part two: dinding yang tak kasat mata

Anterograde Tomorrow [Indonesian]

part two: dinding yang kasat mata; word count: 6637

 

 

“Aku Jongin, dan aku di sini untuk—”

“Menulis.”

Rahang Jongin mengayun terbuka, kekejutan terpampang pada sepasang alisnya yang miring. Detik demi detik berlalu, bergerak dengan cepat di atas garis tipis kebimbangan. Di luar jendela, rumput menghilang ke dalam langit, warna-warna berduri dan kalibut cerah.

Jongin baru tenang dan bersandar pada pintu ketika ia mendapati album Kyungsoo tergeletak dalam keadaan terbuka di atas konter dapur, “Oh. Jadi kau sudah membaca catatanmu?”

“Yap,” Kyungsoo mengangguk, tidak terlalu menangkap ekspresi kekecewaan sekilas pada wajah Jongin.

Hari ini percakapan dilanjutkan di apartemen sebelah—apartemen Jongin. Ruangannya bercat putih polos dipenuhi dengan gumpalan-gumpalan kertas, kaleng-kaleng bir setengah kosong, dan segudang bentuk-bentuk tak berwarna: seprai rapuh dan terdistorsi di atas kasur; permadani-permadani yang menjuntai lemas seperti bendera pernyataan menyerah. Beberapa puntung rokok kecil beserta pil kuning diatur di atas meja kopi plastik, membentuk sebuah nama, “KYUNGSOO”. Semuanya adalah lapisan tipis dari kerapuhan putih, nyaris tak dapat menahan asbes post-modern. Itu membuat Kyungsoo merasa kecil dan mengambil semua dari diri Jongin, membalut semua langkah-langkah lesu dan bulu matanya yang panjang.

Kyungsoo berpikir bahwa Jongin mengumpulkan semuanya dalam ruangan secara bersamaan. Terhampar di atas dipan, Jongin adalah tipe lelaki yang cocok dengan tempat seperti ini, mungkin, atau tipe lelaki yang telah terbiasa dengan kepalsuan kelas tinggi ini. Tipe lelaki yang kembung, namun kosong, dengan bayangan yang jatuh di antara emosi dan respon.

“Kau tidak suka tempat ini, bukan?”

“Semuanya hitam dan putih, sama sekali tidak terlihat seperti rumah si—”

“Ini,” Jongin berkata tiba-tiba.

Kyungsoo hampir kurang cepat untuk menangkap catatan-tempel kuning tersegel yang Jongin lemparkan padanya. “Apa ini?”

“Ayolah, kau pasti mengenali ini.”

“Bukan, maksudku, mengapa kau memberikan ini padaku?”

“Kau yang bilang ruanganku hitam putih,” Jongin mengangkat bahu, lalu menyandar kembali pada dipannya hingga rongga kerongkongannya terlihat dan tiba-tiba ia adalah semua ujung-ujung bergerigi dari dagu dan tulang rawan dan siku, buku-buku jari, dan kuku. “Jadi warnailah. Aku yakin kau sangat ingin melakukannya. Dan lihat, warnanya adalah warna matahari. Membuatmu merasa hidup, kan?”

“Kau buruk.”

“Tatapan peringatanmu,” Jongin menyeringai, “adalah favoritku.”

Karena itu Kyungsoo mengalah, meski hanya setelah ia mengatakan, “Panggil aku hyung dari sekarang. Konyol sekali betapa tidak sopannya kau ini.”

Jongin hanya tertawa meremehkan, asap meledak seperti awan kerlap-kerlip di sekitar kepalanya dan mulutnya menganga lebar dalam keriangan. Menarik sebuah kursi ke dinding terdekat, Kyungsoo membantu dirinya naik, setengah sempoyongan seraya merobek bungkus pertama dan menyelipkan ibu jarinya pada lembar pertama. Meluruskannya pada sudut tegak lurus, Kyungsoo menjalankan jempolnya pada ujung-ujung kertas dan meratakan sudut-sudutnya. Dinding itu mendiang hangat dari sinar matahari dan suara dengungan Jongin terdengar menghibur dari belakangnya, kabut dari kata-kata sepele melintas pada ringisan sayu.

“Apa kau pernah bertanya-tanya tentang ini—berapa banyak pukul 10 yang kau lewati dengan melakukan hal yang sama persis sebelumnya, dengan tembakaun lem yang sama, ember berisi kelereng yang sama dan mainan dari hari sebelum hari sebelum harinya lagi sebelum semua dari hari-hari kemarinmu? Berapa kali kau duduk di meja makanmu dan bertanya-tanya apakah besok kau akan mengingat hari ini?”

Seiring waktu, Kyungsoo menyadari bahwa Jongin bukanlah menanyakan pertanyaan. Namun menjawabnya. Mengisi jejak kaki yang Kyungsoo tinggalkan. Lembut dan memikat, tanda titik yang rusak oleh konsonan-konsonan dan vokal yang meruncing pada ketidakterbatasan. Pandangan yang menyelam jauh, jauh, begitu jauh, tersesat entah di mana dalam pandangan Kyungsoo sembari Kyungsoo mengobarkan dindingnya dengan selapang kebakaran emas.

“Pernahkah kau berpikir bahwa kau tidak bisa mengingat karena tak ada hal untuk diingat? Jika kau terus melakukan hal yang sama setiap hari dalam seminggu, setiap minggu dalam sebulan, setiap 12 bulan dalam setahun, tidakkah ingatan kehilangan fungsinya? Apa yang akan terjadi—menurutmu—jika kau mulai merusak rutinitas itu?”

Mereka menghabiskan malam seperti ini. Kyungsoo tidak pergi ke bar dan tidak menyanyi, hanya mendengarkan sajian dari bisikan Jongin dan desir perkamen di bawah kulitnya, detak nadinya meresap ke dalam retakan-retakan tak kasat mata dari ruangan bercat putih itu. Proses dari meninggalkan rutinitasnya Jongin lakukan dengan begitu mudah.

Pada suatu poin Kyungsoo selesai dengan catatan-catatan tempel itu dan Jongin selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya. Mereka berada di posisi lama mereka di atas sofa dan kursi tangan, bersenang-senang dalam fajar, ketika sebuah nada mengendap di antara mereka. Nada itu berkembang, lancar tanpa kesukaran, diawali dari akhir dan diakhiri pada awal, dan membuat senar yang tak terlihat dari lidah Kyungsoo dan jari Jongin, mengangkatnya layak benang boneka di atas pangkuannya.

Saat mereka akan tidur, Kyungsoo membentuk baris-baris merdu, a-flatb-sharp-minorJongin lihat tanganmu menariJongin aku sangat menyukaimu; Jongin mempertegas irama lagunya, empat per empatempat per tigahyung apa kau senanghyung jadikan aku fosil dalam waktumu.

Pertanyaan terakhir Jongin adalah pertanyaan yang lembut, dan ia menggumamkannya tepat ketika Kyungsoo menutup mata, “Sudah berapa kali kau abaikan seseorang yang begitu penting?”

--

Juli adalah bulan terkejam, dan hari terakhirnya adalah yang terpahit.

“Orang-orang,” Kyungsoo berkata, dan ia sangat lelah hari ini. Tulangnya sakit dan rusuk menembus paru-parunya dan ia tak bisa bernapas, semuanya menyakitkan dan berputar, menyakitkan, berputar. “Orang-orang telah pergi. Mereka semua telah pergi.”

Jongin terus menatapnya. Kyungsoo bergetar dan mencengkram albumnya begitu erat, kertas hancur di bawah jarinya tapi mungkin ia memang ingin menghancurkannya. Mungkin ia memang tak begitu ingin mengingat. Mungkin ia dapat mengalami kecelakaan lagi dan membuat semua ini pergi, “Baekhyun ia--aku--aku mencoba untuk menemuinya--di sini mengatakan,” ia membuka albumnya dan menunjuk sebuah halaman lapuk, wajah dalam sebuah foto pada halaman itu nyaris tak dapat terlihat akibat sentuhan-sentuhan berkilap, “di sini mengatakan bahwa ia pindah. Lihat, katanya nomornya sudah tak lagi digunakan. Tetapi Baekhyun adalah teman SMA-ku. Sahabatku. Aku hanya--aku benar-benar ingin tahu mengapa ia pindah. Ke mana ia pindah. Yang ingin ku lakukan hanyalah untuk memperbaiki segala hal kalau-kalau kami pernah bertengkar.”

“Jadi aku menelepon ibunya, dan aku bisa mengingat bagaimana ia memelukku pada saat kelulusan dan memberitahuku bahwa aku layaknya seorang anak baginya, dan bahwa aku jauh lebih berperilaku baik dari pada Baekhyun, dan bahwa jika aku suatu saat membutuhkan nasihat dari seorang ibu aku harus meminta darinya—dan Baekhyun meninju bahuku dan semua orang tertawa saat itu dan itu—tapi ketika aku meneleponnya hari ini ia hanya… masih dirinya namun ia terdengar… ia sangat… lelah. Frustrasi. Jongin ia muak olehku.”

“Tidak,” Jongin memucat, “Kau tidak benar-benar bertanya tentang Baekhyun, kan?”

“Dan ia berteriak padaku, berkata untuk tidak meneleponnya lagi dan lalu ia meminta maaf. Padaku. Karena ia bahkan tak bisa menyalahkanku karena meneleponnya untuk mengingatkan bahwa Byun Baekhyun sudah mati. Bahwa ia tewas dalam kecelakaan yang sama denganku. Bahwa aku yang selamat, tapi bukan Baekhyun.”

“Dengar, hyung, ini semua bukan benar-benar salahmu—”

“Sudah berapa kali kulakukan ini, Jongin? Berapa kali aku harus meneleponnya dan bertanya ke mana anaknya yang sudah mati pergi? Jongin apa yang selama ini kulakukan? Mengapa seseorang tidak… mengapa aku tidak menulisnya? Mengapa?”

Jongin tak menjawab. Ia bergerak, sedikit saja, dan merosot pada susuran tangga.

“Apa kau tahu tentang ini?” Kyungsoo bertanya, akhirnya, setelah hitungan detik masuk ke menit, uratnya meledak ke dalam teriakan dahsyat ketika Jongin lagi-lagi gagal untuk menjawab, “Kau tahu tentang ini, kan? Mengapa kau membiarkan aku melakukan ini?”

Dengan sebuah desah, Jongin merebut album itu dari pegangan Kyungsoo, “Kau tak berencana untuk menuliskannya, bukan, hyung? Kau marah tapi tak berarti kau akan melakukannya, kan? Apa kau berpikir ini semua akan pergi ketika kau bangun lagi?”

Meski Kyungsoo sempat memprotes, ia tidak begitu memiliki apa pun untuk dikatakan. Jongin mungkin benar. Rasa bersalah yang berat, dan mungkin sedikit kemarahan, mengendap dari kelembaban pada telapak tangannya.

“Takut. Kau takut. Lebih baik membuka kembali luka orang lain daripada berjalan di atas risiko untuk membuka ulang lukamu sendiri, karena waktu menyembuhkan lukanya, tapi tentu tak akan menyembuhkan lukamu. Selagi kami terus berjalan, kau akan tetap terjebak di sini sendirian, menangisi hal yang sama setiap harinya. Kau tahu itu. Dan kau membenci dirimu untuk mengetahui itu—” Jongin menggenggam pergelangan tangan Kyungsoo, merendahkan suaranya hingga yang tertinggal hanya air surut dan aliran, “Itu bukan salahmu. Mencoba untuk melindungi dirimu tidak salah.”

Kyungsoo mengambil sehembus napas kasar dan sebelum Jongin dapat memulai lagi, ia menarik tangannya dan menyambar lagi albumnya. Menelan kembali sengatan yang ada di hidungnya, dengan tergesar-gesa ia menulis, “meninggal empat tahun lalu (13 Juli 2012)” di atas senyum lebar Baekhyun. Mungkin tulisannya sedikit rusak, sedikit terguncang, kabur oleh celepuk-celepuk kecil dari cairan saline. Mungkin Jongin menggelengkan kepalanya. Mungkin ia akan menyesali ini di setiap pagi yang akan datang mulai dari sekarang.

Tapi setidaknya ia tidak akan tertinggal.

--

Jongin membawa masuk pagi pertama Agustus dan dua kantong kertas coklat berminyak, melemparkannya asal-asalan ke meja makan kecil Kyungsoo di dapur seraya berbalik dan mengatakan, “Kau memberikan kunci apartemenmu padaku kemarin.”

“Aku tahu,” Kyungsoo menunjuk sebuah catatan yang ada pada dinding, namun ia berpikir bahwa bahkan tanpa catatan itu ia sudah tahu. Semua hal tentang Jongin baru tapi akrab, tiba-tiba tapi hangat, entah bagaimana, seperti sesuatu yang mengelakkan bagi pikirannya namun tertanam dalam lubuk hatinya.

“Seberapa banyak yang kau tahu?” tanya Jongin, sembari mengeluarkan telur-telur panggang dari kantong yang ia bawa dan bekerja di dapur Kyungsoo seakan-akan dapur miliknya sendiri.

“Namamu Jongin, kau tetanggaku,” Kyungsoo mengikuti langkah Jongin dari jajaran lemari ke ruang makan, “Kau pernah menari, tapi kau meninggalkannya untuk menjadi novelis, dan kau memiliki senyum sedih dan kau selalu merokok karena… kau seka—”

Suara kertas yang dirobek dari bahan metal, ketika Jongin mengambil album Kyungsoo di konter dapur, membuka halaman terakhir, dan merobeknya, hampir terlalu keras untuk telinga. Kyungsoo terbungkam saat melihat Jongin mengeluarkan korek api dan menyalakannya pada halaman itu, “Kau tidak perlu tahu. Aku adalah salah satu halaman yang akan diabaikan di kemudian hari. Halaman itu bahkan bukanlah halaman yang cantik. Tetapi hanya darah dan air mata di atas ampas kertas dan, sejujurnya, lebih baik jika tak ada halaman tentangku.”

“Tapi—”

“Lupakan saja.”

Ketika Jongin pergi, Kyungsoo sembunyi-sembunyi menulis ulang, membersihkan debunya dan menyimpannya dalam sebuah kaleng. Ia melakukan ini bukan karena ia ingin mengingat Jongin mulai hari ini, tapi ia ingin Kyungsoo besok mengetahui seorang anak di balik senyum rahasia Jongin hari ini. Ia ingin Kyungsoo besok mengetahui bahwa di balik Jongin yang melayang bersama puntung rokok, yang melempar kembali pil bersama segelas susu, adalah seorang Jongin yang dapat tertawa dengan seluruh wajah dan tubuhnya. Seorang Jongin yang menggunakan topi baseball-nya terbalik dan mengembungkan pipinya di saat-saat tak terduga. Ia adalah seorang anak dengan luka seorang pria dewasa, seorang romantis terlembut yang sembunyi di balik cangkang keras sinisme.

Meski Kyungsoo tak memiliki foto kali ini, ia berpikir bahwa ia tak begitu membutuhkan foto. Kata demi kata tertumpahkan dengan sendirinya, permintaan di setiap akhir coretan, dan Kyungsoo berpikir bahwa kata-kata itu menggambarkan Jongin lebih baik mengalahkan foto apa pun dari kerlipan bintang langka di mata Jongin. Dari cara Jongin memanggilnya hyung. Dari bagaimana Jongin membalikkan topi mereka dan mengatakan bahwa mereka sama.

Ia tidak menulis Jongin sekarat.

--

Laki-laki pada halaman terakhir di album Kyungsoo adalah Jongin pada hari-hari tertentu, seorang penulis pada hari-hari yang lain, dan orang asing pada pertemuan singkat di lift. Di hari-hari bagus ia memiliki corak kulit kuning langsat, dan pada hari-hari buruk kulitnya semu kuning seperti sebuah hukuman. Terkadang ia adalah seorang anak duduk di balkon sebelah, kakinya berayun di pinggiran dan sebatang rokok di antara bibir keringnya, lengannya menyeruak dari balik pagar berkarat. Terkadang ia adalah seorang pria lelah yang bersandar pada dinding, tenggelam dalam hujan dengan rambut basah dan punggung yang membungkuk. Terkadang mereka berbagi sedetik keheningan di koridor, selain dari itu berbicara berjam-jam dengan mata mengantuk, di balik pemisah tebal berupa asap indigo dan ringlet biru. Ada kalanya Kyungsoo merasa sakit melihatnya, membuat dada Kyungsoo berdenyut nyeri oleh sesuatu yang lebih berat dari rasa kasihan, tetapi kebanyakan waktu melihat pria itu membuat kepala Kyungsoo ringan dan pening.

Dan meskipun Kyungsoo tak merekam rinciannya, selalu ada saja sesuatu ketika mereka memiliki kontak. Ketika mata mereka bertemu, ketika mereka terkapar bersama menatap langit malam, sentuhan dari buku-buku jari mereka di antara napas pendek. Seperti sesuatu yang misteriusnya hangat, ringan, dan sementara. Sedikit seperti kunang-kunang. Semacam sesuatu yang tinggal cukup lama di telapak tangannya namun menghilang di saat ia belajar untuk menginginkannya. Semacam sesuatu yang memberitahunya bahwa hal ini pernah terjadi, dan di lain waktu juga, akan terbang pergi. Lolos dari jarinya bak kenangan fana.

Tapi hal semacam sesuatu ini mungkin tidak romantis. “Aku mencintaimu,” adalah kata-kata yang tak pernah terucap. Terlalu pasti, terlalu mendadak tanpa motif, bukti nyata, penjelasan rasional karena pada tiap penghujung hari Jongin adalah orang asing, kadang Jongin adalah sebuah buku, tapi ia tak pernah lebih dari seorang teman. Waktu menjaga mereka tetap pada sebuah jarak, sebuah pemisah tak terlihat dan tak dapat ditembus.

Hari-hari datang dan pergi dan Kyungsoo menemukan sebuah batas antara jangan pergi dan selamat malam. Tentu saja Kyungsoo sangat ingin menggapai Jongin dan menariknya kembali ke dalam. Ia berpikir bahwa mereka cocok sebelumnya, meski di antara mereka berdua tak ada jari kaki yang terjalin atau tangan yang saling berpegangan. Hanya ada lautan pesan teks dan gelombang musik yang lambat. Mungkin mereka memang hanya sekedar itu.

Dengan sekeletik detik ia selalu melangkah kembali ke dalam, “Selamat malam.”

Dengan Kyungsoo dan Jongin mungkin tak ada roman, tidak dalam definisi sesungguhnya dari kata tersebut. Tapi mungkin ada sedikit dari yang lain, di antara kenyamanan dan kebutuhan, di antara harapan dan keyakinan, di antara tengkuk Kyungsoo dan kerutan telapak tangan Jongin.

--

Mereka adalah dua jiwa yang melayang di atap Menara Samsung, tujuh-puluh-tiga lantai ke dalam malam, hampir cukup tinggi untuk meniup bintang ke bentuk rasi, tapi masih terlalu dekat dengan bumi. Kyungsoo menghitung jumlah pil yang ada di dalam botol oranye Jongin dan Jongin melihat asap mendesir di udara dan menghilang.

“Bagaimana rasanya?”

“Apanya?”

“Dilupakan.”

Jongin meletakkan lengan di bawah kepalanya, dan mereka menatap bulan yang gelap dan bintang-bintang tertanam dalam awan. Ia menaik dan turunkan rahangnya beberapa detik sebelum sebuah jawaban muncul, dengan suara serak, “Seperti dibunuh. Disingkirkan dan dihapus melawan keinginanmu.”

“Dan bagaimana rasanya melupakan?”

Kyungsoo menatap langit dalam-dalam, “Sama seperti sekarat juga,” dan belum pernah sebelumnya ia begitu menginginkan untuk hidup sedikit lebih lama. Lutut mereka bersentuhan. Kyungsoo menghirup asap yang Jongin hembuskan. Malam ini mereka berbau tinta, hujan, katun, jajanan pinggir jalan, dan satu sama lain.

“Kau tahu,” Jongin berbalik, sekerjap kemangkiran di wajahnya, “hyung, saat dulu aku menari, aku menyukai asistennya. Dia orang Cina. Lu Han. Cinta pertamaku, kurasa. Aku menghormatinya, mengikutinya, dan dia menjagaku. Dan lalu suatu hari aku rusak. Retak di bawah tekanan dan rasa sakit dan aku muak oleh segalanya. Aku melampiaskan semua itu pada dirinya. Dia mencoba untuk memperbaiki diriku. Semua orang mencoba. Tapi kau tahu, memperbaiki seseorang tak seperti memperbaiki sebuah mainan. Ketika kau memperbaiki seseorang, kau membiarkan dirimu ikut rusak.”

Salah satu dari mereka menelan ludah, lebih keras dari bisikan Jongin, “Dan aku menghancurkannya dalam terlalu banyak kepingan.”

“Editorku—Oh Sehun—dia menyebalkan. Tapi dia efisien. Memperbaiki kepingan diriku kembali meski dengan cara yang salah dan kepalaku ditempel terbalik. Intinya dia memaksa semua kepingan diriku kembali hingga aku tak kehilangan apa pun. Kami terus bersama-sama. Dia memeliharaku seperti anjing tersesat, kurasa, dia baik untukku.”

“Dan, lalu suatu hari dia memberitahuku, dia mengencani seseorang dari sebuah perusahaan balet. Saat itu aku hanya bilang, oke, bagus, tapi penari terkadang sensasionil. Dan ia mengatakan, tidak, yang ini baik, namanya Lu Han, kalian harus bertemu, bukankah kau bilang kau pernah menari?”

“Oh—”

“Jadi kami bertemu. Memang tak terelakkan. Tapi kau tahu? Dia masih ingat tipe kopi yang kuminum. Delapan tahun dan dia tak berusaha untuk melupakanku. Dia terlihat begitu buruk meski telah bersama Sehun. Kau tahu mengapa? Kenangannya. Kenangan yang membunuhnya. Aku tak bisa menolongnya. Begitu juga Sehun,” Jongin meringis, dan tiba-tiba asap tak lagi mengalir dari mulutnya tapi tersendat-sendat keluar dari sela-sela giginya, “Tidak ada orang yang dapat menolongmu dari kenangan.”

Begitu jelas ke mana arah pembicaraan Jongin. Kyungsoo berusaha untuk melawan kata-kata selanjutnya darinya, tapi akhirnya tidak mungkin.

“Bagus jika kau tak bisa mengingatku, sungguh, karena dengan ini aku dapat menolongmu. Dengan ini ketika aku melakukan kesalahan, kau tak perlu membawanya. Dilupakan tidak begitu berat dibandingkan dengan diingat. Aku bisa bertahan sekarat di tiap penghujung hari, hyung. Melupakanku tidak apa-apa.”

Kyungsoo tak mendengar kata-kata nyaring Jongin, “lagipula aku akan tetap mati,” yang hilang di suatu tempat di bintang, namun mendengar kata-kata bisu, “jangan biarkan aku mati,” darinya ketika Jongin menyelipkan jarinya ke sela-sela jari Kyungsoo. Jadi ia mendekat dan menekan hidung mereka bersamaan, memberikan Jongin oksigennya dan aroma permen di lidahnya, dan membawa bayangan nikotin dan pembunuh rasa sakit dan opioid pahit.

“Kau tahu mengapa kau terlihat begitu tua? Karena kau berpikir seakan-akan tak ada yang pantas diingat, karena tak ada yang ideal, dan kau benar—tidak ada yang ideal. Tetapi setiap momen pantas diingat, Jongin. Setiap kau membuat kesalahan maka aku dapat melihat seorang manusia, setiap kau terjatuh maka aku dapat melihat cinta menepismu ke darat… dan aku tak peduli jika dalam delapan tahun aku akan terlihat buruk. Mungkin terjadi karena aku tidak punya kenangan, dan aku tak benar-benar bisa tersakiti, tapiuntukkuuntuk mencintai dan menyakiti dan merusak diriku sendiri untuk seseorang yang berharga

Jongin menangkupkan rahang Kyungsoo dan memiringkan dagunya dan kenangan pertama mereka adalah tentang satu orang yang mengecup kegelisahan pergi. Dan anehnya, itu adalah kenangan yang tidak mampu untuk Kyungso rekam.

--

“Dengar, sebelumnya aku pernah mengatakan aku ingin menulis tentangmu,” ucap Jongin. Pasir bergerak di bawah kaki mereka; tuturan samar ombak laut membawa suaranya pergi, “Masalahnya adalah, meski begitu, aku tak benar-benar ingin menulis tentangmu. Aku tidak mencoba untuk menulis sama sekali, maksudku. Menulis adalah mengamati, tapi aku hanya mencoba untuk membujuk dan… kali ini aku ingin mengamati. Aku ingin belajar tentangmu.”

Kyungsoo menunggu Jongin berhenti batuk untuk merespon, “Tetapi aku telah memberitahumu segala tentang diriku. Sepanjang sore. Dan aku sudah mulai memberitahumu selama dua bulan, aku tak tahu apa lagi yang tersisa untuk di

Kalimatnya berhenti ketika Jongin meletakkan tangannya di lehernya. Jongin memindahkannya lagi ke konjungsi lehernya saat Kyungsoo melenguh terkejut. Seulas senyum menerangi wajahnya, kecil dan entah bagaimana lebar, tak menunjukkan gigi namun lebih cerah dari bulan dan semua bintang-bintang, ketika Jongin mengatakan, “Tapi masih ada sebuah karakter yang belum kau beritahu padaku. Kau telah memberitahuku tentang Kyungsoo yang berumur 20 tahun. Kimchi spaghetti, lelucon garing, makan siang di batang pohon. Dia yang mati. Tapi, kau belum memberitahuku tentang hyung, dia yang hidup, yang menyanyikan lagu-lagu bernada tak selaras di bar, yang menjalani setiap hari seperti hari terakhir dan hari pertama dalam hidupnya.”

“Aku—” Kyungsoo memulai, dan saat itu lah ia menyadari bahwa ia tak bisa mengatakan apa pun. Tangan Jongin terasa hangat dan berat dan sempurna di lehernya.

“Aku ingin mempelajari tentangmu, hyung. Bukan dirimu yang kemarin, atau besok. Aku ingin mempelajari dirimu hari ini. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu, mengapa kau tidak ke bar hari ini, apa yang kau pikirkan pertama kali setelah bangun tidur, apakah kau mudah geli…”

“Ya.”

“Apa?”

“Aku mudah geli,” dan Kyungsoo tidak tahu apa yang ia lakukan ketika ia menempatkan tangannya di atas Jongin, dan merasakan aliran hangat di telapak tangannya, “aku suka tanganmu di sini. Rasanya buruk. Tapi dalam artian baik.”

Jongin mungkin bermaksud untuk tertawa, tapi tawanya malah menjadi batuk yang membuat mereka berdua tertawa. Dan sembari mereka berbaring di pantai berdampingan, dengan pasir di rambut mereka dan laut di jari-jari mereka, Kyungsoo membelai leher Jongin, merasakan udara masuk dan keluar, dan menutup matanya, “Aku ingin mempelajari tentang dirimu juga. Hari ini, aku tak mau melupakanmu.”

Jadi Jongin membantunya mengingat, mengikuti jejak dari semua garis dan sudut dan masa lalu juga masa depan dari Kim Jongin ke dalam kulit Kyungsoo dengan bibir dan bulu mata. Tidur itu laiknya lilin, poliester, sterofoam, wol, grafit dan membungkusnya sebelum ia dapat meraih kembali dan mencoba merenggut ujung jari-jari Jongin.

“Besok,” Kyungsoo berkata, di batas antara mimpi dan kenyataan. Tangan Jongin mengelus tulang selangkanya, menenangkan doanya, “Aku ingin melihatmu menari.”

“Kenapa?”

“Ketika kau membicarakannya, kau terlihat sedikit bercahaya… Aku ingin melihatmu bercahaya seluruhnya. Bersinar. Terpenuhi olehnya. Seperti kunang-kunang?”

Saat Kyungsoo terbangun lagi, ada pasir di bagian jari-jari kakinya, laut di ujung rambutnya, dan kunang-kunang di kamarnya. Selusin kunang-kunang kecil dalam kegelapan sebelum fajar, kerlap-kerlip bagaikan bintang-bintang di air, menyinari kamarnya yang berlangit-langit terlalu rendah dan berdinding yang terlalu sempit. Ia dengan bingung menatap keberadaan kunang-kunang itu, namun lebih bingung lagi dengan keinginan kuat untuk terjungkal kembali ke bantalnya dan tertawa.

--

“Aku di sini untuk menjemputmu,” kata pria di sisi pintu. Namanya Jongin, pikir Kyungsoo, tapi ia tak dapat mengingat di mana ia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Dan waktu ia mengerutkan dahi dan mengecek catatannya, Jongin menariknya lebih dekat dan menciumnya bibirnya sekilas, “Ini harusnya menjadi pengingat yang lebih baik.”

Sebelum Kyungsoo memiliki kesempatan untuk mendorongnya, meski hal itu meragukan, Jongin telah menyandang lengannya di sekitar leher Kyungsoo dan mulai menyeretnya keluar apartemen, “Ayo kita pergi.”

“Ke mana kita akan—” Kyungsoo menyalak ketika Jongin melemparnya ke dalam lewat jendela mobil konvertibel yang terlihat mahal, benda kecil berbahaya yang terpakir di sisi trotoar, dengan eksterior hitam dan interior putih mewah, bahkan tidak repot-repot untuk membuka pintu, “pergi?”

“Untuk melihat kunang-kunang,” Jongin berkata, meredam batuk pada lengan bajunya, dan baru lah Kyungsoo tersadar ketika ia menggunakan sabuk pengaman dan menoleh bahwa anak itu sedang tersenyum lebar, “yang sungguhan.”

“Ke mana kita akan pergi? Apa ada lapangan di sini?” tanya Kyungsoo, tapi Jongin tak banyak bicara, malah menyalakan radio dengan volume tinggi yang mengisi nada pop di udara, dan mungkin untuk menyamarkan senyum puasnya.

Mobil itu meluncur cepat dari gang-gang sempit ke bayangan dari gedung-gedung pencakar langit dan pinggiran kota berumput, semakin dalam ke kedalaman malam. Kyungsoo sempat melihat Jongin menjulurkan tangannya ke luar, menjuntaikannya dengan bebas di jendela, dan memberanikan diri untuk melakukan hal yang sama. Angin menyapu ketegangannya dan menghirup percikan di rambut mereka. Sebuah sensasi kecil, namun cukup besar untuk membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Kyungsoo mulai menyanyi, suaranya gembira dan dapat dibedakan dari suara radio, dan ia tahu bagaimana Jongin memperhatikan arus tak terlihat yang berputar dari ujung jari-jarinya. Menyusut dan meninggi seiring dengan warna melodinya yang mengembara.

Alih-alih pergi ke lapangan, atau bahkan taman, Jongin mematikan mesin mobilnya di depan sebuah gudang tak terpakai. Kyungsoo berbalik ke arahnya sembari menganga, “Bukankah kau bilang kita akan melihat kuna—”

“Tunggu,” Jongin memotong, dan Kyungsoo mengerti ia tidak akan diberikan informasi sesingkat apa pun kecuali setelah ini dimulai, jadi ia membiarkan Jongin menyeretnya keluar dari mobil dengan menjalin jari mereka dengan begitu mudahnya, menjanjikan hal-hal tentang asap berwarna dan cahaya dan sihir yang terdengar tak memiliki sedikitpun hubungan dengan kunang-kunang yang sesungguhnya.

Memang sebenarnya hal ini tidak menyangkut apa pun tentang serangga, namun menyangkut semua hal tentang sepasang sarung tangan dan sebuah ledakan di atas mereka dan seringai ganjil pada bibir Jongin saat ia memerintah Kyungsoo untuk memperhatikan. Pintu tertutup, sinar bulan meremang, dan Kyungsoo kehilangan napasnya.

Jongin adalah sebuah pandangan sekilas dari otot keras dan keanggunan yang meluncur melewati ruang, tetapi lebih dari itu, sungguh-sungguh ada garis cahaya berlari cepat dari telapak tangannya. Sungai dari cahaya hijau, kuning dan biru yang bersinar dari tangannya melayang layaknya asap neon dan air. Ia melukis jari-jarinya dengan presisi yang dekat, dan berkilauan.

Tak ada musik, hanya melodi hening dari paru-paru mereka: hirupan napas Kyungsoo yang tak terbatas, beberapa diminuendo panjang ketika ia sempat ingat untuk bernapas sama sekali; hembusan napas cepat Jongin, beberapa crescendo tajam ketika kaki-kaki yang lembab meluncur di atas basah dan telapak tangan yang mengiris pasang surut dari pendaran cair ke dalam malam.

Dan lalu Jongin membuat gestur kepada Kyungsoo untuk mendekat, sekedar ayunan sederhana dari sebuah jari telunjung sungguh, tapi jantung Kyungsoo ada di tenggorokannya saat ia berdiri terhuyung-huyung dan jantungnya hampir melompat keluar ketika Jongin tiba-tiba mengajukan tangannya ke bawah bagian depan kemeja Kyungsoo, menyapu lintasan dari leher ke dadanya dengan telapak tangan terbuka. Meski warnanya tak bertahan lama dan lekas menghilang ke udara, sentuhan Jongin tersisa tetap panas dan tak terlupakan di kulitnya.

“Kunang-kunang sungguhan,” Jongin menyeringai, “menyinari orang dari dalam hingga luar.”

“Apa yang sebenarnya kau katakan?” Kyungsoo tertawa, dan semakin keras ketika ia menangkap Jongin memerah dari leher ke atas.

Jawaban Jongin diawali dengan sebuah gagap namun menghilang di bawah penderitaan dari batuk-batuk dan gemetar gelisah, bahu berlipat. Ada titik-titik keringat di dahinya.

Entah mengapa, hal itu tidak terlihat benar.

--

Ada seratus dua puluh dua kilometer jarak dari rumah besar Jongin ke bar rundown Kyungsoo, dan di antara itu Kyungsoo mengenggam tangan Jongin di atas setir dan menariknya, “Apa kau baik-baik saja?”

“Apa maksudmu?”

“Pil-pil itu—Tessalon Perles, Phenergan, Codeine, dan bagaimana kau bahkan mengeja yang satu ini? Dan batuk-batukmu, dan apa yang—?” Kyungsoo menarik benda kecil berbentuk sabit dari kompartemen sarung tangan, “Kauapakah inipenampung muntah?”

Jongin memucat, “Bukan.”

“Kau sakit, iya kan?”

Gemuruh keheningan itu adalah hal terlantang yang pernah Kyungsoo dengar. Akhirnya Jongin bergeser, menatap ke kejauhan. Kyungsoo memperhatikan bagaimana jakunnya melompat ke atas, ragu-ragu, dan terjatuh, dan ia tiba-tiba menyesal bertanya. Semuanya pecah, meretak bersama lapisannya saat ia menggaok, “Apa? Tidak parah, kan

“Paru-paruku.”

Tidak ada apa pun di udara kecuali napas berat, dan mungkin sebuah isak dalam kerongkongan Kyungsoo.

“Berapa, berapa bulan—hari—?” Ia bertanya, dengan letih, lebih letih daripada abu yang hancur di ujung rokok Jongin. Menyala dan menghilang menjadi kelabu. Menyala dan menghilang. Menghilang.

“Kata dokter, dua tahun,” dan Jongin berusaha untuk tersenyum, dengan sebuah sendi di antara bibirnya, menggantung seperti ejekan dan kesedihan, “Cukup lama, menimbang bahwa aku baru hidup untuk dua pulu

“Tidak. Berhenti merokok.”

Berkedip pelan, Jongin terjatuh dalam hamburan kecil dari kekek gila. Rasa gelisah itu begitu jelas. “Apa yang akan kau lakukan tentang itu? Lagipula, aku sekarat. Dua tahun, dua dan setengah tahun, apa perbedaan besarnya? Hanya masalah waktu, dan bukan berarti masalah untukmu, lagipula, kau juga tak akan bisa mengingat apa yang kita lakukan

Rahangnya tumpul dan keras berlawanan dengan buku jari Kyungsoo dan Kyungsoo hampir tak dapat percaya ia baru saja meninju Jongin ketika pria itu melayang mundur dan mengantukkan kepalanya ke penyangga kepala. Rokoknya jatuh dan bertengger di atas tempat duduk.

“Ini,” gemetaran, giginya gemeletak, Kyungsoo mengambil puntung itu dan melihat asapnya berputar, “ini yang akan aku lakukan,” dan menyumpalnya ke dalam mulut. Apinya masih di sana dan rasa sakitnya terbakar bukanlah tipe yang membakar, tapi menusuk. Jenis yang merobek daging Kyungsoo, jenis rasa sakit yang mengiris setiap indra dan menyakitkan, sangat menyakitkan.

Mata Jongin tetap teguh ketika Kyungsoo mengunyah dan menelan rokok itu, batu-batu tembakau dan kertas dan filter kasar sekasar pisau di atas luka bakar. Asap merembes ke kerongkongannya dan ia tersedak sedikit, air mata dingin berlinang di belakang matanya. tembakau itu terasa seperti kotoran dan obat dan terasa lebih buruk di bawah tatapan kosong Jongin.

“Jika aku melihatmu merokok lagi,” Kyungsoo menelan semuanya, lidahnya menjerit kesakitan ketika bertemu dengan atap mulutnya, “aku akan melakukan ini lagi. Karena, ya, ya, waktu tidak penting untukku. Akan tetap sama jika aku mati hari ini atau besok, sungguh, kan? Jika kau berpikir kau memiliki hak untuk menjauhkan dirimu dari diriku, mengapa aku tidak?”

“Kau sangat bodoh, hyung.”

Kyungsoo terlalu kesakitan untuk menjawab, tapi dia agaknya setuju.

--

“Aneh, laki-laki penulis itu tak lagi merokok,” Minseok berkata di malam pertama Kyungsoo muncul setelah tak masuk berminggu-minggu, rupanya. Ia mengambil sesapan singkat airnya dan melihat pemusik-pemusik itu bersiap sebelum berbalik ke Kyungsoo, “Biasanya ia merokok hingga beberapa jumlah, aku bersumpah. Dan baju mahalnya, juga. Hampir layaknya ia adalah orang yang baru.”

Memutar lidahnya untuk meraba tanda luka bakar yang ia dapatkan beberapa waktu lalu, Kyungsoo mengikuti tatapan Minseok ke seorang pria yang menahan sebuah seringai merendahkan, duduk di seberang ruangan. Waktu itu sudah jam setengah satu, dan bar sudah penuh oleh orang-orang dan percakapan, tapi sedetik ketika mata mereka bertemu semua yang Kyungsoo lihat adalah pria itu dan bentuk bibirnya, kilat kecil di bawah bulu matanya. Seluruh ruangan itu kosong dalam kilatan detik hingga yang tersisa adalah Kyungsoo dan pria dalam balutan jaket kulit. Hening, tak berwarna, sureal.

Di suatu poin musik dimulai dan Minseok memulai sebuah nada. Kyungsoo menggerakkan rahangnya naik dan turun dengan insting, karena ia tahu bahwa itu adalah tanda baginya untuk bergabung. Mikrofon terasa berat di genggamannya dan ia menunggu suaranya, tak ada apa pun yang keluar. Bunyi parau kering dan kedipan cepat dan rasa panik menyerap ke dalamnya, lebih dalam ketika ia mendengar Minseok mengetuk lantai dalam ketidaksabaran.

Pria di seberang ruangan itu menaikkan alisnya, mengucapkan sesuatu tanpa suara yang tak dapat benar-benar kyungso mengerti, dan menaikkan sebuah tangan untuk sementara. Bingung, Kyungsoo memperhatikan jari-jarinya menari di udara, dan entah bagaimana suara piano muncul entah darimana, bergemerlapan dengan keras dan jelas dan semuanya menyambung, semuanya masuk. Melodi berkelana di tubuh pria itu, menuntunnya ke dalam ujung dan lengkungan dan Kyungsoo berpikir ia adalah pria terindah, seniman terindah di planet ini. Melodi mengalir dari ujung jari pria itu ke dalam hatinya hampir seakan-akan memang itu tujuan keberadaannya.

Di malam seperti itulah di bulan September, atau mungkin Oktober, ketika Kyungsoo menampilkan penampilan terbaiknya untuk seorang penari berjaket kulit. Dan setelah itu, sembari Kyungsoo menunggu Minseok untuk membagikan tip-nya, penari itu berjalan melewati sejumlah meja dengan senyum malu-malu, “Aku tidak punya payung.”

Kyungsoo berkedip, seketika menyadari akan suara hujan yang mengetuk jendela. Minseok menyenggolnya, “Dia bilang dia tidak punya payung.”

Kyungsoo terus mengerjapkan matanya hingga akhirnya sang penari menghela napas dan mengulurkan tangannya di leher Kyungsoo, sebuah gestur yang jelas-jelas pernah ia lakukan lebih dari sekali sebelumnya, dan mulai menyeretnya ke luar, “Ayo, ayo. Antarkan aku pulang, hyung.”

Pada singgungan ‘hyung’, Kyungsoo langsung berpikir tentang halaman terakhir di albumnya, yang tanpa foto, tentang seorang pria yang sebenarnya adalah anak-anak, seorang penulis yang sebenarnya adalah penari, seorang tetangga yang sebenarnya adalah lebih dari itu. Kim Jongin. Halaman itu memiliki catatan di sisinya yang mengatakan untuk berpura-pura layaknya tidak pernah membacanya, karena Kim Jongin tak mau diingat.

Jadi Kyungsoo berpura-pura bahwa ia tidak tahu Jongin adalah tetangganya, “Di mana rumahmu?”

“Aku tahu kau tahu.”

“Aku bersumpah aku tak tahu.”

“Di apartemenmu.”

“Tidak, sungguh.”

“Ya, sungguh.”

Kyungsoo menggerutu, Jongin menyeringai, dan Kyungsoo tahu bahwa ia tak memiliki alternatif apa pun selain membawa Jongin ke rumahnya.

Seoul pada jam satu dini hari berbau tanah lembab, jaket basah, dan pelembut pakaian Jongin. Kyungsoo menawarkan untuk memegang payungnya, mungkin agar buku-bukunya dapat bersentuhan dengan bahu Jongin ketika mereka bertemu dalam garis mereka yang tak paralel. Mereka ada dalam sebuah hubungan yang diringkaskan oleh dua siluet ramping, bahu-bahu yang nyaris tak menyentuh, kaki berderap di trotoar basah entah di antara senja atau fajar. Sebuah gambar penuh dengan naifnya masa remaja, sipu masa remaja dan kegelisahan dan ejaan tiba-tiba dari, “Aku menyukaimu,” dan “apa yang kau katakan,” dan “aku akan menciummu,” dan bibir kasar, belaian lembut, mulut tersenyum dan tubrukan antara buku-buku jari dan pergelangan tangan.

--

“Tidakkah membosankan hanya menggunakan satu warna?” Jongin bertanya saat Kyungsoo berpindah dari sudut ke sudut lain di kamarnya, meluruskan dan membersihkan semua rincian karena semuanya terlihat mengerikan ketika ada tamu.

“Akan membuatku sakit kepala jika tidak,” Kyungsoo merespon, melicinkan kerutan terakhir di syalnya.

“Ya, tapi kau tak akan tahu mana yang penting jika seperti ini. Semuanya hijau. Seperti sebuah lapangan rumput datar. Ada rumput di dindingmu,” Jongin tertawa canggung pada leluconnya sendiri sementara Kyungsoo menyerah bersih-bersih dan merosot di permadani, “Baik, tak begitu humor hari ini, bukan.”

“Jadi kau… apa pekerjaanmu?” Kyungsoo sebenarnya tak benar-benar membuka percakapan itu, karena ia sudah tahu jawabannya dan semua itu sesungguhnya hanya sekedar formalitas, berpura-pura tidak tahu Jongin ketika ia merasa bahwa ia tahu dan ketika ia telah mengingat setiap baris tentangnya dalam album.

“Aku penulis.”

“Kukira kau seorang penari?”

“Dulunya,” Jongin berjalan menyebrang ruangan, memiringkan lehernya sedikit karena langit-langitnya terlalu rendah, dan menjatuhkan dirinya di sebelah Kyungsoo. Kaki mereka berpasangan dengan sempurna, jari-jari kaki yang hampir tak bertubrukan dan semua garis diluruskan, “Saat masih kecil, aku sempat menari balet.”

Kyungsoo meminta Jongin untuk menjelaskan bagaimana itu ballet, karena ia belum pernah melihatnya sebelumnya, dan Jongin memutuskan untuk melakukan demonstrasi langsung dengan jari-jarinya, “Jadi ini adalah kepalanya dan ini adalah kakinya dan, siap, bersedia, mulai” sebuah arabresque, katanya, “dan ketika mereka lompat seperti ini,” dipanggilnya grand jeté, dan “berikan aku telapak tanganmu,” sebuah putaran pergelangan tangannya, jari-jari yang berputar mengeluarkan tawa dari Kyungsoo, “fouetté en tourant,” dan senyumnya berubah menjadi fiksasi penasaran ketika jari-jari Jongin bergerak dengan cepat ke ujung telapak tangan dan ke punggung tangannya, “ini adalah sissonne, satu, dan dua, dan,” mereka berhenti bernapas sesaat, ketika jarinya melintasi pergelangan tangan Kyungsoo dan naik ke lengan bawahnya, lengan, bahu, tulang selangka, leher, bibir bawah, berhenti.

Jongin membuka senyum Kyungsoo menggunakan ibu jarinya, dan mencondongkan tubuh untuk mencorengnya dengan senyumannya sendiri dan ciuman itu manis, murni dan membuat Kyungsoo terombang-ambing.

Tetapi ketika Jongin menyelipkan tangannya untuk mendekatkan dirinya, Kyungsoo menarik diri dengan sebuah tarikan napas, “Tunggu, tidak.”

Masih bingung, Jongin menatap mulut Kyungsoo sembari tergesa-gesa mundur, bertengger di sisi meja kerjanya dengan kurang nyaman, “Aku bahkan tidak… aku tidak mengenalmu. Maksudkumaksudku, aku tidak benar-benar ingat…” dan ia tak melanjutkan kata-katanya ketika Jongin berdiri, menarik tangannya, dan menaikkannya ke atas dadanya. Ia merasakan detak jantung Jongin yang bergemuruh, dan denyut tipis Jongin, dan bisikan Jongin di daun telinganya.

“Dengar,” Jongin berkata, “ini aku, cinta padamu,” dan membawa tangan mereka ke atas dada Kyungsoo, dan Kyungsoo seketika menyadari betapa kencang jantungnya sendiri berdetak dan panas yang mendadak muncul di pipinya, “dan ini, terdengar mirip, bukan?”

Ada permainan di mata Jongin dan tantangan di bagian kecil antara bibirnya dan Kyungsoo tak tahu apa yang ia lakukan, tapi di saat Jongin meletakkan telapak tangannya di tempurung lututnya semuanya terbakar, berubah menjadi jari menggali tengkuk dan lidah yang saling beradu dan sesak napas dan lutut yang bertemu dengan pinggul. Hampir sangat wajar untuk menghancurkan semua barier tak kasat mata di antara mereka, saling menggapai dan menyentuh kenyataan di daging masing-masing. Tangan yang saling memandu, bibir di atas bibir dan mereka begitu pas sempurna satu sama lain, celah menjadi lereng dan kecepatan menjadi kebimbangan. Terjatuh dalam satu sama lain tanpa berakhit sampai mereka menghantam dasar, sampai Jongin telah mendapatkannya terperangkap di dinding, kaki yang membentur bagian dalam pahanya dan napas yang panas di dasar lehernya.

Kyungsoo lupa untuk bernapas ketika Jongin melepas kesunyian, membuka ritsletingnya dan menurunkan jins dan dalamannya di saat yang sama. Ia tak tahu harus melihat ke mana, sesungguhnya, karena ia tak pernah melakukan ini sebelumnya, dan Jongin terlihat lebih tahu prosedurnya saat ia menggenggam Kyungsoo, menyeret jari-jari panasnya hingga Kyungsoo sangat tegang hampir menyakitkan. Ia melawan, oleh insting, dan Jongin terlihat menyadari bagaimana ia berhenti sejenak dan melihat Kyungsoo dari bawah bulu matanya, “Tak apa, kita lakukan perlahan.”

Meski definisi dari perlahan mungkin subjektif, Kyungsoo yakin bahwa Jongin menginjak ke luar batas ketika ia membuka mulut dan menutupnya di sekitar membernya, langsung bergeser ke bawah batangnya, bibirnya berapi-api dan panas dan memabukkan, lidahnya menari di celahnya dan bergesek tak sabar di bagian bawah membernya. Melemparkan kepalanya ke belakang, Kyungsoo mendorong pinggulnya dengan ragu-ragu ke dalam mulut Jongin, meski keragu-raguan itu berakhir di saat Jongin melenguh dan sesimpul kenikmatan terurai ke perutnya. Dari sana di mulai dari panas dan erangan, kuku jari mengikis kulit kepala dan rengekan mengawali terdengarnya desahan, “Jongin, Jongin,” dan raungan rendah mengakhiri gemetar samar di balik gigi terkatup.

Ketika Kyungsoo hampir sampai, Jongin berhenti dan mendorongnya ke dinding, mulutnya menyala dan panas sembari memberi instruksi cepat tentang, “lepaskan,” di antara, “celanaku, sekarang” sentakan dari, “cepat,” listrik, “hyung.” Saat Kyungsoo mengikuti perintahnya dari suku kata ke suku kata, Jongin membuka kaosnya, melemparnya entah ke mana sebelum menghadiahkan Kyungsoo dengan sebuah denai ringan kecupan dari mulutnya ke rahangnya dan lebih bawah, ke lehernya dan ke bahunya, bergerak dengan cepat pada panjang lengannya sampai ia menemukan pertemuan di antara jari-jarinya. Perlahan, dengan matanya sejajar dengan mata Kyungsoo, ia mengisap jari mereka bersamaan. Saat Kyungsoo tergiur oleh hangatnya lidah Jongin, Jongin mendorongnya ke tempat tidur.

Jari pertama yang Jongin sertakan ke dalam Kyungsoo menyakitkan, yang kedua penderitaan, dan Kyungsoo menunggu Jongin untuk menghentikan rasa sakit itu, ciuman singkat yang mengalihkan perhatiannya bersulur di sepanjang lehernya. Ia mulai menenang tepat di saat Jongin mendorong lebih dalam, dan di saat itulah pinggulnya menyentak sendiri. Segelombang kenikmatan menghantamnya hingga mati rasa dan tak bisa berkata-kata; rahangnya terbuka tapi tak ada apa pun yang keluar. Jongin mengingat tempat itu dan ketika ia menggantikan jari dengan membernya, tetap tempat itulah yang ia hantam, titik yang sama yang membuat Kyungsoo melepaskan segalanya. Suara antara sebuah sungutan dan teriakan keluar dari kerongkongannya. Jongin meremas pahanya sebelum menyodok lebih dalam lagi dan lebih cepat, lebih kasar, terus, dan terus hingga Kyungsoo mengeluarkan rentetan cairan putih di perutnya, dan terus melaju hingga sebuah sungutan tajam, mendadak.

Dan seraya mereka terjatuh ke tempat tidur bersama, Kyungsoo berpikir untuk melipat pakaian yang telah Jongin lempar ke mana-mana, dan Jongin yang membalut pinggangnya menggunakan lengannya dengan cara yang sempurna. Tepian kaos Kyungsoo yang kaku, asap rokok yang beraroma dan transisi basah antara musim gugur dan musim dingin, berkerut di bubungan antara pinggul mereka. Jongin perlahan-lahan melancarkan tangannya pada kancingnya, membukanya satu persatu dengan santai dan dengung pelesir samar di kerongkongannya, “Kau tahu, aku tak pernah memberitahumu namaku adalah Jongin. Bagaimana kau bisa ingat?”

Kyungsoo tersipu, wajahnya merona merah muda ke merah sambil berusaha untuk membenamkan kepalanya ke bantal, “Kau tahu, kan, bahwa aku memiliki sebuah halaman tentangmu di bukuku?”

“Tentu saja aku tahu,” Jongin menggerutu, dan Kyungsoo bertanya-tanya mengapa gerutunya terdengar seperti desahan--desahan sepanjang waktu, dan mungkin sejak pertama kalinya, “Aku punya kunci apartemenmu, tapi bukan rasa sadar dari privasi dan kepatuhan. Tapi kau juga terlihat tak memilikinya, melihat bahwa kau masih menulis tentang kita meski sudah kubilang jangan.”

“Tapi aku akan tetap menulis,” ujar Kyungsoo, “Aku ingin mengingat kita. Aku sangataku ingin memilikiaku hanya ingin untuksebuah hubungan. Aku ingin memiliki hubungan sungguhan denganmu, di mana kita bisa membicarakan tentang apa yang kita lakukan hari kemarin atau hari sebelumnya lagi….”

Jongin tidak mengatakan apa pun, hanya membenamkan wajahnya di tengkuk Kyungsoo, bernapas berat namun teratur.

“Besok, besok kumohon, jangan biarkan aku melupakanmu, Jongin. Aku ingin mengingat ini, aku ingin mengingat kita.”

“Jangan khawatir, hyung. Aku penulis. Aku mengingat banyak hal demi penghidupan.”

Mereka pun begadang. Jongin membuat beberapa cangkir teh yang terlalu terendam dan mereka meminumnya di balkon Kyungsoo, kaki memanjang dan saling tumpang tindih, jari-jari kaki yang saling beradu. Kyungsoo berusaha untuk membicarakan semua hal yang dapat ia pikirkan, apa pun untuk membuatnya terjaga karena di saat ia jatuh tertidur semuanya akan berakhir, bintang yang indah dan gumpalan bulu halus nan hangat di dalamnya dan kelembutan luar biasa dari kulit Jongin bergesekan dengan kulitnya, begitu kontras. Ia beromong tentang bagaimana bagusnya Jongin saat ia menari di bar seperti itu, bagaimana sempurnanya suara dan pergerakan mereka sesuai bersamaan, bagaimana langitnya begitu jelas dan bagaimana peramal cuaca mengatakan bahwa besok akan hujan.

Tapi akhirnya, mata Kyungsoo menjadi berat tak tertahankan dan ia merosot kepada Jongin, setengah sadar akan angin dingin yang menggoda kulitnya dan garis-garis yang Jongin gambarkan di lehernya. Jongin meletakkan kepala Kyungsoo di pangkuannya dan membelai rambutnya, melanjutkan kalimat Kyungsoo seakan-akan mereka tidak pernah berhenti, karena mungkin segala sesuatu tidak harus berakhir begitu cepat. Karena dia pun juga, berharap.

Walau demikian, tidur tetap membawa Kyungsoo pergi.

--

Di detik-detik terakhir musim panas, hitungan jam selalu terlalu singkat dan detik selalu terlalu lama. Hari demi hari terus beranjak lebih pendek dan meski Kyungsoo tidak bisa mengatakan bahwa dirinya memiliki bukti, kegemparan menggerogotinya di tiap terbenamnya matahari dan ia dapat merasakannya tersisa di kulitnya. Mengisi kerut kulitnya, meluncur di tulang belakangnya, menetes dari jari kakinya. Sebuah kerinduan. Sebuah ketakutan. Dinginnya musim dingin yang menenggelamkan, hujan tanpa awalan, jam yang sama yang diketahuinya pernah ia lewati sekali sebelumnya. Kemudian malam pun mengeriap dan melukis semuanya hampa.

 

 


translated by extinction; beta-read by amusuk

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
redhoeby93
#1
Chapter 4: Nangis lagi. Menangis lagi.. ;-;
redhoeby93
#2
Chapter 2: Pengen nangis rasanya pas baca huhu TT
Happyeolyoo #3
Chapter 4: NANGIS LAGIIII. ff ini bikin nangis. tiap paragrafnya punya bumbu aneh yang mengandung harum bawang bombay. yaampun, ketidak kuasaan jongin akan takdir membuat dia jadi seputus asa itu. di awal diagnosisnya, dia mati-matian untuk memperpendek hidupnya sendiri dengan merokok. tapi pada ujung hidupnya, dia ingin diberi tambahan waktu. yaampun :""( bisa dibayangin juga betapa berat beban yang ditanggung jongin; baik secara batin dan raga/? paru-paru basah itu emang bikin ngeri, tapi, nggak semematikan itu kalo authornya bisa bikin jongin punya tekad buat sembuh /lah, emangnya ini ff gue/ hiks. angst banget. waktu jongin mati, udah langsung nangis lagi deeh. air mata rasanya nggak bisa berhenti pas baca chap ini. padahal chap satu aku nggak sempet nangis, chap dua cuman dikit doang, chap tiga banjir air mata, chap empatnya malah banjir bandang :""(( authornim, good job banget bisa terjemahin ff dengan tata bahasa yang rumit dalam bahasa inggris. daaaan, kalo boleh tahu ada rekomendasi ff translated authornim yang angst juga. hiks. pengen baca ff yang sedih-sedih biar bisa menghayati hidup /slapped/
Happyeolyoo #4
Chapter 3: backsound nya crosswalk nya si jokwon. yaampun, chapter ini walau ada anuanunya tapi tetap bikin aku nyesek dan nangis. meres air mata saat tahu kalau baekhyun ternyata udah meninggal; meninggal karena kecelakaan yang merenggut kemampuan Kyungsoo untuk mengingat. dan entah kenapa, tiap kali ada nama baekhyun, pasti bawaannya langsung sedih dan nangis. ditambah lagi sama keputus asaan jongin. dan, bagian akhir-akhirnya malah bikin nangis banget. yaampun. takdir mereka benar-benar rumit.
Happyeolyoo #5
Chapter 2: nyesek, nyesek, nyesek. jongin bicara panjang lebar tentang apa yang udah dilaluinya dengan kyungsoo, tapi, keesokan harinya kyungsoo udah lupa. dan udah kebayang gimana sakitnya jongin. apalagi jongin kena nasib buruk, dan dia punya pemikiran sempit pula. tapi, buat apa hidup /coret/ kalo emang gak ada harapan. kyungsoo yang jadi harapannya pun juga nggak bisa diharapkan /asdfghjklasdfghjkl/
Happyeolyoo #6
Chapter 1: aku pernah baca ff ini di ffn kali, ya? aku inget pernah baca ini di ffn, dan baru tahu kalo ff ini udah ditranslated sama beberapa author dan dipublish di beberapa lapak. hmm, kurang tahu juga sih. baca ff ini karena pengen baca yang sedih-sedih. dan prolognya udah bikin ngenes. huft.
OXElvira #7
Thank you so much for this translate, using very good diction and very smooth phrase
Hyerra
#8
Chapter 4: Jadi aku disini lagi. Temenku selalu bilang aku gila karna aku stuck sama satu ff aja. Walaupun aku tetep baca ff lain, tetep aja aku akan terus terusan baca ff ini. Aku berenti ngitung saat aku baca ff ini ke 17 kalinya versi asli ataupun versi indo yang kamu buat. Dan ff ini ga pernah gagal bikin aku nangis. Aku cuma mau bilang, makasih buat kerja hebat kamu ini. This is my life. Uh:" )
parkhyera
#9
Chapter 4: Aku udah baca versi aslinya..
Dan aku pengen baca yg versi Indonesianya..
Good job! Bahasanya smooth..
Makasi yaa..