With Love Jajangmyeon

With Love Jajangmyeon

 

Joora POV

Aku terbangun dari tidurku, melihat kesekeliling. Televisi masih menyala, coklat hangat yang ada di dalam sepasang cangkir yang terletak diatas meja sudah mulai mendingin. Aku melihat bantal sofa yang aku tiduri tadi, seingatku terakhir kali aku tertidur di bahu Kris. Benar Kris, dimana dia?

Aku mematikan televisi yang daritadi menyala. Samar-samar terdengar suara seorang namja yang sedang berbicara, ya itu suara Kris. Suaranya berasal dari lantai atas, aku memutuskan naik ke lantai atas dan menghampirinya.

Kris rupanya sedang menelepon seseorang, tapi mengapa tingkahnya seperti menyembunyikan sesuatu? Sepertinya dia tidak menyadari aku sedang berdiri sekitar 2 meter di belakangnya.

Kulangkahkan kakiku mendekatinya. Dia menyadari keberadaanku dan langsung cepat-cepat menutup telepon dan memasukkan ponsel ke saku celananya. Ia tersenyum canggung kepadaku sambil menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal. Aku tersenyum tipis padanya.

“Ka-kau sudah bangun?” Tanya Kris. Wajahnya datar namun masih terlihat sedikit raut kepanikan di wajahnya.

“Ne, kau meninggalkanku sendiri di ruang keluarga.” Aku tersenyum dan berusaha untuk tidak curiga padanya.

Kris tidak menjawab, ia hanya memandangku dalam. Aku mendekatinya dan memeluknya, melingkarkan kedua lenganku di pinggangnya, aku menyandarkan pipiku di dadanya yang keras.

“Saranghae, yeobo.” Kataku pelan.

Aku merasakan lengan Kris bergerak melingkar di tubuhku. Semakin lama pelukannya semakin erat dan hangat. Kris mendekapku dan mencium keningku tanpa sepatah katapun. Aku merasakan kenyamanan yang diberikan Kris, tapi aku teringat kembali dengan tingkah laku Kris barusan.

‘Siapa yang ditelepon Kris?’

‘Perlu apa dia dengan orang itu?’

‘Mengapa ia berbisik di telepon?’

‘Kenapa ia terkejut ketika aku memergokinya sedang menelepon seseorang?’

‘Atau aku yang terlalu curiga?’

Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku, aku melamun dalam pelukan Kris. Semua pertanyaan itu menghantui pikiranku, ingin sekali mendapatkan semua jawabannya. Namun, aku harus tetap tenang, aku tidak boleh terlihat curiga. Aku harus percaya padanya.

“Mengapa diam saja? Kau sudah mengantuk?” Suara Kris membuyarkan lamunanku.

“Uhm, aku rasa iya.” Aku melepas pelukan Kris.

“Kalau begitu ayo pergi tidur, sudah hampir pukul 10 malam.” Ajaknya. Aku mengangguk dan menuju kamar tidur. Aku mengganti pakaianku dengan piyama.

Kris mematikan seluruh lampu yang ada di dalam rumah, kemudian menyusulku ke kamar dan mengganti pakaiannya dengan piyama. Kami tidur di satu ranjang yang sama, tapi malam ini berbeda dengan biasanya. Entah mengapa aku masih memikirkan hal itu. Aku mengubah posisi tidurku yang semula terlentang kini membelakangi Kris, kepalaku masih penuh dengan tanda tanya hingga aku sulit untuk memejamkan mataku. Tiba-tiba aku merasakan lengan Kris memeluk pinggangku dari belakang, aku pura-pura terlelap dan tidak meresponnya . Kris mendaratkan sebuah ciuman lembut di pipiku, aku merasakan ketulusan Kris lewat ciuman itu. Membuatku merasa sedikit tenang hingga membuatku benar-benar terlelap dalam pelukan Kris.

 

*

 

Normal POV

Sinar matahari masuk melalui jendela kamar Joora dan Kris yang sudah tidak tertutup lagi oleh tirai berwarna pastel biru muda  dan menerpa wajah polos Joora yang masih tertidur lelap. Joora merasakan hangatnya sentuhan sinar matahari itu, tidak terlalu hangat namun cukup membuatnya silau, ia membuka matanya. Joora melihat ke sisi sebelah kirinya, namja itu tidak ada. Rupanya Kris bangun lebih dulu daripada Joora. Ia perlahan bangkit dari tidurnya dan duduk di ranjangnya sambil meregangkan otot-ototnya, entah mengapa pagi ini badannya terasa sedikit pegal. Ia menurunkan kakinya perlahan dari tempat tidur, memakai sandal tidurnya lalu berjalan menuju kamar mandi.

Joora berhenti pada sebuah westafel yang terdapat cermin besar di atasnya, ia mengambil sikat gigi miliknya mengisinya dengan pasta gigi lalu menggosok giginya. Selesai menggosok gigi, Joora lalu membasuh mukanya dengan air keran, mengambil handuk kencil yang tergantung di sisi kanan kaca itu lalu mengelap lembut titik-titik air yang tersisa di wajahnya. Joora memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia melamun dan teringat lagi tentang hal tadi malam.

“Aishh.. Kenapa masih saja kupikirkan?!” Joora menggelengkan kepalanya kasar.

“Yaa~ Apa yang kau pikirkan?” Suara Kris tiba-tiba mengagetkan Joora. Ia menoleh ke arah Kris yang berdiri tepat di ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Kris menggunakan kaus putih lengan panjang dan celana panjang coklat tua, aroma tubuhnya wangi. Sepertinya Kris sudah selesai mandi.

“A-ah, Aniaaaa.” Jawabnya gugup sambil meremas-remas kecil handuk yang ada di tangannya. Kris hanya tersenyum tipis.

Joora menggantungkan lagi handuk kecil yang dipegangnya daritadi kemudian mendekati Kris.

Kris merapikan helai-helaian rambut Joora yang berantakan menggunakan jarinya.

“Bagaimana bisa aku bangun lebih awal darimu? Bahkan aku yang menyiapkan sarapan.” Kata Kris sambil tersenyum.

“Mianhaeyo, tapi pagi ini aku merasakan badankan sedikit pegal.” Balas Joora sambil memegang dan memijit-mijit pelan pundaknya.

“Kau sakit?” Kris menyingkirkan helaian rambut yang menutupi dahi Joora lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah yeojanya itu hingga dahi mereka saling menempel. Joora dapat merasakan hembusan nafas Kris.

Joora hanya menggeleng pelan.

“Tidak panas.” Kris menjauhkan wajahnya dari wajah Joora.

“Ahh, sudahlah, yeobo. Aku tidak apa-apa.” Jawab Joora.

“Berbaringlah, aku akan memeriksamu.” Kata Kris sambil mengambil peralatan dokternya yang ia simpan dalam sebuah tas.

“Tapi, aku...”

“Yaa! Berbaring saja.” Kris memotong kalimat Joora.

Joora mendesah pelan, menyipitkan matanya dan menatap tajam Kris yang sedang mengecek peralatan dokternya. Ia tak punya pilihan lain selain menuruti kata suaminya itu, Joora lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Kris duduk di tepi ranjang di sebelah Joora dan memakai stetoskopnya, mengecek bagian dada dan perut Joora. Setelah itu ia mengambil senter kecil dan mengarahkannya ke dalam mulut Joora yang terbuka lebar. Kris mematikan senter dan Joora menutup kembali mulutnya.

“Bagaimana? Aku tidak apa-apa kan?” Tanya Joora memastikan sambil bangkit dari ranjangnya.

“Ne, kau hanya lelah. Istirahatlah, supaya tidak semakin parah.” Jawab Kris sambil menatap istrinya sebentar lalu sibuk memasukkan alat-alat kedokterannya.

“Yaaa~ benar kan kataku.” Kata Joora.

“Mandilah, akan kutunggu kau di meja makan untuk sarapan.” Kata Kris.

“Siap, bos!” Jawab Joora sambil tersenyum dan menempelkan deretan jemari kanannya di dahi dengan posisi miring seperti melakukan sikap hormat kepada Kris lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Kris tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya lalu bangkit dan menyimpan kembali tas yang berisi peralatan kedokterannya.

 

*

 

Joora POV

Setelah aku selesai berpakaian sehabis mandi, aku langsung menyusul Kris ke lantai bawah. Di meja makan terlihat Kris sedang menungguku sambil membaca koran pagi. Ia sudah berganti baju, kini terlihat lebih rapi menggunakan kemeja kotak-kotak kecil berwarna merah yang lengannya dilipat sepanjang sikunya, ia masih menggunakan celana coklat tua yang tadi dikenakannya.

Menyadari kedatanganku, Kris menutup koran, melipatnya dan meletakkannya di atas meja. Aku duduk berhadapan dengannya. Di masing-masing piring yang ada di depan kami sudah tersedia roti panggang dengan olesan selai kiwi, ya aku suka sekali kiwi, lalu ada omelette juga dan tentu saja segelas susu coklat.

“Makanlah, wajahmu terlihat semakin lemas saja.” Kata Kris.

Aku mengangguk dan menyendok omelette yang dibuat oleh Kris. Kami sibuk dengan sarapan kami masing-masing dan makan tanpa suara. Aku menghabiskan seluruh sarapan yang dibuatkan Kris lalu meneguk segelas susu coklat sampai habis. Kris tampaknya juga sudah selesai dengan sarapannya. Aku mengambil tisu dan mengelap mulutku.

Kris bangkit dan mengumpulkan perabotan-perabotan kotor di atas meja.

“Biarkan aku saja, kau harus pergi ke rumah sakit nanti kau bisa terlambat.” Kataku sambil menahan tangannya.

“Kau kelihatan lemas, biarkan aku menyelesaikannya.” Kris membawa piring-piring itu ke westafel tempat mencuci piring. Aku mengikutinya.

“Biarkan aku saja.” Paksaku.

“Ania.” Jawab Kris singkat sambil meremas-remas spons yang penuh busa.

RRRTT..  XOXO XOXO XOXO Yeah..  RRRTT.. RRRTT..

Ponsel yang di dalam saku celana Kris tiba-tiba berdering yang disertai getar. Kris cepat-cepat membasuh tangannya yang penuh busa dengan air keran lalu mengelap tangannya dengan sembarang pada lap kain yang tergantung di dekat westafel. Kris merogoh ponselnya yang berdering di dalam saku celananya.

PIP!

“Yoboseyo?” Kris menjawab telepon. Ia mendengarkan suara di seberang telepon.

“Aa-aah, ne ne. Aku berangkat sekarang.” Kata Kris lagi. Kris menutup telepon dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Sebentar lagi ada operasi.” Jawab Kris.

“Jinjja? Sudah kubilang biar aku saja yang mencuci piring. Bergegaslah, nanti kau terlambat.” Kataku sambil tersenyum pada Kris. Kris menatapku.

“Beristirahatlah selesai kau mencuci piring.” Kata Kris lalu mengusap-usap pucuk kepalaku.

“Ne, arraso. Jangan terlalu khawatir.”

“Baiklah, aku pergi dulu.” Kris memakai mantel hitam panjang dan menyambar tas peralatan dokternya yang berada di sofa ruang keluarga. Aku mengantar Kris hingga ambang pintu rumah dan menyaksikannya masuk ke dalam mobil. Aku melambaikan tangan padanya saat mobilnya melaju meninggalkan rumah lalu masuk kembali ke dalam rumah dan menutup rapat pintu rumah.

Aku mendekati tumpukan piring dan perabotan kotor yang ada di westafel, menggulung lengan kaus lengan panjang berwarna hijau mudaku, meremas-remas spons hingga mengeluarkan busa, mengusapkan spons yang berisikan busa itu ke semua piring kotor dan membilasnya hingga bersih.

Semua piring dan perabotan kotor kini sudah bersih, aku mengelap tanganku yang basah pada lap kain yang tergantung di dekat westafel. Tiba-tiba pikiranku melayang lagi dan teringat dengan semua pertanyaanku yang masih belum juga menemukan jawabannya.

‘Sebenarnya apa yang disembunyikan, Kris? Apa dia selingkuh di belakangku?’

“Assshhh!!” Aku menggelengkan kepalaku gusar.

“Oh Joora! Apa yang kau pikirkan! Tidak seharusnya kau berpikiran buruk soal suamimu!” Aku memaki diriku sendiri.

Aku menutup mata dan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya, mencoba menenangkan diriku. Saat membuka mata aku teringat sesuatu yang jauh lebih penting daripada memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Kris, hari ini aku harus mmbeli bahan-bahan untuk membuat cupcakes. Besok adalah hari dimana pernikahanku tepat berumur empat bulan.

Aku bergegas naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar, membuka lemari pakaian dan mengambil buku resep cupcakes yang kusembunyikan di bawah tumpukan baju milikku, kemudian mencatat setiap bahan-bahan yang harus ku beli hari ini. Selesai mencatat dan memastikan semua bahan sudah tercatat di kertas catatan belanjaku, aku memakai mantel coklat panjangku dan memasukkan dompet juga daftar belanjaan ke dalam tas selempang kecil milikku. Aku menutup pintu kamar dan menguncinya dari luar lalu kembali turun ke lantai bawah, memakai sepatu boots berbulu lembut dan melilitkan sembarang sebuah syal berwarna coklat muda di leherku.

Aku keluar dari dalam rumah lalu menutup pintu rumah rapat-rapat dan menguncinya. Angin musim gugur menerpa wajahku saat aku berjalan menuju pintu gerbang yang berjarak sekitar sepuluh meter dari teras rumah. Daun-daun kering yang berwarna merah dan kuning tampak beterbangan karena hembusan angin musim gugur. Aku membuka pintu gerbang berwarna krem yang terbuat dari besi, melewatinya lalu menutupnya lagi dan menguncinya. Aku berjalan menyusuri aspal di sepanjang jalan menuju supermarket sambil menikmati sejuknya hembusan angin musim gugur.

 

*

 

Normal POV

“Terima kasih, Kris. Operasi kita hari ini lancar,” Kata dokter Nam sambil melepas masker hijau yang menutupi wajahnya.

“Ne, cheonmaneyo.” Kata Kris sambil membuka masker hijau yang dari tadi menutupi setengah wajahnya.

“Kalau begitu, aku kembali ke ruanganku dulu.” Kata Dokter Nam.

“Baiklah, Dok.” Jawab Kris sambil tersenyum.

Kris mengganti pakaian serba hijau yang ia gunakan dengan bajunya yang semula lengkap dengan jas putihnya. Ia berjalan di sepanjang koridor menuju keluar gedung rumah sakit dengan stetoskop yang menggantung di lehernya. Kris berhenti pada sebuah taman yang masih berada di lingkungan rumah sakit yang di tengahnya terdapat kolam air mancur, ia duduk di salah satu kursi taman yang kebetulan kosong lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

Mencari kontak Luhan dan menekan tombol ‘panggil’. Kris mendekatkan ponsel ke telinganya.

TUUUT.. TUUUT.. TUUUTT.. CLECK!

“Yoboseyo.” Kata Kris.

“Ah, ne? Bagaimana? Kapan kita pergi? Tanya Luhan dari seberang telepon.

Kris melihat jam tangan di pergelangan yang menunjukkan pukul setengah sebelas siang.

“Bagaimana jika jam dua nanti?”

“Aku bisa saja sih, tapi apa kau sudah tidak ada pasien?”

“Kurasa tidak, jadwalku hari ini hanya sampai pukul satu siang.”

“Ah, baiklah.”

“Nanti ku jemput di apartemenmu, hyung.”

“Ne, telepon saja jika sudah selesai.” Kata Luhan lalu menutup telepon.

Kris memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dan kembali berjalan memasuki gedung rumah sakit.

 

*

 

“Susu, sudah. Tepung dan telur, sudah. Coklat, sudah. Krim, sudah.” Joora mengecek kembali barang-barang yang ada di dalam troli belanjaannya dan mencocokkannya dengan daftar belanjaan yang dipegangnya.

“Ah, sudah lengkap. Akhirnyaaaa.” Joora tersenyum puas dan mendorong trolinya menuju kasir yang terlihat sepi.

Joora mengeluarkan barang-barang belanjaanya dari dalam troli dan meletakkannya di atas meja kasir. Petugas kasir sibuk memasukkan kode-kode barang belanjaan Joora dan memasukkan barang-barang itu ke dalam kantung plasik.

“20 ribu won.” Kata petugas kasir itu setelah selesai memasukkan seluruh kode-kode barang belanjaan Joora.

Joora membuka dompet, mengambil sejumlah uang dan menyerahkannya pada petugas kasir sambil tersenyum. Petugas kasir itu tersenyum dan menerima uang yang diberikan Joora.

Selesai melakukan transaksi, Joora membawa dua buah kantung plastik besar yang penuh berisikan bahan-bahan untuk membuat cupcake.

“Beeerat sekaali.” Rintihnya pelan. Ia kemudian menyetop taksi yang lewat di depan supermarket itu.

Taksi itu berhenti, supir taksi keluar dari taksinya dan membantu Joora memasukkan barang-barang belanjaan Joora ke dalam bagasi. Joora lalu masuk ke dalam taksi dan diikuti oleh supir yang sudah selesai memasukkan barang belanjaan milik Joora. Ia memberitahu alamat rumahnya kepada supir taksi yang sedang menggenggam setir bersiap mengantarkan Joora ke tujuannya. Taksi pun melaju meninggalkan supermarket dan menyusuri jalan menuju rumah Joora.

 

*

 

Kris POV

“Ini, minumlah obat secara teratur. Semoga cepat sembuh.” Kataku sambil menyerahkan resep obat kepada pasien yang duduk di hadapanku.

“Ne, Dokter.” Jawab namja kecil itu sambil tersenyum dan mengambil resep obat yang kusodorkan. Ia duduk di pangkuan ibunya, umurnya kira-kira sekitar enam tahun.

“Kamsahamnida, Dokter Kris. Kami pamit dulu.” Kata ibu dari namja kecil itu sambil menurunkan anaknya dari pangkuannya.

“Ne, berhati-hatilah.” Jawabku sambil tersenyum.

“Junsoo, ucapkan selamat tinggal kepada Dokter Kris.” Kata ibu kepada anaknya.

“Gomawo, Dokter Kris. Annyeong.” Kata namja kecil itu sambil tersenyum dan melambaikan tangan kecilnya padaku. Aku tersenyum dan membalas lambaian tangannya. Kemudia mereka berdua keluar dari ruangan periksaku.

Aku mengecek sebuah buku yang bertuliskan nama-nama pasien, rupanya Junsoo adalah pasien terakhirku. Aku menutup kembali buku daftar pasien itu dan melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah pukul setengah dua siang, aku merogoh ponsel yang berada di dalam kantung celanaku dan mencari nomor Luhan hyung, memencet tombol ‘panggil’ dan mendekatkan ponsel ke telingaku.

TUUUT.. TUUUT.. CLECK!

“Ya, Kris? Jadi pergi?” Kata Luhan hyung dari seberang telepon.

“Tentu saja jadi. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku. Kujemput kau sekitar lima belas menit lagi, hyung.”

“Baiklah, aku akan bersiap-siap.”

“Ne, hyung.” Jawabku lalu menutup telepon dan memasukkan ponsel kembali ke dalam saku celanaku.

Aku mengganti jas dokterku dengan mantel hitam panjang dan menggantungkan jas itu pada sebuah gantungan baju yang terpasang di dinding. Aku merapikan peralatan dokterku dan memasukkannya ke dalam tas, lalu mengambil buku daftar pasien yang tergeletak di atas meja. Aku menenteng tas yang berisikan peralatan dokterku dan keluar dari ruangan praktekku, aku menutup pintu rapat dan menguncinya.

Aku berjalan cepat melewati koridor lantai dasar rumah sakit sambil membawa buku daftar pasien dan menenteng tasku menuju ke meja administrasi, beberapa suster dan pegawai yang melewatiku, menyapa dan tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyuman. Aku sampai di meja administrasi, terlihat beberapa suster sedang berjaga. Aku menyerahkan buku daftar pasien hari ini kepada salah satu suster.

“Hanya sampai siang, Dokter Kris?” Tanya suster yang menerima buku yang kuberikan.

“Ne, jadwalku hanya sampai siang.” Jawabku datar sambil mengangguk kecil.

“Ohh, begitu. Baiklah. Kau terlihat buru-buru.” Katanya lagi.

“Ne, aku pergi dulu.” Kataku sambil tersenyum tipis dan pergi meninggalkan meja administrasi.

Aku keluar dari gedung rumah sakit dan menuju ke mobilku yang berada di parkiran. Aku masuk ke dalam mobil, menghidupkan mesin mobil lalu melaju pelan keluar dari areal rumah sakit dan menuju apartemen Luhan hyung.

 

*

 

Setelah tiga puluh menit dalam perjalan, akhirnya aku tiba di depan apartement Luhan hyung. Aku memarkirkan mobilku di pinggir jalan dan menelepon Luhan hyung.

“Hyung, aku sudah sampai.” Kataku di telepon.

“Ah, ne ne. Aku segera kesana.” Jawab Luhan hyung yang lalu menutup telepon.

Sekitar dua menit kemudian, terlihat sosok namja berambut lurus dengan warna nutbrown dan berponi, berkulit putih bersih, dan berwajah imut memakai mantel coklat tua lengkap dengan syal motif kotak-kotak besar yang melingkar di lehernya. Ia keluar dari apartemennya, aku membuka kaca mobil dan memanggilnya.

“Luhan hyung!” Panggilku.

Ia menoleh ke arahku yang sedang berada di dalam mobil. Ia tersenyum lalu berjalan ke arahku, ia membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam mobil dan menutup kembali pintu mobil. Ia duduk di kursi

“Yaaa.. Kris! Lama sekali kita tidak berjumpa.” Kata Luhan hyung sambil menepuk-nepuk punggungku.

“Benar, hyung. Semenjak kau menikah dan punya anak, kita jarang bertemu.”

“Aaa.. Bukankah kau juga sibuk dengan pekerjaanmu dan keluarga barumu.”

Aku tertawa kecil sambil menganggukkan kepalaku. Luhan hyung memasang safety beltnya, aku juga memasang safety beltku. Aku menghidupkan mesin mobil dan segera melaju.

“Jadi, Joora belum mengandung juga?” Tanya Luhan hyung lagi.

“Belum. Kami masih ingin menikmati masa berdua, hyung.” Jawabku sambil mengemudi.

“Dasar, kalian berdua harus segera punya anak. Supaya keluarga kecil kalian terasa lebih lengkap.” Omel Luhan hyung.

“Sepertinya aku juga akan membicarakan itu kepada Joora, hyung. Aku ingin punya anak laki-laki.”

“Ahh.. Benar, benar. Memang seperti itu sebaiknya.” Kata Luhan hyung sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa kecil.

Kami asyik mengobrol sepanjang perjalanan, hingga akhirnya kami sampai di depan sebuah toko perhiasan. Aku memarkirkan mobilku di pinggir jalan, kami keluar dari mobil dan masuk ke dalam toko perhiasan itu.

“Annyeonghaseyo!” Sapa perempuan pelayan toko perhiasan itu dengan ramah.

“Annyeonghaseyo.” Jawab kami bersamaan.

Aku memperhatikan seisi toko yang di dalamnya terdapat banyak sekali perhiasan yang berkilau, semuanya disimpan dengan rapi di dalam meja-meja dan lemari kaca.

“Terakhir kali aku ke toko perhiasan saat membeli cincin nikah.” Kata Luhan hyung dengan suara kecil yang hanya mampu terdengar oleh kita berdua.

“Aku juga begitu, hyung. Jadi bantulah aku.” Kataku pada Luhan hyung.

“Ya setidaknya seleraku soal perhiasan tidak jelek-jelek amat.” Kata Luhan hyung percaya diri.

“Aku percaya padamu, hyung.” Jawabku datar.

Pelayang toko itu menghampiri kami sambil tersenyum.

“Ada yang bisa kubantu?” Tanyanya.

“Kami ingin mencari sebuah kalung untuk hadiah.” Jawab Luhan hyung.

“Kalau boleh tau untuk siapa?” Tanya pelayan itu lagi.

“Untuk istriku.” Jawabku datar.

“Waah.. Untuk istri anda rupanya. Anda datang ke tempat yang tepat, mari ikuti saya.” Ucap pelayan itu lagi yang kali ini sambil menuju ke arah sebuah kotak kaca yang di dalamnya terdapat berbagai macam kalung yang berkilauan. Aku dan Luhan hyung mengikuti pelayang toko itu dari belakang hingga kami berhenti di depan sebuah kotak kaca dengan tinggi kurang lebih satu meter. Kalung-kalung indah berkilauan berjejer rapi di dalam kotak kaca tersebut. Aku dan Luhan hyung mengamati setiap detail dari kalung-kalung yang ada di dalam kotak kaca.

Pelayan itu mengambil salah satu kalung dengan tali berwarna perak, bandulnya berwarna perak juga berisikan batu-batu permata berwarna-warni dari dalam kotak kaca tersebut dan memperlihatkannya padaku dan Luhan hyung.

“Bagaimana jika ini?” Kata pelayan itu sambil menunjukkan kalung yang diambilnya tadi. Aku memperhatikan detail kalung itu.

“Terlalu mencolok.” Kataku datar.

“Benar-benar.” Kata Luhan hyung sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Hmm.. Bagaimana jika yang ini?” Katanya sambil mengambil kalung yang baru. Warna tali kalung itu putih keperakan dengan bandul berbentuk hati dengan lubang di tengahnya.

Aku dan Luhan hyung memperhatikan lagi kalung yang ditunjukkan oleh pelayan itu, mengamatinya baik-baik.

“Aku rasa terlalu polos, kurang menarik.” Ucapku datar.

Pelayan itu kemudian mencari-cari lagi, aku ikut mengamati setiap kalung yang berjejer. Sebuah kalung berwarna putih keperakan dan berkilau, bandulnya berbentuk hati dengan sayap kecil di sisi kiri kanannya. Ukurannya tidak terlalu besar hanya sekitar dua sampai tiga sentimeter. Kalung itu menarik perhatianku, aku menarik lengan Luhan hyung.

“Hyung, bagaimana menurutmu?” Tanyaku sambil menunjuk kearah kalung yang menarik perhatianku tadi. Luhan hyung terdiam sebentar.

“Hmm.. Bagus, simple, menarik, dan memiliki arti yang dalam sepertinya.” Kata Luhan hyung sambil menatap kalung itu.

“Nona, aku mau lihat yang ini.” Aku memanggil pelayan yang sedang sibuk mencari-cari kalung. Ia menghampiriku dan mengambilkan kalung yang aku tunjuk.

“Ini, silahkan.” Ucap pelayan itu sambil menyerahkan kalung itu padaku.

“Kamsahamnida.” Kataku sambil mengambil kalung yang diberikan pelayan itu. Aku memperhatikan setiap detailnya, Luhan hyung juga ikut mengamati.

“Bagamaina menurutmu, hyung? Aku tertarik pada kalung ini.”Ucapku.

“Sepertinya kalung ini cocok untuk Joora.” Kata Luhan hyung. Aku menggangguk mengiyakan.

“Aku mau yang ini, nona.” Kataku sambil menyerahkan kalung yang kupegang.

“Baiklah, tunggu sebentar. Silahkan langsung bayar di kasir.” Ucap pelayan itu seraya tersenyum.

Pelayan itu meninggalkan kami sambil membawa kalung yang akan kubeli. Aku dan Luhan hyung berjalan menuju kasir sambil mengobrol.

“Seleramu bagus juga.” Kata Luhan hyung.

“Ah, tidak hyung. Aku hanya mencoba mencari yang terbaik.”

Kami berdua sampai di depan kasir, seorang ahjumma penjaga kasir itu tersenyum padaku dan Luhan hyung. Ia menyebutkan harga kalung tersebut padaku, aku mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang lalu memberikannya pada ahjumma itu.

“Kenapa kau bisa memilih kalung itu?” Tanya Luhan hyung lagi.

Ahjumma itu memberiku beberapa lembar uang dan selembar struk belanjaan. Aku menerimanya dan tersenyum.

“Kamsahamnida.” Ucapku.

“Barang yang anda beli masih kami bungkus, silahkan tunggu sebentar.” Kata ahjumma itu lagi sambil tersenyum.

“Ne.” Jawabku sambil tersenyum. Luhan hyung memperhatikanku dan masih menunggu jawabanku.

Aku lalu beralih memandang dompetku dan memasukkan beberapa lembar uang yang kupegang ke dalam dompet kulitku, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Aku beralih memandang Luhan hyung.

“Entahlah, hyung. Aku teringat Joora saat melihat kalung itu.” Ucapku. Uhan hyung hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menanggapi jawabanku.

Tak lama kemudian, pelayan yang tadi melayani kami datang membawa sebuah tas yang terbuat dari kertas tebal berwarna hitam yang dihiasi ornamen-ornamen berwarna silver. Elegan sekali. Ia menyerahkan tas itu kepadaku. Aku menerimanya lalu mengintip isinya, rupanya sebuah kotak berukuran 5x5cm yang berwarna sama dengan tas kertas yang membungkusnya. Aku meraih kotak itu dan membukanya, kalung yang kubeli tersimpan dengan rapi di dalamnya, sangat cantik, dan elegan. Aku jadi tidak sabar memberikannya pada Joora besok.

Setelah aku memastikan barang yang kubeli, aku memasukkannya lagi ke dalam tas kertas yang kupegang. Lalu aku dan Luhan hyung berpamitan dan keluar dari toko perhiasan itu.

 

*

 

Kami memasang sabuk pengaman kami masing-masing, aku menghidupkan mesin mobil dan bersiap untuk menjalankan mobil. Tapi Luhan hyung tiba-tiba membuka suara.

“Ya, Kris. Hari masih sore, ayo kita pergi berjalan-jalan sebentar lalu mencari makan.” Ucap Luhan hyung. Aku melihat jarum jam pada jam yang melingkar di tanganku, menunjukkan pukul tiga sore.

“Kurasa ide yang bagus. Sudah tidak lama kita pergi bersama, hyung.”

“Bagaimana jika kita pergi bermain bowling di tempat biasa?” Ucap Luhan hyung bersemangat.

“Ide bagus, hyung!” Wajahku terlihat sumringah. Sudah lama sekali aku dan Luhan hyung tidak bermain bowling bersama, jangankan bermain bowling, bertemu saja kami sudah jarang.

Aku menginjak pedal gas dan mobil pun mulai melaju memasuki jalan raya menuju tujuan pertama kami yaitu, tempat bermain bowling.

 

*

 

Joora POV

Aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku dan memberikannya pada supir taksi itu. Ia menerimanya dan tersenyum lalu masuk kembali ke dalam taksinya setelah menurunkan barang-barang belanjaanku dari bagasi mobil, kemudian taksi itu berlalu meninggalkanku di depan rumah bersama barang-barangku.

Aku menenteng dua tas plastik besar berisikan banyak barang belanjaan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Aku menaruh semua barang-barang itu di dalam sebuah lemari kosong yang biasanya aku gunakan untuk menyimpan beberapa bahan makanan yang tahan lama. Kris jarang membuka lemari ini.

Setelah semua barang-barang itu tersimpan rapi, aku berjalan dengan lemas menuju kamar. Hanya pegal dan berat yang kurasakan di tubuhku, lemas sekali. Aku masuk ke dalam kamar dan membuka mantelku, menggantungkannya di balik pintu kamar lalu melemparkan tubuhku ke kasur. Aku rasa aku butuh istirahat sebentar. Tak butuh waktu lama untukku benar-benar memejamkan mata dan terlelap.

 

*

 

Setelah tubuhku merasakan tidur yang cukup, akhirnya aku terbangun dengan sendirinya. Aku membuka mata lalu perlahan bangkit dari tempat tidur, rasanya sedikit rasa pusing menyerang kepalaku. Jendela kamar masih terbuka dan, ya Tuhan! Langit sudah gelap, jam berapa ini?!

Mataku terbelalak dan melihat jam yang tergantung di dinding kamarku, sudah pukul delapan malam! Kris? Dimana Kris? Aku mencari-cari ponselku, merogoh tas kecil yang kubawa berbelanja tadi. Aku menemukan ponselku dan mengeceknya, tidak ada satupun sms atau telepon dari Kris. Dimana dia? Aku mencari kontak Kris dan menelponnya.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...

Aku mulai panik, mencoba sekali lagi, namun tetap sama. Kemana Kris, kenapa ponselmu tidak aktif? Aku merasakan sesak di dadaku dan rasa pusing yang semakin mengganggu kepalaku. Ah! Kenapa tidak kutelepon saja ke rumah sakit, mungkin saja dia ada operasi mendadak.

Aku memasukkan nomor rumah sakit tempat Kris bekerja dengan perasaan cemas. Seorang suster mengangkat teleponku.

“Suster, ini aku Joora. Istri Dokter Kris.” Ucapku saat suster itu mengangkat telepon.

“Ah, iya. Ada yang bisa kubantu?” Jawab suster itu ramah.

“Apa Dokter Kris masih disana?” Tanyaku dengan raut wajah cemas.

“Tidak, dia sudah pulang sejak tadi siang. Dan ia terlihat terburu-buru.”

“Apa kau yakin? Apa dia ada operasi mendadak hari ini?”

“Ya, tentu saja. Aku bertemu dengannya tadi saat memberikan buku daftar pengunjung. Dan sepertinya hari ini tidak ada operasi yang melibatkan dirinya.”

“Oh, begitu. Baiklah, Kamsahamnida.” Jawabku dengan nada lemas.

“Ne, cheonmaneyo.” Balas suster itu lalu menutup telepon.

Aku menjauhkan ponselku dan menggenggamnya di dada. Kemana Kris? Kenapa ponselnya tidak aktif? Pikiran buruk mulai menghujani kepalaku, aku teringat kejadian saat Kris menelepon seseorang secara sembunyi-sembuyi. Rasanya semakin tidak menentu, hatiku benar-benar tidak tenang. Setetes air mata mengalir di pipiku, aku cepat-cepat mengusapnya.

“Sebaiknya aku menunggunya, mungkin saja dia ada keperluan lain.” Kataku pelan dan lirih.

Kuletakkan ponselku di atas meja dan menuju kamar mandi, aku butuh sedikit ketenangan, mungkin mandi bisa membantuku untuk lebih tenang.

 

*

Normal POV

Dua namja tampan sedang duduk di kedai minuman sambil berbincang dan tertawa lepas. Beberapa botol soju terlihat di meja mereka, masih penuh semua.

“Hari ini benar-benar menyenangkan.” Kata namja berambut nutbrown sambil menuangkan soju ke dalam gelasnya dan gelas namja satunya lagi.

“Benar, hyung. Mungkin lain waktu kita bisa berkumpul bersama teman-teman yang lain juga.” Kata namja satunya lagi.

Ya benar, mereka adalah Kris dan Luhan. Setelah selesai bermain bowling, mereka berdua pergi ke kedai minuman tempat mereka sering berkumpul dulu. Raut wajah bahagia tampak jelas di wajah mereka berdua, bernostalgia memang menyenangkan.

“Bersulaaang!” Kata mereka berbarengan sambil mengangkat gelas masing-masing.

TINGG!

Suara gelas bertemu dan mereka meneguk minuman dari gelas masing-masing.

“Ahhh.. memang tidak ada yang lebih nikmat dari minum soju sambil bernostalgia.” Kata Luhan lalu tertawa. Kris ikut tertawa.

Mereka menikmati malam dengan satu demi satu botol soju di meja mereka menjadi kosong, bahkan mereka memanggil waitress dan menambah beberapa botol lagi. Tawa lepas sesekali terdengar dari meja mereka.

Hari semakin larut malam, kedai soju pun semakin ramai oleh pengunjung. Kris dan Luhan juga tampaknya sudah puas dengan waktu berdua mereka. Kris melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.

“Hyung, kurasa kita harus pulang. Sudah malam, aku tidak enak pada istrimu.” Kata Kris.

“Ne, kita sudah bersama seharian. Istri dan anakku pasti khawatir.”

“Ya, Joora juga pasti sudah menungguku di rumah.”

Mereka bangkit dari kursi masing-masing dan membayar minuman. Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan kedai tersebut.

 

*

 

Mobil Kris berhenti di depan apartemen Luhan. Luhan melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil Kris. Kris membuka kaca mobilnya sebelum meninggalkan apartemen Luhan.

“Kamsahamnida,hyung. Sudah menemaniku seharian.” Kata Kris dengan kepala yang menyeruak dari kaca jendela mobil yang terbuka.

“Ne, cheonmaneyo. Aku juga senang bisa menemanimu.” Kata Luhan lalu tertawa. Kris tersenyum lebar.

“Sampaikan salamku pada keluargamu.” Kata Kris lagi.

“Baiklah, sampaikan salamku juga pada Joora.”

“Baik, hyung. Sudah malam, aku pulang, hyung.” Kata Kris lalu kembali ke posisinya semula dan menutup kaca mobilnya. Luhan melambaikan tangannya. Mobil Kris lalu melaju mulus melewati jalan raya menuju rumahnya.

 

*

 

Joora POV

Sudah pukul sebelas malam dan Kris belum di rumah, aku sudah meneleponnya berkali-kali tapi nihil, ponselnya tetap mati. Aku duduk menekuk kakiku diatas di sofa ruang keluarga sambil memandangi layar ponselku, berharap ada kabar dari Kris. Wajahku tak karuan, penuh raut kesedihan dan kekhawatiran. Kenapa namja itu belum pulang juga? Kemana aku harus mencari Kris? Aku tak kuasa menahan air mataku, tetes demi tetes cairan bening dan dingin mengalir di pipiku. Wajahku memanas karena menangis, aku memeluk lututku yang tertekuk di depan wajahku dan membenamkan wajahku pada ruang antara tubuh dan lututku. Aku terisak, masih menggenggam ponselku.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Dimana Kris?” Ucapku sambil menangis.

Tak lama, terdengar deru suara mobil dari depan rumahku. Aku bangkit dari sofa dan mengintip dari balik tirai. Seorang namja bertubuh tinggi, menggunakan mantel hitam panjang dan menenteng sebuah tas terlihat keluar dari mobilnya. Itu Kris!

Aku cepat-cepat membuka pintu rumah dan berlari keluar menuju Kris yang baru saja menutup pagar rumah. Bisa dibayangkan, ditengah malam yang diselimuti udara dingin musim gugur aku berlari keluar rumah hanya menggunakan kaus lengan pajang tipis kebesaran dan celana pendek, tanpa alas kaki. Udara dingin musim gugur tak mampu menembus tubuhku, aku memeluk Kris dengan tiba-tiba dan menangis sambil membenamkan wajahku di dadanya yang bidang. Aku mencium aroma soju yang keluar bersama hembusan nafasnya. Kris tampak terkejut mendapati aku yang tiba-tiba memeluknya dan menangis.

“Kemana saja kau?!” Aku melepas pelukan dan memandang wajahnya. Air mata bercucuran melewati pipiku. Kris terdiam, hanya memandangku dalam.”

“Aku mengkhawatirkanmu! Aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu! Jawab aku!” Ucapku dengan nada keras sambil terisak, lalu aku menunduk dan menutup mukaku. Aku kembali terisak. Kali ini udara dingin musim gugur benar-benar kurasakan menembus tubuhku.

Tiba-tiba lengan Kris memelukku dan menarik tubuhku mendekati tubuhnya. Aku merasakan hangat ditubuhku tapi tidak dengan kakiku, aku terisak dalam pelukan Kris. Ia membelai lembut rambutku.

“Maafkan aku, aku sudah membuatmu khawatir.” Katanya pelan di telingaku. Aku tidak menjawab, masih terus terisak. Kris tiba-tiba menggendongku dengan gaya bridal, dan membawaku masuk ke dalam rumah.

“Kau bisa kedingininan kalau terus berada diluar seperti ini.” Kata Kris sambil tetap menggendongku masuk ke dalam rumah. Aku tidak menjawab, aku masih membenamkan wajahku padanya dan menangis.

 

*

 

Ia perlahan menurunkanku di ranjang kami yang empuk dan nyaman. Aku duduk di tepi tempat tidur dengan wajah tertunduk, kini air mata sudah berhenti mengalir. Kris yang sudah tidak mengenakan mantelnya mendekatiku dan berlutut di hadapanku. Tangannya bergerak menyetuh daguku dan menegakkan kepalaku. Ia memandang wajahku sangat dalam begitu juga sebaliknya, aku bahkan bisa melihat pantulan diriku di mata cokelatnya.

“Maafkan aku,aku tidak bermaksud membuatmu khawatir.” Katanya lembut, lalu duduk di sebelahku.

“Lalu kau pergi kemana? Bersama siapa?” Tanyaku, air mataku hendak jatuh lagi, namun berhasil kutahan.

Kris lalu tersenyum dan memelukku dengan erat.

“Aku bertemu Luhan hyung tadi siang di rumah sakit, kami lalu pergi bermain bowling dan minum soju bersama.” Ucapnya sambil terus memelukku.

“Lalu kenapa kau tidak mengabariku? Suster di rumah sakit juga bilang kau pergi terburu-buru.” Air mata mulai membasahi pipiku lagi.

“Aku tidak ingin Luhan hyung menungguku terlalu lama, dan soal aku tidak mengabarimu, ponselku lowbat.” Ucapnya lagi.

“Aku khawatir sekali, aku takut sekali.” Ucapku sambil terisak.

“Maafkan aku.” Kris melepaskan pelukannya dan menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Aku masih terus menangis. Perasaanku bercampur aduk, ada perasaan lega, sedih, khawatir, takut, dan yang masih sangat terasa adalah perasaan mengganjal tentang Kris saat ia menelepon seseorang dengan diam-diam. Apa itu Luhan hyung? Tapi jika itu Luhan hyung, kenapa ia harus menelepon secara sembunyi-sembunyi?

Aku hendak membuka mulut untuk menanyakan jawaban dari semua pertanyaanku yang mengganjal, namun tiba-tiba Kris membuka suaranya lagi. Aku mengurungkan niatku.

“Jangan menangis.” Kris mengusap air mataku dengan kedua ibu jarinya, kemudian ia tersenyum. Aku hanya menatapnya dalam dan penuh arti.

Wajah namja tampan di hadapanku bergerak mendekat dengan perlahan, dapat kurasakan hembusan nafasnya dan aroma soju yang kini sudah tidak terlalu kuat. Ia terus mendekatkan wajahnya ke wajahku, aku menutup mataku dan menyerahkan semuanya kepada Kris, dadaku berdegup agak cepat, aku bisa merasakan bibir Kris menyentuh bibirku. Ia mengulum lembut bibirku dan saliva kami saling tertukar. Lengannya bergerak melingkar di pinggangku, dan membelai lembut punggungku. Aku dapat merasakan kehangatan yang diberikan Kris. Tangannya perlahan bergerak menuju dadaku dan meremasnya perlahan, jantungku berdebar semakin cepat. Aku bisa merasakan setiap rangsangan yang diberikannya, tangannya kini bergerak masuk melewati kaus tipisku dan menyentuh langsung tubuhku. Nafas pendek-pendeknya sangat jelas terdengar, membuatku tak ingin melepaskannya dan melanjutkan nikmat yang diberikannya.

Tiba-tiba Kris mengeluarkan tangannya dari dalam kausku dan melepaskan ciumannya. Aku merasakan kekecewaan di dalam hatiku. Mengapa tiba-tiba Kris berhenti?

“Kita tidak bisa melanjutkannya malam ini.” Katanya lembut sambil menatapku. Nafasnya masih terdengar pendek.

“Waeyo?” Tanyaku sambil berusaha menutupin raut kekecewaan di wajahku.

“Kau butuh istirahat, aku tau kau sedang tidak enak badan.”

“Tapi aku tid..” Kris mengehentikan kalimatku dengan sebuah ciuman kecil dan lembut di bibirku.

“Kita lanjutkan setelah kau benar-benar sehat.” Kata Kris sambil tersenyum.

“Ne, yeobo.” Aku tersenyum walaupun ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku, juga perasaan yang masih megganjal.

Lalu kami berbaring berhadapan, Kris memelukku. Tak butuh waktu lama untuknya terlelap, dengkuran kecilnya jelas sekali terdengar. Aku menutup mataku dan berusaha melupakan semua pikiran dan perasaan yang mengganjal, lagipula esok adalah hari dimana pernikahan kami berumur empat bulan. Aku jadi tidak sabar memberikan kejutan untuknya besok. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibirku, kemudian aku terlelap tidur dalam pelukan hangat Kris.

TBC

 

Yaaa~ Chingudeul! Akhirnya part 2 selesai juga setelah menempuh banyak sekali rintangan tugas-tugas kuliah. Fiuuuh~~ Gimana? Ga sabar akan kelanjutan kisah Joora dan suaminya Kris? Tunggu part 3nya yaaaa! Annyeong~!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sejinn
#1
Ga ada squelnya kah????
loveyeollie #2
Semuanyaaaaaa~~~ part kedua menyusul sekitar 2-3 hari lagi yaaaa! Tugas kuliah menumpuk nihhh. Jongmal Mianhaeyoooo