Four

To Build a Home with You
Please Subscribe to read the full chapter

 

 

Air mataku menetes yang buru buru kuhapus. Harusnya aku menjelaskan meskipun itu akan dianggap sebagai pembelaan diri. Tapi mulutku justru berkata lain.

“Kau ingin putus?” tanyaku dengan suara bergetar namun tak berani menatapnya langsung dengan tangan masih memegangi gagang pintu, seolah aku sudah siap dengan kemungkinan terburuk.

Seulgi tak menjawab namun aku tahu dia menjauh dan beberapa menit kemudian terdengar suara dari gagang pintu diikuti kilatan cahaya merah yang membuatku langsung mundur. Dengan segala kelebihan teknologi di rumah ini yang menurutku sangat gila, Seulgi membuat satu satunya pintu menuju keluar terkunci otomatis yang hanya bisa dibuka dengan perintah suaranya.

Seulgi sialan.

Keningku berdenyut, cukup membuatku mendesis pelan menahan sakitnya. Setelah menenggak obat penahan sakit, aku menarik selimut dan berbaring sambil menatap layar ponsel. Dan keningku semakin berdenyut saat membaca rentetan pesan balasan Seohyun. Aku hanya mengatakan kalau aku akan bertemu Wendy tanpa memberitahu Seulgi. Setelah itu aku membiarkan ponselku dalam mode diam.

 

Seohyun

Kau gila, Bae Joohyun.

Kalau menurutku sebaiknya beritahu Seulgi.

Pacarmu sekarang itu Seulgi, jadi dia berhak tahu. Apa lagi ini urusannya dengan mantan.

Kubilang beritahu Seulgi atau jangan pergi.

Kalau kau pergi tanpa memberitahunya sama saja kau tidak menghargainya.

Terlepas itu sesuatu yang penting.

Joohyun.

Joohyun!!!

BAE JOOHYUN!!! DASAR SINTING.

Balas pesanku saat Seulgi menendangmu dari rumahnya.

 

Setidaknya pesan Seohyun membuatku sedikit tersenyum di tengah gemuruh tak karuan di dada. Seohyun benar. Sejak dulu dia selalu benar. Aku dan pikiranku lah yang membuat orang lain jengah kemudian pergi dariku.

Pertama Wendy, sekarang Seulgi.

Aku selalu bertindak sesuai keinginanku, apa yang menurutku benar tanpa mempertimbangkan logika yang terkadang berkata sebaliknya.

 

Seulgi tidak menendangku, FYI.

Tapi yeah, dia tahu dan sekarang marah padaku.

Sorry, obatku mulai bereaksi. Nanti kuceritakan.

 

Setelah memasang alarm, kuletakkan kembali ponsel di nakas. Mataku terpejam rapat menikmati rasa sakit seolah kepalaku dibenturkan pada benda keras. Yang bisa kulakukan hanya mengatur napas karena beberapa menit ke depan aku akan tertidur dan rasa sakit ini akan hilang dengan sendirinya.

 

***

 

Entah apa yang kuharapkan setelah bangun dan melihat Seulgi duduk di dapur dengan sebuah gelas yang sepertinya berisi cokelat hangat di meja. Dia tak memandangku namun aku yakin dia tahu aku ada di sana.

“Sorry, aku telat bangun.” ucapku sedikit ragu sambil berjalan ke arah kulkas. “Kau... Mau sarapan apa?”

“Tidak usah.”

Jawaban singkatnya membuatku terdiam. Entah kenapa aku berharap sakit kepalaku kembali karena setidaknya aku tak perlu memikirkan sakit di hatiku.

“Oke.” balasku pelan kemudian beranjak dari dapur.

Harusnya dia membiarkanku pergi tadi malam karena keadaan seperti ini lebih menyakitkan daripada harus meratapi sakit hatiku seorang diri. Dan yang jauh lebih buruk dari semua itu, karena kami masih tetap berangkat dan pulang kantor bersama. Tapi setidaknya aku tahu bagaimana dia bisa tahu.

Singkatnya, Seulgi melihatku saat aku dan Wendy berpisah di parkiran sebuah kafe tempat kami bertemu kemarin sore.

Dan hingga siang ini, Seulgi tak menyapaku sedikitpun. Dia juga tak mengatakan apapun. Hanya mendiamkanku yang membuatku semakin merasa bersalah. Ada keinginan untuk menjelaskan, tapi aku takut hal itu justru membuatku terkesan mencari pembenaran atas kesalahan yang sudah kulakukan. Tapi semua sudah terjadi. Lagipula aku tak punya kesempatan untuk bicara karena Seulgi selalu menghindar setiap kami berpapasan. Rasanya cukup membuat dadaku perih setiap kali menatapnya dan Seulgi melengos begitu saja. Aku tak tahu sampai kapan kami akan diam seperti ini karena aku mulai tak sabar untuk bicara dengannya.

“Seulgi.” panggilku saat Seulgi mencuci gelasnya.

Dia hanya meletakkan gelas di rak dan melewatiku begitu saja.

“Seulgi, please...” aku tak peduli nada suaraku terdengar memelas atau memaksa, aku hanya gerah dengan kediamannya.

Seulgi berhenti, namun tak melihat padaku.

“Maaf, aku...”

“Maaf?” potong Seulgi cepat yang membuat keberanianku seketika menciut. “Kau tahu, aku benci saat seseorang punya pilihan yang sebenarnya jauh lebih baik, tapi dia memilih jalan yang membuatnya harus minta maaf.”

Dan seolah tak merasa bersalah, aku menepis tuduhannya. “Apa yang membuatmu berpikir aku punya beberapa pilihan?”

“Oh jadi menurutmu yang kau lakukan itu benar?” Seulgi akhirnya berbalik memandangku, menantang ucapanku.

“Aku tidak bilang apa yang kulakukan benar. Aku hanya ingin meralat tuduhanmu seolah aku sengaja melakukan sesuatu yang salah.”

“Jadi menurutmu kau melakukan itu tanpa sadar?” Seulgi memicingkan mata sambil berlipat tangan di dada.

“Bukan begitu. Maksudku aku tidak...” aku mendesah pelan, merasa terpojok, seakan semua yang kukatakan justru malah balik menyerangku. “Karena kupikir ini bukan masalah besar dan...”

“Bukan masalah besar?” potong Seulgi ketus. “Jadi menurutmu yang kau lakukan itu hal biasa dan aku membesarkan masalah?”

“Aku tidak...” dan aku langsung diam sambil menggigit bibir. Aku sudah berusaha untuk bertahan tapi sikap dan ucapannya membuat mataku tetap menghangat. Dan kalau aku terus bicara, air mataku pasti akan menetes dan aku tidak menginginkan hal itu. “Kau benar.” ucapku pada akhirnya sebelum menjauh darinya.

Aku bukan seorang prajurit yang akan selalu siap untuk berperang dalam segala situasi. Aku hanya orang lemah yang bahkan tak bisa membela diriku sendiri dari kesalahan yang sudah kulakukan.

Aku menyerah.

 

Bisa menjemputku?

 

Detik berikutnya ponselku berbunyi. “Di mana?”

“Seulgi.” jawabku sambil mengemasi beberapa baju ke dalam tas. Aku tahu ini bukan jalan keluar, tapi aku tak bisa berpikir jernih di situasi seperti sekarang. Aku tak sanggup menghadapi raut wajah ataupun ucapannya.

“Hyun...”

“Please...” aku memohon dengan suara parau karena menahan tangis.

Seharusnya tidak begini. Seharusnya aku bisa menyikapi masalah ini dengan lebih dewasa dan pergi bukan jalan keluarnya. Tapi aku hanya ingin menenangkan diri sejenak, tidak bermaksud menghindar dari masalah. Hatiku sakit dan Seulgi sedang marah. Emosi kami sedang dalam kondisi yang tidak baik baik saja.

“Yeah, oke, aku akan menelponmu kalau sudah di di bawah.”

“Hm.”

Dengan langkah berat aku keluar dari kamar sambil menenteng tas yang berisi beberapa pakaian. Sebenarnya aku masih punya cukup pakaian di rumahku karena aku juga tak membawa terlalu banyak ke tempat Seulgi. Tapi ada beberapa pakaian kerja yang harus kubawa pulang.

“Mau ke mana?”

Langkahku terhenti. “Pulang.” jawabku lirih dan hatiku kembali sakit mendengar hembusan napas kasar dari Seulgi.

“Menurutmu dengan pulang semua masalah langsung akan beres?”

Perlahan aku berbalik ke arahnya, memandangnya cukup lama, menatap lekat sosok yang begitu kurindukan beberapa hari ini meskipun kami masih tinggal di satu atap. Matanya yang terlihat suram membuatku semakin merasa bersalah. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyaku pasrah.

Jujur saja hati kecilku masih berharap dia memintaku untuk tetap di sini. Sekalipun semuanya sedang kacau, aku tak menampik bisa menatapnya cukup membuatku merasa kami bisa bertahan. Namun sayangnya Seulgi hanya diam, yang membuatku kembali bersuara.

“Apa beberapa hari ini kau menganggapku ada? Apa kau menyapaku? Mengajakku bicara? Memberiku... Memberi kita kesempatan menjelaskan tanpa emosi?” bibirku bergetar. “Aku mengerti kau sedang marah, tapi tolong mengerti juga kalau aku sakit hati diperlakukan seperti ini. Aku salah, ya, dan aku tidak pernah sekalipun menyangkalnya. Tapi mungkin kita butuh waktu, butuh jarak, mungkin setelah itu kita bisa bicara dengan kepala dingin.”

Ponselku berdering namun aku mematikannya. Tak lama sebuah pesan masuk.

 

Seohyun

Aku sudah di bawah.

 

Tanganku bergetar saat memasukkan ponsel ke saku jeansku. Kupandangi kembali wajahnya, berharap bisa melupakan amarah yang terpancar di sana beberapa hari ini dan berbalik. Tanganku masih bergetar saat memegang gagang pintu.

“Kau tahu,” ucapku tercekat. “Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”

Setelah itu aku memutar gagang pintu dan terus berjalan ke depan. Aku tak akan berbalik memandangnya karena aku tahu hal itu akan membuatku ragu dengan keputusanku. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Kalau memang kami ditakdirkan bersama, aku yakin akan selalu ada jalan untuk kami kembali. Tapi kalau tidak, sekeras apapun aku berusaha, dia tetap akan lepas dari genggamanku. Lagipula kami tidak putus, hanya memberi ruang dan waktu. Bisa jadi tinggal bersama membuat hubungan ini jadi membosankan dan menyesakkan.

“Thank you.” lirihku ketika Seohyun memelukku.

 

***

 

Pagi itu aku terbangun dengan mata perih dan sembab. Mungkin satu satunya hal yang membuatku bertahan saat itu hanya kedua tangan yang masih erat memelukku, memberiku sedikit kekuatan untuk tak kembali meneteskan air mata.

“Akhirnya bangun juga. Tanganku sudah mati rasa.” canda Seohyun.

Kupukul lengannya dan kembali menenggelamkan tubuhku dalam pelukannya. “Sorry, kalau ibuku masih ada mungkin bukan tanganmu yang mati rasa.”

“Sialan. Kenapa membuatku jadi merasa bersalah.” tandas Seohyun mendorong dahiku dengan dagunya. “Dasar tidak tahu terima kasih.”

Aku hanya tersenyum tipis mendengar ucapannya. Ya, selama itulah kami bersahabat hingga segelap apapun candaan yang terlontar, kami akan tahu itu hanya sebuah candaan. “Thank you.”

Seohyun menarik napas dalam dan kurasakan tangannya mengusap kepala juga punggungku namun tak mengatakan apapun.

“Sebelum keluar, aku mengatakan kalau aku mencintainya.” mataku kembali menghangat.

Seohyun hanya menggumam pelan sambil terus mengusap punggungku.

“Padahal aku punya skenario yang lebih baik untuk mengakuinya. Tapi sepertinya keadaan berkata lain.”

“Kau menyesal?”

Aku menggeleng pelan. “Tidak sama sekali. Malah lega rasanya. Kalau ada yang kusesali karena aku mengakuinya disaat aku mungkin akan kehilangannya.”

“Setidaknya kau sudah jujur tentang perasaanmu padanya.”

Hening.

“Aku sangat mencintainya.” sesak itu kembali dan membuat suaraku parau.

“Aku tahu.”

“Kenapa aku bisa mencintainya sementara aku tidak tahu apapun tentangnya. Aku bahkan tidak tahu nama keluarganya. Aku hanya tahu dia Seulgi. Hanya itu.”

“Mungkin cinta tidak bekerja di keluarga Seulgi.”

Aku mendongak, mengerjapkan mataku beberapa kali mendengar balasan Seohyun. Kami bertatapan sebentar sebelum akhirnya tawaku pecah. Ini benar benar menggelikan. Aku menangis sekaligus tertawa. “Dasar gila.” umpatku tertawa di sela isak tangis.

“Terima kasih banyak karena sudah membuatku tertawa, Seohyun. Ya, oke, tak masalah. Sama sama.”

Aku langsung meletakkan telapak tanganku di dahinya. “Neon nuguya??!!

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Cakemoo #1
Chapter 4: thank you authornim! selalu suka dengan gaya bahasa di setiap cerita authornim 💛💗
Mybaebii
#2
oww welcome back
4zahan #3
Chapter 3: ini update harusnya chapter 4, chapter 3 kemaren terhapus kah?
Imconanian
#4
Chapter 3: Aku tungguin 😅 akhirnya rujuk
BaePolarBear
#5
Chapter 3: Udh ketar ketir bacany mrk berantem eh ahirnya adegan dewasa
BaePolarBear
#6
Chapter 2: Ugi pinter bgt bikin hati joohyun jatuh cinta
BaePolarBear
#7
Chapter 1: Iseng baca lg aff
Eh ada yg comeback
Imconanian
#8
Aku udah jarang banget nemu author yg tulisannya nyaman dibaca dan bikin kebawa cerita tau ih, ceritanya bagus bikin ketagihan bacanya
4zahan #9
Chapter 3: akhirnya ketemu link author ini, terima kasih untuk semua cerita2 indahnya, ga sabar nunggu kelanjutannya
olinmelin #10
Chapter 3: kak terharu kmu update. kirain ini gak bakal dilanjut. huhu makasih ya kak 🫶