetan terbesar dalam sejarah Seoul, memblokir jalannya lalu lintas sepanjang dua kilometer ketika penduduk berlomba-lomba memungut uang tersebut."

Tetapi menurut Kyungsoo, seraya menyodorkan koran tersebut pada Minseok, "Koran Nasional memang sedang memasang jebakan yang sangat rumit akhir-akhir ini—tapi dari mana mereka mendapatkan kaosku?"

Dahi Minseok berkerut dalam saat membaca artikel itu, lalu berkerut sangat dalam pada Kyungsoo, lalu ke salah satu ujung bar. Kyungsoo terlalu sibuk membaca ulang artikel itu dan mengecek kembali kaosnya sehingga tak menyadari seseorang dengan pakaian yang begitu rapi duduk di ujung tatapan tajam Minseok. Seseorang yang menyembunyikan senyum tertarik di balik gelas wiski.

--

Mereka bertemu untuk pertama kalinya, menurut Kyungsoo, di lift apartemen. Saat itu masih Jumat dini hari, tanggal 13 Juli, satu jam dimana dunia berjalan dengan lampu merah yang tak menentu, lolongan orang yang mabuk, dan sesekali suara tawa. Hanya ada mereka berdua di jam seperti ini, dan keheningan yang menjulang.

Baru saja kembali dari bar, Kyungsoo berusaha menghilangkan sisa asap metalik dan aroma kental alkohol pada rambutnya. Lengkungan saxophone masih bersarang di jarinya dan dentum cinquillo masih tertinggal di bawah kulitnya, tapi tak satu pun dari hal-hal itu yang cukup untuk mengisi jurang yang ada di antara dirinya dan si orang asing.

Orang asing itu, dengan rokok yang belum nyala di antara giginya, lebih dulu berbalik. Pencahayaan lift melingkupinya dengan warna kuning dan selubung kelesuan yang berat. Kyungsoo bertanya-tanya, dengan cinquillo berdentum-dentum dalam pembuluh darahnya, apakah kulit pria itu seplastik kelihatannya.

"Panas. Cuacanya. Panas sekali," ia berkata sembari mengulurkan tangan—yang Kyungsoo genggam dengan keraguan. Yang mengherankan, genggaman tangannya dingin. Jari-jari yang panjang, kuku-kuku yang dipotong pendek dan tajam, kulit yang kasar dan kencang membalut buku-buku jari yang kurus.

"Mm," Kyungsoo tercekat dalam perkataannya ketika ia menangkap tatapan orang itu di wajahnya. Jabatan tangan itu tiba-tiba terasa lebih seperti sebuah penilaian yang disengaja daripada sebuah sapaan mendadak. Lebih menakutkan daripada tegang dan lebih buruk daripada canggung.

Di antara derit lantai lift dan percikan cahaya bola lampu, suara Kyungsoo keluar seperti suara cicitan yang dua oktaf lebih tinggi daripada seharusnya, "Ya. Malam ini panas."

Orang itu tak mengatakan apa pun. Ia malah bersandar pada dinding lift dan matanya menatap, berkedip, dari atas ke bawah menyusuri sosok Kyungsoo. Jenis pandangan seperti itu membuat Kyungsoo mengkeret di balik jaket, meski lapisan tipis dari wol halus itu tidak membantunya sama sekali untuk bersembunyi dari sorotan fiksasi si orang asing. Waktu bergerak lambat hingga pintu lift terbuka ketika Kyungsoo menghembuskan napas yang tanpa sadar telah ia tahan.

Baru kemudian, setelah Kyungsoo berjalan di koridor apartemen dan memperhatikan orang itu mengikutinya, ia menyadari bahwa saat itu bukanlah saat pertama mereka bertemu.

"Apakah aku mengenalmu kira-kira?" Ia akhirnya bertanya, suaranya menggema dengan gelisah di sepanjang lorong. Orang itu berhenti di pintu kamar sebelah, memutar-mutar gantungan kunci di jari telunjuknya. Secercah cahaya bulan masuk melalui pagar dan memantulkan sesuatu pada setelan orang itu. Kyungsoo melihat sepasang kancing manset, berkilau dan terlihat mahal, terlalu mahal untuk dimiliki oleh seseorang yang sudi tinggal di tempat semacam ini.

"Menurutmu?" Bibir si orang asing berubah menjadi seringai malas.

Kyungsoo mengambil kain tiras yang ada dalam sakunya. Ia tidak ingat pernah melihat wajah orang asing itu saat membaca album memorinya tadi. Tetapi mungkin ia melewatkan selembar. Itu pernah terjadi. Ia buru-buru meraih tasnya, dan terhenti oleh serentet tawa, "Jadi kau tak bercanda tentang amnesia itu."

"Apa?"

"Menarik. Keren. Sungguh. Apa hal terakhir yang pernah kaulakukan seingatmu?" Si orang asing menyela, terlihat tak buru-buru seraya bersandar di pintunya dan memandang Kyungsoo yang sedang meraba-raba kuncinya.

Meski dalam gelap, kilat senang yang sadis dari seringainya tampak jelas. Hal itu membuatnya tampak lebih tua dari kelihatannya, benar-benar disayangkan.

Kyungsoo berpikir terlalu keras sampai-sampai ia lupa menjawab. Ketika ia berbalik lagi, orang asing itu telah pergi.

--

Mereka bertemu kembali untuk yang pertama kalinya di tangga. Matahari terbit memulai hari Senin. Embusan musim panas meniup bias cahaya bulan terakhir. Kyungsoo berlekas-lekas ke bawah untuk bekerja di pabrik dan seorang pria dengan rokok yang belum nyala berjalan ke atas. Tatapan mereka bertumbuk, dan mungkin bahu mereka bersentuhan, dan itu cukup untuk membuat Kyungsoo membeku di tengah langkahnya.

Tetapi sang pria tak meluangkan sedetik pun untuk membalas pandangan tercengang Kyungsoo. Ia tetap naik, dengan napas sesak dan terengah-engah. Wajahnya pucat dan terhiasi keringat. Kyungsoo memperhatikan sepasang kaki pria itu gemetar dan terhuyung di tiap langkahnya, seolah kaki-kaki itu tak lagi cukup kuat untuk menyokong beban besar yang kasat mata di bahunya. Seolah ia akan terguncang dan jatuh karena hembusan angin tipis. Menyesakkan, seberapa sedih punggungnya terlihat dari sisi ini, dengan kain baju yang mengecap susunan tulangnya, tulang yang menonjol dan tubuh yang kurus. Kyungsoo setengah berpikir untuk mungkin memotret pria ini, tapi Kyungsoo tidak tahu dengan nama apa ia akan menamai foto itu, dan lagi dia sudah terlambat masuk kerja, jadi ia kembali berlari.

Bagi Kyungsoo, musim panas di pinggiran Seoul terdiri atas suara mezzo yang menembus tengah malam, kardus-kardus dari kumpulan mainan bekas yang diseret melintangi ban karet berjalan, lumpur kacang merah dan koran-koran lecek di bawah kecupan lembut sang fajar. Ada lebih banyak entri di albumnya sekarang. Hidupnya menggelora dengan kolom-kolom catatan hitam; Zitao dan Yifan sekarang sudah lebih dari sekedar teman, Minseok telah menemukan lagu-lagu baru; ada orang asing yang tinggal di apartemen sebelah kirinya, dan mereka mungkin pernah bicara sebelumnya.

--

Mereka bertemu untuk pertama kali yang terakhir saat Kyungsoo membuka pintu apartemennya dan langsung bertatap muka dengan pupil yang membesar dan lebar.

Hai,” sang pria tersenyum, rokok di sudut mulutnya berayun lemas, “namaku Jongin. Aku seorang penulis. Novelis. Aku pindah ke kamar sebelah minggu lalu. Demi inspirasi, keterampilan seni, penggalian makna kemiskinan, menghindari massa pers di tempatku yang biasa, dan lain-lain hal. Intinya adalah: kita pernah bicara sebelumnya. Dua kali.”

Oh,” Kyungsoo segera menjawab sebagaimana biasanya. “Maaf—aku punya anterograde amnesia jadi—”

Kau tidak ingat aku. Aku tahu. Kau melupakan semua hal di tiap penghujung hari jadi kau tidak akan mengingatku besok.”

Jongin melangkah mundur, menuntun api dari pemantik ke ujung rokoknya, mengisapnya dalam-dalam, kemudian membiarkan asap pekat dan putih membesut dari giginya, “Bagaimanapun juga. Dengar. Aku harus mengirim naskah ke editorku—Oh Sehun—jika kau mengenalnya kau akan tahu betapa menjengkelkannya dia, tapi intinya adalah: jika aku tak mengirimkan apa pun dalam sebulan ia akan mengomel seperti tante-tante girang—dan, jujur saja, aku kehabisan ide. Tapi tidak juga. Aku punya ide. Dan ide itu menyangkut...”

Barulah saat Kyungsoo terbatuk karena asap, Jongin menyadari bahwa dirinya menahan nafas selama ini, “Mm, ya, menyangkut apa?”

Kau,” Jongin tersenyum.

Yang unik dari senyum Jongin adalah bahwa hanya mulutnya yang tersenyum, sehingga yang Kyungsoo lihat bagaikan sebuah gambaran akan kemeja putih resmi nan mahal beserta senyum yang menyedihkan. Begitu banyak penderitaan terbungkus di balik gigi-geligi yang terekspos dan mata yang menyipit itu. Kata-kata sifat terindah untuk menandai jiwa yang terlantar, julukan-julukan yang paling lembut untuk mengarungi sebuah hati yang tertutup.

Kyungsoo menuliskannya pada foto polaroid Jongin yang diambilnya malam itu. Ini Jongin, tetangga baru, novelis, senyum sedih (17 Juli 2012). Kami akan melakukan wawancara. Dia ingin menulis buku tentangku.

--

Selama makan malam pada hari Rabu, Kyungsoo memutuskan bahwa meski kebiasaannya tiap hari sederhana dan berulang-ulang, yang demikian itu paling baik. Ingatannya tidak bertahan cukup lama untuk mengikuti perubahan jangka panjang, dan lagipula bagaimana ia bisa merasa lelah melakukan sesuatu yang ia sendiri tak ingat pernah melakukan, setidak-tidaknya.

Jadi apa pekerjaanmu?” Jongin menyela, dengan sebatang pulpen terselip di balik telinganya dan sebuah lagi di sela jari-jarinya.

Kyungsoo mengatakan bahwa ia bekerja di pabrik mainan dekat situ mulai jam sembilan pagi sampai jam lima sore, menempelkan mata kelereng kecil yang berkilau pada boneka tokoh-tokoh kartun. Secarik kepalsuan agar tampak hidup. Pekerjaan itu murni demi penghidupannya, walaupun Kyungsoo pikir mungkin ia telah merasa terikat dengan teman-teman kerjanya dan empuknya boneka-boneka itu, lembutnya kain, senyum-senyum yang selalu bahagia. Pekerjaan itu menghasilkan gaji yang cukup untuk biaya sewa dan kebutuhan sehari-hari. Namun tetap saja, hal itu tak mengapa karena pukul tujuh akan memperbaiki segalanya. Pada jam tujuh, ia berangkat menuju bar untuk melantunkan nada-nada fana dari jiwanya. Secara teknis, di jam-jam itulah saatnya mengeruk uang kembali dengan sungguh-sungguh di balik kekacauan orang-orang yang mabuk, tapi bagi Kyungsoo, ini semua tentang membentuk kata-kata dari udara yang tipis, hembusan asap-asap rokok dan getaran-getaran musik, mata yang tertutup dan samar helaan napas yang merangkul lingkaran-lingkaran aneh dari serbuk gergaji di karpet. Ini semua tentang renungan yang meluncur melewati jari-jarinya dan melingkar di jari kakinya. Jam tujuh adalah tentang hasrat. Sebuah mimpi.

Kyungsoo membiarkan kedua-ratus-enam-puluh tulang di tubuhnya jatuh di tempat selagi ia berkata, “Mungkin rasanya lesu, kukira. Tapi sulit untuk merasakan kelesuan itu saat kau bahkan tidak pernah merasakan semangatnya. Merasa hidup, maksudku.”

Jadi, kau ini seperti mayat berjalan?”

Lebih seperti fosil berjalan.”

Minseok, teman masa kecilnya yang juga sesama penyanyi di bar, selalu bergurau tentang hal itu karena waktu telah terhenti bagi Kyungsoo sejak empat tahun yang lalu, dia pun terus-menerus berumur dua puluh tahun. Tapi itu tidak benar-benar sebuah gurauan belaka, dan orang-orang telah berhenti menertawakannya sejak lama.

Meskipun begitu, menurutku itu lucu,” Jongin berpendapat, lalu menjatuhkan puntung rokoknya di kaleng bir sebelum meminumnya dengan sekali sesapan yang apresiatif. Kyungsoo mencoba untuk tidak membayangkan bagaimana rasanya, nikotin dan tembakau tenggelam dalam larutan yang mendesis yang terbuat dari gandum itu. Ia lebih memilih mengintip ke catatan Jongin, dan baris-baris kecil tak terbaca dengan tinta hitam yang melewati tepian kertasnya. Jongin menjelaskan bahwa semua itu untuk buku yang sedang dia tulis. Sebuah romansa tentang seorang pria yang menghapus dirinya di setiap penghujung hari. Kyungsoo mempertanyakan di mana romantisnya hal itu. Jongin berkata jangan khawatir, penulis adalah pembual bersertifikat; bunuh saja seseorang dan cerita itu akan berakhir romantis.

Mereka bertemu untuk yang kedua kalinya dua puluh menit yang lalu, ketika Jongin menggedor pintu apartemen Kyungsoo, membawa kardus berisi enam botol Hite dan sebatang rokok di sela-sela jari, “Hai, aku Jongin, tetangga barumu. Kita pernah bertemu sebelumnya—” yang membuat Kyungsoo segera meraih albumnya dan Jongin berkomentar, “Aku ada di halaman terakhir, sepertinya. Pria yang memakai jas.”

Kyungsoo memandangi foto itu, lalu ke arah Jongin, dan dua puluh menit kemudian di sinilah mereka: duduk di lorong tangga darurat, mengobrol tentang filosofi-filosofi besar dan romansa nyaris-ideal yang kurang mampu dicerna pikiran Kyungsoo. Buku-buku jari dan bahu mereka saling membentur, yang sebenarnya membuat Kyungsoo kurang nyaman, dan lebih kurang nyaman lagi karena Jongin terlihat acuh tak acuh. Nyatanya, Jongin bukanlah tipe orang yang peduli dengan apa pun.

Apa maksudmu? Apa itu lucu?”

Lebih penting lagi, bagaimana rasanya selalu berumur dua puluh tahun?”

Kyungsoo merenung, “Baik.”

Tapi tidakkah itu sangat buruk? Kau terjebak dalam waktu sementara waktu terus berjalan. Kau tidak bisa mengingat kapan orang datang ataupun pergi. Dunia menyusut di sekitarmu sedangkan kau terjebak di tengah. Semua teman lamamu pergi atau meninggal, dan kau tidak bisa mencari teman baru. Kau tak bisa mencintai. Kau tak bisa membenci.”

Makanya, kenapa itu lucu?”

Sungguh menyedihkan sampai-sampai terasa menggelikan,” Jongin mengedikkan bahu, “Orang-orang cenderung merasa tidak enak pada jiwa-jiwa yang malang dan lemah sepertimu. Membawa beban yang lebih-besar-daripada-hidup, dengan ambisi yang lebih-kecil-dari-hasrat-untuk-hidup. Seperti melihat seekor semut sekarat di bawah kaca pembesar dan memekik senang di atas semua kesedihan itu. Sangat menggelikan. Yah, maksudku, aku mencari penghidupan dengan mengeksploitasi semua itu demi berapa pun nilai won-nya, tapi tetap saja itu lucu.”

Jongin menjentikkan ujung rokoknya dan mereka pun memperhatikan abu berterbangan tiga anak tangga ke bawah. Hembusan angin lalu. Jongin menghirup musim panas, menghembuskan racun. Kyungsoo menggaruk jari kakinya, jari tangannya dan sebagian karat di tangga yang terbuat dari baja itu sebelum mengatakan, dengan tegas, sesuatu yang tidak yakin ingin ia katakan, “Kau terdengar sangat menyedihkan.”

Semua novelis begitu.”

Karena itukah kau sering sekali merokok?”

Jongin menuliskan ‘entah kenapa dia orang yang murah hati dan sebagai akibatnya selalu ingin tahu' di kolom berjudul Sifat-sifat Tokoh. Pura-pura tidak melihatnya, Kyungsoo menyenggolnya agar menjawab hingga pada akhirnya Jongin menurut sambil tersenyum, “Kau tidak perlu tahu. Kenapa kita tidak membicarakan lebih jauh tentang bagaimana kau mengikuti—”

Tidak,” Kyungsoo dengan tegas menyambar, “Tidak, aku ingin tahu.” 

Dengar, buku ini tentangmu—” 

Percakapan ini tentang kita.”

Menundukkan kepalanya, Jongin menggumamkan sesuatu tentang hal-hal yang menyebalkan sebelum mendongak lagi dengan sebuah senyum kosong yang membekukan nyali Kyungsoo, “Oke. Tentang kita.”

Lagipula aku tidak akan ingat itu besok,” Kyungsoo mengingatkannya.

Mengempotkan pipinya pada batang rokok hingga kerdipan kecil berwarna oranye di ujung rokoknya menghilang, Jongin pun membiarkan kata-kata meluncur keluar dengan menggebu-gebu, “Akan kuberitahu kau apa yang membuatku menyedihkan,” Jongin menatap di kejauhan entah ke mana, dan di saat itulah semua terungkap, “Aku punya Idiopathic pulmonary fibrosis. Itu berarti paru-paruku tenggelam oleh ingus. Aku sekarat. Itulah yang membuatku sangat menyedihkan, oke?”

Suara berisik para pedagang jalanan dan lalu lintas serta anak-anak yang bermain tiba-tiba menjadi samar. Kyungsoo menatap buku-buku jarinya dan merasakan darah meninggalkan wajahnya, “Aku—maafkan aku—aku tidak tahu kalau kau—”

Dengan kata lain, Tuhan sedang mencekikku perlahan-lahan. Dalam tiga tahun, jantungku akan berat sebelah, berusaha memompa pasokan oksigen yang cukup di tubuhku. Aku akan mengalami kegagalan organ. Makan pun tidak akan mungkin karena, bagaimana kau akan makan di saat kau bernapas lewat sedotan? Dan kenapa aku merokok, kau tanya? Kenapa aku merokok. Kenapa.”

Kyungsoo memperhatikan buku jarinya memutih. Dia ingin ini berhenti. Dia menyesal.Dia menyesal dan dia tidak mengerti—tapi Jongin tidak benar-benar ingin dia mengerti.

Aku merokok agar lebih cepat mati. Aku merokok supaya saat aku dibius di meja operasi, aku akan mati dengan satu hembusan napas, bukan ringisan nyeri,” Jongin mengangguk, berbicara tentang kemalangan dalam wujud kelabu yang tidak berkaitan, “Tapi ini tidak lucu, kau tahu. Ini benar-benar menyedihkan. Aku adalah manusia paling malang di planet ini. Menyedihkan, iya kan?” Lalu sebuah jeritan tawa untuk menyela kemarahan tunggalnya, “Ah, aku hanya bercanda denganmu. Memang menggelikan. Menggelikan karena hidupku penuh dengan yang satu ini: pikirmu kau melarikan diri, hingga kau bertemu dengan dirimu sendiri. Dua puluh tiga tahun kemudian, ternyata jalan terjauh untuk kembali adalah jalan pintas terdekat untuk pulang, dan aku telah berlari dalam lingkaran sejak awal. Benar-benar kacau, ya?”

Tidak satu pun dari mereka tertawa, meski Jongin mendengus ketika pada akhirnya Kyungsoo mengakhiri semua itu dengan satu kalimat lembut, “Aku akan lupa besok.”

Wawancara mereka membuang waktu hingga pukul 7. Kyungsoo menyanyi malam ini, seperti malam-malam lainnya, namun kata-kata dan nada-nada itu keluar dari mulutnya saja, bukan hatinya. Dan satu-satunya hal yang dia ingat hanyalah asap. Rasa sakit yang kental mengalir keluar dari borok Jongin.

Ia pulang jam setengah satu dan menempelkan sebuah catatan di dinding, yang warnanya kuning terang terpampang di tengah, di atas yang lain-lain, supaya ia dapat melihatnya besok: “Bawa mainan dari tempat kerja. Tinggalkan di depan pintu apartemen sebelah. (19 Juli 2012)

--

Dua hari kemudian Kyungsoo pulang ke rumah dari bar untuk menemukan sebuah boneka Pororo di depan pintunya. Boneka yang sama dengan yang ia jahit di tempat kerja, dan jika dia cukup fokus menyipitkan mata, maka dia dapat benar-benar yakin bahwa dialah yang menempelkan matanya karena hanya dia yang memboroskan lem super seperti itu. Ada sebuah kartu ucapan terima kasih di bawah boneka Pororo yang mengatakan, ditulis dalam tinta hitam, “Belas kasih cukup mahal harganya dari seseorang yang tak mampu untuk peduli.”

Ia tidak tahu sama sekali apa arti dari kalimat itu, tapi rasa sakit yang tiba-tiba ada di hatinya terlalu nyaring untuk diabaikan. Tiba-tiba semua melodi dan irama berangsur memudar menjadi suatu kesunyian yang luar biasa. Lebih masam dari kekecewaan, lebih pahit dari kesendirian. Malam ini apartemen sebelah meremang dengan lengkingan tawa yang nyaring, yang terdengar seperti isakan. Semua jenis suara dan kericau, teriakan tak jelas tentang Luhan Jongin Sehun di bawah desisan botol-botol Scotch dan vodka yang tiada habis-habisnya. Sembari lewat untuk membuang sampah, Kyungsoo menangkap sekilas sosok dari tiga wajah yang sangat rupawan di balik tirai, cahaya yang bersinar benderang dari lilin, bau menusuk alkohol dan parfum, juga kemewahan.

Apartemennya sendiri terlihat lumayan sepi di jam seperti ini. Keremangan menelan semua dinding dan sudut-sudutnya. Ia menulis ulang semua catatannya di sticky note hijau alih-alih biru, dan Jumat pun terlewati dengan satu ceklikan senyap dari pulpen gel di atas kertas neon.

--

Meski secara teknis Kyungsoo tidak ingat pernah bertemu dengan seorang penulis yang sedang menikmati batang rokok yang seharusnya merupakan rokok kelimapuluhnya dalam sejam, kartu yang ada di tangannya mengatakan bahwa mereka seharusnya memiliki wawancara rutin. Selain dari kartu itu, dia tahu bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya. Dan pemikiran itu tidaklah mengejutkan—sesungguhnya tak ada yang mengejutkan—mungkin karena kabut tak beraturan dari asap rokok yang membuat segalanya tidak fokus: cangkir-cangkir kopi, jendela-jendela yang berembun, ujung-ujung buku catatan yang berjumbai dan ternoda milik si penulis; hal itu membuat segalanya melambat, menumpulkan semua berkas sinar menjadi bias cahaya dan semua sudut menjadi lengkungan.

Sang penulis merokok, tergesa-gesa, dan Kyungsoo merasakan sensasi aneh dan kosong ini memperhatikannya. Seakan-akan sesuatu retak dengan perlahan, dalam, dan tidak dapat kembali dalam dirinya.

Suasana kafe itu di sore hari tanggal 21 Juli adalah bunyi gaduh dari denting cangkir-cangkir porselen, obrolan membosankan dari murid-murid lelah yang tidak henti-hentinya, krim kocok yang berdesis pada cangkir-cangkir berisi cappuccino. Memang tidak begitu berisik, tetapi bunyi-bunyian itu seakan-akan mempasirhanyutkan seseorang. Menenggelamkan mereka perlahan dan tidak meninggalkan apa pun selain ujung jari yang menggapai-gapai dan gelembung-gelembung udara yang muncul ke permukaan.

Kyungsoo setengah bertanya dalam hati apakah semua penulis terlihat seperti ini atau tidak, dengan lingkaran hitam yang seperti memar di mata, dan rona kulit di antara kuning dan putih, juga kedutan alis yang tak berkala. Pertanyaan itu tumbang ketika sang penulis meregangkan sendinya dan menangkap pandangan Kyungsoo. Sebuah garis yang tajam nan panjang dari sepasang mata ke sepasang mata yang lain.

Kau baik-baik saja?” Sang penulis, yang memperkenalkan dirinya sebagai Jongin, mendesak.

Jongin tampaknya tidak memiliki waktu maupun kesabaran untuk menerima alternatif lain, jadi Kyungsoo hanya mengangguk, “Ya. Aku baik-baik saja.”

Beri tahu aku tentang kecelakaan empat tahun lalu. Atau, yah, kemarin, seperti yang kau ingat,” Jongin mendorong. Ada pertanda kekhawatiran dalam suaranya. Kyungsoo tidak bisa tidak untuk melihat segelintir perban yang berantakan di buku-buku jari Jongin. Hijau dan ungu mewarnai sekitar pergelangan tangannya. Dan tiba-tiba ia mengira-ngira apakah hal ini wajar bagi penulis, sepasang mata yang gusar itu, buku jari yang berdarah dan beberapa sentakan badan yang tak disadari.

Hanya kecelakaan biasa,” Kyungsoo berkata. Meskipun ia tidak dapat mengingat pernah ada hari-hari yang terlewat sejak sore tertentu itu, entah bagaimana rasa syoknya tidak lagi terasa, “Aku baru pulang dari pabrik—tempat kerjaku saat ini, lalu tertabrak truk buah-buahan. Truk itu membawa apel. Yang warna merah.”

Kau telah bekerja di pabrik itu sejak dulu?”

Sejak aku delapan belas tahun. Aku langsung bekerja setelah lulus SMA. Ibuku meninggal dunia dan ayahku sakit jadi aku harus mengikuti jejak—”

Ya, baiklah,” Jongin menyela. Kyungsoo dapat melihat kejengekelan di wajahnya dan ingin memprotes bahwa tidak, ini bukan cerita sedih biasa tentang seorang anak yang ingin menjadi pahlawan. Tetapi cerita tentang keluarga dan kehangatan, dan kue coklat yang didapat dengan kerja keras di samping tempat tidur, dan menghitung tetesan infus, dan berdoa pada tokoh-tokoh kartun demi kebahagiaan.

Tetapi Jongin tidak sedang berniat menerima klarifikasi apa pun, “Jadi apabila kau bukan manusia yang begitu bertanggung jawab, kau akan menjadi penyanyi?”

Kukira begitu.”

Dan kau tertabrak truk. Keberuntungan yang hebat,” Jongin menyindir dan mencoretkan sesuatu di buku catatannya. Dengan geram.

Kyungsoo memamah bibir bawahnya, kebiasaan buruk. “Apakah... kau marah?”

Tidak,” Jongin memotong, sedetik terlalu cepat. Kyungsoo terdiam saat Jongin membacakan pertanyaan selanjutnya, nyaris tidak mendongak dari pulpennya, “Bagaimana kau tetap melakukan rutinitas hidupmu? Semua rinciannya.”

Biasanya, aku memotret orang-orang yang baru kutemui, menaruhnya di buku catatan dan menuliskan hal-hal yang kupelajari tentang mereka. Aku membaca ulang semua di setiap permulaan hari dan memperbaruinya di tiap penghujung hari. Hal-hal lain, kutulis di dindingku, dan buku rencanaku. Persoalan-persoalan sementara kutulis di sticky note dan menempelkannya di mana saja. Biasanya di dinding kamarku.” Kyungsoo mengintip kopinya, dan mendongak lagi ketika tidak ada sahutan kecuali bunyi pulpen beradu dengan kertas.

Apa kau menyadari bahwa kau harus mempelajari ulang semua hal? Jika misalnya kau tahu jalan ke kafe ini hari ini, besok akankah kau melupakannya lagi?”

Sebenarnya, tidak. Aku dapat mengingat jawabannya. Aku hanya tidak bisa mengingat kapan aku mempelajarinya. Besok aku tidak akan ingat aku berjalan denganmu ke sini. Aku hanya akan ingat di mana tempat ini.”

Baik sekali.”

Kau benar-benar tidak sedang jengkel?”

Tidak.”

Sama sekali?”

Dengar. Kita sedang menulis tentangmu. Sebuah novel tentangmu. Mari jangan membicarakan tentangku, oke?”

Kenapa kau marah?”

Bahu Jongin mengendur dan ia pun membanting buku catatannya, pulpennya, semuanya dengan berisik. Mengusap tangan kasarnya pada wajahnya yang kusut, ia menatap Kyungsoo dengan gusar, lelah. Mungkin ia merasa sedikit berdosa sembari berkata, “Masalah. Oke? Mereka yang memiliki memori sungguhan memiliki masalah.”

Kyungsoo tidak setuju dengan ketukan tak sabar Jongin, “Jika kau membutuhkan seseorang untuk membicarakan masalah itu, kau tahu bahwa aku—”

Kau adalah orang yang sempurna untuk kuberitahu segalanya, tentu saja, karena tak ada apa pun yang dapat membebanimu karena kau tidak akan bisa mengingat, benar?”

Ada perasaan samar dalam firasat Kyungsoo bahwa ia mungkin sudah mengatakan kalimat itu terlalu sering. Mungkin mereka pernah ada dalam situasi ini sebelumnya: Jongin yang frustrasi dan kumal di batas antara seni dan kenyataan, Kyungsoo yang bingung dan khawatir, mencoba untuk membantu Jongin tanpa tahu bagaimana caranya.

Maafkan aku,” ucapnya, pada akhirnya, ketika Jongin telah berhenti muntah demi oksigen. Ia tak melepas pandangannya dari jari-jari Jongin yang bergetar, “Kau benar. Maaf jika aku pernah mengatakan hal ini sebelumnya dan itu membuatmu mengingat hal-hal yang tidak mengenakkan, aku benar-benar tidak bermaksud—”

Ini tentang tangan,” Jongin tiba-tiba memutuskan. Butuh waktu cukup lama bagi Kyungsoo untuk mengenali suara Jongin karena suara ini rendah, monoton, dan begitu senyap. Tidak seperti biasa, yang berdifusi di udara seperti eter.

Dengar. Hidupku ini tentang tangan. Tentang menyodokkan tanganmu yang bercincinkan berlian ke kerongkonganku yang tertutup empedu. Tentang mencabik-cabik jiwaku dengan sepasang sarung tangan mahalmu. Semuanya tentang tangan. Kuku yang menggambar darah berbentuk sabit. Sidik jari bernoda tinta di paha. Buku-buku jari yang menghancurkan bayangan di balik lapisan tipis dari cat dan kaca. Tangan, tangan, tangan.”

Seteguk kopi dan Kyungsoo pun tersenyum meminta maaf, “Aku masih tidak terlalu…”

Aku sekarat, paham?”

Kyungsoo merasakan hatinya jatuh terjerembab saat Jongin melanjutkan, dengan mati rasanya seorang pria yang telah memberitahukan hal yang sama ribuan kali, “Aku akan tewas dalam tiga tahun, mungkin dua. Mungkin kurang. Tapi kau tahu, orang tidak akan mencintaiku saat aku mati. Itu adalah fakta. Orang mungkin akan mengasihaniku. Memujaku. Mengatakan bahwa aku adalah pemikir genius, bersenang-senang dalam sebuah pertunjukan seni termahsyur yaitu hidupku. Dan apa yang dapat kulakukan terhadap itu semua? Bisakah aku menjualnya? Bisakah aku memiliki masa depan dan sebuah rumah bercat putih dan berdebat tentang tanaman apa yang dapat kuletakkan di halaman depanku dengan rasa kasihan mereka?”

Kedua mata Jongin merah. Kedua bibirnya putih. Kesunyiannya hitam.

Kau tahu apa yang kupikirkan,” Kyungsoo tidak paham apa yang sedang ia katakan, hanya sebuah firasat yang mungkin tidak perlu ia katakan sama sekali—tetapi kata-kata itu meluncur dengan sendirinya, “Kupikir kau hanya takut.”

Jongin tidak berbicara dalam waktu yang lama, dan saat ia berbicara, ia tidak lagi mendongak dari buku catatannya, “Jadi kalau kau dapat mempertahankan ingatan tentang bagaimana cara melakukan sesuatu, apa kau juga menyimpan perasaannya? Jika kau jatuh cinta kepada seorang wanita hari ini, masihkah kau mencintainya besok?”

Aku tidak tahu,” Kyungsoo mengginggit bibir bawahnya lagi, “Tapi menurutku jika aku tidak ingat pernah melakukan apa saja dengannya, ya aku tidak benar-benar—kau tidak bisa mencintai seseorang yang tidak ada dalam kenanganmu, kan? Bukankah cinta berdasar dari kenangan dan tindakan?”

Memang.”

Kyungsoo memainkan lengan bajunya, “Kau masih marah.”

Tidak.”

Kau—aku—bukan temanmu—atau terapismu—atau—aku pikir aku bahkan tidak termasuk sebagai kenalanmu, tapi—Jongin,” Kyungsoo terbata-bata, lagi-lagi tak yakin dengan apa yang ia katakan, “Kau bisa memberitahuku. Aku tidak akan menghakimimu. Aku tidak bisa bilang aku mengerti segalanya tapi aku—hanya—tidakkah kau merasa lebih baik jika—”

Diam,” bentak Jongin, matanya masih terfiksasi pada buku catatannya, “Jangan menceramahiku.”

Bukan, Jongin aku hanya—”

Kau tidak memiliki hak apa pun untuk menebak apa yang dapat membuatku merasa lebih baik karena kau tidak mengerti rasa sakit, bukan? Apa yang membuatmu berpikir kau bisa menghakimiku? Kau bahkan tidak dapat mencinta. Kau mengatakannya sendiri. Kau tidak bisa mencintai sehingga kau tidak bisa merasakan sakit, ya kan? Besok kau akan bangun dan semuanya akan tetap baik-baik saja. Semuanya akan tetap sangat baik seperti sebelumnya dan hei, apa kau pernah berpikir bahwa kau selalu bahagia tiap harinya hanya karena kau telah melupakan tentang masa-masa di saat kau telah menyakiti orang-orang yang lain? Pernahkah kau memikirkannya? Bagaimana jika kau menyakiti seseorang kemarin? Setidaknya orang normal punya etika untuk merasa bersalah. Kau tidak bisa merasakan apa pun, tidak mengerti apa pun, Do Kyungsoo, karena—kau, hanyalah, seorang, mayat berjalan.”

Ketika Kyungsoo merasakan sesuatu menggenang di matanya, Jongin telah membanting buku catatannya dan bergegas keluar dari kafe.

Dan rupanya buku catatan itu sebenarnya tidak memiliki tulisan apa pun, hanya goresan simpul besar-besar dari gumpalan tinta pada kertas-kertas yang robek.

--

Kau tampak muram,” Minseok berkomentar di suatu hari, sekitar akhir Juli, ketika sup lumpur kacang merah tak lagi cocok untuk cuaca panas. Ketika mereka menunggu para pemusik untuk membongkar instrumen-instrumen dan lagu mereka, ia berbalik ke arah Kyungsoo dengan alis terangkat, “Apa yang terjadi?”

Kyungsoo mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat ke awal hari ketika ia baru saja keluar dari tempat tidur, dan menggelengkan kepalanya, “Tidak. Hari ini normal-normal saja. Kenapa?”

Aku tidak tahu,” Minseok menaikkan bahunya, “Kau terlihat sedikit sendu itu saja.”

Selagi Kyungsoo menggigit bibir dan merenungkan mengapa ia terlihat sendu ketika semua orang terlihat ramah-ramah saja, Minseok bercakap-cakap dengan Zitao tentang seorang penulis kaya raya yang belum muncul-muncul di bar selama berhari-hari.

Mereka menyanyikan lagu mereka yang biasa, dengan beberapa improvasi baru, sebelum Kyungsoo menyadari bahwa apa yang Minseok katakan itu benar. Hatinya tidak berada dalam musik.

--

Malam menutupi arus gerungan motor dan pembicaraan manusia di sekitar sosok Kyungsoo yang mematung. Tengah malam telah lewat beberapa jam yang lalu, dan matanya terbakar oleh rasa lelah, namun Kyungsoo tidak bisa tidur, jadi di sinilah dia, menggigit bibir sembari membolak-balik albumnya.

Di beberapa poin—sebelum ia menyadarinya, ia mulai menghitung jumlah foto-foto baru dibandingkan dengan jumlah foto-foto yang telah dicoret. Dan, yang membuatnya kecewa, hampir semua teman-teman SMA-nya pindah atau pergi jauh, dan ia belum membuat catatan baru lagi tentang mereka. Ia mencoba untuk menelepon nomor lama Baekhyun, dan tentu saja, sudah tidak dipakai. Mungkin sudah tidak dipakai selama berbulan-bulan, bertahun-tahun. Berapa lama?

Hei,” sebuah suara muncul di balik keremangan. Kyungsoo melompat satu setengah meter dari tempat duduknya, nyaris memekik.

Namun entah mengapa orang yang berdiri di balkon sebelah tidak tampak begitu asing. Dia punya senyum yang canggung, seakan-akan menggerakkan wajahnya seperti itu menyakitinya, “Apa yang kaulakukan di situ?”

Kyungsoo ragu untuk memberitahu yang sebenarnya. Biar begitu, dia tetap melakukannya, “Menghitung jumlah orang yang hilang kontak denganku.”

Dan?”

Ada banyak,” dan ia benar-benar merasa ingin terisak. Kegaduhan samar dari pertemanan dan tawa dan persahabatan, hal-hal yang tidak lagi ia miliki, mendorong air matanya untuk keluar dan ia menoleh kembali pada foto-foto yang lecet di bukunya. Senyuman-senyuman yang lama dan memudar, juga nyeri yang meresap dalam sebuah molekul tiap satu waktu. Ia tidak mau menangis, dan ia tidak tahu mengapa ia menangis, “Baru kemarin aku… aku berteman dengan mereka semua tapi… di sini dikatakan bahwa… mereka pindah? Mereka pergi? Mereka meninggal? Kenapa? Apa aku benar-benar sendirian?”

Pria di balkon sebelah menghembuskan kabut dan awan yang gemerlapan, menyembunyikan sebuah tawa tertahan, “Ya, kau benar-benar sendirian. Kita semua sendirian, kecuali kau belum hidup cukup lama untuk menyadari itu.”

Kyungsoo membenamkan kepalanya dalam lipatan lengannya dan menangis lebih keras dari yang pernah ia lakukan, dan dia tahu itu karena rasa ini bukanlah rasa sakit yang dapat dilupakan esok harinya.

Ia tidak melihat tatapan kosong pria itu, tidak mendengar rokok lelaki itu jatuh dari sela jarinya ke tanah tiga lantai di bawah.

--

Pagi keesokan harinya Kyungsoo terbangun dengan mata bengkak dan sisa rasa asam dalam mulutnya. Ada album di lengannya, kertas menyayat jari-jarinya, dan dinding penuh catatan hijau membuatnya begitu muak.

--

Aku bukanlah manusia yang baik. Belum pernah,” seorang asing di lift memulai ketika Kyungsoo masuk ke dalamnya. Kyungsoo hampir tersentak, kecuali entah mengapa ia tidak kaget mendengar suara ini. Timbrenya yang rendah dan pecahan di tiap suku katanya. Semacam keengganan dendam, kenaifan yang malu-malu, berkebalikan dengan kata-katanya, “Aku telah menyakiti semua orang yang pernah benar-benar berusaha untukku. Bahkan diriku. Aku seorang pengecut, dan aku melampiaskannya pada orang lain karena… aku takut untuk mengakuinya.”

Kyungsoo mengangguk, dan mengamati segala hal dari pria yang ada di depannya ini—dasinya yang longgar, bayangan hitam di bawah matanya dan pipinya yang tirus, punggung yang bungkuk, tarikan nafas dada yang menyakitkan, meregang di kemeja putihnya. Entah bagaimana mata bengkaknya terasa seperti asam baterai yang tidak akan hilang begitu mudahnya dengan semug susu. Hatinya serasa dicengkeram saat ia meraih lengan sang pria dan menyentuhnya, “Kau akan baik-baik saja.”

Namaku Jongin.”

Kyungsoo mungkin tidak mendengar suku kata terakhirnya. Tapi tetap saja, namanya begitu familiar saat dia mengulangnya, “Jongin.”

Aku seorang penulis,” kata Jongin, dan pintu lift terbuka seolah diberi aba-aba. Kyungsoo tidak bergerak. Mereka menikmati kediaman, dengung dari kipas angin dan napas mereka yang berisik dan tidak seirama. Dan ketika pintunya tertutup lagi, Jongin bercerita tentang seorang anak yang jatuh cinta dengan menari, dan seorang penari, yang kemudian jatuh terlalu keras, terlampau cepat. Sebuah cerita tentang seseorang bernama Jongin yang tertindas di bawah pengharapan dan tekanan dan menyerah dan berhenti mencintai orang lain, dirinya, hasratnya, aspirasinya. Bukan cerita yang panjang, dan cerita itu berakhir dengan sebuah cerita baru.

Lalu dia menjadi penulis, dan dia menulis tentang seorang penari yang dia cintai dan dia campakkan itu. Keluguan yang hancur di tangannya, tak terelakkan. Orang-orang berkumpul dan membayar demi pesta keprihatinan dan itu membuatnya kaya dan terkenal dan menyedihkan—seseorang pernah menyebutnya menderita, sekali—dan dia pun menulis lagi tentang mimpi yang pupus dan keputusasaan dan melihat bulan dari bawah sumur, dan itu membuatnya lebih kaya, dan lebih menyedihkan, dan lebih terkenal, dan pada akhirnya Tuhan memutuskan untuk mengeluarkannya dari kesengsaraan. Tetapi dia harus menulis sebuah buku lagi, karena ia telah menjadi seseorang yang hidup di atas penderitaan. Ketergantungan parasitisme yang menghisap kesedihan dari tulang orang lain.”

Lift terbuka. Kali ini Kyungsoo mengambil satu langkah maju, dan menarik Jongin bersamanya. Langkah mereka membentuk suatu ritme yang merdu.

Dan ada seseorang yang menarik yang dia temui, yang memohon untuk ditulis. Dia sangat malang, tetapi dia sangat bahagia mengejar mimpi yang mustahil. Dia bekerja di sebuah pabrik dan ingin menjadi seorang penyanyi—meskipun dia tidak dapat mengingat apa-apa. Dia seseorang yang mengalami amnesia yang terpaksa mengabaikan dirinya di tiap penghujung hari dan yang menolak untuk patuh. Seseorang yang berusaha melawan kemungkinan kerugian yang luar biasa, demi sebuah jalan buntu. Sedikit menggelikan, seperti menonton seekor hamster yang berlari di roda sampai mati, menuju pintu keluar yang tidak pernah ada.”

Mereka bertemu di suatu hari pada bulan Juli; hari di mana sang penulis menemukan bahwa dia akan mati. Dia mengundang lelaki ini ke rumahnya, di mana mereka menyalakan kipas angin besar dan membiarkannya meniup hujan uang—uang-uang kertas berjumlah besar. Hari itu sang penulis marah pada dunia, dan iri, dan dia ingin menunjukkan pada orang amnesia itu bahwa dia tidak akan bisa mencapai mimpinya. Bahwa menjadi penyanyi adalah sebuah ide paling bodoh di muka bumi ini bagi seseorang yang bahkan tidak dapat hidup, tidak pernah dapat merasakan kasih sayang atau kehilangan atau kesedihan ataupun kebahagiaan. Bahwa dirinya menjadi seorang penyanyi sama seperti robot yang mengobrol tentang menulis lagu cinta. Konyol dan sangat menggelikan.”

Jongin ingin memamerkan betapa kayanya dia, betapa menakjubkannya hidup setelah kehilangan dirinya dan menyerah pada segalanya. Dia adalah seseorang yang lebih peduli terhadap harga diri kosong belaka dibanding hidupnya sendiri. Orang bilang pesta-pesta besar dengan menara-menara sampanye dan air mancur dari coklat membuat orang bahagia, jadi Jongin memandikan diri di dalamnya dan mengulangi semua itu, dan orang bilang dia bahagia. Dia sangat-sangat bahagia dan—”

Si orang amnesia tidak dapat melihatnya. Ini dia, lelaki yang bahkan tidak dapat mengingat dirinya kehilangan sahabat dan orang tuanya, lelaki yang hidup dari tip dan hitungan sen, sejenis cacing tanah yang paling menyedihkan, dan dia tidak dapat mengerti ketika kejayaan dilemparkan di mukanya. Kejayaan, ketenaran, harta, kekuatan, dejarat. Semua yang Jongin—yang aku—susah payah mendapatkan.”

Jongin menyisir rambutnya dengan tangan, mengginggil kendati hawa sedang panas.

Dan di saat itulah aku menyadari bahwa bukan karena kau yang bodoh. Itu karena aku, Kim Jongin, adalah orang yang dungu. Sepanjang waktu aku hanya mencoba untuk membuktikan pada diriku bahwa aku bahagia, bahwa membuang segala yang pernah aku impikan, begelimang dalam keputusasaan, memamerkan diriku, adalah hal yang benar untuk dilakukan. Aku pindah ke apartemen bobrok yang kau tinggali bukan untuk mencari inspirasi, tapi untuk melihatmu menderita. Untuk mengonfirmasi bahwa kau tengah menderita. Aku menyaksikanmu menyanyi malam demi malam dan berdoa agar kau mengacaukan lagunya dan tak menyelaraskan nadanya dan wajahmu disiram dengan bir. Aku mencoba untuk membobol kepompong kebahagiaanmu karena—karena—aku… aku hanya menginginkan seseorang untuk bersamaku. Di dalam pasir hisap. Tapi kau tidak tenggelam. Saat itu aku salah. Aku salah, dan aku dungu.”

Tapi kau bukan orang dungu,” Kyungsoo memotong.

Mereka bersandar pada susur tangga di balkon kecil Kyungsoo. Kyungsoo membungkuk melewati pagar besi itu, mengira-ngira bayangan yang terpampang di rumput, dengan lengan terlipat di bawah dada dan kepala terayun sesekali. Jongin ada di sampingnya, menopang dagu dengan bertumpu pada sikunya dan menghadap ke arah sebaliknya, kakinya bersilang, lalu ia menatap bintang-bintang ketika Kyungsoo membisikkan, “Kau hanya tersesat.”

Jongin menatap ke arahnya untuk pertama kali, yang sungguhan, dari balik bulu matanya. Cahaya bulan menyinari wajahnya, menyoroti setiap kerut-kerut halus dan kulit seperti-plastiknya, dan menurut Kyungsoo, Jongin bukan main rapuhnya seperti ini, bukan main indahnya.

Aku akan semakin tersesat. Tersesat, dan tersesat, dan kemudian,” bisik Jongin, “suatu hari, poof [1], aku akan menghilang. Aku di mata dunia akan jadi seperti foto-foto di albummu itu bagimu. Dunia tidak akan ingat kehilangan diriku.”

Suara Kyungsoo pecah dan kuku-kukunya mengorek karat ketika akhirnya ia berkata, “Tidak, tidak, jangan poof.”

Jongin mendengus, tipe ejekan meremehkan yang meneriakkan bahwa kau cuma mengatakannya saja, dan membuat Kyungsoo ingin menggenggam bahunya dan berteriak bahwa dia peduli, bahwa dia benar-benar bermaksud begitu—Do Kyungsoo tidak akan mengizinkan Kim Jongin untuk pergi menghilang begitu saja. Tetapi masalahnya dia tidak mengerti mengapa dia peduli, dan Jongin bisa saja benar. Dia bisa saja hanya mengatakannya. Mungkin dia tak peduli. Lagipula ia tidak benar-benar kenal Kim Jongin ini, tidak memiliki kenangan apa pun mengenai apa yang pernah terjadi di antara mereka berdua.

Aku benar-benar ingin mengingatmu, walau hanya untuk satu menit lagi…”

Tetapi jika memang semudah itu, dadanya tidak akan terasa sesakit ini sekarang.

Bahu mereka bersentuhan sedikit, tapi tak ada satu pun dari mereka bergerak menjauh.

 

 

 


[1]

poof1

po͞of,po͝of/

exclamation

1.

used to convey the suddenness with which someone or something disappears.

"once you've used it, poof—it's gone"

 

Amu's note: thanks so much for my lovely saengi, extinction who translate this part! she's so detailed, isn't it? maaf apdetnya lama banget, itu karena saya dan salahkan jadwal padat, Part selanjutnya mungkin bakal agak lama, jadi pembaca punya waktu untuk... siap-siap? Juga, langsung beri tahu saya kalau menemukan typo atau kalimat rancu dan sulit dimengerti. 

 


translated by extinction, beta-ed by amusuk

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
redhoeby93
#1
Chapter 4: Nangis lagi. Menangis lagi.. ;-;
redhoeby93
#2
Chapter 2: Pengen nangis rasanya pas baca huhu TT
Happyeolyoo #3
Chapter 4: NANGIS LAGIIII. ff ini bikin nangis. tiap paragrafnya punya bumbu aneh yang mengandung harum bawang bombay. yaampun, ketidak kuasaan jongin akan takdir membuat dia jadi seputus asa itu. di awal diagnosisnya, dia mati-matian untuk memperpendek hidupnya sendiri dengan merokok. tapi pada ujung hidupnya, dia ingin diberi tambahan waktu. yaampun :""( bisa dibayangin juga betapa berat beban yang ditanggung jongin; baik secara batin dan raga/? paru-paru basah itu emang bikin ngeri, tapi, nggak semematikan itu kalo authornya bisa bikin jongin punya tekad buat sembuh /lah, emangnya ini ff gue/ hiks. angst banget. waktu jongin mati, udah langsung nangis lagi deeh. air mata rasanya nggak bisa berhenti pas baca chap ini. padahal chap satu aku nggak sempet nangis, chap dua cuman dikit doang, chap tiga banjir air mata, chap empatnya malah banjir bandang :""(( authornim, good job banget bisa terjemahin ff dengan tata bahasa yang rumit dalam bahasa inggris. daaaan, kalo boleh tahu ada rekomendasi ff translated authornim yang angst juga. hiks. pengen baca ff yang sedih-sedih biar bisa menghayati hidup /slapped/
Happyeolyoo #4
Chapter 3: backsound nya crosswalk nya si jokwon. yaampun, chapter ini walau ada anuanunya tapi tetap bikin aku nyesek dan nangis. meres air mata saat tahu kalau baekhyun ternyata udah meninggal; meninggal karena kecelakaan yang merenggut kemampuan Kyungsoo untuk mengingat. dan entah kenapa, tiap kali ada nama baekhyun, pasti bawaannya langsung sedih dan nangis. ditambah lagi sama keputus asaan jongin. dan, bagian akhir-akhirnya malah bikin nangis banget. yaampun. takdir mereka benar-benar rumit.
Happyeolyoo #5
Chapter 2: nyesek, nyesek, nyesek. jongin bicara panjang lebar tentang apa yang udah dilaluinya dengan kyungsoo, tapi, keesokan harinya kyungsoo udah lupa. dan udah kebayang gimana sakitnya jongin. apalagi jongin kena nasib buruk, dan dia punya pemikiran sempit pula. tapi, buat apa hidup /coret/ kalo emang gak ada harapan. kyungsoo yang jadi harapannya pun juga nggak bisa diharapkan /asdfghjklasdfghjkl/
Happyeolyoo #6
Chapter 1: aku pernah baca ff ini di ffn kali, ya? aku inget pernah baca ini di ffn, dan baru tahu kalo ff ini udah ditranslated sama beberapa author dan dipublish di beberapa lapak. hmm, kurang tahu juga sih. baca ff ini karena pengen baca yang sedih-sedih. dan prolognya udah bikin ngenes. huft.
OXElvira #7
Thank you so much for this translate, using very good diction and very smooth phrase
Hyerra
#8
Chapter 4: Jadi aku disini lagi. Temenku selalu bilang aku gila karna aku stuck sama satu ff aja. Walaupun aku tetep baca ff lain, tetep aja aku akan terus terusan baca ff ini. Aku berenti ngitung saat aku baca ff ini ke 17 kalinya versi asli ataupun versi indo yang kamu buat. Dan ff ini ga pernah gagal bikin aku nangis. Aku cuma mau bilang, makasih buat kerja hebat kamu ini. This is my life. Uh:" )
parkhyera
#9
Chapter 4: Aku udah baca versi aslinya..
Dan aku pengen baca yg versi Indonesianya..
Good job! Bahasanya smooth..
Makasi yaa..